Seorang ayah itu
seperti...
Kura-kura
Terlihat keras dan
tangguh dari luar,
namun sebenarnya
begitu lembut dan rapuh di dalamnya.
゚・:,。゚・:,。★゚・:,。゚・:,。☆
Pagi itu, 3 orang siswa SMA sedang berjalan bersama menuju sekolah. Mereka terlihat
akrab satu dengan yang lain, karena memang mereka sudah saling mengenal sejak
pertemuan pertama mereka di SMA ini ketika masih duduk di kelas X, kurang lebih
1 tahun yang lalu. Hingga dari arah lain, terdengar teriakan dari seorang siswa
memanggil mereka.
Yeni : Hai, Tunggu (berlari). Eh, kalian jahat
sekali tidak menunggu ku masuk ke dalam kelas?
Yura : Oh Yeni, Maaf. Kami lupa hehe
Sinta : Iya hari ini ada kelas Bahasa Jawa. Jadi
aku nggak mau terlambat.
Yeni : Ya ampun, Aku heran deh, mengapa sih kamu
suka banget sama pelajarannya pak Dimas itu? Menurutku dia membosankan.
Sinta : Itu menurutmu, menurutku tidak (tersenyum)
Amane : sudah - sudah ayo masuk kelas, nanti malah tambah
telat (mengajak kedua temannya)
Mereka melanjutkan perjalanan menuju kelas bersama –
sama dengan terus membicarakan Pak Dimas.
Hingga akhirnya, mereka sampai di kelas.
Sinta : Emm, hari ini main yuk.
Yura dan Yeni : Boleh, kemana?
Sinta : Emm, ke rumahnya Yeni saja.
Yeni : Eh? kan seminggu yang lalu sudah. Masa’
mau ke rumahku lagi?
Sinta : Ya udah ke rumahmu ya Yura?
Yura : Lagi? bukannya 3 hari yang lalu sudah ya.
Kamu lupa?
Sinta : Oh iya. Lalu kemana? Ke rumahnya Amane?
Amane : Gantian ke rumahmu aja gimana?
Sinta : (kaget) Hah? ke rumahku? Emm - - - - tapi rumahku
berantakan
Amane : Tidak apa – apa nanti kita rapikan
bersama. Bukannya selama 1 tahun kita berteman, kita belum pernah ke rumahmu
kan, sin?
Yura : Iya Sinta? Boleh?
Sinta : Eh? Lupakan saja (membalikkan badan)
Melihat tingkah laku Sinta yang mendadak berubah,
Yura, Amane, dan Yeni menjadi bingung. Dan merasa bersalah dengan apa yang
sudah diucapkan mereka tadi. Akhirnya waktu pulang sekolah pun tiba. Mereka tidak pulang bersama Sinta sejak kejadian
tadi pagi. Sinta memilih pulang terlebih dahulu tanpa menyapa ketiga temanna
tadi.
Yura : Bagaimana ini? Apa si Sinta marah ya?
Yeni : Aku juga tidak tahu. Apa kita ke rumahnya
saja?
Amane : Hah? Nanti dia marah gak kalau kita
tiba – tiba datang ke rumahnya? Lagipula kan kita tidak tahu alamat rumahnya
Sinta.
Sementara mereka masih bimbang. Seorang teman yang
lain, menghampiri mereka.
Cho : Hai, kenapa kalian tidak pulang?
Yeni : Oh, kami masih ingin di sekolah dulu.
Cho : Eh? kok tumben hanya bertiga, biasanya
bersama Sinta? Kemana dia?
Yura : Kami juga tidak tahu, tadi pagi, Sinta
seperti tidak suka jika kami berniat main ke rumahnya.
Cho : Oh, kalian ingin ke rumah Sinta? Pantas.
Yeni : (bingung) Maksudmu? Memang ada apa dengan
rumahnya Sinta?
Cho : (terdiam) Begini, ada yang ingin ku
katakan kepada kalian. Sebenarnya ayah Sintalah yang menjadi penyebabnya.
Amane : Hah? Memang ada apa dengan
ayahnya?
Cho : Dia tidak ingin teman – temannya
mengetahui jika ayahnya itu bersikap keras kepada Sinta, bahkan sangat keras
menurutku. Ayah Sinta itu tukang pukul.
Yura : (kaget) Hah! Bagaimana kamu bisa tahu?
Cho : Aku kan tetangganya. Eh, aku mau ada les,
aku pulang dulu ya.
Yeni : Tunggu dulu, aku minta alamat rumahnya
Sinta dong.
Cho : Ok, nanti aku sms. Dadahh
Amane : Ok. Hati – hati di jalan.
Cho : Sipp.
Cho pergi ke luar kelas . . .
Amane : Aku tidak menyangka ternyata Sinta memiliki
masalah di keluarganya yang ia sembunyikan selama 1 tahun ini dari kita.
Yeni : Aku juga tidak menyangkanya (sedih)
Yura : Bagaimana ini? Apa kita ke rumahnya saja.
Dia pasti sangat membutuhkan perhatian.
Yeni : Jika sekarang, pasti Sinta masih kesal
dengan kita. Bagaimana kalau besok?
Yura : Baiklah.
Di rumah Yeni,
Yeni : Selamat Siang. Aku pulang.
Ayah : Siang. (membukakan pintu)
Yeni masuk dengan wajah lesu, lalu duduk di sofa rumahnya.
Ayah : Mengapa kamu terlihat lesu seperti itu?
Yeni : “Ayah, apa ada ayah yang tidak menyayangi
anaknya?” Tanya Yeni tiba - tiba
Ayah : (Heran) Tentu saja tidak ada. Semua ayah mencintai
puteranya.
Yeni : Benarkah? Bagaimana dengan ayah yang suka memukul
putranya? Apakah mereka juga mencintai putranya, Ayah?
Ayah terdiam lama menatap kedua mata Yeni. Sekarang
ia kebingungan dengan pertanyaan Yeni.
Yeni : Ayah?
Ayah : Mereka menyayangi putranya dengan cara yang
sedikit berbeda, Yeni.
Yeni : Kenapa?
Ayah : Kita tidak bisa selalu mendapatkan apa
yang kita inginkan, Yeni. Kita tidak bisa mengharapkan semua yang kita inginkan
menjadi nyata. Tuhan maha adil, Dia yang tahu apa yang terbaik untuk kita
semua.
Hening . . . .
Ayah : Contohnya seperti Yeni sendiri. Kalau
boleh memilih, pasti Yeni ingin bersama dengan keluarga Yeni sendiri ‘kan?
Karena Ayah bukan ayah kandung Yeni.
Yeni : Enggak. Aku nggak mau dengan keluarga lain
kecuali Ayah. Bagiku Ayah adalah satu-satunya keluargaku.
Ayah (terkesima, wkwkwkwk)
Yeni : Kalau waktu itu Ayah tidak memungutku,
mungkin aku tidak akan sebahagia ini.
Ayah : Apa yang kau bicarakan? Ayah bukan ayah
kandungmu kan? Waktu itu Yeni juga pernah dihina di sekolah karena Ayah seperti
ini, jadi..
Yeni : Bukannya Ayah sendiri yang bilang? Tuhan
maha adil, Dia yang tahu apa yang terbaik untuk kita semua.”
゚・:,。゚・:,。★゚・:,。゚・:,。☆
Menjadi seorang ayah
berarti siap untuk
terluka
jatuh
terpukul
terhina
tapi setimpal dengan
hadiah yang diterimanya,
senyum tulus putranya
---###---
Tomorrow after school . . .. .
Yura : Kita yakin mau mengunjungi Sinta
sekarang. Kamu sudah tau alamatnya kan?
Yeni : Sudah, Cho sudah sms aku semalam.
Mereka berjalan ke alamat tujuan. Hingga akhirnya, ketiga
anak itu tiba di depan rumah Sinta. Meski agak ragu, Yeni mengetuk pintu rumah
Sinta beberapa kali hingga terdengar jawaban dari dalam. Sinta sangat terkejut
melihat kedua temannya berdiri di depan rumah, ekspresi wajahnya berubah tidak
suka.
Sinta : Ngapain kalian berdua ke sini?
Yura : Kami Cuma mau main ke rumah Sinta saja
kok.
Sinta : Sudah kubilang rumahku berantakan!
(berteriak)
Yeni : Mengapa Sinta tidak pernah cerita kalau
punya masalah di rumah. Sinta adalah temanku, tapi kenapa nggak pernah bilang?
Sinta : Kamu ngomong apa sih? (tangannya
mencengkeram kenop pintu erat)
Yeni : Sinta nggak mengijinkan kita main
karena ayah Sinta suka memukul Sinta
kan?
Amane : Yeni, kalau bicara jangan terlalu
denotative.
Yeni : (menghiraukan Amane) Kenapa Sinta nggak
cerita. Aku pasti membantu Sinta kalau kamu cerita dari awal.
Sinta : Bukan urusanmu kalau kehidupanku begini!
Memangnya ini menyenangkan sampai-sampai aku harus menceritakannya ke sana
kemari, hah?! Memangnya semua orang harus punya hidup sesempurna kau?! Asal kau
tahu, lebih baik aku tidak punya ayah sama sekali daripada harus punya ayah
seperti itu!
PLAAAKK (Sinta ditampar Yeni J)
Yeni : Tarik kembali kata-katamu!
Sinta : Hah?
Yeni : Sinta pikir rasanya tidak punya ayah itu
enak? Sinta pikir bisa hidup sendiri tanpa adanya ayah di sisi kita?
Sinta : Kau! Apa – apaan sih (mendorong Yeni)
Yura : hentikan dong. Jangan bertengkar di sini
(melerai)
Sinta : (mendorong Yura kasar) Sudah kubilang
‘kan? Memangnya semua orang harus punya hidup sempurna sepertimu?
Yeni : Siapa bilang hidupku sempurna? Tidak ada
orang yang memiliki hidup sempurna, karena bukan kita yang menentukan semua
impian menjadi nyata! Kita tidak bisa selalu mendapatkan apa yang kita
inginkan! Kita tidak bisa memilih ayah macam apa yang akan membesarkan kita.
Ayah adalah ayah,~ bagaimanapun kita menyebutnya. Dia adalah pria yang
membesarkan kita, menafkahi kita, melindungi kita ketika dunia hendak menyakiti
kita...”
Sinta : (sedih) Kau tidak paham, Yeni. Kau tidak
paham karena kau punya ayah yang sempurna, sedangkan aku?
Yeni : Ayah bukan ayah kandungku. kalian tahu?
Amane : Apa? Ayahmu bukan ayah kandungmu?
Yeni : (menggeleng) Ayah memungutku saat dia
liburan ke Sumatera dulu, dia menemukanku nyaris tenggelam di dermaga dan
memutuskan untuk membesarkanku. Sinta seharusnya bersyukur, ayah Sinta tidak
membuang Sinta sepertiku.
Sinta : LEBIH BAIK AKU DIBUANG!!! (kesal). Jangan
seenaknya menceramahiku kalau kau tidak tahu rasanya jadi aku!
Yeni : Sinta juga nggak tahu kan rasanya jadi
aku?
Bagaimana
rasanya saat tahu Ayah yang selama ini aku sayangi ternyata hanya pria yang
memungutku dari dermaga waktu aku masih bayi.
“...........”
Yeni : Waktu mendengar cerita Ayah, rasanya
aku ingin mati saja. Apa aku segitu tidak berharganya sampai-sampai keluargaku
membuangku seperti itu. (mbrebes) Tapi mengingat apa yang sudah Ayah lakukan
padaku selama enam belas tahun ini membuatku mengabaikan semua fakta
menyedihkan itu.
“...........”
Yeni : Waktu SD. Teman-teman mengejek Ayah dan
menyebutnya memeshi. Setiap hari aku diancam, diejek, dihina, karena Ayah
seperti itu~ apa seperti itu yang kau sebut hidup sempurna, Hah?
Yeni : Kau tahu, Ayah selalu tersenyum setiap
kali aku mengadu padanya. Aku marah pada teman-temanku karena menyebutnya memeshi.
Ayah tersenyum! Padahal aku tahu sebenarnya Ayah sedih. Ayah berpikir, kalau
saja dia dulu tidak membesarkanku dan memberikan saja aku ke keluarga lain,
pasti aku nggak perlu dihina seperti ini, tapi -----(berhenti)---------(lanjut)
tapi, bukankah itu takdir? Ayah adalah Ayah dan aku bersyukur aku mendapatkan
ayah sebaik dia.
Yeni : Semua ayah mencintai putranya, Sinta,
hanya caranya yang berbeda-beda... Bukankah ayah Sinta hebat? Ayah Sinta
bisa memukul Sinta jika berbuat salah, membentak Sinta, mengajarkan Sinta
secara tidak langsung untuk menjadi tangguh? Semua itu juga butuh pengorbanan.
Ayah Sinta mengorbankan perasaannya supaya Sinta tidak membuat kesalahan fatal
dan melindungi Sinta, ya ‘kan?”
Yeni : Apakah Sinta pernah bertanya-tanya
bagaimana perasaan ayah Sinta sehabis memukul Sinta?”
Sinta menggeleng
Yeni : Percayalah padaku, ayah Sinta pasti
sangat menyesal. Dia pasti menangis dalam hati karena sudah memukul putra
tersayangnya. Tapi supaya Sinta terhindar dari kesalahan, bukankah itu lebih
baik?
゚・:,。゚・:,。★゚・:,。゚・:,。☆
Ayah adalah ayah
Yang telah
membesarkan, menafkahi, menyayangi kita
Yang tidak bisa kita
pilih
Tuhan tahu yang
terbaik,
Biar itu seorang ayah
yang kelewat lembut
Atau seorang ayah
yang kelewat disiplin
Yang ada dalam kepala
mereka adalah:
Membuat putranya
bahagia
Bukankah seorang ayah
itu hebat?
Dia bisa terlihat
begitu kuat dan keras
Kemudian begitu
lembut saat mendekap kita dalam pelukannya
Membisikkan mimpinya
Saat kita terlelap,
Mengutarakan beribu
maaf karena tidak bisa membuat kita cukup bahagia
dengan nafkahnya
atau dengan waktunya
Bukankah ayah itu
hebat?
Mengorbankan
perasaannya sendiri demi melindungiku
Mengatakan hal yan tak
pernah ku bayangkan,
Melayangkan tangan
yang sama dengan tangan yang mendekapku
Untuk mengingatkan
akan kesalahanku
Maaf, aku jarang
menyadari
Kesulitanmu menjalani
peran sebagai seorang ayah
Maaf, aku selalu
berprasangka
Berpikir kau tidak
menyayangiku
Padahal sebenarnya
aku yang bodoh dan egois
Maaf, aku selalu
tidak mau tahu
Apa saja yang telah
kau lalui, bahkan sebelum aku terlahir
゚・:,。゚・:,。★゚・:,。゚・:,。☆
@ School
Yura : “ Yeni, kamu baik – baik saja kan? Aku
khawatir terjadi apa – apa denganmu sejak kejadian kemarin?
Yeni : (tersenyum) Aku tidak apa – apa kok. Aku
malah lega, dapat mengeluarkan uneg2 ku selama ini.
Yura : Syukurlah.
Amane : Ngomong – ngomomg, Kalian sudah
ketemu dengan Sinta pagi ini?
Yura : Belum.
Dari luar, seorang siswi yang tak asing lagi bagi mereka
berjalan menghampiri Yeni dan Yura.
Sinta : (ceria) Pagi semua
Yura dan Yeni :
(bengong)
Sinta : kenapa tidak ada yang menjawab? Oh ya,
Yeni, Aku cuma bilang, terima kasih sudah memukulku waktu itu.
Yeni : Hah?
Sinta : Kamu adalah anak yang hebat. Kalau bukan
karenamu, mungkin sampai sekarang aku akan menjadi anak paling bodoh
sedunia—menyia-nyiakan kasih sayang ayahku selagi dia masih ada di sisiku.
Yeni : Oh, Soal kemarin, aku minta maaf sudah
memukul dan membentakmu secara kasar.
Sinta : Ahh, Tidak apa – apa, Aku juga minta maaf
ya. Jadi, kapan kalian mau main ke rumahku?
Amane : Boleh nih?
Sinta : Iya dong. Akan kukenalkan kalian dengan
ayahku juga.
Yura : Yee … Pulang sekolah aja gimana? Setuju?
Amane dan Yeni : Setuju !!!
Ayah
Untuk semua yang
telah kau lakukan
—terima kasih.
_______________★おわり★_________________
=Inspired from the
fict by @Nacchii Ogawa=