Dreaming in حلالا way. . .

Halaman

Cari Blog Ini

Apa sih artinya?

Jumat, 11 Oktober 2013

Terpadu Fisika Bob Foster

( Oleh  : Kelompok I / XII IPA 6 )

Data buku
Judul buku                  : Terpadu Fisika
Penulis                         : Bob Foster
Penerbit                       : Erlangga
Tahun terbit                 : 2012
Harga buku                 : Rp. 53.000,00
Tebal buku                  : viii + 288
Kertas yang dipakai    : HVS

            
         Buku Terpadu Fisika karya Bob Foster dibuat sesuai dengan KTSP 2006 yang mencakup materi-materi kelas XII. Materi-materinya terdiri dari beberapa bab diantaranya, gejala gelombang, cahaya, bunyi, listrik statis, medan magnet, induksi electromagnet dan arus tegangan listrik bolak-balik.
            Bob Foster menulis buku ini sesua KTSP 2006 dengan tujuan mengembangkan kemampuan berpikir analisis induktif dan deduktif dengan menggunakan konsep dan prinsip fisika untuk menjelaskan berbagai peristiwa alam dan menyelesaikan masalah, baik secara kualitas maupun kuantitas. Siswa diharapkan menguasai pengetahuan, keterampilan, dan sikap percaya diri sehingga dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari dan sebagai bekal untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
        Buku ini disajikan secara runtut tiap bab, dengan tidak menghilangkan kelengkapan materinya. Penyajian buku ini juga didesain secara rapi sehingga pembaca tidak kesulitan untuk mempelajarinya, seperti penulisan materi yang kemudian disusul dengan rumus dan contoh soal yang sudah disertai dengan pembahasan sehingga dapat menolong siswa dalam mengerjakan soal-soal di buku ini. Antara materi, rumus, dan soal dibedakan dengan memberi warna ataupun tabel yang berbeda. Selain itu, bahasa yang digunakan juga mudah dicerna, sehingga siswa lebih mudah belajar menggunakan buku ini.
Kelebihan buku ini apabila dibandingkan dengan buku fisika karya Maten Kanginan, buku ini lebih praktis karena langsung mencakup dua semester, sedangkan buku Maten Kanginan hanya satu semester. Selanjutnya buku ini lebih berwarna dan harganya lebih murah dibandingkan buku Maten Kanginan. Hanya saja buku ini belum dilengkapi dengan bahasa inggris, seperti pada buku fisika karya Maten Kanginan. Lembaran-lembaran buku yang disusun juga kurang rekat, sehingga membuat lembar demi lembar buku Terpadu Fisika mudah terlepas.
Buku Fisika ini cocok untuk dipelajari oleh seluruh siswa program IPA di SMA, khususnya kelas XII, karena buku ini membahas tentang materi fisika secara jelas disertai dengan rumus-rumus yang didesain menarik dan ilustrasi-ilustrasi yang berhubungan dengan materi, sehingga siswa lebih mudah mengerti dan tidak merasa bosan membaca buku ini. Jadi, buku Terpadu Fisika dapat mempermudah siswa untuk mendalami ilmu fisika dari fisika dalam kehidupan sehari-hari, hingga fisika yang digunakan dalam pembelajaran sekolah.
Resentator : Alvian Raharjo, Aprilia Prihatmi Riski, Asri Nawan Cahyanti, Danang Kurniawan, Ingrid Elvina, Ridwan Abdullah, Vita Fatimah.

Sabtu, 29 Juni 2013

[Cerpen] Invisible Love from Father

            “Sebenarnya ayah dimana?” Lagi – lagi kalimat itu muncul di benakku. Sebuah Pikiran sederhana namun berubah menjadi beban hidupku akhir – akhir ini, ketika aku sudah beranjak dewasa. Mungkin dulu, aku tidak terlalu menganggap hal ini berlebihan.

Aku akan menurut dan langsung mempercayai Ibuku ketika ia mengatakan bahwa ayah sedang merantau. Tapi sekarang? Aku bukan anak kecil lagi, aku juga tidak sepenuhnya percaya dengan jawaban ibu. Merantau? Selama inikah? Bahkan aku belum pernah melihatnya sama sekali semenjak kecil hingga sekarang, hingga usiaku menginjak 17 tahun. Apa benar yang dikatakan Ibuku? Apa hanya membohongiku saja? Aku yakin Ibu bohong.
Ku ambil setumpuk kayu bakar itu dan langsung menaruhnya di atas punggungku. Sebuah pekerjaan yang sudah menjadi kebiasaan sehari – hariku. Aku memang bukan anak orang kaya, bahkan kehidupanku teramatlah sederhana. Terkadang aku merasa sedih, aku juga ingin seperti anak – anak lain, belajar dengan tenang dan merasakan kehidupan yang lebih baik dari ini. Bukan karena aku tidak mensyukuri takdir yang diberikan Tuhan, aku hanya iri kepada teman – temanku, dimana mereka memiliki figur seorang Ayah yang menjadi tulang punggung dan pemimpin dalam sebuah keluarga. Sedangkan aku? Ibukulah yang  menggantikan peran Ayah selama ini. Berjuang mati – matian demi menghidupi keluarga kami. Sebenarnya aku tidak rela jika Ibu berjuang sendirian, sedangkan suaminya? Berada jauh entah dimana, bahkan aku yakin pasti Ibu juga tidak mengetahui dimana Ayah berada sekarang.
Kulangkahkan kakiku menuju pelataran sebuah rumah kecil yang sangat sederhana. Bahkan dengan lantai yang masih beralaskan tanah. Kukencangkan tali yang mengikat setumpuk kayu bakar itu dipunggungku saat akan memasuki tempat tinggalku ini. Suasana sepi menyambutku seketika, aku tidak heran. Memang Ibuku sedang sibuk memasak dan adikku satu – satunya itu pasti sedang bermain dengan anak tetangga. Aku berjalan ke arah Ibuku lalu meletakkan kayu bakar hasil jerih payahku itu di dekat pawon, sebuah kata yang asing sepertinya pada jaman global seperti ini. Kami memang masih memasak menggunakan kayu bakar karena kami tidak mampu membeli kompor gas layaknya orang – orang modern itu.
“Istirahat dululah nak. Bukankah sebulan lagi kau akan ujian?” Ucap Ibuku di sela – sela aktivitas memasaknya.
“Nanti saja bu, Narni masih ingin membantu Ibu kok.” Jawabku sembari mengusap peluh yang sudah memenuhi mukaku saat itu.
“Ya sudah, cucilah piring saja.” Sambung Ibuku halus dengan logat jawa yang masih kental di dalamnya.
Segera aku menuruti perintah Ibu, ku posisikan tempat dudukku di depan sebuah tumpukan piring yang sudah menantiku untuk segera membersihkannya. Lagi – lagi sekelumat pertanyaanku tentang siapa ayahku hadir kembali.
“Ayah itu seperti apa?” Tanyaku tiba – tiba, membuat Ibuku sejenak menghentikan aktivitasnya menggorengnya. Aku yakin Ibu masih berpikir untuk menjawab pertanyaanku ini. Aku harap bukan kebohongan lagi yang Ibu akan katakan, aku ingin jawaban yang sebenarnya.
“Ayahmu pribadi yang baik. Hanya saja kamu belum mengetahuinya.” Jawab Ibuku datar. Membuatku merasa tidak puas atas jawaban yang kudapatkan baru saja.
“Mengapa Ayah tak mengirimi ibu uang?”
“Mungkin ayah belum sempat.” Lagi – lagi Ibu tak menanggapi masalah ini serumit yang aku pikirkan. Untuk kesekian kalinya Ibu hanya sabar dan sabar.  Bukannya aku tak senang, tapi aku kasihan sama Ibu, tega- teganya laki – laki yang disebut Ayah bagi kita itu tidak mempedulikan Ibu saat ini, saat kondisi Ibu yang sudah makin renta. Aku kasihan, aku khawatir.

****

“Narni, kau sudah punya rencana untuk meneruskan kuliah?” Seorang teman di dekatku tiba – tiba bertanya.
“Belum sama sekali.” Jawabku yang masih tetap mencoba memecahkan soal Limit di hadapanku ini.
“Hah? Bukannya sebentar lagi kita kuliah?” Tanyanya lagi penuh keheranan.
“Bahkan aku tidak tahu, apakah aku bisa melanjutkan untuk kuliah atau tidak.” Jawabku lega saat soal yang terbilang sulit ini berhasil kupecahkan.
“Oh.” Ujarnya pelan, sepertinya dia merasa bersalah menanyakan hal itu kepadaku.
“Kalau kamu, Lisa?” Untuk pertama kalinya, aku memandang lawan bicaraku tersebut.
“Ayahku menyarankanku untuk melanjutkan ke UGM. Tapi, aku tidak yakin bisa menembus tes masuknya.” Ucap Lisa sedih. Ku tepuk pundak Lisa berulang untuk meyakinkannya.
“Kamu pasti bisa. Jangan jadikan keraguanmu menjadi sebuah hambatan untuk meraih impianmu itu. Dan jangan pula kecewakan Ayahmu, Lisa.”
“Terima kasih Narni, pasti Ayahmu bangga memiliki anak sebaik dan secerdas dirimu.”
Tidak ada kata yang terlontar dari mulutku. Diam adalah satu – satunya jalan yang bisa kulakukan. Memang apa yang bisa kuperbuat untuk membanggakan orang tuaku apalagi ayahku yang belum pernah sedetikpun menemuiku? Bahkan sempat terpikir, membanggakan ayah bukanlah hal yang penting lagi saat ini. Bagaimana bisa aku membahagiakan seseorang yang tidak pernah mempedulikan kehidupan kami.
Tak terasa bel pulang sekolah berbunyi. Ku masukkan seluruh bukuku ke dalam tas, dan ku tata sedemikian rupa. Tak banyak waktu yang kubuang sia – sia  sepulang sekolah, aku hanya ingin langsung pulang untuk melihat keluarga kecilku dan tentunya membantu ibuku. Aku berpamitan dengan beberapa teman dekatku, dan sedikit melepas canda dengan mereka walau hanya sebentar. Tanpa membuang banyak waktu lagi, aku berjalan menuju gerbang sekolah. Tapi suasana aneh datang saat aku melihat sosok anak kecil yang sepertinya tak asing lagi bagiku, terlihat sedang menunggu seseorang. Sepertinya aku kenal dengannya. Sinta? Adik kecilku itu, kenapa dia kemari? Bergegas aku menghampirinya.
“Sinta? Ngapain kamu di sini?” Pertanyaanku yang tiba – tiba ini sedikit mengagetkannya. Sontak Sinta mengalihkan pandangannya ke arahku.
“Ada apa?” Sekarang keterkejutan bergantian menghinggapiku saat menatap wajah adikku yang penuh dengan kecemasan.
“Ibu sakit kak.”
Kalimat singkat yang terdengar sangat lirih itu membuat jantungku berdegup lebih kencang. Aku sempat kehilangan jiwaku sendiri ketika mendadak ragaku tidak bisa digerakkan. Namun aku segera sadar, ku gandeng tangan adikku dan mengajakknya untuk lekas pulang ke rumah. Kecemasan mulai melingkupi seluruh tubuhku dan keringat dingin pun mulai keluar dari setiap pori – pori kulitku. Bagaimana mungkin, Ibu sakit?
Untung saja jarak antara sekolah dan rumahku tidak terlalu jauh. Dalam kurun waktu setengah jam, kami sudah memasuki area rumah. Segera kubuka pintu rumah yang kebetulan terkunci, lalu kulangkahkan kakiku menuju kamar ibuku. Wajahku mendadak pucat saat kulihat sosok perempuan yang kusayangi terbaring lemah di atas ranjang. Perlahan kudekati ibuku yang sepertinya sudah mengetahui kehadiranku di sampingnya.
“Narni, kau sudah pulang? Maaf ibu tidak bisa berjualan saat ini, tiba – tiba kepala ibu ter,”
“Sudah, Ibu tidak usah terlalu banyak berpikir. Istirahatlah saja, biar Narni yang akan berjualan siang ini.” Ujarku terpaksa memotong pembicaraan ibu. Aku tidak ingin pada saat kondisi ibu yang sedang sakit seperti ini, Ibu masih sempat berpikir terlalu berat. Aku sangat khawatir jika saja kondisi Ibu semakin buruk.
“Narni, maafkan Ibu. Jika saja Ayahmu di sini, pasti kamu tidak perlu bekerja sekeras seperti ini.” Ujar Ibuku, raut wajahnya mendadak lesu dan sebulir embun berhasil jatuh mengalir pipinya. Kuusap air mata itu lembut.
“Tidak Ibu, aku tidak keberatan bekerja sekeras ini. Walau tanpa ayahpun, aku juga tidak merasa menderita untuk hidup seperti ini.”
Kutundukkan kepalaku sejenak, pikiran – pikiran tentang ayah yang sangat merisaukanku begitu juga dengan ibuku bukanlah cara yang tepat untuk memecahkan masalah saat ini. Yang aku pikirkan hanyalah bagaimana cara menyembuhkan ibuku, sementara kami tidak memiliki cukup uang untuk membawa ibu ke rumah sakit.
“Kita ke rumah sakit ya bu?” Tawarku cemas sembari kuletakkan punggung tanganku di atas dahi ibuku sekedar untuk mengecek temperatur tubuhnya sekarang.
“Tidak usah nak, Ibu hanya sedikit kelelahan. Jangan terlalu cemas ya!” Jawab Ibu sembari tersenyum, senyum yang benar – benar tulus untuk kami.
“Sinta, tolong ambilkan air hangat untuk Ibu.” Suruhku kepada adikku yang dari tadi tidak berani berucap sepatah katapun, mungkin dia juga merasa khawatir. Sinta mengangguk kemudian melangkah keluar untuk mengambilkan minum. Sejenak kupijat tangan kurus Ibuku, berusaha membuat keadaan Ibu menjadi lebih baik.
“Ngomong – ngomong, kamu berencana melanjutkan kuliah kemana, Narni?”
Pertanyaan Ibu barusan membuatku terkejut untuk kesekian kalinya. Rasanya tidak sanggup untuk menjawab pertanyaan Ibu, saat mengingat keadaan ekonomi kami yang sangat bertolak belakang dengan impianku saat ini. Bagaimana caranya aku harus menjawab bahwa sebenarnya impianku dari kecil adalah menjadi seorang dokter. Tapi biaya darimana? Dengan sangat terpaksa, kulupakan impian besarku itu, impian yang bisa dibilang mustahil untuk dicapai oleh orang sepertiku.
“Belum tahu bu.”
“Maaf nak, jika Ibu tidak bisa menyekolahkanmu nanti. Kau harus banyak berdoa dan berusaha, agar Tuhan memberikan berkahNya kepada kita, dan membuatmu bisa meneruskan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Tetapi jika hanya mengandalkan keadaan ekonomi kita, kamu tahu sendiri bukan? Sekali lagi maafkan Ibu ya, Nak.” Terlihat kesedihan dan penyesalan yang teramat dalam pada diri Ibu. Aku pun hanya bisa menundukkan wajahku dan menyembunyikan kesedihanku, saat mendengar pengakuan tulus dari Ibuku baru saja.
“Tidak apa – apa, bu. Semoga saja Narni bisa mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan kuliah. Narni akan berjuang.” Saat itu pula ia mencurahkan segala perasaan sayangnya kepada ibunya sendiri, dipeluk erat ibunya sembari mengucapkan bertubi – tubi terima kasih atas pengorbanan ibu yang sudah merawatnya hingga saat ini, walau tanpa peran seorang ayah sekalipun.

****

 “Terima kasih bu.” Ujarku mengucapkan terima kasih kepada pemilik toko ini. Aku memang sengaja menitipkan dagangan ibu ke toko tetangga, karena aku harus masuk sekolah sementara kondisi ibuku tidak memungkinkan untuk berjualan sepanjang hari. Ku ambil wadah yang sebelumnya menjadi tempat menjual daganganku. Syukurlah, daganganku ludes terjual hari ini.
“Sebentar Narni.” Pangilan pemilik toko itu menghentikan langkahku.
“Sepertinya kamu punya tamu ya? Aku melihat seorang laki – laki berada di depan rumahmu sepanjang hari tadi, dan adikmu mempersilakannya masuk.”
“Seorang laki – laki?”
Secepat mungkin aku melangkahkan kakiku menuju rumah sebelum kuucapkan terima kasih kepada pemilik toko tersebut. Kepanikan mendadak menyelimuti ragaku, aku harap tidak terjadi apa – apa, aku harap laki – laki itu bukan orang jahat, aku harap, Ya Allah. Kupercepat langkahku saat rumahku sudah mulai tampak. Hingga akhirnya aku sudah berada di depan pintu rumahku sendiri.
“Ibu?” Saat pertama kali menginjakkan kaki di rumahku tak ada tanda – tanda tamu yang singgah, namun mendadak kedua bola mataku memfokuskan pandangan pada sepasang sepatu, yang sepertinya milik seorang laki – laki.
Sesegera mungkin aku berlari menuju kamar ibuku dan betapa terkejutnya ketika kudapati seorang laki – laki paruh baya yang sedang bersimpuh mencium tangan ibu yang sedang berbaring lemah bersamaan dengan air mata yang berleleran keluar dari kedua pelupuk mata laki – laki asing itu. Apa yang sebenarnya terjadi?
“Ibu?” Suaraku seketika membuyarkan suasana. Pandangan ibu dan laki – laki asing itu sontak  mengalihkan fokus mereka kepadaku. Aku hanya bisa mematung di tempat tanpa mengetahui apapun.
“Narni?” Laki – laki asing itu terkejut saat melihatku, tiba – tiba ia berjalan mendekatiku. Matanya yang penuh dengan misteri itu membuatku takut, refleks aku melangkah mundur untuk menjauhinya.
“Berhenti! Anda siapa?” Tanyaku gemetar menahannya agar berhenti untuk mendekatiku.
“Aku, ayahmu. Kau sudah besar sekarang.” Jawabnya sembari tersenyum.
“Ayah? Ayah siapa?” Ujarku sama sekali tidak  percaya.
“Aku ayahmu.” Jawab Laki – laki asing itu berusaha meyakinkan.
“Dia ayahmu, nak.” Ibuku menimpali secara tiba – tiba. Entah kenapa pernyataan ibuku ini membuatku lemas seketika, tidak ada aura kebahagiaan secuilpun muncul dalam diriku. Malah kebencianlah yang tiba – tiba menggantikannya.
“Aku tidak punya ayah selama ini. Kenapa engkau yang hanya orang asing tiba – tiba mengaku sebagai ayahku?” Kebencianku mulai merambah ke sekujur tubuhku
“Maafkan ayah, nak. Selama ini ayah tidak bisa menemani kalian.” Laki – laki asing itu jatuh berlutut di hadapanku. Benar – benar memuakkan.
“Jangan sekali – kali menyebut nama ayah di hadapanku!” Sepertinya kemarahanku sudah mencapai puncaknya. Lagi – lagi aku melangkahkan kakiku mundur untuk menjauhinya.
“Maafkan ayahmu nak. Ibu mohon.” Terdengar lemah suara ibuku yang memohon kepadaku. Tiba – tiba perasaanku luluh seketika saat memandang ibuku yang menangis, raut wajahnya tergambar jelas memintaku untuk memaafkan ayah. Aku tahu, Ibu adalah pribadi yang sangat sabar, dia mendidik kami untuk menjadi pribadi yang kuat sekaligus pemaaf. Tapi apa aku bisa memaafkannya, memaafkan seorang Ayah yang harusnya mendampingi kami dalam menghadapi beratnya hidup, yang harusnya melindungi kami, dan menjadi seorang pemimpin dalam sebuah keluarga, tapi ia tidak melakukannya satupun. Aku jatuh terduduk, tidak kuat menahan beban yang amat menyakitkan ini. Laki-laki itu memeluk tubuh kecil Narni, ia akhirnya menyerah, keinginan terpendam akan hadirnya seorang ayah saat kecil dululah yang menjadi alasannya saat itu.
“Nak, ayah minta maaf. Ayah terpaksa meninggalkan kalian dalam jangka waktu selama ini. Itu murni kesalahan ayah. Ayah harus berjuang membayar hutang yang menumpuk karena perusahaan ayah bankrut, ayah harus merantau dan terpaksa meninggalkan kalian. Tapi sekarang ayah sudah berhasil nak.” Laki – laki yang mengaku sebagai ayah Narni itu mempererat pelukannya. Air mata Narni tumpah ketika keinginan untuk mendapat pelukan seorang ayah itu akhirnya terwujud.
“Ayah sama sekali tidak melupakan kalian. Tanpa kalian ketahui, Ayah benar-benar merindukan kalian, selama 16 tahun ini. Cinta dan kasih sayang ayah tidak akan pudar untuk kalian, percayalah.”
“Maafkan Narni, Ayah.” Ujarku lemas. Ia menyesal, selama ini ia hanya mementingkan egonya sendiri. Dengan gamblangnya ia menghakimi bahwa Ayah yang selama ini ia nanti-nantikan sama sekali tidak mempedulikan kehidupan mereka, tetapi semua dugaan-dugaannya itu ternyata salah besar. Tiba – tiba Ayah melepaskan pelukannya dan menatap Narni lekat – lekat.
“Ayah dengar, Narni ingin jadi dokter, ya?”
Narni mengangguk dengan sedikit terisak.
“Jangan pikirkan biaya lagi. Kejarlah mimpimu setinggi mungkin, sekarang ayah akan selalu mendukung dan berjuang untuk kebahagiaan kalian, untuk anak – anak ayah.”
“Terima kasih, Ayah.” Suasana haru tersebar menyelingi mereka. Dipeluknya lagi ayah yang selama ini ia rindukan, ia berjanji akan selalu menyayanginya.
“Tidak semua kasih sayang seorang Ayah itu harus  benar – benar  tampak di mata anak – anaknya karena kasih sayang seorang ayah itu akan selalu ada untuk kita, walau tersembunyi sekalipun.”
Kalimat terakhir ibu melengkapi suasana haru biru bercampur kebahagiaan siang itu. Keluarga yang dulunya terpisah, sekarang saling berbagi kebersamaan dan ketulusan sebuah  kasih sayang.

Jumat, 24 Mei 2013

DELUHI - Hoshi no nai yoru ni (星の無い夜に) -English translate-


あの頃の二人は死んだんだよ どんなに想っても
ano gorono futari ha shin dandayo donnani omotte mo
もう帰れない 変えられない事だけれど 何度も…
mou kaere nai kae rarenai koto dakeredo nando mo ...


囀る風も 香る木漏れ日も 全てはあの日から色付き出した
saezuru kaze mo kaoru ki more nichi mo subete haano nichi kara iroduke ki dashi ta
幾度と季節 感じられるよ ただ 傍にあなたが居ない
ikudo to kisetsu kanji rareruyo tada bou nianataga ina i


そして僕はまた歩き出す
soshite bokuha mata aruki dasu
そう あなたの終わりを背に
sou anatano owari wo se ni
小さな願いずっと
chiisa na negai zutto
覚えているから 笑顔で居るから
oboe teirukara egao de iru kara
届け二人を繋ぐ星の無い夜に
todoke futari wo tsunagu hoshi no nai yoru ni


当たり前の日々がありふれた喜びが輝いて見えて
atarimae no hibi gaarifureta yorokobi ga kagayai te mie te
もう戻れない 戻らない事だけれど 何度も…
mou modore nai modora nai koto dakeredo nando mo ...


今触れたい もう一度触れたい 静かに目を閉じたままの
ima fureta i mou ichido fureta i shizuka ni me wo toji tamamano
冷たい頬が  痩せた身体が こんなにも 悲しいほど美しいから
tsumeta i hoo ga yase ta shintai ga konnanimo kanashi ihodo utsukushi ikara


そして僕はまた歩き出す
soshite bokuha mata aruki dasu
そう あなたの終わりを背に
sou anatano owari wo se ni
あなたとの想い出少しここに置いていくから
anatatono omoide sukoshi kokoni oi teikukara
忘れないように
wasure naiyouni


I’ll always love you…
I ' ll always love you ...


生きると言う事は失うと言う事 あなたも僕も
iki ruto iu koto ha ushinau to iu koto anatamo boku mo
生きると言う事は失うと言う事 だから最期に伝えたい
iki ruto iu koto ha ushinau to iu koto dakara saigo ni tsutae tai


あなたと共に生きれて良かった
anatato tomoni iki rete yoka tta
確かな証の中で
tashika na shou no naka de
その声と 柔らかな笑顔と 呼び合う事
sono koe to yawara kana egao to yobi au koto
もう出来ないけれど
mou dekina ikeredo
そして僕はまた歩き出す
soshite bokuha mata aruki dasu
そう あなたの終わりを背に
sou anatano owari wo se ni
小さな願いずっと
chiisa na negai zutto
覚えているから 笑顔で居るから
oboe teirukara egao de iru kara
届け 二人を繋ぐ ()
todoke futari wo tsunagu hoshi no nai yoru ni

TRANSLATION :

The two of us from that time are dead, no matter how much we think back
we can no longer return, though it’s something that can’t be changed, so many times…

The warbling wind, the fragrant sunshine streaming through the trees,
since that day they’ve all changed colors,
I’ve been able to feel the seasons so many times, but you’re not by my side

And once again I walk
That’s right, because with your end in the background
I’ll always remember that small wish,
I’ll have a smile on my face,
so please reach on this starless night that connects the two of us!

The familiar happiness of those ordinary days seems to shine
but we can no longer go back, though it’s something that can’t be undone, so many times…

Now I want to touch you, I want to touch you one more time,
’cause your cold cheeks, your slim body
I see with my eyes closed quietly is so beautiful it just breaks my heart

And once again I walk
That’s right, because with your end in the background
I’ll place a few of my memories with you here,
so that I won’t forget

I’ll always love you…

To live is to lose, both you and I
To live is to lose, so in the end I want to tell you

I’m happy I was able to live alongside you,
amidst certain proof
that voice and gentle smile and calling out to each other,
even though we can’t do that anymore,
And once again I walk
That’s right, because with your end in the background
I’ll always remember that small wish,
I’ll have a smile on my face,
so please reach on this starless night that connects the two of us!

YUI – Blue wind (Indonesian translate)

YUI – Blue wind
Album: FROM ME TO YOU

Romaji

Naze? Anata wa sonna Fuu ni katarun darou?
Damatteru konna atashi ni…
Kibou datte kitto Anata yori tsuyoku motteru
Kotoba ni wa dekinai

Nagusame ni kite iru tsumori na no ka na?
…arigato

YOU anata ga itta JOOKU hitotsu mo warae nakatta
YOU demo yasashi kata Anata no koto ga wakatta

Hatsumeika wa erai hito dato oshierareta
Doryoku suru mono wo umidasu
Demo sore ni muraga tte yuku hito-tachi koso
Kashikokute nagaiki da

Kuyashikute nai tari suru nomo chigau
…kaze no na ka

YOU anata ga itta Kami-sama wa kitto miteru yotte
YOU hajimete waraeta Motto ki no kiita koto itte yo

Hajimete tsukutta uta
Tokidoki hitori kuchizusamu
Wasure sou ni nattara
Ano hi no atashi wo sagasu no
Datte tadoritsukitai basho wa
…kawara nai

YOU anata ga itta Kami-sama no hanashi mo ima wa
YOU shinjite miru yo Utau koto shika dekinai
mou daijoubu yo
Atashirashiku ikite iyou

Terjemahan Indonesia


Kenapa? Kenapa kau berbicara seperti itu?
Saat aku tak mengatakan apapun
Aku percaya harapanku pasti lebih kuat daripadamu
Tapi aku tak bisa mengungkapkannya dalam kata-kata

Bukankah kau datang untuk membuatku nyaman?
Terima kasih..

Kau, aku tak bisa tersenyum pada lelucon yang kau ucapkan
Kau, tapi aku tahu kau melakukannya agar terlihat baik

Aku telah mempelajari bahwa penemu adalah orang hebat
Mereka berusaha menciptakan hal yang membantu kita
Tapi mereka sebenarnya adalah kerumunan orang pintar
yang berharap untuk hidup panjang

Bahkan air mata penyesalan itu berbeda
di dalam angin…

Kau, kau bilang Tuhan pasti memperhatikan kita
Kau, tersenyum pertama kalinya, mengatakan hal yang masuk akal

Kadang aku sendirian menyanyikan
Lagu yang pernah aku tulis
Jika aku mulai lupa
Aku akan mencari diriku yang dulu
Tapi tempat yang ingin aku kunjungi
tak ada yang berubah…

Kau, sekarang aku akan mencoba untuk percaya pada apa yang kau katakan tentang Tuhan
Kau, yang bisa aku lakukan hanyalah bernyanyi
Tidak apa-apa..
Aku akan hidup dengan caraku..

Source : Indonesia Love YUI

An impressive POSTER

Haloo :)
Lama tidak ngepost,
kali ini hanya ingin menampilkan karya dari kelas saya lagi.
Sebuah Poster!
Ya, poster untuk menyambut Bupat Sukoharjo di SMA kami, tapi sayang nya enggak menang :(
Tapi enggak apa2, soalnya menurutku poster kita udah keren kok >u<, pake banget!!

Ini Dia . . . .






Poster dengan tema HIV/AIDS ini diciptakan oleh teman kami, Juniar Ikhsan :)
Thank you^^

 Classix (XI IPA 6 SMANSA) : https://www.facebook.com/groups/155024157969313/

see you ...


Sabtu, 26 Januari 2013

Stasiun dan Kenangan

Sore itu, aku berjalan sembari menenteng case gitarku beserta sebuah koper berukuran besar menuju stasiun di kota Osaka, tempat tinggalku semula. Perasaan bimbang masih melekati jiwaku sebelum aku memutuskan untuk meninggalkan tempat kelahiranku ini. Tentu saja aku memiliki alasan kuat mengapa aku harus melakukan ini semua. Di saat derap langkahku berarah memasuki stasiun, tiba  tiba seseorang meneriakiku dari belakang.

“Tomo?”

Kulihat seorang laki – laki remaja yang sudah tak asing lagi bagiku, berlari ke arahku. Ia terlihat sangat terburu – buru.

“Yume, kau mau kemana?” Tanyanya terengah – engah ketika ia berhasil menyusulku, sembari mendekap lututnya kelelahan.

“Ke Tokyo. Aku ingin melanjutkan kepastian masa depanku di sana. Aku ingin meraih cita – citaku.” Jawabku penuh keyakinan.

“Benarkah? Kenapa secepat ini? Bahkan kau tidak berpamitan denganku?” Perkataan memelasnya membuatku terpukul begitu dalam. Tomo, teman masa kecilku, yang senantiasa mendampingiku hingga saat ini. Aku baru sadar bahwa aku akan merasa  kesepian tanpanya, menyedihkan sekali. Tapi aku juga tak ingin terombang – ambing dalam kehidupan tanpa kepastian seperti ini.

“Maaf aku hanya tidak ingin membuatmu sedih.”

Tak lama kemudian kudengar sebuah suara menandakan datangnya kereta api membuat perasaanku semaikin tak menentu. Sepertinya aku baru saja disuguhi dua pilihan yang sama – sama penting, antara Tomo atau terlambat memasuki kereta. Apalagi aku adalah salah satu penumpang di dalamnya. Sontak aku langsung berlari ke arah stasiun, hingga membuatku lupa berpamitan dengan Tomo yang terlambat mencegahku.

“Aku akan kembali nanti.” Teriakku sambil melambaikan tangan ke arahnya meski suaraku terdengar tidak jelas karena berlarian.

Tidak sempat aku mengetahui ekspresi Tomo. Yang ada di pikiranku, aku berharap tidak terlambat dan  membuatku ketinggalan kereta. Aku mengeluarkan seluruh tenagaku untuk berlari sekencang – kencangnya. Dan akhirnya aku berhasil memasuki area stasiun. Tidak jauh dari keberadaanku, ku lihat kereta api tujuanku sudah diserbu oleh para penumpang lain. Tanpa menunggu terlalu lama, aku segera menuju ke arahnya. Nyaris saja kereta api itu sudah mulai bergerak, namun ternyata, Tuhan mengabulkan harapanku, aku berhasil memasuki lorong kereta tersebut. Lega sekali. Ku tapakkan kakiku di atas lantai kereta mencari nomor tempat dudukku, dan aku menemukannya, tepat di samping laki – laki tua yang sedang terlelap tidur.

Aku memposisikan dudukku sepelan mungkin berharap tidak membangunkannya. Kemudian kuletakkan koperku beserta case gitarku di tempat tas sebelah atas kereta tersebut. Sejenak, kuistirahatkan tubuhku yang sudah basah oleh keringat, efek dari berlarian tadi, dan sialnya lagi, sekarang kakiku mulai terasa pegal. Tiba – tiba dalam suasana ini Tomo kembali hadir di pikiranku beserta kehidupanku di Osaka sebelumnya. Tapi, apa boleh buat, sudah kuambil keputusan ini matang – matang. Aku tak mungkin membiarkan ragaku berada di panti asuhan terus menerus setelah perpisahan antara kedua orangtuaku sebelumnya.

Mereka sama sekali tidak mempedulikan diriku ketika keluarga berantakan itu masih saling terikat. Apalagi setelah kehancurannya, perihnya hati semakin terasa ketika tak ada yang menanyakan keberadaanku ataupun sekedar membahas kelangsungan hidupku selanjutnya. Mereka terlalu egois, pikiran mereka hanya kepentingan diri sendiri, kemudian tanpa perasaan sedikitpun, pergi dengan pasangan mereka masing – masing. Sementara aku? Aku berubah menjadi anak sebatang kara.

Sempat terpikir olehku, bagaimana bisa aku terlahir di tengah kehancuran keluarga seperti ini. Dan hatiku sering bertanya – tanya, bagaimana rasanya memiliki keluarga harmonis seperti teman – temanku, yang dengan polosnya menggambarkan kehidupan keluarga mereka ketika bersekolah dulu. Aku benar  -benar tidak tahan, kesabaranku terkalahkan oleh perasaan iri yang memuncak. Hanya Tomolah yang mengerti kondisiku saat itu. Dia seperti cahaya yang membangkitkanku dari keterpurukan dan menyinariku dari kegelapan dunia. Tapi sekarang, aku akan hidup sendirian tanpanya.
Namun di balik itu semua, aku sadar bahwa aku juga harus maju, aku tak ingin berlarut – larut dengan penyesalan berselimut kesedihan dalam masa laluku ini. Aku ingin meninggalkan hari kemarin dan maju menuju esok yang lebih cerah, esok yang penuh kesempatan untuk meraih kebahagiaan.


***


Keributan derap kaki penumpang membangunkanku yang sebelumnya tengah tertidur lelap sekali. Segera saja, aku membuka kelopak  mataku dengan beratnya. Rasa kantuk dan malas tentu saja masih bersarang di ragaku. Namun semuanya terusir ketika menyadari, aku sudah sampai pada tujuanku, Tokyo. Sesegera mungkin aku merapikan barang  -barangku untuk berjalan keluar kereta  seperti penumpang lain.

BRRUKKK..

Ah, sial bisa – bisanya aku terjatuh hanya karena  turun dari kereta. Aku berusaha untuk bangkit, tapi kenapa susah sekali? Sepertinya kakiku terkilir, hingga kulihat seseorang menjulurkan tangan ke arahku, menawarkan pertolongannya. Dengan terpaksa, aku meraih tangan orang yang belum kukenali itu. Saat aku mulai dapat bangkit dan berdiri sempurna, aku menatap pria itu untuk mengucapkan terima kasih. Tapi ternyata pertanyaannya mendahului niat dalam hatiku.

“Kau tidak apa – apa, kenapa bisa jatuh?” Tanyanya khawatir.

“Aku baik – baik saja. Mungkin karena aku tidak fokus.Terima kasih telah menolongku.” Jawabku sembari membungkukkan badan.

“Sepertinya kita harus lekas pergi dari tempat ini, kamu menghalangi penumpang yang akan keluar dari kereta.” Pernyataan yang  tiba – tiba itu membuatku tersentak kaget, segera aku berjalan cepat untuk pergi dari sana, sebelum aku menengok ke belakang untuk memastikan kebenaran perkataan laki – laki tadi. Dan pantas saja, semua orang, menatapku saat itu. Ah, malu sekali.

“Oh ya. Kita belum berkenalan, namaku Ray.” Ujarnya sembari menjulurkan tangan yang sama saat menolongku tadi, ke arahku.

“Aku Yume senang bertemu denganmu.” Jawabku ramah, kemudian menyambut tangan itu.

“Kamu mau kemana setelah ini.” Tanyanya kembali. Aku tidak tahu harus membalas apa, karena aku juga tidak terlalu mengetahui mengenai Osaka, bahkan sama sekali tidak tahu.

“Tidak tahu, ini kali pertama aku kesini.” Jawabku jujur.

“Oh, berani sekali kamu datang sendirian. Apa tujuanmu?”

“Emm, berharap aku dapat memperbaiki hidupku dengan menyanyi dan bermain gitar.”

“Oh? Kau bisa menyanyi. Boleh aku dengar?”

Permintaan laki – laki ini tidak aku ladeni seperti sebelumnya. Tiba – tiba aku berpikir mengapa dia ingin sekali mengetahui kehidupanku lebih dalam, sampai – sampai menyuruhku bernyanyi. Padahal kita kan belum saling kenal sebelumnya. Bagaimana jika dia orang jahat?

“Hei? Kenapa melamun?” Ucapannya menyadarkan lamunanku mengenai laki – laki tadi, mengenai pikiran – pikiran buruk tentangnya.

“Oh, kenapa kau tiba – tiba ingin mengetahui semua tentangku?”

“Oh, jadi kamu khawatir jika aku adalah orang jahat atau semacamnya?” Ucap laki – laki  itu sembari tertawa pelan, ia berhasil menebak pikiranku. Aku hanya terdiam, kemudian disusul perkataannya kembali.

“Tenang, ini kartu namaku.” Dia menyodorkan secarik kertas tebal berukuran kecil itu. Setelah ku baca isinya, aku merasa sedikit lega.

“Jadi anda seorang produser?” Tanyaku senang saat menyadari bahwa aku sudah menemukan orang yang sedang aku cari sejak awal.

“Iya, boleh aku mendengar suaramu? Aku bisa membantumu meraih impianmu itu.”

“Boleh, bisakah aku bernyanyi di sana.” Ujarku sembari menunjuk di salah satu sudut stasiun tempatku berada. Permintaanku dibalas anggukan oleh laki – laki tadi. Kami segera berjalan ke sana diiringi perasaan penuh harapan yang tumbuh indah di hatiku.

Aku mengambil posisi duduk bersila di atas lantai tak berkarpet tersebut. Ku buka case gitarku perlahan kemudian mulai memetiknya,memainkan sebuah intro. Aku menikmati perform pertamaku di stasiun ini. Semakin aku bernyanyi terlalu lama, semakin aku menikmati lantunan lagu yang sedang kusenandungkan ini. Mataku terpejam berusaha mendalami lagu ini, Tomorrow’s Way, lagu milik YUI, penyanyi terkenal yang sangat aku idolakan.

Plok … Plok …. Plokk…

Tepuk tangan meriah tiba – tiba memenuhi sekeliling tempatku bernyanyi. Saat mataku terbuka, betapa kagetnya aku ketika kudapati kerumunan orang berada di depanku bersamaan tepuk tangan mereka yang ternyata telah menonton performku tadi.

“Terima kasih.” Berulang kali aku mengucapkan terima kasih kepada mereka, karena apresiasi yang mengagumkanu baru saja. Benar – benar tak habis pikir.

“Selamat mulai saat ini, kamu terdaftar ke dalam label kami.”


****


Bulan demi bulan. Aku menikmati kehidupan bahagia ini, kehidupan baru seorang Yume, yang dulunya hanya seorang anak penghuni panti asuhan. Aku menjadi penyanyi baru yang sedang digandrungi banyak orang, khusunya remaja. Mereka bilang suaraku indah, tapi aku tidak berpikir seperti itu. Aku menyadari masih banyak yang lebih hebat daripadaku.

Aku memanjakan tubuhku sejenak di atas kasur hotel tersebut. Maklum saja, akhir – akhir ini, aku sedang melakoni banyak tawaran bernyanyi. Tak heran, jika akhir – akhir ini pula, aku menjadi mudah sekali lelah. Panggung demi panggung, seentero Jepang, sudah banyak kusinggahi. Saat inilah, aku menyadari jika cita – cita kecilku telah tercapai. Tiba – tiba bayangan seseorang menghinggapi pikiranku, Tomo. Entah ada angin apa, aku sangat merindukannya, sahabat kecilku tersebut. Bagaimana kabarnya sekarang? Ku ambil ponsel pink yang tergeletak di atas meja itu, kemudian aku mulai menggerakkan jemari tanganku, mengetikkan sebuah pesan singkat.


Hai, Lama tak berjumpa. Bagaimana kabarmu?


Aku menunggu balasan pesan singkatku gundah. Kerinduanku dengan sahabat kecilku itu sudah amat terasa. Hingga akhiranya terdengar getaran pada ponselku, saat kutatap layar ponselku yang menyala, senyumku tersungging lebar ketika mendapati nama ‘Tomo’ terpampang di sana. Lekas, aku mengambilnya dan mulai membuka pesan singkat tersebut.


Baik – baik saja. Bagaimana dengan kehidupan barumu di Tokyo. Tidakkah timbul keinginan untuk mengunjungiku? Aku merindukanmu Yume.


Kalimat balasannya tersebut membuatku tak kuasa menahan kesedihan. Andai dia tahu bahwa di sini aku juga merindukannya. Tapi, semua keinginan – keinginan manis itu dengan mudahnya terhalang jadwal padat milikku.


Tunggulah di stasiun minggu depan. Aku akan menemuimu.


Aku tidak menghiraukan jadwal apa yang harus kulakukan minggu depan. Tapi keinginanku untuk bertemu Tomo lebih cepat sudah amat ingin kulakukan. Aku harap aku bisa meminta izin libur sebentar pada label.

Seminggu kemudian . . .

Betapa sedihnya ketika aku harus menerima fakta bahwa aku hanya memiliki kesempatan satu hari untuk libur. Bagaimana bisa, aku mengobati rinduku dengan Tomo? Tapi aku tak ingin melewati kesempatan ini sia - sia. Lebih baik bertemu sebentar, daripada tidak sama sekali bukan? Aku menyiapkan diriku sebaik mungkin pagi itu. Kudandani wajahku secara natural, namun tetap terlihat cantik. Selain itu, aku juga menyiapkan kebutuhan yang kira – kira kuperlukan untuk berada di Osaka selama satu hari. Sepertinya tidak terlalu banyak, jadi aku memutuskan untuk membawa tas kecil saja.

Entah kenapa, aku merasa senang sekali untuk bertemu dengan Tomo. Mungkin aku sudah teramat merindukannya, sekaligus menyayanginya. Aku sadar kebaikan selama menemaniku dari keterpurukan masa laluku sangatlah mulia. Itulah sebabnya aku tak akan sanggup melupakan Tomo, selamanya.

Setelah semuanya siap, kali ini aku akan berangkata sendiri tanpa didampingi oleh manager ataupun pihak label. Aku juga berharap tidak ada yang mengetahui keberangkatanku, sehingga aku akan merasa nyaman nantinya. Stasiun pagi itu sudah terlihat ramai seperti biasa. Keberangkatanku untuk menjadi penumpang kereta kembali memutar memori lama, mengundang nostalgia. Masih teringat di benakku,  stasiun inilah awal dari diriku yang sekarang, stasiun ini pula yang memberikanku pagi yang penuh harapan, pagi yang penuh kesempatan untuk meraih kebahagiaan.

Perjalanan ke tempat tinggalku di Osaka menjadi terasa sangat cepat, ketika aku menyadari bahwa matahari sudah berada di atas sana, menandakan siang sudah menggantikan pagi. Aku menengokkan kepalaku ke arah jendela kereta. Tepat sekali, aku telah menemukan pemandangan Osaka yang dulu. Rasanya, aku ingin cepat – cepat turun dan menginjakkan kakiku di sana. Namun, pikiranku mendadak mengingat Tomo kembali, segera kuraih ponsel di kantong jaketku lalu mengetikkan pesan singkat untuknya kembali.


Aku akan tiba di Osaka. Aku harap kamu menjadi orang pertama yang aku temui.

Kereta telah tiba di Osaka, gejolak hatiku lama kelamaan berubah damai bak ditumbuhi bunga – bunga musim semi yang menyejukkan. Aku merindukan Tomo, sangat merindukannya.

Ketika kereta sudah berhenti di stasiun, sesegera mungkin aku menginjakkan kakiku turun dari kereta, selanjutnya membawa langkahku keluar dari stasiun. Dugaanku tepat sekali, ketika mataku menangkap sosok Tomo yang sedang berdiri tak jauh dari stasiun. Sesegara mungkin aku berlari ke arahnya, ku lihat ekspresi gembira terlukis di wajahnya sama denganku. Ku peluk Tomo seerat mungkin berusaha menghapus kerinduanku dengannya walau hanya sejenak.

“Aku merindukanmu, Yume.” Nada bicaranya terdegar lirih sekali di telingaku, seperti berbisik. “Aku menyayangkan detik – detik keberangkatanmu dulu.” Perkataannya barusan membuatku heran.

“Maksudmu?” Ucapku melepaskan pelukannya kemudian menatap mata sendunya tersebut.

“Aku takut jika aku terlambat. Aku ingin mengatakan jika, Aku menyukaimu.”

Perasaan Tomo yang dilantunkan baru saja membuatku tersentak kaget. Aku tidak menyangka bahwa sahabat kecilnya itu memiliki perasaan sayang kepadanya lebih dari sahabat. Aku hanya dapat terdiam lama sekali, entah aku harus merasa sengan ataupun sedih mendengar kenyataan ini.

“Apa sudah ada orang lain yang mengatakan ini lebih dulu?” Suara Tomo terdengar makin lirih, tidak terlalu jelas terdengar. Tapi aku mengerti makna yang ia katakan baru saja.

“Belum. Karena aku hanya mengharap sosokmu. Tidak ada orang lain yang mengerti perasaanku sedari kecil, tidak pula ada yang memperdulikan keberadaanku dalam kegelapan masa kecilku hingga sekarang. Kecuali kamu, hanya kamu yang kurindukan saat aku di Tokyo. Tomo”

Aku tidak terlalu mengerti, mengapa kalimat pengakuan itu tiba – tiba mengalir begitu lancarnya dari bibirku. Namun aku tau, kalimat itulah yang selama ini hanya bisa kupendam, yang hanya aku dan hatiku yang mengetahuinya. Sekarang aku lega, orang yang kusimpan dalam hatiku selama ini, bisa mengetahui perasaanku padanya. Tak terasa sebulir air mata sudah membasahi pipiku.

“Aku tidak akan lama berada di sini. Aku tidak bisa tinggal di sini, Tomo. Aku ingin pergi dari Kenangan gelap masa kecilku di Osaka. Aku sudah berhasil melupakannya ketika aku di Tokyo, dan aku tidak ingin mengingatnya kembali.” Ujarku sembari mengusap buliran air mata itu.

“Aku berjanji, suatu saat nanti aku akan menyusulmu.” Ujar Tomo yakin, sebelum ia mendekapku penuh kehangatan.


- THE END -

Selasa, 22 Januari 2013

Aku dan Mimpi – mimpiku



Ku tempel kertas bertuliskan “OSN Kimia” itu tepat di dinding kamarku. Genap 10 impianku tercapai tahun ini. Ku tatap lagi mereka, mimpi – mimpiku yang berhasil teraih. Hingga pandanganku terpusat di sebuah poster yang menghias di dindingku pula.

Paris . . .

“Ahh, mana mungkin aku bisa ke sana?” Gumamku ragu – ragu. Hingga akhirnya ku tatap gambar Menara Eiffel tersebut lekat – lekat.

“Pasti bisa.” Ku yakinkan diriku sendiri. Aku mempercayai kekuatanku, kekuatan Tuhan yang telah diberi. Suatu saat nanti aku pasti berhasil meraihnya seperti mimpi – mimpiku sebelumnya.

***

Tet . . Tet. . Tet . .

Akhirnya bel istirahat itu berbunyi, sepertinya waktu itulah yang telah dinantikan para siswa di kelas ini, termasuk aku. Bosan sekali, mendengar Guru Bahasa Indonesia yang baru keluar tadi berceletuk di depan kelas, apalagi dengan suara yang jauh dari kata keras. Bukankah itu membuat kami mengantuk? Tapi ya sudahlah, untuk memahami pelajaran, salah satu syaratnya ialah kita harus mencintai guru.

‘AKU CINTA GURU’  Gumamku dalam hati sembari tersenyum sendirian di bangkuku, Tiba – tiba seorang teman menepuk pundakku dan berhasil menyadarkanku dari lamunan konyolku tadi.

“Wooyy, senyum – senyum sendiri, Kenapa? Jangan sampai anak – anak yang lain meragukan kesehatanmu ya? Hehehe.” Ujar Nia dengan gamblangnya, Temanku ini memang sangat terbuka, jadi wajar jika bicaranya cenderung ceplas – ceplos. Tapi, dia adalah sahabat karibku, aku menyayanginya sekaligus menghargai sikapnya tersebut.

“Kau ini.” Balasku agak sedikit kesal.

“Mau ke kantin?” Tawarnya penuh semangat.

“Ahh, tidak, aku sudah sarapan nih.” Jawabku sembari menyunggingkan senyum termanisku, walau niat dalam hati ialah penolakan.

“Yah, kau ini, apa tidak ada aktivitas lain selain membaca buku?” Ekspresinya berubah cemberut.

“Tidak.” Jawabanku sukses membuatnya semakin kecewa. Walaupun begitu, aku senang bisa menggodanya setiap hari.

“Ok, selamat belajar, kutu buku.” Ucapnya sekali lagi sambil menjulurkan lidahnya sebelum langkahnya bergerak membelakangiku dan membawanya pergi ke luar kelas.

Aku hanya bisa menggeleng – gelengkan kepalaku melihat tingkah konyolnya itu.


Pulang sekolah tiba . . .

Seperti biasa aku dan Nia berjalan menuju rumah yang terbilang berjarak cukup dekat dari sekolah. Tak ketinggalan, selama berjalan berdua, obrolan – obrolan mengiringi setiap langkah kami.

“Dit, main yuk.”  Tawar Nia untuk kesekian kalinya. Dia sepertinya tidak dapat kehabisan ide untuk membujukku, walau seringkali jumlah tawarannya tidak seimbang dengan penolakanku yang menduduki prosentase lebih besar. Kadang, aku juga merasa tidak enak hati.

“Yah, kamu tidak dengar Bu Khusnul tadi? Lusa ada ulangan Matematika?” Lagi – lagi aku menolaknya.

“Sebentar sajalah, kan belajarnya bisa besok.” Bujuk Nia memohon.

“Maaf Nia, tidak bisa. Kalau aku nggak bisa ngerjain, aku pasti menyesal berminggu – minggu.”

“Apa kau juga menjawab tidak jika aku mengajak Nicholas?”

Pernyataan itu sukses mebuatku terpatung di tempat. Nicholas, teman SMPku dulu, mendadak pikiran beralih mengingat sosok Nicholas. Aku tak bisa mengelak jika aku menyukainya dulu bahkan hingga sekarang. Aku terdiam begitu lama. Kutimbang – timbang ulang penolakanku tadi, dan sekarang kegalauan mulai menyusul menambah suramnya suasana antara memilih Nicholas atau belajar.

***

Aku harap aku tidak salah mengambil keputusan ini dan menyesal kemudian. Kali ini, Nia mengajakku pergi ke sebuah kafe. Kami berbincang – bincang banyak mengenai diri kami masing – masing, atau sekedar bersenda gurau dan yang pasti tentang Nicholas, teman SMP sekaligus cinta pertamaku. Aku belum dapat mengartikan rasa ini, entah kenapa ketika namanya terngiang di otakku, keinginan bertemu dengannya selalu muncul bahkan di saat waktu yang tidak tepat sekalipun.

“Apa kau sudah bertemu Nicholas sebelumnya?” Tanyaku mengubah topik pembicaraan.

“Ahh, sepertinya kau sudah rindu ya, aku bertemu dengannya seminggu yang lalu dan segera merencanakan untuk main bersama seperti ini, jadi aku mengajakmu saja?” Jawabnya berniat menggoda.

Aku tak merespon jawaban Nia. Jujur saja, aku lega bisa mengetahui kabar tentangnya, terlebih mengetahui bahwa Nicholas baik – baik saja. Ingin sekali segera berjumpa dengan sosoknya yang sekarang, masihkah setampan dulu. Tidak lama setelah imajinasiku mulai berkembang, tak sengaja cahaya mataku menatap sosok yang menurutku sudah tak asing lagi, sosok yang kutunggu – tunggu selama ini.

“Hei Nicholas!” Panggil Nia kepada sosok yang ku maksudkan tadi.

Nicholas segera menghampiri kami setelah dia menampakkan senyum manisnya itu. Senyuman yang sama seperti 3 tahun yang lalu.

“Hai, apa kabar?” Nia menyapanya ramah yang kemudian mengambil posisi di dekatku. Ternyata tak banyak perubahan dalam dirinya. Sementara jantungku mulai berdegup lebih kencang diselingi kegugupan yang mulai merambah sekujur tubuhku.

“Baik. Bagaimana dengan kalian?” Ujarnya berbalik Tanya.

Tidak seperti Nia yang menjawabnya ceria , aku hanya memberi jawaban dengan anggukan kecil tak lepas dari kegugupan yang masih hingap di ragaku bahkan pipiku pun mulai memerah.

“Aku ke toilet dulu ya.” Lagi – lagi Nia membuatku mati kutu. Bagaimana bisa meninggalkanku sendirian dengan Nicholas, hanya berdua. Aku terpaksa mengiyakannya, semakin jauh dia berjalan, tak terasa sosoknya cepat sekali lenyap di balik dinding. Dan sekarang, Kepanikan mulai menyerangku.

“Dita, aku ingin memberimu sesuatu.” Kalimat Nicholas mebujukku menatapnya untuk yang pertama kali setelah aku menunduk terlalu lama.

“Apa?” Kutanyakan sebuah kata untuk yang pertama kalinya pula, walaupun terasa berat.

Kulihat tangannya sibuk merogoh kantong kanan pada jasnya, dan di letakkan benda berwarna pink itu di atas meja, sebuh surat. Aku terbelalak kaget. Bukankah itu surat yang kuberikan kepadanya 3 tahun yang lalu? Dan hingga sekarang, masih ia simpan. Tak lama setelah itu, dia berbicara,

“Aku menerimanya. Maaf aku baru bisa membalas perasaanmu, Apakah aku terlambat?”

Oh Tuhan, Apakah aku sedang bermimpi? Dia juga memiliki rasa yang sama denganku. Benar – benar tidak habis pikir. Ku ambil surat cinta itu lalu kudekap di depan dadaku, kutundukkan kepalaku kembali untuk meyakinkan bahwa ini bukan mimpi, dia menyukaiku.

***

Satu bulan kemudian . . .

“Kamu turun peringkat? Bagaimana bisa?”

Entah gejolak apa yang menyelimuti hatiku saat itu ketika harus menerima amarah dari kedua orang tuaku, terutama ayahku.

“Maaf Ayah. Dita juga sedih.” Ujarku terisak, aku benar – benar tidak mampu menahan air mata yang dari tadi terus – menerus mendesak keluar.

“Kamu enggak belajar? Apa kamu pacaran?” Bentak Ayah lebih keras. Aku sudah  tak dapat berkutik untuk menyembunyikan semua fakta ini. Fakta ini benar – benar mendustai kedua orang tuaku, ingin rasanya mengatakan yang sebenarnya, tapi aku tidak sanggup.

“Jawab Ayah!!!”

“Iya.” Terpaksa aku melontarkan kata ini. Kata yang membuat keberadaanku menjadi semakin terpojok, yang selanjutnya omelan – omelan menyakitkan itupun meledak kembali.

“Ya ampun Dita. Sudah Ayah bilang, jangan pacaran dulu sebelum lulus SMA, itu akan mengganggu belajarmu, Lihat raportmu, semula kau menjadi bintang kelas, dan sekarang 10 besarpun tidak kau peroleh? Kau Ingat, sebentar lagi kamu akan menghadapi UN dan sukses tidaknya masa depanmu semakin dekat, tak bisakah kau sadari. Bersabarlah, Dita. PUTUSLAH DENGAN PACARMU ITU.”

“Tapi Ayah . . .”

“Lebih menyayangi Ayah atau Dia.” Segera mungkin Ayah melangkah cepat meninggalkanku yang tak kuasa menahan isak tangis. Aku berlari kencang menuju kamarku, kemudian kurebahkan tubuh keras. Aku menangis sejadi – jadinya kala itu. Aku baru sadar, ternyata hubunganku dengan Nicholas akan menumbangkan semua mimpi – mimpiku. Ini pun kesalahanku, waktu berhargaku lebih banyak kuhabiskan dengannya daripada belajar. Jika aku tidak menuruti egoku, pasti semua akan baik – baik saja. Aku juga sadar, aku terlalu egois, aku hanya memikirkan diriku sendiri, tidak sekalipun memikirkan mereka, kedua orang tuaku yang sudah jelas – jelas mendidikku mati – matian hingga saat ini. Namun apa yang ku balas? Aku malah berbuat menyimpang.

Tapi dari semua fakta itu, aku juga mencintai NIcholas, entah ini hanya perasaan sayang semata, atau perasaan sayang yang nyata.

‘Masihkah ada kesempatan untukku?’

***

Hari ini, Kuputuskan untuk bertemu Nicholas, aku belum tahu apa yang harus ku katakan nantinya. Namu aku berharap dia mengerti mengenai masalahku dengan orang tuaku semalam. Aku memutuskan untuk tidak memberitahunya mengenai kedatanganku kali ini. Aku tidak ingin dia mencemaskanku yang tiba – tiba akan singgah ke rumahnya.

Semakin lama aku berjalan, semakin dekat langkahku dengan rumah Nicholas. Tapi, tak seperti biasanya, pintu gerbang rumah Nicholas terbuka dan aku juga mendapati mobil terparkir di dalamnya, menurutku itu bukan mobil Nicholas. Tanpa memencet bel terlebih dahulu, aku langsung memasuki rumahnya. Keganjalan mulai terlihat kembali, ketika aku mendapati pintu rumahnya juga terbuka. Perasaan penasaran sekaligus khawatir berbaur menjadi satu. Kuputuskan untuk membuka pintu rumahnya tersebut dan…

‘Apa yang ku lihat ini?’

“Dita? Sejak kapan kau di sana?” Nicholas menatap kedatanganku shock. Bukannya aku yang seharusnya merasa shock melihat pemandangan memuakkan seperti ini. Dengan kedua mataku, kulihat kekasihku sendiri bermesraan dengan gadis lain.

“Jadi ini kamu yang sebenarnya? Dasar Munafik.” Bentakku kepada Nico tanpa mempedulikan gadis yang terlihat masih bingung dengan semua kejadian ini.

“Tunggu, aku bisa jelaskan.” Nicholas berusaha menahanku. Namun tentu saja aku mengelaknya.

“Aku salah memilihmu, Nico.”

Itulah kalimat terakhirku sebelum aku meninggalkan Nicholas dan gadis selingkuhannya tadi. Aku beranjak pergi dari tempat laknat itu kemudian berlari sekencang – kencangnya, lari, dan terus berlari, tak peduli lelah yang mulai diderita kakiku. Yang aku inginkan saat ini adalah menghilang dari kenyataan pahit yang menimpaku dengan kejamnya. Bagaimana mungkin? Orang yang kucintai ialah orang yang menghianatiku.

Kini, kelelahan sudah tak dapat ku tahan lagi. Aku memutuskan berhenti di sebuah tanah lapang. Aku ingat, tempat ini adalah tempat yang aku datangi pertama kali ketika aku memberikan surat itu kepada Nicholas. Dan sekarang, aku datang sendirian tanpa cinta tulusnya melainkan hanya luka nyata terperih yang aku dapat. Aku payah, benar – benar payah, bisa – bisanya tertipu oleh kata – kata manis yang menjerumuskan itu. Lalu, apa gunanya aku menyita waktuku hanya untuknya, menghianati ayahku hanya untukknya, bahkan merelakan kegagalanku hanya untuknya. Semuanya sia  -sia, aku menyesal.

“Ini pelajaran untukmu sayang.”

Suara itu, kutengok ke arah sumber suara dan kudapati ibuku sudah berada di belakangku. Lekas aku memeluknya dan menangis di dekapannya. Kucurahkan semua sakit hatiku dan tangis yang sebelumnya aku pendam sendiri.

“Wanita baik sepertimu, tidak cocok untuk bersanding dengan laki – laki licik seperti dia. Percayalah akan ada yang lebih baik untukmu nanti. Kau hanya harus bersabar sayang. Lihat langit biru di atas sana.”

Ku usap air mataku, kutengadahkan kepalaku ke atas, menatap lagit biru indah itu.

“Selama langit biru itu masih di atas, kau masih memiliki kesempatan berharga lainnya karena kehidupan akan terus berjalan, tidak ada kata terlambat untuk terus maju. Berjuanglah apapun yang terjadi.”

“Tapi aku sudah gagal ibu, aku kalah.” Jawabku murung.

“Jangan pernah berkata gagal, karena kegagalan hanya untuk orang – orang yang menyerah dan kalah. Bukankah kau masih memiliki mimpi – mimpimu yang dulu?”

Seketika aku teringat mereka, impian – impian besarku. Seperti sebuah kilas balik menayangkan di saat aku bekerja keras untuk meraih satu demi satu cita – cita yang kuimpikan, dan betapa gembiranya diriku saat aku meraihnya. Aku benar – benar  merindukan mereka, merindukan diriku yang dulu.

“Kembalilah pada dirimu yang dulu, kembali pada mimpi - mimpimu. Raih mereka kembali. Kami akan senang jika kamu bahagia kelak, Dita. Dan percayalah, Keyakinan dan cita - cita akan menjadi sebuah doa. Yakinlah pada dirimu sendiri, dan yakinlah bahwa Tuhan bersama orang – orang yang berusaha dan berdoa.”

“Ya, aku sadar ibu. Terima kasih.”


-TAMAT-