Dreaming in حلالا way. . .

Halaman

Cari Blog Ini

Apa sih artinya?

Minggu, 04 Oktober 2015

[Cerpen] Perang dan Penderitaan



Tak ada yang menginginkan hidup pada masa ini. Masa di mana perang menjadi santapan setiap hari, begitu pun dengan ranjau dan bom yang meledak di setiap kedipan mata. Namun, tidak ada yang bisa melawan bahkan menyingkapnya. Semua mengalir bak air, pengorbanan, darah, dan air mata, menjadi hal yang tidak tabu lagi bahkan dapat ditemui setiap saat. Mereka yang menjadi korban perang, tentu saja merindukan sebuah negeri yang damai, aman, dan tenteram. Namun semenjak perang bergulir, kondisi manusiawi tak pernah tercium kembali di negara ini.

Bosnia,  1976

“Laura, berlindunglah! Tentara musuh sudah mendekat.”
Seorang wanita paruh baya berlari ke arah anak kecil tak jauh dari pandangannya. Digendongnya raga kecil anak tersebut dan selekas mungkin dibawanya ke sebuah lorong bawah tanah, tempat mereka berlindung seperti biasa. Tak hanya mereka, berpuluh-puluh warga sekitar sudah berkerumun terlebih dahulu di sana. Semenit kemudian, ledakan besar terdengar. Sesuai dugaan, tentara musuh itu menjatuhkan bom di wilayah mereka untuk kesekian kalinya. Tak ada aktivitas lain selain menunggu, berdoa, dan memeluk anak mereka masing-masing dengan penuh kecemasan. Begitu pun dengan Ibu tadi, tak sedetik pun ia melepas pelukannya kepada anak perempuan bernama Laura itu.
Baginya sudah cukup suami dan anak laki-lakinya yang telah menjadi korban kejahatan perang. Setahun yang lalu, di depan matanya sendiri, Ibu tadi menyaksikan kekejaman tentara musuh menangkap laki-laki yang dicintainya tersebut. Tak berhenti di situ, salah satu tentara musuh itu langsung menghunuskan pedang tepat di perut suaminya hingga darah segar keluar dari mulutnya. Ibu tidak tahu apa yang terjadi setelahnya. Ia tak sanggup lagi menyaksikan kebejatan tentara musuh tadi.
Yang bisa dilakukannya hanyalah berlari dan mengendap-endap, berusaha agar Ibu dan Laura tidak tertangkap musuh seperti suaminya. Saat itu, mereka bersembunyi di sela-sela puing rumah bekas bombardir tentara musuh. Hingga ia teringat kepada anak sulungnya. Kala itu, ia hanya bisa membawa Laura karena pergerakan tentara musuh sangatlah cepat. Tak sedetik pun mereka memberikan kesempatan baginya untuk mencari anak sulungnya tersebut. Ingin sekali ia keluar dari sana dan mencari putra kesayangannya itu, namun cara itu pastilah mustahil, banyak sekali tentara musuh yang berjaga di luar. Masih jelas terdengar teriakan warga lainnya sebelum tembakan-tembakan peluru dan pedang-pedang itu melesat untuk ke sekian kalinya pada tubuh mereka. Ketika itu, ia memutuskan untuk berdiam di bawah atap rumah yang rubuh hingga menutupi seluruh tubuhnya. Tak sengaja, melalui celah kecil di depannya, pandangannya menangkap seorang pemuda yang tidak asing. Ya, dia anak laki-laki kesayangannya. Kelegaan sedikit menjalari tubuh wanita itu hingga kemudian semuanya redup saat tentara musuh menangkap dan menyeretnya hilang dari pandangan Ibu.
Ibu mempererat pelukannya kepada Laura. Rasanya ia tidak sanggup membayangkan kejadian tidak manusiawi itu lagi. Kini ia hanya memiliki Laura, ia tak ingin kehilangan satu-satunya buah hatinya tersebut. Pasalnya tentara musuh sering mengincar anak-anak dan pemuda. Mereka sering membunuh anak-anak tak berdosa itu sedangkan pemuda yang masih kekar dipaksa untuk melakukan kerja tanpa upah. Mengapa perang itu terjadi? Mengapa manusia di dunia ini tidak memilih hidup damai tanpa saling membunuh seperti ini? Entahlah, kapan pertanyaan itu akan terwujud.

###

Entah sudah berapa kali bom itu jatuh di tempat ini. Tempat yang sudah berulang kali dibangun setiap ledakan itu meluluhlantahkan bangunan tempat tinggal masyarakat Bosnia semenjak perang saudara bergulir. Namun sekarang, yang tersisa hanyalah puing-puing bangunan, runtuhan tembok, dan sisa-sisa kebakaran yang di sebagian sudut yang masih terlihat mengepulkan asapnya akibat ledakan bom tadi malam.
Lagi-lagi Ibu Laura tampak memilah sisa-sisa bangunan tersebut. Berharap masih ada harta ataupun makanan yang tersisa untuk sekedar mengganjal perut yang belum terisi semenjak tadi malam. Bukan hanya penyiksaan batin yang di derita akibat perang, para korban pun tidak dapat bekerja dan mendapatkan makanan yang cukup untuk kebutuhan mereka.
Laura tampak berjalan mendekati Ibu yang terduduk lemas, wanita itu tampak putus asa, ternyata tak ada yang tersisa, semua barang sudah terbakar akibat ledakan bom semalam. Disandarkan badan mungilnya itu di samping Ibu. Badannya masih sedikit gemetar akibat tragedi malam tadi. Pandangannya menyebar ke seluruh tempat yang sudah hampir mirip tanah lapang kala itu. Tidak ada tawa, canda, bahkan gurauan. Yang ada hanyalah tangisan anak-anak yang nyaring terdengar begitu pun orang – orang dewasa yang tampak meratapi rumah mereka yang telah hancur lebur. Laura hanya bisa terdiam sembari memeluk boneka teddy bear kesayangannya.
“Ayo kita ke pengungsian.”Ajak Ibu sembari mengelus rambut hitam Laura lembut.
Laura menyetujui permintaan Ibu. Tak ada pilihan lain bagi mereka selain berpindah ke pengungsian. Setidaknya mereka bisa mendapatkan sedikit sisa makanan di sana. Walau pun pengungsian bukan tempat yang tepat untuk mengandalkan makanan. Pasalnya, hampir seluruh warga di negara kecil itu mengungsi ke sana, sehingga bekal makanan pun terkadang tidak mencukupi seluruh orang yang tinggal.
Mereka berjalan tertatih-tatih ke pengungsian. Rasanya berat sekali meninggalkan rumah yang sudah mereka tinggali bertahun-tahun. Namun, mereka juga harus mempertimbangkan banyak hal dan tetap waspada jika saja bom akan dijatuhkan kembali.
Kondisi pengungsian yang kumuh dan penuh sesak tidak serta merta langsung menghibur hati mereka. Suasana di sana pun sama. Hanya ada kesedihan dan kecemasan akibat perang. Ibu mendadak teringat kedamaian di masa lalu. Dulu, kondisi di sini baik-baik saja ketika negara Bosnia belum terpecah belah menjadi dua kubu seperti ini. Konon, hanya konflik kecillah yang telah memecah belah keduanya hingga meletusnya perang saudara.  Sayangnya, negara bagian timur tempat Ibu dan Laura tinggal tidak memiliki cukup persenjataan dan tentara perang. Hingga akhirnya merekalah yang harus menanggung kekalahan dan menjadi pelampiasan perang dari kubu selatan.
Ibu dan Laura duduk di sebuah tempat  sempit beralaskan daun. Seperti yang dapat dilihat, pengungsian ini tidak mampu menampung semua pengungsi dengan kondisi yang layak. Semua harus rela membagi tempat dan makanan. Ibu mengamati setiap sudut tenda pengungsian tersebut, berusaha mencari makanan yang dapat mengganjal perutnya dan Laura. Namun, sepertinya nihil. Ia pun hanya dapat tertunduk pasrah. Di tengah kelaparan yang mendera, perlahan Ibu mulai terlelap dan bayangan tentang ayah dan anak sulungnya terngiang kembali.
“Ibu merindukan Ayah dan kakak, nak.” Ucap Ibu samar-samar di tengah kondisinya yang sedikit terlelap tadi.
Laura menatap wajah Ibu yang mulai tertidur. Ia mencerna perlahan makna kalimat tadi. Namun, ia tak kunjung menemukan maksud dari perkataan tadi. Dipegang erat tangan Ibunya, tak ingin rasanya untuk kehilangan atau pun berpisah dengan wanita satu-satunya yang dimilikinya itu.

Bosnia, 12.00 p.m

DUAAARRRR!!!!!

Ledakan bom meluluhlantahkan tenda-tenda pengungsian di ujung Bosnia itu tiba-tiba. Tidak ada yang menyangka serangan akan secepat itu. Banyak korban berjatuhan dari pengungsi yang mayoritas masih tertidur pulas. Sedangkan, pengungsi lain yang masih selamat langsung berhamburan keluar dari tenda pengungsian tersebut. Mereka berlarian tak tentu arah, berusaha menyelamatkan diri.
Laura yang mendengar ledakan besar itu segera terbangun dan betapa terkejutnya dia saat tak didapatinya Ibu di sampingnya. Kekhawatiran dan kecemasan langsung menjalari tubuhnya. Di tengah hiruk pikuk orang-orang yang berupaya menyelamatkan diri, ia hanya bisa menangis kemudian menghamburkan diri keluar seperti yang lain.
“IBU!!!!”
Dipanggilnya sosok wanita itu  berulang kali. Pikirannya kacau, ia tak tahu harus ke mana lagi. Setiap mata memandang, hanya ada mayat-mayat yang tergeletak sedangkan orang-orang yang selamat terus saja berlarian dan berteriak menambah panik suasana. Tubuhnya gemetar saat dilihat beberapa tentara perang mulai mendekat dan membantai wanita-wanita serta anak-anak seusianya. Ia berlari sekencang-kencangnya berusaha bersembunyi di balik semak-semak belukar di sekitar.
Rasanya, Laura sudah tak tahan lagi menyaksikan setiap adegan pembunuhan itu. Ia mulai meneteskan air mata, berusaha berteriak namun tak ada suara yang sanggup dikeluarkannya. Dadanya mulai sesak menahan penderitaan kala itu. Ia sadar, jika saja ia terus menerus memanggil Ibunya, tentu saja tentara perang itu akan menemui dan menghabisinya tanpa ampun.
“Laura.”
Suara samar itu mengalun pelan di telinga Laura, ingatannya langsung tertuju pada Ibu. Ditengokkan wajahnya ke belakang. Namun betapa terkejutnya dia, yang didapatinya adalah prajurit perang yang kemudian membungkam mulutnya lalu membawanya kabur. Laura tak dapat berbuat banyak, prajurit itu bergerak cepat tanpa memberikan kesempatan baginya untuk memberontak. Laura memejamkan mata tak sanggup melihat perbuatan apa yang akan diperbuat tentara itu pada dirinya, `Apakah ini akan menjadi akhir baginya?`

###

“Mengapa kau membawanya kemari?”
Suara seorang laki-laki terdengar berat di sudut ruangan gelap itu. Hanya ada lampu bercahaya redup menerangi dua orang yang terlihat bercakap-cakap sebelumnya. Sesekali ia mengisap putung rokok dan mengetuk-ngetuk tangannya di atas meja.
“Setidaknya aku ingin melindunginya sesaat.”
Laki-laki muda lain di hadapannya merespon dengan sedikit cemas. Sama seperti rekannya. Ia menghisap rokok itu berulang kali, mengepulkan asapnya ke atas, membuat suasana menjadi semakin tidak nyaman.
“Melindungi seperti apa, Samuel? Lambat laun bos akan mengetahuinya dan ia pun pasti terbunuh seperti anak lainnya.”
Mendengar penuturan rekannya tadi, pemuda bernama Samuel itu hanya diam. Ia terlihat berpikir keras, tapi tak kunjung diperolehnya jalan keluar. Hingga akhirnya, Ia berdiri dan pergi meninggalkan lawan bicaranya tadi. Langkahnya berjalan ke sebuah bilik kecil. Di dalamnya terbaring gadis kecil yang sedang terlelap tidur. Kasihan sekali dia. Raut wajahnya sangat menggambarkan ketakutan dan penderitaan yang mendalam. Tentu saja ia sudah tidak memiliki siapa-siapa lagi sekarang.
Samuel tak sengaja menjatuhkan senjata di punggungnya hingga membuat gadis kecil itu terbangun seketika. Matanya terbelalak saat mengetahui sosok tentara itu di depannya. Sontak, ia bergerak mundur saking ketakutannya.
“Pergi kamu! Dasar tentara jahat. Di mana Ibuku?”
Laura berteriak sembari membentak Samuel dengan nada keras. Kebenciannya sudah benar-benar memuncak. Pantas saja, ia sudah kehilangan semua anggota keluarganya dalam perang ini. Dan sekarang, dia sendirian. Samuel memungut senjata miliknya dan meletakkan kembali ke punggungnya. Ia berbalik arah meninggalkan Laura yang masih merengek memanggil-manggil Ibunya.
“Bahkan perang sudah melupakan ingatannya dariku.” Ujar Samuel pelan sekali, nyaris tak bersuara.

Keesokan harinya, Samuel datang menemui Laura kembali. Ia membawa sepiring makanan untuknya. Laura masih duduk di sudut ruangan itu, seperti semalam. Matanya memerah, sepertinya ia belum tertidur dari tadi malam.
“Ini untukmu. Makanlah!”
Laura tak bergerak. Ia tetap memeluk kedua lututnya, tanpa melepaskan pandangan was-was dari Samuel.
“Sudahlah. Aku tidak akan menyakitimu. Ini makanlah, kau pasti sangat kelaparan.”
Samuel mendekatkan piring itu ke arahnya. Awalnya Laura tetap bertahan di tempat tanpa menyentuh sedikit pun makanan itu. Namun, ketika Samuel menjauh, disambarnya piring tadi dan dengan lahap, ia langsung memakannya. Samuel sedikit lega, setidaknya Laura sedikit mempercayai dirinya. Samuel memnadang gadis kecil itu lamat-lamat. Penampilannya sudah benar-benar kusut dan tampak depresi. Kasihan sekali, gadis sekecil itu sudah dipaksa hidup pada zaman perang yang pasti akan mempengaruhi kondisi kejiwaannya.
Tiba-tiba salah seorang tentara lain memanggil Samuel dengan tergesa-gesa. “Cepat! Komandan akan segera ke sini!”
Samuel yang menyadari hal itu langsung bangkit dan menatap Laura tajam. “Kau, diamlah di sini! Jangan bergerak ataupun bersuara!” Tanpa mendengar jawaban dari Laura, Samuel langsung menutup bilik itu dan menguncinya dari luar. Berharap komandan tidak mengetahui bahwa Ia baru saja menyelamatkan seorang anak yang seharusnya dibunuh.

###

“Kau gila Samuel! Ini tidak main-main, kau menyelamatkan seorang anak dan menyimpannya di dalam markas? Kita bisa dibunuh oleh Komandan.” Seorang laki-laki tegap dan gagah yang diketahui adalah pemimpin pasukan itu berteriak keras, membentak Samuel. Ia sangat terkejut mengetahui keberadaan Laura di markas itu.
“Mana mungkin aku tega membunuhnya?” Balas Samuel dengan nada yang tak kalah keras. Pikirannya berkecamuk. Ia merasa sangat tersudutkan kala itu. Tentu saja teman-temannya berada di pihak pemimpin pasukan. Benar saja, menyelamatkan seorang anak adalah kesalahan yang fatal apalagi jika perbuatan itu disengaja. Bisa saja komandan perang menjatuhkan hukuman yang berat bagi seluruh pasukan.
“Ingat Samuel, nyawa seluruh pasukan akan menjadi ancamannya. Cepat atau lambat dia harus dibunuh.” Pemimpin pasukan itu berucap sekali lagi kemudian pergi meninggalkan Samuel sendirian di sana. Begitu pun dengan rekan-rekannya yang terlihat mengikuti pemimpin pasukan tersebut.
Samuel terdiam lama sekali. Ia meremas kepalanya keras. Pikirannya benar-benar memberontak, Apa yang harus dilakukannya sekarang? Benar-benar tak ada niat untuk membunuh gadis kecil itu. Ia berjalan mendekati bilik miliknya. Ketika dibukanya pintu tersebut, Samuel mendapati Laura yang lagi-lagi sedang terlelap tidur.
“Mungkin sudah saatnya aku membuatnya bahagia untuk terakhir kali.”
Laura yang mendengar gumaman Samuel langsung terbangun, sontak ia bergerak mundur ke sudut ruangan kembali. Sepertinya ia masih takut dengannya.
            “Apa kau mau kutunjukkan boneka dan keberadaan keluargamu?”
Laura terdiam. Tentu saja ia ingin sekali bertemu dengan keluarganya, apalagi memiliki boneka kesayangannya yang belum sempat ia temukan saat bom itu meledakkan pengungsian. Namun, Ia tak langsung percaya dengan perkataan Samuel walaupun begitu, matanya berbinar-binar memandang Samuel penuh harap.
“Apakah aku terlihat berbohong? Apakah aku pernah menyakitimu selama ini?”
Laura berpikir kembali. Ya, ia sadar, selama ini tak sedikit pun Samuel menyakitinya, bahkan membentaknya pun tak pernah. Samuel memang tentara yang berbeda. Laura pun akhirnya mengangguk, menyetujui bujukan Samuel.
Samuel tersenyum, dihampirinya Laura perlahan. Dan untuk pertama kalinya juga, ketakutan Laura terhadap Samuel lenyap. Bahkan Ia menggenggam tangan Samuel erat. Harapan untuk bertemu keluarga dan memiliki bonekanya kembali sudah sangat dirindukan.
Mereka berjalan menembus kegelapan malam. Langkah mereka menapak pelan sekali, mengendap-endap perlahan berusaha tak menimbulkan suara dan membangunkan tentara lain yang sudah tertidur. Samuel membawa Laura ke tempat yang cukup jauh dari markas. Mereka berjalan ke sebuah tanah lapang. Laura heran, mana mungkin ia menemukan keluarganya di sini. Tempat ini sama sekali tak menunjukkan tanda-tanda keberadaan keluarganya. Namun perlahan, mereka menemui sebuah rumah kecil yang hampir rubuh. Samuel menghentikan langkahnya.
“Nah, di tempat itulah mereka berada, Ayah, Ibu, kakak, dan bonekamu. Kamu berani mengambilnya, bukan?”
Samuel menunjuk sebuah rumah di hadapan mereka. Awalnya Laura ragu, karena rumah itu sudah tampak rusak dan tidak mungkin untuk dihuni lagi. Namun, karena Laura sudah terlanjur mempercayai Samuel, ia pun langsung menuruti perkataan tentara itu dan berlari ke arah rumah tersebut. Sesampainya di sana, dibukanya pintu rumah itu perlahan. Ia tidak bisa melihat dengan jelas kondisi rumah tersebut, penerangan yang minim menghalanginya untuk bergerak cepat ke dalam.
“Ibu, Ayah, kakak?”
Laura terus memanggil satu per satu keluarganya tersebut tanpa henti. Namun, semakin dalam ia memasuki rumah itu, tak ada tanda-tanda keberadaan mereka. Laura hampir putus asa. Hingga akhirnya, senyumnya terkembang saat ditemuinya boneka teddy bear kesayangannya tergeletak di atas kursi tua tak jauh dari keberadaannya.
“Aah, kau di sini rupanya!”
Laura berjalan perlahan ke arah boneka itu. Di raihnya boneka itu dan dipeluknya erat hingga kemudian ledakan besar menghancurkankan rumah itu. Samuel mematung lama sekali. Ia masih menatap rumah dengan api yang menyala-nyala itu.
“Maafkan kakak, Laura.”
Hatinya hancur saat mendapati kenyataan bahwa ia telah membunuh Laura, adik kesayangannya itu dengan tangannya sendiri. Satu tetes air mata itu berhasil mengalir di pipinya. Sekarang, ia tidak bisa menatap wajah adiknya lagi apalagi melindunginya. Namun setidaknya, ia telah memberikan harapan dan kebahagiaan kepada laura, sesaat sebelum boneka itu meledak bersama dirinya.
“Ayah, Ibu, Laura, kita akan bertemu setelah ini.”
Samuel berjalan perlahan dan tiba-tiba tubuhnya terjatuh ke dalam jurang tak jauh dari tempatnya berdiri. Hingga kemudian ledakan besar kembali terjadi. Inilah akhir bahagia baginya, sebuah akhir di mana Samuel telah menyudahi penderitaan akibat perang, sebuah akhir di mana ia dapat berhenti membunuh manusia tanpa dosa, tetapi, menjadi sebuah awal bagi ia dan keluarganya memulai kehidupan baru di alam sana.

TAMAT

Minggu, 23 Agustus 2015

[Cerpen] Cahaya dari Papua



 “Kamu yakin?” Ujar Laki-laki itu sembari memicingkan alisnya. Keraguan dan kekhawatiran terus terulas di wajahnya ketika didapati keinginan putri semata wayangnya itu.
Elvi sadar, keputusan ini pasti sangatlah berat, mengingat umurnya yang sudah menginjak 22 tahun. Usia yang selayaknya sudah menikah, namun ia memilih untuk mengabdi di daerah terpencil usai menamatkan pendidikannya di bangku kuliah.
“Pikirkanlah kembali Elvi jangan tergesa-gesa! Apakah kamu benar-benar mantap untuk mengajar di Papua selama 5 tahun? Papua itu berbeda dengan Jawa, sulit untuk beradaptasi di sana. Ibu khawatir engkau tidak betah.”
Elvi menundukkan wajahnya. Pikirannya berkecamuk. Sebuah keputusan yang sulit ketika ia dihadapkan antara keinginan Ibunya atau pengabdian yang sudah ia nanti-nantikan sedari dulu. Ibu Elvi adalah wanita yang sangat menjunjung adat Jawa. Sudah berulangkali beliau menginginkan Elvi untuk menikah di usia muda seperti layaknya gadis-gadis Jawa lainnya. Tetapi Elvi masih ingin melakukan hal lain, ia masih ingin menggenggam harapan dan belajar mengabdi untuk menjadi lebih bermanfaat bagi orang lain. Salah satunya dengan mengabdikan diri untuk mengajar anak-anak di Papua, apakah keputusannya salah?
“Elvi harap Ibu merestui saya.”
Ya, keputusannya sudah bulat. Inilah jalan hidup yang akan dia ambil, sebuah jalan yang dia harap dapat memberi hikmah lebih bagi kehidupannya, sebuah jalan yang ia harap akan menuntunnya menjadi manusia yang lebih bermanfaat bagi orang lain.
 “Baiklah Ibu merestuimu Nak, jaga dirimu baik-baik!” Ucap Ibu lembat sembari mendekap Elvi penuh ketulusan. Hatinya trenyuh. Senyumnya seketika terkembang sembari dibalasnya pelukan Ibu. Terima kasih Ibu.
****
Elvi  menatap ke luar jendela pesawat terbang tersebut. Terlintas sebentar ekspresi Ibu dan Bapak kemarin sebelum keberangkatannya ke Papua hari ini. Begitu berat meninggalkan dua orang yang begitu dicintainya dalam waktu lama. Namun, inilah jalan kehidupan yang telah ia pilih.
Setelah 3 jam penerbangan, pesawat tersebut lepas landas tepat di Bandara Sentani, Jayapura, Papua. Elvi tidak sendiri, ia bersama 12 orang lain yang tergabung dalam program tahunan pemerintah. Program ini bertujuan untuk mengirimkan guru-guru di pulau Jawa untuk mengabdi selama 5 tahun di Papua.
Mereka pun melanjutkan perjalanan untuk mencapai sekolah yang berada di Distrik Kiwirok Kabupaten Jayapura.  Baru di tengah perjalanan, mobil yang mereka tumpangi berhenti. Pantas saja, medan yang mereka lalui tidak bisa dilewati dengan kendaraan. Sekolah itu berada di area pegunungan dan sangat jauh untuk ditempuh. Medan yang becek dan terjal memaksa mereka untuk berjalan kaki berpuluh-puluh kilometer. Sebuah awal yang berat, hingga akhirnya kaki – kaki itu menapaki sebuah sekolah dasar  tempat pengabdian mereka selama 5 tahun ke depan.  Sebuah tempat yang menjadi awal dari segalanya.
***
Hari ini Elvi dan rombongan menuju SD Kiwirok. Ketika pertama kali bertemu, Elvi dapat melihat binar-binar mata anak-anak yang sangat antusias menyambut mereka. Berbeda dengan SD di Jawa, jumlah murid di sini tidak terlalu banyak, hanya sekitar 10 hingga 15 orang di setiap kelasnya. Kebetulan Elvi dan Tomi, teman satu kelompoknya mendapat jatah mengajar kelas 2 SD.
Nara gerotelo?”
Sapaan Tomi  dengan bahasa Papua tersebut langsung disambut riuh oleh anak-anak. Semua  menjawab baik, membuat Elvi paham jika Tomi baru saja menanyakan kabar mereka.
Sekolah ini sangat unik, meski bangunannya sederhana dan hanya terdiri dari beberapa ruang saja, tapi ketika menengok ke luar, bentangan pegunungan nan hijau terpampang indah menyejukkan mata. Fakta lain yang baru Elvi sadari, murid-murid di sini tidak memakai sepatu dan membawa banyak bukuseperti anak-anak sekolah pada umumnya. Elvi maklum bahwa medan yang terjal dan becek tidak memungkinkan untuk dilalui dengan sepatu itu, begitu pun dengan harga buku yang terlampau mahal untuk dibeli. Benar-benar rintangan yang berat.
Elvi mengajak mereka untuk belajar bercerita. Sembari membentuk posisi duduk melingkar, Elvi menunjuk satu per satu dari mereka bergiliran bercerita. Fakta lain yang mengejutkan Elvi adalah rata-rata dari mereka berangkat ke sekolah pukul 3 dini hari hanya untuk datang ke sekolah tepat waktu. Tak disangka mereka akan berjuang sekeras ini untuk mengenyam pendidikan. Mereka benar-benar hebat, semangat merekalah yang meyakinkannya untuk tetap tinggal dan menjalani pengabdian dengan penuh ketulusan.
“Oke adik-adik, karena waktu sudah siang, pelajaran dicukupkan sampai saat ini dahulu, besok disambung lagi ya.”
Tampak raut-raut wajah kecewa anak-anak saat mendapati pelajaran telah usai. Ketika Elvi dan Tomo akan kembali, terlihat  beberapa anak mengikuti mereka.
“Kakak, boleh kami ikut? Ingin main bersama kakak-kakak.”
Elvi dan Tomo bertatapan penuh keheranan, hingga akhirnya Tomo tersenyum menatap mereka. “Boleh, ayo ikut!” Ujar Tomo ceria sembari menggandeng tangan-tangan mungil mereka, begitu pun dengan Elvi.
Di tengah perjalanan pulang, Elvi serombongan begitu pun dengan anak-anak tadi bercerita banyak hal. Hingga tanpa sengaja, Elvi tersandung akar pohon yang membuatnya tersungkur ke tanah.
“Ah, kakiku!”
Erangnya berteriak kesakitan. Beberapa teman datang mendekat dan menolong Elvi, sepertinya kaki Elvi terkilir, Elvi pun harus dibantu berjalan oleh rekan-rekannya. Sesampainya di rumah, Elvi beristirahat sejenak sembari mengurut-urut kakinya yang terluka. Rasanya sakit sekali. Tiba-tiba anak-anak yang menemani Elvi tadi membawakannya sebuah mangkuk berisi cairan hijau.
“Itu untuk apa?” Ujarnya penasaran,
“Ini untuk kaki kakak. Kami biasa menggunakan ramuan ini untuk mengobati sendi yang terkilir.” Jelas mereka polos
Aku menatap cairan tersebut dengan sedikit ragu. Namun melihat sikap tulus dan kepedulian anak-anak itu mendorongku untuk mencoba ramuan tersebut. Kubiarkan mereka mengurut-urut kakiku dengan ramuan tadi, lagi-lagi aku kagum dengan mereka. Anak – anak sekecil mereka sudah pandai mengobati luka seperti ini, hebat sekali.
“Terima kasih ya! Ngomong-ngomong kalian tidak dimarahi orang tua kalian jika pulang terlambat?” Tanya Elvi tiba-tiba kepada empat murid di hadapannya.
“Tidak kok. Orang tua kami mengerti jika sekolah kami jauh. Kami pun sering menginap di rumah ibu dan bapak guru. Hari ini bolehkah kami menginap di sini?”
Elvi cukup terkejut mendengar hal ini. Jika dipikir kembali perkataan mereka ada benarnya juga, jarak rumah yang jauh menjadi faktor enggannya anak-anak Papua untuk bersekolah. Elvi pun tersenyum kemudian mengangguk menyetujui permintaan mereka. Seketika saja mereka bersorak penuh kegirangan.
Semenjak tinggal di Papua, Elvi benar-benar harus menyesuaikan kebiasaan-kebiasaan yang begitu kontras dengan Jawa, entah dari segi makanan hingga kehidupan beragama. Elvi harus membiasakan diri dengan makanan ubi jalar dan sayur-sayuran setiap hari. Begitu pun dengan mayoritas masyarakat yang beragama non muslim di sini, terkadang Elvi begitu merindukan suara adzan yang menggema ketika memasuki waktu sholat.
***
Ibu sakit nak
Kalimat singkat yang baru saja  Elvi terima membuatnya mematung di tempat. Elvi terdiam lama sekali, raut wajahnya mendadak cemas dan keringat dingin keluar begitu saja. Tomi terkejut melihat ekspresi Elvi yang tiba-tiba berubah ini. Begitu pun dengan anak-anak di depannya, mereka terlihat kebingungan mengetahui ekspresi Elvi yang berubah panik pasca membuka handphone dan membaca pesan singkat yang baru saja masuk.
Tanpa berkata apapun, Elvi segera meninggalkan kelas dan berlari keluar. Pikirannya sudah tak tentu arah lagi, hanya ada satu orang di pikirannya kala itu. Ibu yang amat dicintainya sakit sedangkan dia tidak bisa menemaninya. Elvi terduduk di samping pohon yang terletak cukup jauh dari kelas. Ia membuka handphone kembali kemudian menggoyang-goyangkan ke atas, berusaha mendapatkan sinyal untuk mengirimkan sms balasan kepada Ibu. 
Rasanya begitu menyakitkan ketika mendapati kabar tentang Ibu. Ingin rasanya segera pulang, namun tidak semudah itu. Jarak Jawa dan Papua tidaklah dekat, apalagi ia tidak bisa melanggar ketentuan dari program pengabdian yang diikutinya. Elvi menenggelamkan wajah pada kedua lututnya, menyembunyikan tangisan yang mendadak ingin diluapkan.
“Kakak kenapa?”
Tiba-tiba suara kecil itu terdengar begitu dekat. Elvi mendongakkan wajahnya dan ditemuilah murid-murid yang sedang memandanginya dengan penuh kecemasan. Sesegera mungkin, dihapus air matanya itu.
“Tidak apa-apa. Kakak hanya merindukan Ibu di rumah.” Ujarnya lemah.
 “Kakak yang sabar ya. Mari berdoa untuk kebahagiaan Ibu di rumah.”
Kata-kata penghiburan dari anak-anak tadi justru semakin membuatnya menitikkan air mata lagi dan lagi. Tiba-tiba anak-anak itu memeluknya bersamaan, menghibur Elvi tanpa lelah kemudian menangis bersamanya. Mereka seolah ikut tenggelam dalam kesedihan Elvi. Di saat yang bersamaan Elvi terharu melihat kepeduliaan mereka. Sebuah kepeduliaan yang mampu menenangkan hatinya sejenak Sebuah kepeduliaan yang justru membuatnya lebih kuat dan tabah menghadapi ujian ini. Anak-anak, kalianlah alasan untuk tetap bertahan di sini, kalianlah alasan untuk lebih kuat menjalani kehidupan ini.
***
Tak terasa 1 tahun terlewati sudah di desa Kiwirok ini. Alhamdulillah, Ibu sudah sembuh. Walaupun Elvi sempat berputus asa pasca kambuhnya penyakit Ibu satu bulan yang lalu, namun berkat hiburan dan semangat dari anak-anak, membuatnya tersadar bahwa ia tidak boleh larut dalam kesedihan terus menerus.
Elvi mengambil banyak pelajaran berharga di sini. Elvi belajar dari anak-anak yang tak pernah menyerah dalam menempuh pendidikannya. Anak-anak yang rela berjalan kaki berpuluh-puluh kilometer, menghadapi lelah dan penat yang tak sedikitpun mengggoyahkan tekadnya untuk meraih cita-cita. Tentu saja ujian yang ia hadapi tak pernah bisa menandingi rintangan mereka. Harusnya ia malu, jika Elvi berada di posisi mereka mungkin ia sudah tidak mau sekolah.
Di sepertiga malam itu, Elvi mengenang kembali bagian perjalanan yang akan terus berlanjut ini. Sebuah perjalanan dengan berjuta harapan mengiringi pengabdian kecilnya itu. Dalam kesunyian, ia berdoa “Untuk murid-muridku tercinta, tetaplah menjadi cahaya bagi Papua, tetaplah menjadi cahaya harapan bagi negeri ini. Kalianlah para penerus negeri, kalianlah sosok penuh semangat yang tidak pernah tertandingi. Semoga gerbang kesuksesan menghantarkan kalian menjadi insan-insan emas bangsa dan tumbuh menjadi cahaya harapan bagi Indonesia di masa depan”.
TAMAT

Rabu, 12 Agustus 2015

[Cerpen] Kenangan Masa Kecil




           Aku membuka album foto itu perlahan, berusaha menerka satu per satu keping kenangan masa lalu. Wajah-wajah itu kembali menyambangi memoriku, wajah-wajah polos dengan tingkah laku kekanakan mereka. Ya, teman masa kecilku. Ah, rasanya ingin sekali kembali pada waktu itu, kembali menjadi anak-anak dan mengulang cerita berharga tersebut. Tapi apalah daya, hanya kenangan yang dapat diputar, tanpa dapat merasakannya secara nyata.
Namun aku beruntung, aku menyisakan banyak kenangan manis yang terukir di sana, tentu saja di Solo, kampung halamanku. Aku menutup lembaran album foto itu perlahan. Mataku menerawang jauh ke luar jendela apartemen bertingkat tersebut. Kucoba mengingat-ingat setiap sudut kampung halaman itu sedetail-detailnya. Namun sulit rasanya, deretan gedung dan tumpukan salju putih di depan mataku ini seketika menghalangi memoriku tersebut.
Ya, empat tahun sudah aku meninggalkan Indonesia demi mengejar impianku di negara yang mereka sebut macan asia ini. Alhamdulillah, aku berhasil mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan S2 ku di sini. Namun, tidak seterusnya kurasakan damai dan tenteram. Ada kalanya aku begitu merindukan nuansa asri pedesaan yang jarang sekali kutemukan di kota Tokyo. Yang ada di sini hanyalah teknologi super canggih yang menggantikan keakraban manusia dengan lingkungannya.

Drrt…

Getaran hp di sampingku membuyarkan lamunanku sejenak. Mataku langsung mengalihkan fokus ke arahnya. Segera kuraih benda kecil itu saat kudapati nama Vendi terpampang di layar LCD.
“Vendi mengirim pesan?”
Gumamku sesaat ketika kusadari bahwa sahabat kecil yang lama sekali tidak kujumpai itu menanyakan kabarku lewat sms seperti ini. Tanpa pikir panjang, aku segera mengetik sms balasan dan menanyakan hal serupa kepadanya. Begitu pun seterusnya, kami saling berkirim pesan hingga ia menanyakan satu pertanyaan  yang membuatku sumringah.
“Hei, Kapan kamu ke Indonesia? Yuk ke desa, nostalgia dengan teman lama!”
Sunggingan senyum langsung tergambar di wajahku. Kubalas pesan itu dengan antusias. Pulang ke Solo dan berjumpa kembali dengan sahabat-sahabat kecilku adalah salah satu harapanku saat ini. Ya, di akhir bulan nanti aku berencana kembali ke Indonesia. Alhamdulillah, aku sudah menuntaskan masa kuliahku di sini. Tidak sabar rasanya segera menyantap nasi liwet buatan Ibu di desa. Padahal, Ibu sudah berkali-kali menelponku dan menanyakan kepulanganku akhir-akhir ini. Tetapi tenang saja, tinggal hitungan hari lagi aku dapat berjumpa dengan beliau dan menghirup aroma desaku secara langsung.

Bandara Juanda, Surabaya.
Roda pesawat itu akhirnya mendarat di tempat tujuanku semula, Indonesia. Meskipun bukan tempat tujuanku sesungguhnya yaitu Solo, tetapi memang sudah menjadi ketentuan bahwa pesawat dari Tokyo itu harus mendarat di bandara ini terlebih dahulu. Aku menuruni pesawat dengan langkah mantap. Rasanya kerinduanku sudah benar-benar memuncak.
Tiba-tiba dari kejauhan kulihat sosok yang sepertinya tak asing lagi bagiku. Aku membenarkan kaca mataku berusaha meyakinkan bahwa penglihatanku ini tak salah. Ya, sepertinya aku mengenalnya. Keyakinanku memantap saat sosok pria itu mendekat dan melambaikan tangannya padaku.
“Hei, Sugeng!”
Ya, itu Vendi aku segera menjemput kedatangannya dengan antusias. Kami segera berpelukan dan saling melepas kerinduan kala itu. Pantas saja sudah 7 tahun kita berpisah semenjak lulus sekolah menengah atas dahulu.
“Vendi, Apa kabar?”
“Alhamdulillah kabarku baik. Wah sepertinya kau tambah gemuk saja.” Candaku kepada sahabt kecilku itu yang langsung disambut dengan tawa khasnya.
“Yuk. Kita ke berangkat sekarang!”
Sebelum kepulanganku kala itu, aku memang menghubungi Vendi terlebih dahulu. Aku ingin kita bersama menuju Solo, kampung halaman tercinta itu. Kebetulan dia sedang menempuh pendidika   S2 di salah satu universitas ternama di Surabaya. Hari itu, kami langsung mencari kendaraan menuju Solo dan pilihan kami pun tertuju pada Bus. Sepanjang perjalanan kami bercerita banyak hal tentang kehidupan kami dan masa lalu kami. Semuanya begitu indah untuk dikenang.
“Sugeng, tahu tidak? Banyak yang berubah sepertinya.” Vendi mengawali pembicaraan pertama kami di dalam Bus.
“Memang, apanya yang berubah?” Tanyaku mengernyitkan dahi
“Di Surabaya, anak-anak tidak lagi bermain permainan tradisional seperti dahulu. Mereka lebih tertarik dengan game android dan gadget mereka. Aku khawatir jika saja hal itu juga terjadi di Solo.”
Aku sedikit tercengang dengan pernyataan Vendi baru saja. Meski begitu aku juga sedikit khawatir jika saja anak-anak di kampung halamanku juga mendapatkan dampak yang sama pada perkembangan teknologi sekarang. Ternyata tidak hanya Jepang saja, kini seluruh dunia merasakan dampak  negatif dari arus globalisasi ini.
“Kalau pun begitu, setidaknya kita harus mengubah dan mengembalikan masa-masa kecil kita dahulu.” Ujarku sembari menepuk pundak Vendi, berusaha menghibur dan meyakinkannya. “Ngomong-ngomong, sesampainya di Solo aku ingin langsung makan nasi liwet buatan Ibu.” Ujarku berusaha mengalihkan pembicaraan. Kami pun tertawa dan melanjutkan perbincangan tentang nostalgia masa kecil kami.
Tak terasa, dua jam perjalanan berlalu. Mataku berbinar-binar ketika sudut kota Solo mulai terlihat. Aku membangunkan Vendi yang sedang terlelap tidur karena kelelahan. Dan akhirnya saat yang ditunggu-tunggu pun tiba, rumah itu terlihat, sebuah rumah sederhana yang begitu kurindukan, sebuah rumah dimana aku menghabiskan waktuku sedari lahir hingga sekarang, rumah yang menyimpan berjuta kenangan bersama Ibu, Bapak, adikku, dan teman-teman.
“Turun di depan pak!” Aku bersiap-siap turun dari bus kala itu. Dari kejauhan rumah itu terlihat sepi, mungkin keluargaku belum mengetahui kalau aku pulang secepat ini. Namun, tak lama kemudian, aku melihat anak kecil yang spontan berteriak ketika menyambut kedatangan kami. Ya, siapa lagi kalau bukan Dina, adik kecilku yang sangat kurindukan. Setelahnya, Ibu dan Bapak pun keluar dan menyambut kami dengan riangnya. Aku pun langsung memeluk mereka penuh kerinduan.
“Sugeng, Sugeng. Mengapa tidak beritahu Ibu kalau ingin pulang hari ini? Kan Bapak bisa menjemputmu?” Ujar Ibuku dengan logat Jawa yang masih sangat kental
“Sugeng kan ingin memberi kejutan pada Ibu.” Jawabku sembari tertawa.
“Ayo, kalau begitu masuk, Istirahat dulu dengan nak Vendi, Ibu sudah siapkan nasi liwet kesukaanmu.”
“Ah, benarkah?”
Aku tersenyum antusias mendengar pernyataan ibu baru saja, rasanya perut ini sudah sedari tadi minta diisi. Kami pun bergegas memasuki rumah untuk beristirahat sejenak. Ternyata belum banyak yang berubah dari bangunan yang mirip dengan rumah Adat Jawa Tengah yang dikenal dengan nama Joglo ini. Pendapanya (yang biasa disebut untuk mewakili ruang tamu bagi orang Jawa) masih luas begitu pun dengan aksen dan ukiran Jawa yang masih melekat di dalamnya.
“Mas, ini es tehnya.” Pandanganku langsung beralih kepada adik kesayanganku yang berjalan ke arah kami. Langkahnya perlahan mendekat, berusaha menjaga nampan berisi minuman itu di tangannya.
“Terima kasih adikku. Ayo diminum, Vendi!”
Aku mempersilakan Vendi untuk meminum es teh tadi, begitu pun denganku yang langsung meneguknya perlahan. Sungguh perjalanan yang melelahkan.
“Dik Dina, sini mas pangku.” Aku memangku adik termanisku itu dan sedikit bercengkrama, sejenak melepas rindu bersamanya. Setelah pertemuan terakhir 4 tahun yang lalu, kini dia sudah besar, rambut hitamnya sudah panjang, dan wajahnya pun kian menggemaskan.
“Dik, Bagimana sekolahmu?” Tanyaku sembari memeluk adik kesayanganku ini.
“Aku sudah kelas 3 SD lho. Aku dapat ranking 1 lagi mas.” Celotehnya kepadaku.
“Wah, Adik mas Sugeng emang pintar.” Sambutku sembari mempererat pelukanku
“Sugeng, Yuk kita jalan-jalan di kota Solo, mumpung masih siang juga.” Ajak Vendi tiba-tiba.
“Wah, ide bagus tuh. Tetapi kita makan dulu yuk, Ibu sudah masak nasi liwet kesukaanku, hehe. Adik ikut mas jalan-jalan nggak?”
“Ikut-ikut.” Jawab adikku penuh kegirangan. Kami pun segera menuju meja makan, menikmati makan siang sembari melepas kerinduan dan mengenang kebersamaan yang belum pernah terulang semenjak 4 tahun silam.
***
Sesuai kesepakatan kami, siang itu kami bertiga berjalan-jalan menyusuri kota Solo. Banyak sekali tempat wisata yang begitu kurindukan di sini. Teringat pada masa lalu, aku, Vendi, dan teman-teman masa kecilku sering sekali menghabiskan waktu untuk bermain-main di sini ketika liburan tiba. Seperti tempat yang kami pijaki saat ini, Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat Solo, sebuah tempat yang menjadi cikal bakal berdirinya kota Solo sekaligus menjadi ikon budaya kota Solo. Banyak turis yang menghabiskan waktu liburan mereka untuk mengunjungi tempat ini. Kami pun mencoba menaiki delman, dan mengitari kompleks keraton tersebut. Beruntungnya kami saat melihat Kerbau putih yang menjadi ciri khas keraton tersebut, konon katanya kerbau itu menjadi hewan sakral keraton, dan hanya bisa keluar pada waktu-waktu tertentu saja. Selain itu, banyak juga para penjual cindera mata dan kerajinan unik di sekitarnya. Aku ingat sekali saat aku merengek kepada Ibu agar dibelikan kerajinan-kerajinan itu dahulu. Benar-benar kenangan yang indah.
Perjalanan kami pun dilanjutkan ke tempat wisata lain, seperti Ngarsopuro Solo, Museum Radyapustaka Solo, THR Sriwedari Solo, dan sebagainya. Jika ingin berkeliling di kota Solo rasanya tiada habisnya. Setelah cukup lama berkeliling, sepertinya Vendi dan adikku terlihat kelelahan. Aku pun mengajak mereka ke suatu tempat makan langgananku dahulu. Tempat makan yang menjual berbagai macam makanan khas kota Solo, ada sate kare. Timlo, nasi liwet, tengkleng dan masih banyak lagi. Inilah yang membuatku dirundung kebimbangan, rasanya semua makanan di sini enak-enak. Ingin sekali aku membeli semuanya, apalagi selama di Jepang, aku belum pernah sekali pun mecicipi makanan Indonesia lagi. Pilihanku pun lagi-lagi jatuh kepada nasi liwet.  Nasi Liwet khas solo ini adalah beras yang dimasak denga kaldu ayam yang membuat nasi terasa gurih dan beraroma lezat. Dalam memasaknya, nasi tersebut dicampur dengan sayur labu siyam yang dimasak agak pedas, telur pindang rebus, daging ayam suwir, kumut (terbuat dari kuah santan yang dikentalkan). Nasi Liwet ini biasanya disajikan dengan daun pisang yang dibentuk pincuk sebagai piringnya. Lezat sekali.
“Ngomong-ngomong, Apa kabar ya dengan Andi dan Didit?” Tiba-tiba aku teringat dengan dua sahabat masa kecilku itu.
“Yang aku dengar terakhir, mereka merantau. Andi di Kalimantan dan Didit ke Sumatera.”Jawab Vendi sembari menuangkan saos ke dalam mangkok baksonya.
“Wah, tak terasa semua berjalan begitu cepat ya.”
Aku sudah bersiap-siap ingin menyantap hidangan yang tersaji di depanku, namun niatku terhenti ketika kutatap Dina masih sibuk dengan ponsel di genggamannya.
“Dik, kok kamu mainan game terus dari tadi?”
Pertanyaanku tidak digubris sama sekali oleh Dina. Matanya tetap memandang layar handphone android itu begitupun dengan tangannya yang sibuk mengotak-atik tombol di sana.
“Dik, makan dulu!” Kini aku memanggilnya dengan nada yang lumayan keras, dan agaknya berhasil. Dina yang menyadari panggilanku pun langsung meletakkan hpnya di meja dan bersiap-siap menyantap makanan seperti kami.
***
Vendi benar. Tidak selamanya desa ini mengabadikan tiap momen kenangan masa kecil kami. Aku teringat perkataannya ketika berada di bus. Sekarang,  tak ada lagi anak-anak yang bermain-main seperti kami dahulu, desa hanya ramai oleh suara kendaraan dan aktivitas warga yang sibuk berjualan. Sedangkan, dimana anak-anak itu? Apakah mereka membantu orang tuanya?
Ternyata tidak. Miris sekali bukan?
Seperti adikku yang mulai terpengaruh oleh derasnya kemajuan globalisasi. Mereka lebih sibuk dengan gadget di genggaman mereka. Parahnya lagi, para orang tua membiarkan hal itu terjadi. Bahkan ada yang merasa bangga melihat anaknya bermain hp berjam-jam, bermalas-malasan, dan menjadi antisosial karena lebih suka mengurung diri di rumah. Tak ada satu pun anak-anak yang memainkan permainan tradisional, seperti kami dahulu. Sedih sekali rasanya.
“Vendi, ingat tidak? Dulu kita sering sekali bermain gobag sodor (salah satu permainan tradisional jaman dahulu), di tanah lapang itu?” Ujarku sembari memutar kilas balik masa kecilku.
“Ya, aku ingat sekali. Sepertinya kecemasanku akan menjadi kenyataan, Sugeng.”
Vendi terlihat sedih mengetahui fakta ini. Begitu pun denganku, ada yang hilang dari tradisi kita, tradisi penuh nilai dan moral yang seharusnya dimiliki oleh anak-anak melalui permainan tradisional bukan malah menumbuhkan kemalasan, individualisme, dan sikap apatis karena game-game di gadget mereka. Lagi-lagi aku menemui Dina yang masih sibuk dengan gadget di tangannya, sudah berulang kali aku menegur untuk mengurangi bermain-main dengan handphone miliknya tersebut, tetapi sepertinya tidak digubris sama sekali.
“Dik Dina, boleh pinjam hpnya?”
“Buat apa?” Dina yang awalnya sibuk dengan gamenya pun bertanya penuh keheranan. Aku tersenyum dan langsung mengambil handphone itu.
“Mas tunjukkan permainan yang lebih seru daripada game ini.”
Dina hanya mengangguk dan menuruti pernyataanku. Sepertinya Vendi sudah mulai mengerti maksudku ini. Kami berjalan menuju suatu tempat, sebuah tempat yang sepertinya sudah lama sekali tidak terurus. Sebuah tempat yang lebih mirip saung sebenarnya, di dalamnya penuh dengan barang-barang dolanan (permainan) yang familiar bagi anak-anak era 90an. Dina pun dibuat penasaran olehnya.
“Dulu, Mas Sugeng, Mas Vendi, dan teman-teman lain sering main di sini. Kamu pasti tidak tahu ya, kalau ada permainan seru seperti ini?”
Dina terdiam. Matanya masih berputar-putar mengamati sudut demi sudut ruangan penuh benda-benda unik itu.
“Yuk dibersihkan, nanti kita main bersama-sama!” Ajakku semangat
Kami pun langsung membersihkan tempat yang dianggap baru bagi Dina tersebut. Namun sepertinya Dina mulai tertarik dengan tempat ini. Pantas saja, ekspresinya terlihat serius membersihkan setiap inci ruangan tersebut, matanya pun tak pernah lepas dari benda-benda yang menarik perhatiannya itu.
            “Yes, selesai.”
Kami menghela napas lega saat mendapati ruangan itu telah bersih dan tertata rapi. Ternyata tidak membutuhkan waktu lama untuk membersihkannya, barang-barangnya pun masih bagus terawat, hanya debu yang membuat tampak buruk.
Saat kami sedang berkeliling mengamati ruangan tersebut, tiba-tiba segerombolan anak yang sedang lewat terlihat mengawasi kami kala itu, seperti penasaran dengan tempat yang mereka anggap baru ini. Anak-anak itu pasti tidak sadar kalau ada saung di kampung mereka. Tanpa keraguan lagi, aku pun mengajak anak-anak itu untuk mendekat.
“Nah, karena semuanya sudah berkumpul. Kakak ingin memberi tahu, inilah tempat bermain kalian yang baru. Sekarang kita mulai main apa?”
Semua terlihat antusias dan sibuk dengan pengamatan mereka masing-masing. Ada yang mengambil papan congklak, kelereng, lompat tali, alat masak-masakan dan lain sebagainya. Sesekali aku dan Vendi memeragakan cara bermain enggrang, congklak, kelereng, petak umpet, dan permainan lain yang langsung disambut tawa renyah anak-anak itu.
Aku dan Vendi pun menatap mereka sembari tersenyum lega. Itulah saung permainan tradisional, sebuah tempat yang sangat sering kuhabiskan bersama teman-teman untuk menjadi seutuhnya anak. Sebuah tempat yang mengajarkan kepada kita tentang persahabatan, kepedulian, toleransi, dan kenangan indah yang tidak pernah terlupakan hingga sekarang.
Setidaknya kecemasan itu hanya terjadi sesaat, bukan? Sesuai keyakinanku dulu, kita bisa memperbaikinya, dan ketika saung permainan tradisional itu kembali bukankah kita dapat mengisi kembali sesuatu yang hilang dari kampung ini?
Ya, inilah kampung halamanku, sebuah kampung kecil yang tumbuh di tengah arus globalisasi tanpa pernah melupakan keramahan, toleransi, dan  adat istiadat di dalamnya, sebuah kampung yang akan menjadi saksi kokohnya keteguhan budaya dan kenangan masa kecil kita.

TAMAT