Dreaming in حلالا way. . .

Halaman

Cari Blog Ini

Apa sih artinya?

Sabtu, 23 Mei 2015

[Cerpen] Wo Ai Ni ALLAH



Suara bacaan Al quran itu kembali kudengar, entah mengapa aku sangat menyukainya. Aku pun bertanya-tanya, sebagai keturunan atheis, aku tidak diperkenalkan dengan adanya Tuhan dalam keluargaku. Namun, mengapa aku sangat nyaman mendengar lantunan Alquran tersebut?
“Hui Lan, maaf telah membuatmu menunggu.”Aku menengokkan wajahku ke belakang tepat ketika sahabatku itu mendekatiku.
 “Tidak, kok!” Jawabku tenang
“Oke. Makasih ya, sudah menemaniku sholat.”Ujarnya tersenyum
 “Nanti aku ajak ke toko buku mau tidak?”
“Boleh.” Jawab Cindy dengan ekspresi ceria seperti biasanya. Yang membuatku kagum adalah ketekunannya untuk selalu membaca kitab Alquran di setiap kesempatan. Aku tidak merasa terganggu, malah membuatku semakin ingin mendekatinya. Entah mengapa hati ini selalu luluh saaat bacaan-bacaan itu mengalir indah di telingaku. Mungkinkah?
Sesuai ajakanku tadi, aku dan Cindy langsung bergegas menuju toko buku terdekat sepulang kuliah. Pandanganku langsung menangkap satu persatu buku yang berjajar rapi di rak buku. Begitu pun dengan cindy yang masih sibuk mengamati novel-novel terbaru di sudut ruangan yang lain.
“Mengapa susah sekali mencari buku Psikologi Lingkungan di sini?”Ujarku sedikit berdehem.
Aku sudah hampir menyerah dan pergi dari sana sebelum kutemui buku yang tiba-tiba menarik perhatianku, sebuah buku yang tak ada hubungannya dengan Psikologi Lingkungan. Aku menariknya pelan. Buku bercover gadis bercadar dengan lampion-lampion khas  Cina itu membuatku ingin sekali mengetahui isi di dalamnya. Aku tahu, buku ini sediki mengandung unsur Islam. Namun, yang membuatkku penasaran adalah mengapa ada lampion di sekelilingnya? Apakah ada orang cina sepertiku yang berperan di dalamnya?
####
Kurebahkan tubuhku di atas kasur milikku dan mulai membuka buku yang kubeli baru saja. Mataku berputar-putar seiring deretan kalimat yang berjajar rapi di sana, berusaha mencerna satu per satu kalimat tersebut.
Deg Deg Deg...
“Hui Lan? Ayo kemari. Ayo mengaji!”
“Cindy mengapa kau di sana?” Ya, aku melihatnya, seorang Cindy dengan balutan kerudung warna putih terlihat anggun dan bersinar. “Ayoo.” Ajaknya lagi sembari melambaikan tangan ke arahku. Perlahan sosoknya pergi menjauh. Aku mencoba mengejarnya, namun ruangan ini seakan menghalangiku, muncul sinar yang semakin menyilaukan hingga membuatku tak bisa membuka mata dengan sempurna.
“Aaargh. Cindy” Aku terhenyak, berusaha mengatur kesadaran dan segera memeriksa sekelilingku. Tidak ada yang berubah.
“Ahh, ternyata hanya mimpi.” Aku berusaha mengatur napasku yang masih terengah setelah mendapati mimpi aneh tersebut. Aku menatap buku bersampul merah di pangkuanku, ada pikiran yang mengganjal di otakku. Gadis Cina itu akhirnya memeluk Islam.
“Aaarggh..” Aku memegang erat kepalaku yang tiba-tiba terasa sakit. Satu per satu pikiran ganjil memenuhi otakku. Pikiran tentang agama dan keberadaan Tuhan yang semakin membujukku untuk mempercayainya. Apa yang harus kulakukan?
Tok... tok....
“Hui lan, Ini mama.” Seorang wanita paruh baya tiba-tiba memasuki kamarku. “Kamu kenapa?” ujarnya kembali sembari mendekati posisiku saat itu. Aku tak merespon kedatangan Ibu Pikiranku masih berkecamuk tentang mimpiku baru saja.
“Ibu? Apakah Tuhan itu ada?”
Wanita itu terpaku tak bergerak. Raut mukanya berubah tegang, jelas menggambarkan ketidak sukaan dengan kata-kataku baru saja.
“Mengapa engkau berbicara seperti itu? Ibu tidak suka!” Jawab Ibu sedikit membentak,
“Ibu, entah mengapa hati Hui Lan mengakui kalau Tuhan itu ada?” Aku terus merajuk kepada Ibu, berusaha meyakinkannya. “Hui Lan ingin mengakui bahwa dunia dan alam semesta ini adalah milik Tuhan. Hui Lan ingin masuk Islam, Ibu.”
Kemarahan Ibu memuncak. Rautan emosi memancar dari wajah berkerutnya tersebut.
“Kamu ingin membantah Ibu? Lepaskan kepercayaanmu atau pergi dari sini. Ibu tidak segan-segan mengusir anak pembangkang sepertimu.”
“Tapi, bu...”
Sebelum  kulanjutkan kalimatku, Ibu sudah menarik tanganku keras dan menyeretku keluar dari kamar. Aku tidak menyangka, emosi Ibu akan setinggi ini, tapi aku sudah memantapkan keyakinanku untuk memeluk Islam. Aku tidak dapat berbuat banyak, Ibu sudah terlanjur mengeluarkanku dari rumah dan mengusirku jauh-jauh. Aku terduduk tak berdaya, isakanku semakin keras saat kutemui fakta bahwa Ibu telah tega membuangku dari kehidupannya.
3 bulan kemudian,
Ku lantunkan dzikir berulang-ulang dengan khusyuknya. Satu per satu air mata mengalir seiring dzikirku yang terdengar lirih malam itu. Rasa syukur tak henti-hentinya kuucapkan kepada sang Khalik yang telah memberikan kesempatan dan pencerahan jalan untuk diri yang semula tesesat ini.
Kuhentikan dzikirku seketika saat kupandangi sebuah buku di hadapanku. Memoriku lantas memutar kilas balik dari dalamnya. Buku dengan jalan cerita yang sangat bermakna untuk hidupku sebelum semua ini terjadi. Buku tentang perjuangan seorang gadis Cina Atheis untuk mencari keberadaan Tuhan, hingga membuatku berada di jalan Islam seperti ini.  
 “Hui Lan?”
Suara dari luar itu membuyarkan lamunan masa laluku. Terlihat sinar wajah yang selalu tersenyum kepadaku, Cindy.
“Kamu tidak apa-apa? Mengapa mukamu terlihat sedih?”Ujarnya cemas setelah melihat leleran air mata yang belum sempat kuhapus.
“Aku teringat  ibuku. Aku sangat merindukannya.”Bibirku bergetar, berusaha menahan leleran air mata yang berdesakan ingin keluar.
 “Sudahlah, ini semua sudah takdir dari Allah.” Responnya sembari mengelus pundakku lembut.
“Cindy, terima kasih telah mengijinkanku untuk tinggal di rumahmu, terima kasih untuk segalanya.”
Dalam keheningan malam itu, ku peluk Cindy erat. Aku mengungkapkan perasaan sekaligus beribu-ribu terima kasihku kepadanya. Terima kasih telah menjadi Seseorang yang setia menemaniku hingga akhirnya kutemukan hidayah Allah bersamanya. Wo Ai Ni, Allah.

TAMAT

Selasa, 19 Mei 2015

Seperti inilah aku mencintaimu...


    Ada kekasih yang membuktikan cintanya dengan jutaan kalimat pujian & rayuan,
    Ada pula dengan sikap yang penuh kasih,..
    Tak sedikit dengan pengorbanan yg meluluhlantahkan harga diri,
    Ada pula dengan menguras tenaga & materi.

    Namun bagiku, aku mencintaimu dengan menundukkan wajahku padamu.
    Bukan karena aku ingin berpaling darimu, tapi karena aku ingin menjaga pandanganmu dari panah-panah iblis..

    Aku mencintaimu dengan tidak melemah lembutkan suaraku padamu.
    Bukan karena aku ingin menyakitimu, namun karena aku ingin menjaga hatimu dari bisikan syaithan yg menipu..

    Aku mencintaimu dg menjauh darimu, Bukan karena aku membencimu, namun karena aku ingin menjagamu dari khalwat yg menjebak..

    Aku mencintaimu dg menjaga dirimu & diriku, menjaga kesucianmu & kesucianku, menjaga kehormatanmu & kehormatanku, menjaga kebeningan hatimu & hatiku..

    Tak mengapa saat ini kita jauh, karena kelak Allah yang akan menyatukan kita dalam ikatan suci-Nya.Sebab itu jauh lebih berarti & jauh lebih abadi,Karena ku yakin, janji Allah adalah pasti, “Wanita yang baik hanya untuk laki-laki yang baik”, pun sebaliknya.

    Ya, seperti inilah aku mencintaimu. Aku mencintaimu dengan menjaga kesucian diri, jiwa, & hatiku, hanya untuk ku persembahkan padamu kelak, siapapun dirimu nanti.

    Oleh karena itu, tolong,..Jagalah kesucian cintamu juga hanya untukku. Rabbi, pada-Mu kutitipkan cintaku padanya…

    [Repost]

    K

Sabtu, 16 Mei 2015

Kesepian



Ah, Mengapa kesepian selalu hadir dengan mudahnya?
Aku tak tahu mengapa perasaan ini muncul kembali. Sebuah perasaan yang seharusnya kukubur jauh-jauh selama ini. Aku sudah mulai membuka diriku bersama mereka, namun mengapa perasaan yang sama masih muncul?

Adakah yang salah dengan diriku? Entah mengapa, aku selalu merasa ada tatapan sinis itu dari mereka, orang-orang terdekatku pun. Mungkin hanya perasaanku saja,

Ah, tapi mengapa sangat kuat terasa?

Bukankah kita sudah saling mengenal hampir 1 tahun. Bukankah waktu yang tidak singkat untuk saling memahami satu sama lain? Tapi, mengapa aku tidak bisa sedekat dengan yang lainnya? Mengapa aku tidak dapat bercanda dan berbaur dengan ringannya?

Mengapa aku selalu merasa sepi, ketika kalian dengan senangnya bercanda satu sama lain?
Mengapa aku seperti sendiri, saat kalian sibuk berbincang membahas berbagai acara?
Mengapa aku seperti menjelma menjadi bayangan yang sangat mengganggu ketika aku bergabung?

Ah, mungkin aku harus selalu mengintropeksi diri. Aku sadar, masih banyak kepribadian buruk yang melekat sehingga tidak membuat mereka nyaman. Ya, aku sadar. Aku seharusnya sadar dan ikhlas menerimanya. Maaf telah mengecewakan kalian.

Namun, ijinkan aku menjadi salah satu anggota yang hidup tanpa kecanggungan dalam keluarga yang sangat kucintai ini. Ijinkan hati kalian untuk menerima keberadaanku, berilah senyum dan tatapan yang sangat kuidam-idamkan tersebut. 

 aku sayang kalian.

Rapuh



Aku tak tahu apa nama perasaan ini.
Saat aku dengan bahagianya menyemangati orang lain untuk bangkit dari keterpurukan
Namun, ketika ku berbalik, leleran air mata justru jatuh dari pelupukku
Menyadari bahwa kerapuhan itu sesungguhnya ada dalam diriku.

Kurasakan aroma malam ini seperti biasa. Jari-jariku masih sibuk mengetik sebuah ungkapan rasa. Entah mengapa , akhir-akhir ini aku lebih tertarik menuangkan perasaan-perasaan sedih dari diriku? Tak terasa air mata ini mengalir tanpa sengaja. Aku pun tak tahu. Bagiku, malam selalu menawarkan penghiburan untukku, menawarkan kesunyian yang sejatinya sangat nyaman untuk jiwa ini.

Ya, benar aku hanya butuh kesunyian untuk menenangkan diriku. Aku memang berbeda, ketika orang lain sibuk mengungkapkan perasaan kepada yang lain agar muncul kelegaan, namun tidak untukku. Aku bukanlah orang yang dengan mudahnya mengungkapkan segala beban dalam dada ini. Bukannya aku tidak percaya dengan sahabatku yang selalu menawarkan diri untuk menjadi tempat cerita. Aku hanya tidak ingin mereka merasakan rasa sakit yang sama, cukuplah hanya aku saja.

Lalu apa yang menyebabkan kemunculan kesedihan ini?

Memori otakku memutar kilas balik kenangan pilu itu. Ya, hal sepele sebenarnya, tapi karena terlalu heterogen untuk disebut sepele, kepalaku tidak sanggup untuk menampung seperti biasa. Alhasil, diam menjadi pilihan dan kelesuan menjadi pelampiasan. Maaf jika banyak yang tidak nyaman dengan sikapku akhir-akhir ini.

Aku hanya kecewa dengan beberapa orang akhir-akhir ini. Ah, bukankah aku egois? Dengan gamblangnya menuduh orang bersalah, padahal diri ini pun pasti lebih banyak bersalah. Tapi, ada saatnya diri ini lelah. Apakah salah?

Mimpi dan keinginan itu sudah terlalu tinggi untuk digugurkan begitu saja. Mungkin ini adalah masalah sepele bagi kalian, tapi tidak untukku. Sudah 3 rencana yang gagal sebelum berperang, padahal ide dan proses itu sudah mulai berjalan. Aku kecewa, sebenarnya aku tidak sepenuhnya ikhlas atas semua ini.
Astaghfirullah hal adzim, ya Rabb, bukankah manusia hanya bisa merencanakan sedangkan Engkaulah yang memutuskan hasilnya. Maaf atas kesalahan diri ini, maaf atas ambisi yang berlebihan, maaf atas ketidaktepatan mengatur segala aktivitas selama ini. Maaf atas segalanya.

Rabu, 13 Mei 2015

[Cerpen] Harapan



Ada yang pernah berkata, belum tentu harapan yang kita panjatkan selalu menjadi kenyataan. Begitu pun juga dengan harapan besar ini, sebuah harapan besar dari orang-orang kecil seperti kami. Harapan tentang gedung sekolah,  tumpukan-tumpukan buku, atau guru-guru yang ramah itu. Harapan yang terlampau indah, namun sayang, kenyataan menyakitkan menenggelamkan segalanya.
Ku terbangun pagi itu, dan segera menyiapkan beberapa peralatan mengamenku. Aku harus bekerja sejak pagi. Ya, sebuah pekerjaan yang terlihat tidak lazim bagi kalian bukan? Bahkan bagi anak-anak seusia kami, usia anak yang seharusnya disibukkan dengan aktivitas belajar. Namun, tidak bagi kami, sejak kecil hingga usia kami 14 tahun seperti sekarang, orang tua kami sudah membiasakan untuk bekerja. Ya, inilah kehidupan, terkadang kita tidak selalu mendapatkan apa yang diidam-idamkan.
Pagi ini, aku dan temanku sudah bersiap-siap mengamen di lampu merah. Sebuah rutinitas yang sebenarnya sangat berat untuk kukerjakan. Terkadang aku lelah, lelah dalam menopang hidup ini, lelah akan wajah-wajah sinis dari mereka, belum lagi sikap kasar mereka ketika kami sedang mengamen. Tahukah kalian? Aku juga tak ingin seperti ini, aku juga ingin hidup normal seperti anak-anak lain.
“Dit, Ayo bus itu!”
Dodi, temanku mengamen mendadak membuyarkan lamunanku dengan ajakannya. Dia terlihat antusias ketika bus dengan ukuran sedang itu melintasi kami dan tak lama setelahnya, berhenti di halte tak jauh dari tempat kami berdiri.
Tanpa perlu pikir panjang, kami pun segera beranjak ke sana. Kami harus bergerak cepat dan berebut masuk di tengah penumpang lainnya, dengan satu tujuan agar tidak tertinggal atau ketahuan sopir.
Seperti biasa, kami menyesuaikan posisi untuk memainkan beberapa buah lagu, hingga kemudian kami berjalan menyodorkan kantung itu kepada setiap penumpang, berharap mereka memberikan beberapa uang barang sedikitpun. Meski banyak yang mengabaikan kami, tapi beberapa di antara mereka pun terketuk untuk memberi belas kasihnya.
“Kita istirahat dulu yuk?”
Dodi menawarkan diri untuk beristirahat sejenak di bawah pohon beringin siang itu.  Aku pun menyetujuinya. Sepertinya dia sangat kelelahan, tangannya masih tak berhenti mengipas-ngipas wajah yang sudah dipenuhi peluh tersebut.  Pantas saja, kami sudah naik turun bus dari pagi hari hingga matahari sudah jelas terlihat di atas sana.
“Kita dapat berapa ya?” Ujarku sesesekali mengelap peluh seperti yang Dodi lakukan.
“Ah, sudahlah, kita istirahat dulu. Jangan menghitung di sini. Nanti ada preman baru tau rasa.”
 Benar juga, aku hampir lupa kalau setiap wilayah Ibukota ini pasti memiliki preman yang berkuasa. Pernah suatu saat kami kepergok menghitung uang di tempat umum, dan alhasil preman-preman itu merampas hasil keringat kami.
Di sela-sela istirahatku siang itu, aku melihat segerombolan anak berseragam SMP sedang duduk di gazebo taman tak jauh dari sini. Mereka terlihat bersantai-santai ria dan mengobrol satu sama lain, sesekali menghisap rokok di tangan mereka.
“Eh, Dodi. Bukannya ini masih jam sekolah ya? Kok mereka sudah nongkrong-nongkrong di sana?”
Dodi yang menyadari bahwa aku sedang memandangi siswa-siswa itu langsung mengalihkan pandangannya ke arah mereka pula.
“Ah, biarlah! Itu urusan anak sekolah. Mengapa kamu tiba-tiba mengurus mereka, sih?” Ujar Rito ketus
“Ya bukan begitu. Masa anak sekolah malah bolos dan merokok seperti itu ketika jam sekolah?” Tukasku kecewa.
“Namanya juga anak sekolah jaman sekarang. Sudahlah kita kerja lagi aja ya, Adit. Yuk mengamen lagi.”
Aku pun beranjak dari tempatku, meskipun pandanganku masih tak lepas dari anak-anak tadi. Aku belum puas dengan jawaban Dodi baru saja, menurutku ini tidak adil. Anak-anak yang sudah diberi amanah untuk bersekolah malah menyimpang seperti itu. Padahal, aku ingin sekali mengenyam bangku sekolah seperti mereka.  Lamunanku tentang anak-anak itu buyar saat kusadari Dodi mulai menaiki bus tepat di depanku.

Akhirnya sore mulai menjelang, waktunya bagi kami untuk beristirahat. Sore itu, kami kembali ke rumah masing-masing. Namun, bukan berarti kami mengakhiri rutinitas dan bersantai-santai ria. Kebetulan sekali, di dekat rumahku sudah berdiri sekolah terbuka yang dipelopori oleh mahasiswa di salah satu universitas di kotaku pula. Aku pun memanfaatkan kesempatan ini untuk menuntut ilmu seperti anak-anak sekolah lainnya. Bekerja bukan berarti menyurutkan niat untuk belajar, bukan?
Aku dan Dodi berangkat bersama ke sekolah tersebut. Sekolah tersebut baru berdiri 1 bulan, tetapi peminatnya sudah cukup banyak. Keseluruhan muridnya adalah anak-anak putus sekolah, dan kebanyakan adalah pengamen seperti kami.

“Jadi, hari ini waktunya memasuki kelas motivasi.”
Salah satu pengajar di sekolah ini memulai kelas seperti biasa. Namun, aku belum terlalu paham tentang kelas motivasi yang diutarakannya baru saja. Hingga akhirnya semua murid bertanya-tanya tentang kelas motivasi tersebut.
“Jadi, pada kelas motivasi ini, kita tidak belajar apapun. Kita hanya memberikan semangat satu sama lain dan saling berbagi tentang pengalaman ataupun peristiwa yang dapat membuat kita bersemangat. Ada yang ingin memulai untuk berbagi cerita?”
Mendengar pertanyaan itu, pikiranku langsung memutar kilas balik tentang peristiwa siang tadi, tentang anak sekolah yang bolos pada saat jam sekolah. Aku pun memberanikan diri mengacungkan jari.
“Kak, tadi saya melihat anak-anak SMP bolos sekolah. Mengapa sih mereka berbuat seperti itu? Padahal, banyak anak seperti kami ingin mengenyam bangku sekolah.”
Mendengar pertanyaan dariku, kakak pengajar itu terdiam sejenak. Dia terlihat berpikir keras sembari menatapku.
“Jadi, itulah potret kehidupan pendidikan di Indonesia. Kalian tidak perlu merasa iri dan menyalahkan mereka. Setiap orang itu memiliki takdir sendiri-sendiri. Ketika kalian bekerja dan tidak bersekolah seperti mereka, bukan berarti kalian berhenti belajar, bukan? Nah, rutinitas kalian dalam mengikuti pembelajaran di sekolah terbuka ini menjadi salah satu komitemen kalian untuk meraih kesuksesan di masa depan juga.”
“Namun, banyak orang-orang di luar sana yang menganggap bahwa anak yang tidak memiliki pendidikan di sekolah formal itu buruk. Mereka sering menganggap rendah kami, kak.” Salah satu temanku pun mengutarakan keluh kesahnya.
“Jadi begini, dengarkan kakak baik-baik ya! Banyak sekali rintangan yang harus kita hadapi di dunia ini. Sebenarnya, tidak salah jika kalian dilahirkan dalam keadaan miskin, namun akan menjadi kesalahan jika kalian mati dalam keadaan miskin pula. Jadi berhentilah mengeluhkan keadaan, dan mulailah hadapi kenyataan. Optimalkan kesempatan dan keadaan yang ada. InsyaAllah, Tuhan bersama orang-orang yang sabar dan bekerja keras. Setiap orang itu berhak suskes, entah dia berasal dari keluarga kaya atau miskin. Yang jelas, selama kalian memiliki niat yang besar untuk bekerja dan belajar, kalian akan selangkah lebih maju dari anak yang bermalas-malasan itu. Mari kita lihat siapa yang lebih sukses di masa depan!”
Paparan dan motivasi dari kakak pengajar tadi meyadarkanku seketika, menyadarkan bahwa semua orang memiliki kesempatan yang sama untuk sukses, begitu pun denganku. Ya, aku harus berjuang. Aku harus membuktikan, walaupun kami tidak mengenyam pendidikan di sekolah formal, tapi bukan berarti kami berhenti belajar. Bukan berarti kami tidak memiliki masa depan yang cerah seperti mereka. Kita adalah sama, usaha dan doalah yang akan memutuskan akhir cerita kehidupan ini. Sejak saat itu, harapan-harapan besar itupun mulai subur bersemi di hatiku, sebuah harapan yang ingin sekali kupetik di masa depan.

10 tahun kemudian….
Aku membuka lembar demi lembar buku yang sudah menemaniku sepuluh tahun ini. Sebuah buku tentang kisah kehidupan yang sangat berliku. Kehidupan tentang anak jalanan yang sebagian besar dari mereka menganggapnya rendah. Namun sekarang, aku berhasil mengubah paradigma tersebut berkat keyakinan yang kuat.
Kututup buku itu perlahan dan kupandangi dunia luar lewat kaca jendela di hadapanku. Sunggingan senyum terukir lebar saat kutemui anak-anak yang belajar dengan penuh semangat di luar sana. Anak-anak yang mengingatkanku pada kehidupan masa laluku, yang sejatinya tidak berbeda jauh dengan mereka.
Namun, semua lika-liku itu sudah kulalui. Memang benar, semua orang memiliki kesempatan yang sama untuk sukses, hanya saja bagaimana ia memanfaatkan kesempatan itu semaksimal mungkin. Kini aku sudah menjadi pengusaha yang terbilang sukses, itu yang mereka katakana. Walaupun sebenarnya, aku tak lebih dari manusia penuh kekurangan dan keburukan.
Namun, aku bukanlah kacang yang lupa akan kulitnya. Sekolah terbuka itu berjasa sekali untukku. Sekolah yang menginspirasiku dan mengajarkanku banyak hal tentang ilmu pengetahuan hingga kehidupan yang sebenarnya. Beberapa sekolah gratis pun berhasil kubangun untuk anak-anak putus sekolah. Mereka bisa belajar sekaligus bekerja, sama sepertiku dulu. Senang sekali jika bisa memberikan manfaat bagi orang lain.
Tiba-tiba, sekelebat memori tentang anak-anak SMP itu singgah di pikiranku. Bagaimana nasib mereka sekarang ya? Semoga mereka semua diberi kesuksesan berkat bekal ilmu yang mereka timbun. Namun, aku melihat salah satu dari mereka bekerja di perusahaanku. Entahlah, apakah aku salah orang atau tidak? Tetapi kala itu wajah mereka benar-benar terbekas di kepalaku hingga sekarang. Bukankah Tuhan Maha Adil? Tuhan pasti berpihak kepada orang-orang yang selalu sabar dan bekerja keras.

-TAMAT-