Dreaming in حلالا way. . .

Halaman

Cari Blog Ini

Apa sih artinya?

Selasa, 01 November 2016

Apakah cinta bisa berperan sekuat itu?



Apakah cinta bisa berperan sekuat itu?

Ketika sesak itu semakin sendu
Tanggapan itu selalu bertolak dariku
Dan tak ada satu pun yang datang merangkul
Apakah semua itu tidak cukup menjadi alasanmu untuk mundur?

Tidakkah kau iba dengan jiwamu yang telah lama menderita?
Tidakkah kau sadar betapa banyak waktu yang kau korbankan?
Dan Berapa banyak pengorbanan yang kamu tawarkan?

Namun, tetap saja  jiwamu memberontak begitu gamblangnya?
Mengapa?
Mengapa kau tidak memikirkan dirimu sendiri?
Mengapa?
Mengapa kau selalu disibukkan dengan mereka yang bahkan nyata-nyata telah menganggapmu tak ada?

TIDAAAKK!!

Tidak semudah itu melepas semuanya, wahai egoku!!!
Aku bahkan ingin menunjukkan kepada mereka bahwa
Semua pengorbanan ini adalah wujud cintaku

Tidakkah kamu mengetahui hakikat cinta yang sesungguhnya?
Wahai ego yang sungguh memuakkan

Taukah kamu?
Tidak semudah itu untuk mnegakhirinya!!
Tidak semudah itu untuk mengakhiri ikatan yang sudah terjalin kuat
Tidak semudah itu untuk mengakhiri  perasaan yang sudah tertanam begitu dalam

Dan aku ingin menunjukkannnya
Bahwa semua pengorbanan itu adalah bukti kecintaanku

Tapi wahai egoku,
Aku juga sadar jika,
mereka tidak melihatnya,

Air mata ini mengalir perlahan, melengkapi perasaan senyap malam ini
Apakah pengorbanan itu terlalu abstrak untuk dilihat dan terlalu semu untuk dirasa?

Ya, aku mencintai kalian, walaupun tak ada senyum yang kalian beri
Tak apa
Aku tetap mencintai kalian, meski keberadaanku pun kadang terabaikan
Bahkan aku tak mampu menahan gejolak cintaku yang lebih besar dari rasa sesak yang bahkan mulai menyeruak keluar
Tak apa
Tak masalah bagiku, toh dengan melihat senyum kalian saja, hatiku sudah gembira

Karena sejatinya cinta tidak butuh balasan
Cinta itu adalah cerminan mutiara keikhlasan yang berada dari dasar hati
Ia sangat terjaga dari noda-noda kekejaman yang berusaha menghancurkannya
Ia adalah mutiara bagi kalian wahai saudaraku

Aku mencintai kalian
Sunggguh mencintai kalian  

Namun, taukah saudaraku?
Mutiara itu sudah mulai retak
Noda-noda itu berhasil masuk satu demi satu menembus relung hatiku
Aku bahkan tidak mampu menahannya
Aku takut
Aku takut jika mutiara itu benar-benar hancur bahkan musnah
Aku tak ingin itu terjadi
Aku tak sanggup, benar-benar tak sanggup

Saudaraku, tolong aku, rengkuh aku, jaga aku.
Bantu aku menyempurnakan kembali mutiara ini
Bantu aku menyimpannya dengan sempurna
Karena sejatinya aku tidak ingin melepaskan kalian

Aku tidak ingin gugur, seugugur-gugurnya….

Minggu, 23 Oktober 2016

JAUH



Aku masih ingat pertama kali mendatangi tempat itu.
Sebuah tempat di salah satu pojok kampus yang sama sekali tak kuduga akan meninggalkan jejak kenangan semanis ini
Sebuah tempat yang dipenuhi orang-orang luar biasa
Yang sebenarnya ingin sekali kumengenal mereka lebih lama lagi
Hingga akhirnya, diri yang belum berarti apa-apa ini memutuskan untuk bergabung dengan kumpulan tersebut

Aku masih ingat pertama kali bercengkrama dengan salah satu dari mereka
Pertama kali melakukan percakapan bermakna itu
Dan aku juga masih ingat ketika ia bertanya
“Apakah kamu ingin benar-benar di sini?”
Dengan mantap aku menjawab,
“YA”

Ya, aku ingin membersamai mereka,
Walaupun alasan kuat pun belum sama sekali aku temukan
Tapi entah mengapa tidak ada setitik keraguan sedikit pun untuk memutuskan hal tersebut
Aku hanya ingin bersama mereka
Menjalin ukhuwah yang terbalut cinta
Yang aku sadar cinta itu telah muncul bahkan sejak pertama kali bertemu

Bulan berganti, Hari berlalu, Jam melesat begitu cepat bersama menit dan detiknya.
Intensitasku menyambangi tempat itu pun bertambah
Selalu ada rasa malu untuk mendekat sebenarnya
Namun selalu ada senyum yang terukir ketika melihat wajah-wajah mereka

Namun tiba-tiba,
Waktu yang mengalir itu berubah,
Ada perasaan ragu yang tiba-tiba menghantui, mendatangi tanpa permintaan sedikit pun
Keadaan yang sama sekali tidak aku sangka

Mengapa tiba-tiba ada perasaan menyesakkan seperti ini?
Aku merasa “jauh” dengan mereka
Aku merasa bukan menjadi bagian dari perkumpulan itu
Aku merasa menjadi orang lain
Namun mengapa sedikit pun rasa cintaku ini tidak luntur?

Namun mengapa aku menerima semua itu hingga saat ini.
Hingga 2 tahun lamanya
Aku pun tak mengerti, sama sekali tak mengerti

Ketika keadaan menggugurkan satu demi satu orang yang mendapatkan perlakuan sama sepertiku
Mengapa aku tidak turut gugur?
Padahal jelas-jelas tidak ada sedikitpun keinginan yang datang untuk menyambutku dan mempertahankanku untuk tetap tinggal

Mengapa aku begitu bodoh?
Aku tidak mengerti dengan diriku sendiri
Semudah itukah menerima semuanya?
Bahkan untuk berkata “Tidak” saja aku tak mampu
Hingga aku sadar aku benar-benar mulai jauh dari mereka
Bahkan semakin jauh…

Bagiku, rasa itu sangatlah mengganggu
Aku tak ingin rasa itu akan muncul sampai saat ini.
Bahkan sama sekali tidak akan terbesit hingga mampu menyentuh akalku
Namun ternyata, aku salah

Hai kalian, apakah suara hatiku terdengar?
Sejatinya aku tidak ingin se “jauh”ini
Sejatinya aku ingin menghabiskan waktu lebih lama lagi sebelum mengambil keputusan ini
Sejatinya aku amat menyayangi kalian.
Namun mengapa?
Ketika aku melangkah kan kakiku mendekat,
Mengapa kalian malah melangkah mundur, menjauh, bahkan seakan menolakku dengan mudahnya?

Mengapa?

Ya, mungkin aku sadar
Aku bukanlah sosok yang diharapkan
Aku tidak pintar, tidak mampu, tidak bisa diandalkan
Dan aku sadar, keberadaanku sangatlah tidak dibutuhkan
Ya, aku sadar hal itu

Seharusnya keputusan ini sudah kuambil dari dulu
Namun apa daya,
Cinta lagi-lagi menjadi alasan terkuatku

Namun, ketika sebuah cinta tidak lagi diterima keberadaannya
Tidak ada pilihan lain selain mundur
Namun, bukan berarti memutuskan segalanya
Bukan berarti aku benar-benar melupakannya

Mungkin cinta ini tidak ditemukan pada tempat itu lagi
Namun, sejatinya aku tidak mampu menghapusnya
Cinta ini akan tetap tumbuh dan terjaga untuk kalian
Warna kalian pun juga akan selalu tinggal dihati
Ya, karena aku mencintai kalian..

Semoga Allah selalu melindungi kalian
Merekatkan ukhuwah yang sangat aku harapkan
Dan jangan sampai ketika ada daun yang mulai layu hanya kalian biarkan begitu saja,
Jagalah, rawatlah, dan dekatilah
Agar tak ada daun-daun yang gugur lagi seperti diriku.

Selamat tinggal
Terima kasih atas segala inspirasi, ilmu, dan pengalaman yang luar biasa
Terima kasih atas segala hal bermakna yang telah diibagi
Terima kasih untuk segalanya.
Aku sayang kalian …

Maaf tidak bisa lagi membersamai,
Hanya iringan doa yang dapat aku haturkan dari sini.

Minggu, 09 Oktober 2016

Apakah ini sebuah pertanda?



Apakah ini sebuah pertanda?
Hari ini tepat 2 minggu yang lalu
Hujan kembali hadir menjadi saksi dalam peristiwa serupa
Sebuah peristiwa tentang gemuruh dalam dada,
Yang dipenuhi duka kecewa

Apakah ini pertanda?
Hujan kembali menghadirkan rintik kepedihan
Seakan diri ini tidak diijinkan menikmati aroma hujan seperti biasa
Seakan keadaan menolak keberadaanku yang ingin merengkuhnya

Aku pun bertanya kembali.
Apakah ini sebuah pertanda?
Bahwa seharusnya aku harus berhenti?
Berhenti atas semua pengharapan yang telah terukir indah
Berhenti dari segala mimpi yang sudah terpanjatkan
Berhenti dari sebuah cita yang bahkan menjauhi langkahku ketika akan mendekatinya?
Berhenti untuk kembali menorehkan tinta-tinta itu?

Dan hujan pun turun semakin deras
Seakan menjawab.
Seakan menumpahkan segala kesedihan,
Tentang sebuah kenangan yang (mungkin) tidak akan pernah terukir indah
Tentang keputusan yang teramat berat
Tentang sebuah keputusan untuk berhenti entah sejenak atau selamanya.

Malang-Solo 9 oktober 201

Minggu, 11 September 2016

FIRST HEARTACHE



Entahlah, aku juga tidak tahu apakah sikapku salah?
Apakah salah bersikap acuh untuk seseorang yang berusaha mendekati?
Apakah salah jika aku takut untuk merasakan patah hati untuk kali kedua?

Aku hanya tidak ingin merasakannya lagi. Sekali aku telah membuka sedikit hatiku kepada rasa bernama harapan itu. Tapi, apa yang ku dapat? Sakit hatilah yang datang setelahnya.
Rasanya aku tidak ingin mengenangnya lagi. Aku takut membuka hatiku untuk kali kedua. Kepadanya, seseorang yang menyukai senja, dan aku wanita yang menyukai hujan. Aku pun berharap, suatu saat senja itulah yang akan menemani hujan ini dan menghabiskan waktu bersamaku. Namun ternyata dia menyukai senja yang lain. Aku takut ia berbuat serupa dengan laki-laki yang sudah berpaling memilih senja yang lain setelah memberi harapan indah itu untukku.

Aku hanya takut. Itu saja.
Aku tidak menuduh bahwa semua laki-laki sama sepertinya. Aku hanya khawatir. Ketika belum ada ikatan apa-apa di antara kita, mengapa kamu berani untuk mengungkapkan kata-kata manis itu? Aku hanya khawatir jikalau kata-kata itu bukan hanya tertuju untukku.
Namun aku juga takut, keacuhanku membuatmu bersedih. Akupun khawatir jika aku tidak menerima perhatian itu. Aku takut dia akan merasakan patah hati seperti yang aku rasakan dulu. Namun, bukankah akan lebih menyakitkan jika kita terlanjur menjalin sebuah ikatan, padahal belum tentu engkau bukan yang ditakdirkan untukku.
Aku juga percaya ada salah satu dari mereka yang benar-benar memberikan harapan itu untuk membersamaiku. Tapi, maaf aku masih takut. Selain itu, aku tidak ingin baying-bayang ataupun khayalan tentangmu menjadikan kita umat yang terjerumus dalam dosa. Biarlah masa yang menjawabnya, biarlah kita tidak sedekat seperti anak muda yang lain. Karena aku yakin ikatan yang ALLAH beri akan terasa lebih indah.
Hingga sampai saat ini pun aku masih takut, takut akan membuka hatiku lagi, takut akan member harapan lagi. Takut untuk merasakan patah hati lagi. Aku berharap patah hati inilah yang menjadi patah hati pertama dan terakhir. Patah hati yang akan digantikan oleh ikatan suci dariNya.
Kau tidak perlu tahu perasaanku. Begitu pun denganku yang yang tidak perlu tahu bahwa kau mungkin akan memperjuangkanku. Agar kelak salah satu di antara kita tidak akan merasakan patah hati yang terlalu dalam jika suatu saat hati ini dibalik olehNya. Biarkan masa yang akan menjawabnya, menjawab segala penantian tentang hadirmu.

Minggu, 14 Agustus 2016

Hampa




Entah di mana dirimu berada, hampa terasa hidupku tanpa dirimu.
Ataukah di sana kau rindukan aku? Seperti diriku yang selalu merindukanmu,
Selalu merindukanmu

Hampa.
.
.
.
Aku tidak mampu melanjutkan lagi, jari-jariku terhenti saat aku mencoba mencerna kata-kata yang pas untuk menggambarkan kondisiku saat ini.

Hampa

Mungkin kata ini yang menjadi alasan bagi kondisiku sekarang. Bahkan ketika ingin merasa pun aku ‘hampa’, apalagi menulis?

Hampa

Aku tidak tahu lagi kemana arah hati ini sekarang. Aku tidak mengerti mengapa kehampaan itu muncul dengan sendirinya, dan muncul sesering ini.

Apa mungkin karenamu? Karena dia? Atau, karena mereka?
Sejujurnya, akhir-akhir ini aku begitu merindukanmu, dia, dan mereka. Aku rindu sekali. Namun aku tidak dapat berbuat apapun, raga ini mematung tak berdaya. Aku hanya bisa menyampaikan rasa ini melalui iringan doa-doa untukmu, dia dan mereka.

Taukah kalian?

Aku berdoa agar kalian kembali. Aku berdoa agar kalian mengisi kehampaan ini dan mengusirnya jauh-jauh. Sungguh sangat tidak nyaman menjaga ‘hampa’ ini sendirian. Aku membutuhkan kalian. Tetapi, di sisi lain aku baru menyadarinya, bahwa kalian tidak hadir sedetik pun.

Maaf,

Mungkin aku yang salah. Dulu, mengapa aku begitu menyia-nyiakan kalian? Mengapa aku tidak memanfaatkan dan menghabiskan waktu bersama kalian, serta menyingkirkan egoku saat itu. Ya aku yang sepenuhnya salah. Aku pikir hal itu tidak terlalu berarti untuk menjalin sebuah hubungan ini. Aku pikir akan baik-baik saja, aku pikir begitu.

Namun ternyata, satu persatu dari kalian pergi dan menyisakan hampa yang hadir sedikit demi sedikit namun semakin menyiksa…

Maaf,

Andai waktu bisa kuputar, aku tidak akan berbuat demikian. Aku tidak akan menyia-nyiakan kalian. Maaf, Apakah aku sudah terlalu terlambat sejauh ini? Tolong maafkan aku jika aku salah, ingatkan aku jika aku menyebalkan, tegurlah aku jika aku menyimpang. Namun jangan diamkan aku, jangan menjauh, dan bahkan pergi.


Hampa,

Hatiku terlalu hampa untuk mempercayai dan bahkan menaruh harapan pada mereka yang lain. Walau begitu, aku masih berharap ada seseorang yang benar-benar tulus bersamaku, menemaniku, dan menghiburku selalu, dan yang pasti aku masih berharap suatu saat nanti kalianlah yang akan kembali. Aku tidak ingin menjadi manusia yang lemah, manusia yang hanya hidup dalam kehampaan tanpamu, dia, dan mereka. Aku benar-benar membutuhkan kalian.

Hingga ketika nanti, aku ingin kalian lah yang mencariku ketika aku tidak berada di surga. Aku ingin kalianlah yang menyelamatkanku dari api neraka berkat ukhuwah kita. Aku ingin sekali.

Sejujurnya aku takut.

Apakah aku harus menyerah dan menyudarhi semua pengharapanku? Apakah aku tidak pantas memiliki orang-orang itu, memiliki saudara seiman yang akan selalu menerima apa adanya, yang selalu ada, yang selalu mengingatkan. Jujur, aku lelah sekali. Hampir habis pengharapanku akan hadirnya kalian, namun aku tidak ingin menutup hati ini. Aku ingin memiliki kalian kembali, aku juga ingin tau rasanya memiliki ‘seseorang’ yang berarti dalam hidup. Seseorang yang menentramkan, mengingatkan, dan menemaniku hingga di surga kelak

Aku harap aku memilikinya,
Aku harap kalian kembali

Namun jika tidak , Aku ingin tahu, Apakah ALLAH menyiapkan ‘seseorang’ itu di surga ?