Dreaming in حلالا way. . .

Halaman

Cari Blog Ini

Apa sih artinya?

Sabtu, 26 Januari 2013

Stasiun dan Kenangan

Sore itu, aku berjalan sembari menenteng case gitarku beserta sebuah koper berukuran besar menuju stasiun di kota Osaka, tempat tinggalku semula. Perasaan bimbang masih melekati jiwaku sebelum aku memutuskan untuk meninggalkan tempat kelahiranku ini. Tentu saja aku memiliki alasan kuat mengapa aku harus melakukan ini semua. Di saat derap langkahku berarah memasuki stasiun, tiba  tiba seseorang meneriakiku dari belakang.

“Tomo?”

Kulihat seorang laki – laki remaja yang sudah tak asing lagi bagiku, berlari ke arahku. Ia terlihat sangat terburu – buru.

“Yume, kau mau kemana?” Tanyanya terengah – engah ketika ia berhasil menyusulku, sembari mendekap lututnya kelelahan.

“Ke Tokyo. Aku ingin melanjutkan kepastian masa depanku di sana. Aku ingin meraih cita – citaku.” Jawabku penuh keyakinan.

“Benarkah? Kenapa secepat ini? Bahkan kau tidak berpamitan denganku?” Perkataan memelasnya membuatku terpukul begitu dalam. Tomo, teman masa kecilku, yang senantiasa mendampingiku hingga saat ini. Aku baru sadar bahwa aku akan merasa  kesepian tanpanya, menyedihkan sekali. Tapi aku juga tak ingin terombang – ambing dalam kehidupan tanpa kepastian seperti ini.

“Maaf aku hanya tidak ingin membuatmu sedih.”

Tak lama kemudian kudengar sebuah suara menandakan datangnya kereta api membuat perasaanku semaikin tak menentu. Sepertinya aku baru saja disuguhi dua pilihan yang sama – sama penting, antara Tomo atau terlambat memasuki kereta. Apalagi aku adalah salah satu penumpang di dalamnya. Sontak aku langsung berlari ke arah stasiun, hingga membuatku lupa berpamitan dengan Tomo yang terlambat mencegahku.

“Aku akan kembali nanti.” Teriakku sambil melambaikan tangan ke arahnya meski suaraku terdengar tidak jelas karena berlarian.

Tidak sempat aku mengetahui ekspresi Tomo. Yang ada di pikiranku, aku berharap tidak terlambat dan  membuatku ketinggalan kereta. Aku mengeluarkan seluruh tenagaku untuk berlari sekencang – kencangnya. Dan akhirnya aku berhasil memasuki area stasiun. Tidak jauh dari keberadaanku, ku lihat kereta api tujuanku sudah diserbu oleh para penumpang lain. Tanpa menunggu terlalu lama, aku segera menuju ke arahnya. Nyaris saja kereta api itu sudah mulai bergerak, namun ternyata, Tuhan mengabulkan harapanku, aku berhasil memasuki lorong kereta tersebut. Lega sekali. Ku tapakkan kakiku di atas lantai kereta mencari nomor tempat dudukku, dan aku menemukannya, tepat di samping laki – laki tua yang sedang terlelap tidur.

Aku memposisikan dudukku sepelan mungkin berharap tidak membangunkannya. Kemudian kuletakkan koperku beserta case gitarku di tempat tas sebelah atas kereta tersebut. Sejenak, kuistirahatkan tubuhku yang sudah basah oleh keringat, efek dari berlarian tadi, dan sialnya lagi, sekarang kakiku mulai terasa pegal. Tiba – tiba dalam suasana ini Tomo kembali hadir di pikiranku beserta kehidupanku di Osaka sebelumnya. Tapi, apa boleh buat, sudah kuambil keputusan ini matang – matang. Aku tak mungkin membiarkan ragaku berada di panti asuhan terus menerus setelah perpisahan antara kedua orangtuaku sebelumnya.

Mereka sama sekali tidak mempedulikan diriku ketika keluarga berantakan itu masih saling terikat. Apalagi setelah kehancurannya, perihnya hati semakin terasa ketika tak ada yang menanyakan keberadaanku ataupun sekedar membahas kelangsungan hidupku selanjutnya. Mereka terlalu egois, pikiran mereka hanya kepentingan diri sendiri, kemudian tanpa perasaan sedikitpun, pergi dengan pasangan mereka masing – masing. Sementara aku? Aku berubah menjadi anak sebatang kara.

Sempat terpikir olehku, bagaimana bisa aku terlahir di tengah kehancuran keluarga seperti ini. Dan hatiku sering bertanya – tanya, bagaimana rasanya memiliki keluarga harmonis seperti teman – temanku, yang dengan polosnya menggambarkan kehidupan keluarga mereka ketika bersekolah dulu. Aku benar  -benar tidak tahan, kesabaranku terkalahkan oleh perasaan iri yang memuncak. Hanya Tomolah yang mengerti kondisiku saat itu. Dia seperti cahaya yang membangkitkanku dari keterpurukan dan menyinariku dari kegelapan dunia. Tapi sekarang, aku akan hidup sendirian tanpanya.
Namun di balik itu semua, aku sadar bahwa aku juga harus maju, aku tak ingin berlarut – larut dengan penyesalan berselimut kesedihan dalam masa laluku ini. Aku ingin meninggalkan hari kemarin dan maju menuju esok yang lebih cerah, esok yang penuh kesempatan untuk meraih kebahagiaan.


***


Keributan derap kaki penumpang membangunkanku yang sebelumnya tengah tertidur lelap sekali. Segera saja, aku membuka kelopak  mataku dengan beratnya. Rasa kantuk dan malas tentu saja masih bersarang di ragaku. Namun semuanya terusir ketika menyadari, aku sudah sampai pada tujuanku, Tokyo. Sesegera mungkin aku merapikan barang  -barangku untuk berjalan keluar kereta  seperti penumpang lain.

BRRUKKK..

Ah, sial bisa – bisanya aku terjatuh hanya karena  turun dari kereta. Aku berusaha untuk bangkit, tapi kenapa susah sekali? Sepertinya kakiku terkilir, hingga kulihat seseorang menjulurkan tangan ke arahku, menawarkan pertolongannya. Dengan terpaksa, aku meraih tangan orang yang belum kukenali itu. Saat aku mulai dapat bangkit dan berdiri sempurna, aku menatap pria itu untuk mengucapkan terima kasih. Tapi ternyata pertanyaannya mendahului niat dalam hatiku.

“Kau tidak apa – apa, kenapa bisa jatuh?” Tanyanya khawatir.

“Aku baik – baik saja. Mungkin karena aku tidak fokus.Terima kasih telah menolongku.” Jawabku sembari membungkukkan badan.

“Sepertinya kita harus lekas pergi dari tempat ini, kamu menghalangi penumpang yang akan keluar dari kereta.” Pernyataan yang  tiba – tiba itu membuatku tersentak kaget, segera aku berjalan cepat untuk pergi dari sana, sebelum aku menengok ke belakang untuk memastikan kebenaran perkataan laki – laki tadi. Dan pantas saja, semua orang, menatapku saat itu. Ah, malu sekali.

“Oh ya. Kita belum berkenalan, namaku Ray.” Ujarnya sembari menjulurkan tangan yang sama saat menolongku tadi, ke arahku.

“Aku Yume senang bertemu denganmu.” Jawabku ramah, kemudian menyambut tangan itu.

“Kamu mau kemana setelah ini.” Tanyanya kembali. Aku tidak tahu harus membalas apa, karena aku juga tidak terlalu mengetahui mengenai Osaka, bahkan sama sekali tidak tahu.

“Tidak tahu, ini kali pertama aku kesini.” Jawabku jujur.

“Oh, berani sekali kamu datang sendirian. Apa tujuanmu?”

“Emm, berharap aku dapat memperbaiki hidupku dengan menyanyi dan bermain gitar.”

“Oh? Kau bisa menyanyi. Boleh aku dengar?”

Permintaan laki – laki ini tidak aku ladeni seperti sebelumnya. Tiba – tiba aku berpikir mengapa dia ingin sekali mengetahui kehidupanku lebih dalam, sampai – sampai menyuruhku bernyanyi. Padahal kita kan belum saling kenal sebelumnya. Bagaimana jika dia orang jahat?

“Hei? Kenapa melamun?” Ucapannya menyadarkan lamunanku mengenai laki – laki tadi, mengenai pikiran – pikiran buruk tentangnya.

“Oh, kenapa kau tiba – tiba ingin mengetahui semua tentangku?”

“Oh, jadi kamu khawatir jika aku adalah orang jahat atau semacamnya?” Ucap laki – laki  itu sembari tertawa pelan, ia berhasil menebak pikiranku. Aku hanya terdiam, kemudian disusul perkataannya kembali.

“Tenang, ini kartu namaku.” Dia menyodorkan secarik kertas tebal berukuran kecil itu. Setelah ku baca isinya, aku merasa sedikit lega.

“Jadi anda seorang produser?” Tanyaku senang saat menyadari bahwa aku sudah menemukan orang yang sedang aku cari sejak awal.

“Iya, boleh aku mendengar suaramu? Aku bisa membantumu meraih impianmu itu.”

“Boleh, bisakah aku bernyanyi di sana.” Ujarku sembari menunjuk di salah satu sudut stasiun tempatku berada. Permintaanku dibalas anggukan oleh laki – laki tadi. Kami segera berjalan ke sana diiringi perasaan penuh harapan yang tumbuh indah di hatiku.

Aku mengambil posisi duduk bersila di atas lantai tak berkarpet tersebut. Ku buka case gitarku perlahan kemudian mulai memetiknya,memainkan sebuah intro. Aku menikmati perform pertamaku di stasiun ini. Semakin aku bernyanyi terlalu lama, semakin aku menikmati lantunan lagu yang sedang kusenandungkan ini. Mataku terpejam berusaha mendalami lagu ini, Tomorrow’s Way, lagu milik YUI, penyanyi terkenal yang sangat aku idolakan.

Plok … Plok …. Plokk…

Tepuk tangan meriah tiba – tiba memenuhi sekeliling tempatku bernyanyi. Saat mataku terbuka, betapa kagetnya aku ketika kudapati kerumunan orang berada di depanku bersamaan tepuk tangan mereka yang ternyata telah menonton performku tadi.

“Terima kasih.” Berulang kali aku mengucapkan terima kasih kepada mereka, karena apresiasi yang mengagumkanu baru saja. Benar – benar tak habis pikir.

“Selamat mulai saat ini, kamu terdaftar ke dalam label kami.”


****


Bulan demi bulan. Aku menikmati kehidupan bahagia ini, kehidupan baru seorang Yume, yang dulunya hanya seorang anak penghuni panti asuhan. Aku menjadi penyanyi baru yang sedang digandrungi banyak orang, khusunya remaja. Mereka bilang suaraku indah, tapi aku tidak berpikir seperti itu. Aku menyadari masih banyak yang lebih hebat daripadaku.

Aku memanjakan tubuhku sejenak di atas kasur hotel tersebut. Maklum saja, akhir – akhir ini, aku sedang melakoni banyak tawaran bernyanyi. Tak heran, jika akhir – akhir ini pula, aku menjadi mudah sekali lelah. Panggung demi panggung, seentero Jepang, sudah banyak kusinggahi. Saat inilah, aku menyadari jika cita – cita kecilku telah tercapai. Tiba – tiba bayangan seseorang menghinggapi pikiranku, Tomo. Entah ada angin apa, aku sangat merindukannya, sahabat kecilku tersebut. Bagaimana kabarnya sekarang? Ku ambil ponsel pink yang tergeletak di atas meja itu, kemudian aku mulai menggerakkan jemari tanganku, mengetikkan sebuah pesan singkat.


Hai, Lama tak berjumpa. Bagaimana kabarmu?


Aku menunggu balasan pesan singkatku gundah. Kerinduanku dengan sahabat kecilku itu sudah amat terasa. Hingga akhiranya terdengar getaran pada ponselku, saat kutatap layar ponselku yang menyala, senyumku tersungging lebar ketika mendapati nama ‘Tomo’ terpampang di sana. Lekas, aku mengambilnya dan mulai membuka pesan singkat tersebut.


Baik – baik saja. Bagaimana dengan kehidupan barumu di Tokyo. Tidakkah timbul keinginan untuk mengunjungiku? Aku merindukanmu Yume.


Kalimat balasannya tersebut membuatku tak kuasa menahan kesedihan. Andai dia tahu bahwa di sini aku juga merindukannya. Tapi, semua keinginan – keinginan manis itu dengan mudahnya terhalang jadwal padat milikku.


Tunggulah di stasiun minggu depan. Aku akan menemuimu.


Aku tidak menghiraukan jadwal apa yang harus kulakukan minggu depan. Tapi keinginanku untuk bertemu Tomo lebih cepat sudah amat ingin kulakukan. Aku harap aku bisa meminta izin libur sebentar pada label.

Seminggu kemudian . . .

Betapa sedihnya ketika aku harus menerima fakta bahwa aku hanya memiliki kesempatan satu hari untuk libur. Bagaimana bisa, aku mengobati rinduku dengan Tomo? Tapi aku tak ingin melewati kesempatan ini sia - sia. Lebih baik bertemu sebentar, daripada tidak sama sekali bukan? Aku menyiapkan diriku sebaik mungkin pagi itu. Kudandani wajahku secara natural, namun tetap terlihat cantik. Selain itu, aku juga menyiapkan kebutuhan yang kira – kira kuperlukan untuk berada di Osaka selama satu hari. Sepertinya tidak terlalu banyak, jadi aku memutuskan untuk membawa tas kecil saja.

Entah kenapa, aku merasa senang sekali untuk bertemu dengan Tomo. Mungkin aku sudah teramat merindukannya, sekaligus menyayanginya. Aku sadar kebaikan selama menemaniku dari keterpurukan masa laluku sangatlah mulia. Itulah sebabnya aku tak akan sanggup melupakan Tomo, selamanya.

Setelah semuanya siap, kali ini aku akan berangkata sendiri tanpa didampingi oleh manager ataupun pihak label. Aku juga berharap tidak ada yang mengetahui keberangkatanku, sehingga aku akan merasa nyaman nantinya. Stasiun pagi itu sudah terlihat ramai seperti biasa. Keberangkatanku untuk menjadi penumpang kereta kembali memutar memori lama, mengundang nostalgia. Masih teringat di benakku,  stasiun inilah awal dari diriku yang sekarang, stasiun ini pula yang memberikanku pagi yang penuh harapan, pagi yang penuh kesempatan untuk meraih kebahagiaan.

Perjalanan ke tempat tinggalku di Osaka menjadi terasa sangat cepat, ketika aku menyadari bahwa matahari sudah berada di atas sana, menandakan siang sudah menggantikan pagi. Aku menengokkan kepalaku ke arah jendela kereta. Tepat sekali, aku telah menemukan pemandangan Osaka yang dulu. Rasanya, aku ingin cepat – cepat turun dan menginjakkan kakiku di sana. Namun, pikiranku mendadak mengingat Tomo kembali, segera kuraih ponsel di kantong jaketku lalu mengetikkan pesan singkat untuknya kembali.


Aku akan tiba di Osaka. Aku harap kamu menjadi orang pertama yang aku temui.

Kereta telah tiba di Osaka, gejolak hatiku lama kelamaan berubah damai bak ditumbuhi bunga – bunga musim semi yang menyejukkan. Aku merindukan Tomo, sangat merindukannya.

Ketika kereta sudah berhenti di stasiun, sesegera mungkin aku menginjakkan kakiku turun dari kereta, selanjutnya membawa langkahku keluar dari stasiun. Dugaanku tepat sekali, ketika mataku menangkap sosok Tomo yang sedang berdiri tak jauh dari stasiun. Sesegara mungkin aku berlari ke arahnya, ku lihat ekspresi gembira terlukis di wajahnya sama denganku. Ku peluk Tomo seerat mungkin berusaha menghapus kerinduanku dengannya walau hanya sejenak.

“Aku merindukanmu, Yume.” Nada bicaranya terdegar lirih sekali di telingaku, seperti berbisik. “Aku menyayangkan detik – detik keberangkatanmu dulu.” Perkataannya barusan membuatku heran.

“Maksudmu?” Ucapku melepaskan pelukannya kemudian menatap mata sendunya tersebut.

“Aku takut jika aku terlambat. Aku ingin mengatakan jika, Aku menyukaimu.”

Perasaan Tomo yang dilantunkan baru saja membuatku tersentak kaget. Aku tidak menyangka bahwa sahabat kecilnya itu memiliki perasaan sayang kepadanya lebih dari sahabat. Aku hanya dapat terdiam lama sekali, entah aku harus merasa sengan ataupun sedih mendengar kenyataan ini.

“Apa sudah ada orang lain yang mengatakan ini lebih dulu?” Suara Tomo terdengar makin lirih, tidak terlalu jelas terdengar. Tapi aku mengerti makna yang ia katakan baru saja.

“Belum. Karena aku hanya mengharap sosokmu. Tidak ada orang lain yang mengerti perasaanku sedari kecil, tidak pula ada yang memperdulikan keberadaanku dalam kegelapan masa kecilku hingga sekarang. Kecuali kamu, hanya kamu yang kurindukan saat aku di Tokyo. Tomo”

Aku tidak terlalu mengerti, mengapa kalimat pengakuan itu tiba – tiba mengalir begitu lancarnya dari bibirku. Namun aku tau, kalimat itulah yang selama ini hanya bisa kupendam, yang hanya aku dan hatiku yang mengetahuinya. Sekarang aku lega, orang yang kusimpan dalam hatiku selama ini, bisa mengetahui perasaanku padanya. Tak terasa sebulir air mata sudah membasahi pipiku.

“Aku tidak akan lama berada di sini. Aku tidak bisa tinggal di sini, Tomo. Aku ingin pergi dari Kenangan gelap masa kecilku di Osaka. Aku sudah berhasil melupakannya ketika aku di Tokyo, dan aku tidak ingin mengingatnya kembali.” Ujarku sembari mengusap buliran air mata itu.

“Aku berjanji, suatu saat nanti aku akan menyusulmu.” Ujar Tomo yakin, sebelum ia mendekapku penuh kehangatan.


- THE END -

Selasa, 22 Januari 2013

Aku dan Mimpi – mimpiku



Ku tempel kertas bertuliskan “OSN Kimia” itu tepat di dinding kamarku. Genap 10 impianku tercapai tahun ini. Ku tatap lagi mereka, mimpi – mimpiku yang berhasil teraih. Hingga pandanganku terpusat di sebuah poster yang menghias di dindingku pula.

Paris . . .

“Ahh, mana mungkin aku bisa ke sana?” Gumamku ragu – ragu. Hingga akhirnya ku tatap gambar Menara Eiffel tersebut lekat – lekat.

“Pasti bisa.” Ku yakinkan diriku sendiri. Aku mempercayai kekuatanku, kekuatan Tuhan yang telah diberi. Suatu saat nanti aku pasti berhasil meraihnya seperti mimpi – mimpiku sebelumnya.

***

Tet . . Tet. . Tet . .

Akhirnya bel istirahat itu berbunyi, sepertinya waktu itulah yang telah dinantikan para siswa di kelas ini, termasuk aku. Bosan sekali, mendengar Guru Bahasa Indonesia yang baru keluar tadi berceletuk di depan kelas, apalagi dengan suara yang jauh dari kata keras. Bukankah itu membuat kami mengantuk? Tapi ya sudahlah, untuk memahami pelajaran, salah satu syaratnya ialah kita harus mencintai guru.

‘AKU CINTA GURU’  Gumamku dalam hati sembari tersenyum sendirian di bangkuku, Tiba – tiba seorang teman menepuk pundakku dan berhasil menyadarkanku dari lamunan konyolku tadi.

“Wooyy, senyum – senyum sendiri, Kenapa? Jangan sampai anak – anak yang lain meragukan kesehatanmu ya? Hehehe.” Ujar Nia dengan gamblangnya, Temanku ini memang sangat terbuka, jadi wajar jika bicaranya cenderung ceplas – ceplos. Tapi, dia adalah sahabat karibku, aku menyayanginya sekaligus menghargai sikapnya tersebut.

“Kau ini.” Balasku agak sedikit kesal.

“Mau ke kantin?” Tawarnya penuh semangat.

“Ahh, tidak, aku sudah sarapan nih.” Jawabku sembari menyunggingkan senyum termanisku, walau niat dalam hati ialah penolakan.

“Yah, kau ini, apa tidak ada aktivitas lain selain membaca buku?” Ekspresinya berubah cemberut.

“Tidak.” Jawabanku sukses membuatnya semakin kecewa. Walaupun begitu, aku senang bisa menggodanya setiap hari.

“Ok, selamat belajar, kutu buku.” Ucapnya sekali lagi sambil menjulurkan lidahnya sebelum langkahnya bergerak membelakangiku dan membawanya pergi ke luar kelas.

Aku hanya bisa menggeleng – gelengkan kepalaku melihat tingkah konyolnya itu.


Pulang sekolah tiba . . .

Seperti biasa aku dan Nia berjalan menuju rumah yang terbilang berjarak cukup dekat dari sekolah. Tak ketinggalan, selama berjalan berdua, obrolan – obrolan mengiringi setiap langkah kami.

“Dit, main yuk.”  Tawar Nia untuk kesekian kalinya. Dia sepertinya tidak dapat kehabisan ide untuk membujukku, walau seringkali jumlah tawarannya tidak seimbang dengan penolakanku yang menduduki prosentase lebih besar. Kadang, aku juga merasa tidak enak hati.

“Yah, kamu tidak dengar Bu Khusnul tadi? Lusa ada ulangan Matematika?” Lagi – lagi aku menolaknya.

“Sebentar sajalah, kan belajarnya bisa besok.” Bujuk Nia memohon.

“Maaf Nia, tidak bisa. Kalau aku nggak bisa ngerjain, aku pasti menyesal berminggu – minggu.”

“Apa kau juga menjawab tidak jika aku mengajak Nicholas?”

Pernyataan itu sukses mebuatku terpatung di tempat. Nicholas, teman SMPku dulu, mendadak pikiran beralih mengingat sosok Nicholas. Aku tak bisa mengelak jika aku menyukainya dulu bahkan hingga sekarang. Aku terdiam begitu lama. Kutimbang – timbang ulang penolakanku tadi, dan sekarang kegalauan mulai menyusul menambah suramnya suasana antara memilih Nicholas atau belajar.

***

Aku harap aku tidak salah mengambil keputusan ini dan menyesal kemudian. Kali ini, Nia mengajakku pergi ke sebuah kafe. Kami berbincang – bincang banyak mengenai diri kami masing – masing, atau sekedar bersenda gurau dan yang pasti tentang Nicholas, teman SMP sekaligus cinta pertamaku. Aku belum dapat mengartikan rasa ini, entah kenapa ketika namanya terngiang di otakku, keinginan bertemu dengannya selalu muncul bahkan di saat waktu yang tidak tepat sekalipun.

“Apa kau sudah bertemu Nicholas sebelumnya?” Tanyaku mengubah topik pembicaraan.

“Ahh, sepertinya kau sudah rindu ya, aku bertemu dengannya seminggu yang lalu dan segera merencanakan untuk main bersama seperti ini, jadi aku mengajakmu saja?” Jawabnya berniat menggoda.

Aku tak merespon jawaban Nia. Jujur saja, aku lega bisa mengetahui kabar tentangnya, terlebih mengetahui bahwa Nicholas baik – baik saja. Ingin sekali segera berjumpa dengan sosoknya yang sekarang, masihkah setampan dulu. Tidak lama setelah imajinasiku mulai berkembang, tak sengaja cahaya mataku menatap sosok yang menurutku sudah tak asing lagi, sosok yang kutunggu – tunggu selama ini.

“Hei Nicholas!” Panggil Nia kepada sosok yang ku maksudkan tadi.

Nicholas segera menghampiri kami setelah dia menampakkan senyum manisnya itu. Senyuman yang sama seperti 3 tahun yang lalu.

“Hai, apa kabar?” Nia menyapanya ramah yang kemudian mengambil posisi di dekatku. Ternyata tak banyak perubahan dalam dirinya. Sementara jantungku mulai berdegup lebih kencang diselingi kegugupan yang mulai merambah sekujur tubuhku.

“Baik. Bagaimana dengan kalian?” Ujarnya berbalik Tanya.

Tidak seperti Nia yang menjawabnya ceria , aku hanya memberi jawaban dengan anggukan kecil tak lepas dari kegugupan yang masih hingap di ragaku bahkan pipiku pun mulai memerah.

“Aku ke toilet dulu ya.” Lagi – lagi Nia membuatku mati kutu. Bagaimana bisa meninggalkanku sendirian dengan Nicholas, hanya berdua. Aku terpaksa mengiyakannya, semakin jauh dia berjalan, tak terasa sosoknya cepat sekali lenyap di balik dinding. Dan sekarang, Kepanikan mulai menyerangku.

“Dita, aku ingin memberimu sesuatu.” Kalimat Nicholas mebujukku menatapnya untuk yang pertama kali setelah aku menunduk terlalu lama.

“Apa?” Kutanyakan sebuah kata untuk yang pertama kalinya pula, walaupun terasa berat.

Kulihat tangannya sibuk merogoh kantong kanan pada jasnya, dan di letakkan benda berwarna pink itu di atas meja, sebuh surat. Aku terbelalak kaget. Bukankah itu surat yang kuberikan kepadanya 3 tahun yang lalu? Dan hingga sekarang, masih ia simpan. Tak lama setelah itu, dia berbicara,

“Aku menerimanya. Maaf aku baru bisa membalas perasaanmu, Apakah aku terlambat?”

Oh Tuhan, Apakah aku sedang bermimpi? Dia juga memiliki rasa yang sama denganku. Benar – benar tidak habis pikir. Ku ambil surat cinta itu lalu kudekap di depan dadaku, kutundukkan kepalaku kembali untuk meyakinkan bahwa ini bukan mimpi, dia menyukaiku.

***

Satu bulan kemudian . . .

“Kamu turun peringkat? Bagaimana bisa?”

Entah gejolak apa yang menyelimuti hatiku saat itu ketika harus menerima amarah dari kedua orang tuaku, terutama ayahku.

“Maaf Ayah. Dita juga sedih.” Ujarku terisak, aku benar – benar tidak mampu menahan air mata yang dari tadi terus – menerus mendesak keluar.

“Kamu enggak belajar? Apa kamu pacaran?” Bentak Ayah lebih keras. Aku sudah  tak dapat berkutik untuk menyembunyikan semua fakta ini. Fakta ini benar – benar mendustai kedua orang tuaku, ingin rasanya mengatakan yang sebenarnya, tapi aku tidak sanggup.

“Jawab Ayah!!!”

“Iya.” Terpaksa aku melontarkan kata ini. Kata yang membuat keberadaanku menjadi semakin terpojok, yang selanjutnya omelan – omelan menyakitkan itupun meledak kembali.

“Ya ampun Dita. Sudah Ayah bilang, jangan pacaran dulu sebelum lulus SMA, itu akan mengganggu belajarmu, Lihat raportmu, semula kau menjadi bintang kelas, dan sekarang 10 besarpun tidak kau peroleh? Kau Ingat, sebentar lagi kamu akan menghadapi UN dan sukses tidaknya masa depanmu semakin dekat, tak bisakah kau sadari. Bersabarlah, Dita. PUTUSLAH DENGAN PACARMU ITU.”

“Tapi Ayah . . .”

“Lebih menyayangi Ayah atau Dia.” Segera mungkin Ayah melangkah cepat meninggalkanku yang tak kuasa menahan isak tangis. Aku berlari kencang menuju kamarku, kemudian kurebahkan tubuh keras. Aku menangis sejadi – jadinya kala itu. Aku baru sadar, ternyata hubunganku dengan Nicholas akan menumbangkan semua mimpi – mimpiku. Ini pun kesalahanku, waktu berhargaku lebih banyak kuhabiskan dengannya daripada belajar. Jika aku tidak menuruti egoku, pasti semua akan baik – baik saja. Aku juga sadar, aku terlalu egois, aku hanya memikirkan diriku sendiri, tidak sekalipun memikirkan mereka, kedua orang tuaku yang sudah jelas – jelas mendidikku mati – matian hingga saat ini. Namun apa yang ku balas? Aku malah berbuat menyimpang.

Tapi dari semua fakta itu, aku juga mencintai NIcholas, entah ini hanya perasaan sayang semata, atau perasaan sayang yang nyata.

‘Masihkah ada kesempatan untukku?’

***

Hari ini, Kuputuskan untuk bertemu Nicholas, aku belum tahu apa yang harus ku katakan nantinya. Namu aku berharap dia mengerti mengenai masalahku dengan orang tuaku semalam. Aku memutuskan untuk tidak memberitahunya mengenai kedatanganku kali ini. Aku tidak ingin dia mencemaskanku yang tiba – tiba akan singgah ke rumahnya.

Semakin lama aku berjalan, semakin dekat langkahku dengan rumah Nicholas. Tapi, tak seperti biasanya, pintu gerbang rumah Nicholas terbuka dan aku juga mendapati mobil terparkir di dalamnya, menurutku itu bukan mobil Nicholas. Tanpa memencet bel terlebih dahulu, aku langsung memasuki rumahnya. Keganjalan mulai terlihat kembali, ketika aku mendapati pintu rumahnya juga terbuka. Perasaan penasaran sekaligus khawatir berbaur menjadi satu. Kuputuskan untuk membuka pintu rumahnya tersebut dan…

‘Apa yang ku lihat ini?’

“Dita? Sejak kapan kau di sana?” Nicholas menatap kedatanganku shock. Bukannya aku yang seharusnya merasa shock melihat pemandangan memuakkan seperti ini. Dengan kedua mataku, kulihat kekasihku sendiri bermesraan dengan gadis lain.

“Jadi ini kamu yang sebenarnya? Dasar Munafik.” Bentakku kepada Nico tanpa mempedulikan gadis yang terlihat masih bingung dengan semua kejadian ini.

“Tunggu, aku bisa jelaskan.” Nicholas berusaha menahanku. Namun tentu saja aku mengelaknya.

“Aku salah memilihmu, Nico.”

Itulah kalimat terakhirku sebelum aku meninggalkan Nicholas dan gadis selingkuhannya tadi. Aku beranjak pergi dari tempat laknat itu kemudian berlari sekencang – kencangnya, lari, dan terus berlari, tak peduli lelah yang mulai diderita kakiku. Yang aku inginkan saat ini adalah menghilang dari kenyataan pahit yang menimpaku dengan kejamnya. Bagaimana mungkin? Orang yang kucintai ialah orang yang menghianatiku.

Kini, kelelahan sudah tak dapat ku tahan lagi. Aku memutuskan berhenti di sebuah tanah lapang. Aku ingat, tempat ini adalah tempat yang aku datangi pertama kali ketika aku memberikan surat itu kepada Nicholas. Dan sekarang, aku datang sendirian tanpa cinta tulusnya melainkan hanya luka nyata terperih yang aku dapat. Aku payah, benar – benar payah, bisa – bisanya tertipu oleh kata – kata manis yang menjerumuskan itu. Lalu, apa gunanya aku menyita waktuku hanya untuknya, menghianati ayahku hanya untukknya, bahkan merelakan kegagalanku hanya untuknya. Semuanya sia  -sia, aku menyesal.

“Ini pelajaran untukmu sayang.”

Suara itu, kutengok ke arah sumber suara dan kudapati ibuku sudah berada di belakangku. Lekas aku memeluknya dan menangis di dekapannya. Kucurahkan semua sakit hatiku dan tangis yang sebelumnya aku pendam sendiri.

“Wanita baik sepertimu, tidak cocok untuk bersanding dengan laki – laki licik seperti dia. Percayalah akan ada yang lebih baik untukmu nanti. Kau hanya harus bersabar sayang. Lihat langit biru di atas sana.”

Ku usap air mataku, kutengadahkan kepalaku ke atas, menatap lagit biru indah itu.

“Selama langit biru itu masih di atas, kau masih memiliki kesempatan berharga lainnya karena kehidupan akan terus berjalan, tidak ada kata terlambat untuk terus maju. Berjuanglah apapun yang terjadi.”

“Tapi aku sudah gagal ibu, aku kalah.” Jawabku murung.

“Jangan pernah berkata gagal, karena kegagalan hanya untuk orang – orang yang menyerah dan kalah. Bukankah kau masih memiliki mimpi – mimpimu yang dulu?”

Seketika aku teringat mereka, impian – impian besarku. Seperti sebuah kilas balik menayangkan di saat aku bekerja keras untuk meraih satu demi satu cita – cita yang kuimpikan, dan betapa gembiranya diriku saat aku meraihnya. Aku benar – benar  merindukan mereka, merindukan diriku yang dulu.

“Kembalilah pada dirimu yang dulu, kembali pada mimpi - mimpimu. Raih mereka kembali. Kami akan senang jika kamu bahagia kelak, Dita. Dan percayalah, Keyakinan dan cita - cita akan menjadi sebuah doa. Yakinlah pada dirimu sendiri, dan yakinlah bahwa Tuhan bersama orang – orang yang berusaha dan berdoa.”

“Ya, aku sadar ibu. Terima kasih.”


-TAMAT-

Sabtu, 19 Januari 2013

Takdir Masa Depan


Gadis berpayung hitam itu terlihat berjalan menyusuri kota Bandung di tengah derai air hujan yang secara beriringan membasahi jalan tempatnya berpijak dan sesekali tetes – tetesnya memperdengarkan  irama hujan yang sederhana namun menyejukkan telinga. Dia terus berjalan hingga akhirnya sebuah papan nama menghentikan langkahnya. Didongakkannya kepala gadis itu ke atas, matanya menelusuri tiap abjad dalam papan nama yang terpampang tepat di tepi jalan dimana dia berada sekarang. “WS Bakery”.

Sedikit sunggingan senyum menghias wajahnya sebelum kedua kakinya memaksanya masuk ke dalam toko kue yang lumayan besar itu. Kedua bola Matanya langsung menerawang seisi toko, yang sudah dipenuhi oleh para pembeli. Dia memilih salah satu bangku di sana untuk didudukinya. 

“Ada yang bisa saya bantu Nona?” Seorang pelayan berompi hitam dengan kemeja putih menawarinya. “Satu potong Rainbow  cake ukuran kecil dan cappuccino hangat.” Ucap gadis dewasa tersebut yang masih sibuk membaca daftar menu.

“Mohon tunggu sebentar.” Pelayan itu beranjak pergi setelah mencatat pesanan yang sudah ia dengar tadi. Tidak selang kemudian, dua orang pelayan dengan seragam sama berjalan menuju meja dimana wanita tadi berada. 

“Silahkan dinikmati.” Pelayan itu membungkukkan badan lalu beranjak kembali setelah mengantarkan pesanannya. Wanita itu hanya tersenyum bersamaan dengan sedikit anggukan kepala yang nyaris tidak terlihat. Seketika ia menyeduh satu cangkir cappuccino hangat yang dipesannya tadi. Tiba – tiba ia menolehkan wajahnya ke arah kaca transparan di sampingnya. Mendadak ekspresinya berubah muram, rindu terpahit itu mulai menyeruak sempurna di dadanya.

Di balik aliran tetes – tetes hujan di sisi luar kaca itu, cahaya matanya mampu memantulkan sebuah tempat menarik di luar sana, sebuah halte tua. Sepertinya tempat itu sudah tak asing lagi bagi dirinya. Disilangkan kedua tangannya di atas meja untuk mefokuskan pandangannya ke arah halte. Seketika pula sekelimat bayangan muncul, memutar memori masa lalu dalam otaknya. Sebuah kenangan nyata, kenangan indah sekaligus menyedihkan. 

“Awan, bagaimana kabarmu?”

****
Suara ribut terdengar memenuhi sebuah toko kue kecil pinggir jalan, ternyata sang pemilik sekaligus karyawannya sedang sibuk mempersiapkan dagangannya yang tak lain ialah macam – macam kue lezat yang siap menggoda lidah. 

“Sita, cepat cuci wadah kue di sana, bukannya kamu harus pergi kuliah lebih awal?” Suara serak namun terdengar keras dari seorang wanita paruh baya itu membuat gadis remajanya bergegas menuruti perintahnya. Disiapkannya segala yang diperlukan dengan cekatan, hingga peluh yang mengalir deras di wajahnya tidak dihiraukan lagi. 

“Ibu, aku berangkat kuliah dulu ya. Sepertinya aku akan terlambat.” Ucap gadis berseragam hitam tersebut.

“Baiklah, hati – hati. Jangan lupa bawa kue di dalam keranjang itu.” Jawab sang ibu yang masih berkutat dengan pekerjaannya. Setelah mengucap salam, gadis itu langsung bergegas pergi, bersama keranjang kue yang digenggamnya sekarang. Langkahnya bergerak cepat bergantian. Ia tak ingin terlambat kuliah, tapi semakin cepat ia berlari, ternyata lintang jarak itu teramat jauh. Hingga akhirnya ia sampai di halte bus dan beruntung sekali ketika ditemuinya bus yang sudah siap menunggu. Berarti ia tak perlu repot – repot sekaligus memakan banyak waktu untuk mencari angkutan lain. Dengan semangat ia segera bergabung dengan penumpang lainnya. 

“Aahh, melelahkan sekali.” 

****

Harapan Sita terkabul, mahasiswa ITB jurusan Teknik Industri tersebut tidak datang terlambat seperti apa yang ditakutkannya esok tadi. Namun sayang, sepertinya kue yang dibawanya tidak terlalu laku terjual, masih banyak yang tersisa. Ketika waktu istirahat tiba, ia mencoba berkeliling kampus dengan tetap ditemani keranjang kue yang sekarang berada di dekapannya. Baginya, tak ada rasa malu sedikitpun, ini adalah sebuah kewajiban membantu orangtua sekaligus membantu membiayai kuliahnya. Masa depan apapun pasti bisa diraih jika ada kerja keras. 

Sita berjalan semakin jauh dari kelasnya. Kakinya pun mulai menimbulkan efek kelelahan, Kampus ITB kan luas. Hingga tiba saatnya Sita melewati sekerumunan pemuda yang sedang berbincang – bincang di depan sebuah laboratorium fisika. Sita merasa agak ragu untuk menawarkan kue ini kepada mereka, tapi jika ia tidak menawari mereka, mana mungkin ia tahu jika mereka mau beli atau tidak. Akhirnya Sita hanya berniat lewat saja. Namun sebelum Sita bergerak lebih jauh, suara seorang pemuda berteriak menyebut sebuh panggilan, dan kala itu Sita merasa dialah yang dipanggil. Sita menoleh,

“Iya kamu.” Pernyataan itu meyakinkannya apalagi saat mata pemuda yang memanggilnya tadi tepat mengarah pada sosok Sita. Tanpa menunggu lama, Sita bergegas menghampiri kerumunan pemuda tersebut. 

“Hei, aku beli dong kuenya.” Nada sumringah keluar dari mulut salah satu dari mereka begitupun dengan wajah Sita yang berkespresi sama, yang sepertinya sudah mengetahui jika dagangannya sebentar lagi akan laku.

“Siapa yang mau?” 

“Aku dong.”

“Aku juga.”

Nada – nada ketertarikan mulai terdengar sahut -  menyahut tanpa henti, hingga seseorang dari mereka berbicara.

“Kalau begitu kami borong semua.” Kalimat itu sukses menumbuhkan kepuasaan dalam hati Sita. Dia membayangkan, betapa senangnya Ibu Sita melihat dagangannya ludes terjual.

“Nogomong – ngomong kenalin, aku Awan.” Pemuda itu mengulurkan tangannya ke arah Sita yang dengan segera menyambutnya ramah.

‘DEG’

“Sita.”

****

Lama - kelamaan perkenalan singkat itu mengantarkan sebuah kedekatan yang cukup erat di antara mereka. Tak jarang pula Awan terlihat berangkat dan pulang bersama dari kampus dan ternyata rumah mereka tidak terlalu jauh satu sama lain. Entah timbul perasaan apa, Sita mulai merasa nyaman saat Awan mendampinginya.

“Oh, Jadi orangtuamu punya toko kue?” Awan memulai pembicaraan mereka ketika keduanya terlihat berjalan bersama – sama. 

“Iya kami sering menitipkan dagangan kami di beberapa toko kue lain yang lebih besar selain menjualnya sendiri.” Jelas Sita.

“Emang cita – citamu apa?” Tanya Awan untuk kedua kalinya.

“Pengusaha kue, aku ingin mengembangkan usaha orang tuaku.”

“Wah, mungkin nanti kita bisa mendirikan perusahaan kue terbesar di pulau Jawa bersama, ya?” Goda Awan kepada Sita.

Hah? Kita? Bersama – sama?

“Eh, ngomong – ngomong besok berangkat bareng yuk, aku tunggu di halte bus biasa.” Tawar Awan yang membuat Sita mendadak tersipu. Dia juga belum menemukan alasan mengapa hatinya tiba – tiba memunculkan rasa aneh ini. 

“Eh, Sita…” tepukan tangan Awan di bahuku menyadarkan lamunanku. Bisa kulihat dia tertawa saat mengetahui aku megedip – edipkan mataku untuk membuatku kembali ke dunia nyata. 

“Hahaha, kau itu lucu.” Suaranya terkikik.

“Kalau rumah Awan sendiri dimana?” 

Tiba – tiba Awan mengehentikan langkah kakinya. Ia menatap mata Sita lekat – lekat, membuat Sita bergemetar takut sekaligus gugup. 

“Ayo kutunjukkan.”

Kini tangan Sita sudah menyatu dengan tangan Awan, ia belum sempat menolak saat Awan menggandengnya serta menarik dengan penuh semangat seperti ini. 

***

Keesokan harinya . . .

Sita telah berangkat pagi – pagi sekali, bahkan jauh lebih pagi dari sebelumnya, tujuannya adalah tak ingin membuat Awan yang sebelumnya menawarkan ajakan untuk berangkat bersama malah menunggu dirinya. Dan tepat dugaan, Halte masih sepi, bahkan masih bisa dirasakan udara dingin bertiup semilir meraba permukaan kulit tangan Sita yang kebetulan tidak terlindungi jaket kala itu. Ia melipatkan tangannya di depan dada dan sesekali mengusap – usapkan kedua telapak tangannya untuk sedikit mengurangi hawa dingin yang menyerangnya tersebut. 

Tiba – tiba terlintas dalam pikirannya momen – momen di rumah Awan kemarin. Ternyata Awan adalah anak orang kaya, ayahnya adalah pengusah kue terbesar di kota bandung. Dari situlah Awan menyuguhkan pemberian berharganya, ia mengenalkan ayahnya kepada Sita, serta mengatakan bahwa Sita adalah penjual kue pula tak jauh berbeda dari ayah Awan, hanya saja besarnya usahalah yang membedakan mereka berdua. Dari situ, Toko Sita menjadi penyetor kue tetap untuk perusahaan ayah Sita, karena mereka berpikir bahwa kuenya terasa  sangat lezat. 

Aku menyukainya . . .

Ahh, apa ini kenapa hatiku tiba – tiba berkata demikian? 

Sita segera menyadarkan dirinya kembali, akhir – akhir ini sepertinya ia sering melamunkan aktor lamunan yang sama, yang tak lain ialah  Awan. 

Tiba – tiba tapak kaki seseorang terdengar semakin dekat, sontak Sita menoleh ke sumber suara.

“Awan.”

“Hei, maaf membuatmu menunggu.” Responnya mengambil posisi duduk di sampingku.

“Kenapa datang sepagi ini?” Awan mengangkat alis kirinya keheranan.

“Oh, tidak. Aku hanya tidak ingin membuatmu menunggu, aku merasa selalu merepotkanmu.” Ucap Sita tertunduk.

“Oh ya? Aku merasa tidak direpotkan. Aku senang membantumu, Sita. Karena, aku menyukaimu.”
Kalimat itu bergetar indah di gendang telinga Sita. Detak jantungnya mulai tak beraturan. Dia menyukai Sita, seorang Awan. Ah, Sita memastikan bahwa perkataannya hanya candaan semata. Topeng wajahnya mulai dipersiapkannya, berusaha menyembunyikan perasaan hatinya yang memang sama dengan apa yang keluar dari mulut Awan barusan. Tapi apa itu benar – benar nyata?

“Kau bercanda?” Suara Sinta keluar begitu berat, mencoba memastikannya. 

“Tidak, aku serius. Apa mukaku ini terlihat bercanda? Apa kamu mau jadi kekasihku?”Jawab Awan lugas, benar – benar tidak ada ekspresi bercanda terugurat di wajah tampannya itu. Sita pun berpikir demikian, tapi apa yang harus ia ucapkan selanjutnya? Ingin rasanya ia mengucapkan “Ya”. Tapi di  balik keinginannya tersebut, timbul ketakutan, apakah Awan memang jodoh yang Tuhan berikan? Tapi perasaannya mulai beradu kembali, perasaan yang menjelaskan dengan gamblangnya bahwa Awanlah yang mampu menggetarkan hatinya sejak pertemuan pertamanya dulu. 

“Iya, aku mau.” Inilah keputusan Sita, ia tidak bohong, ia benar – benar menyukainya bukan sekedar candaan semata. 

“Terima kasih”

***

Kebahagian mereka tak dapat terukir oleh kata – kata dan kalimat. Bahagia sekali, Sita sangat mencintai Awan, sosok idamannya, sosok pemberi semangat, sosok penolong, dan sekarang sosok itu menjadi miliknya. Tidak pernah terbayangkan sama sekali namun inilah hidup, tidak bisa ditebak, hanya sebuah arus yang dimainkan oleh waktu yang selalu mengalir maju tanpa pernah kembali, arus itu terkadang mengalir tenang, tapi ada saatnya mengalir deras mencelakai manusia.
Tetapi kesedihanpun berganti datang. Semua itu tidak bertahan lama, kebahagiaan mereka, keinginan mereka, dan masa depan mereka sirna sudah ketika kegelapan malam itu dengan kejamnya melenyapkan cahaya terang itu.

Mereka dirampok oleh mafia bersenjata tajam saat sedang pergi kencan. Mereka yang dengan membabi buta ingin membunuh Sita, karena saat itu ia menolak untuk memberikan tasnya kepada mafia – mafia busuk tersebut. Dengan susah payah, Awan menolongnya, dia berhasil. Tapi senjata mereka tidak berpihak kepada kami, ujung pisau itu berhasil menembus punggung Awan.

Dan Awan pergi, dengan tragisnya di depan mata Sita sendiri.

***

Wanita yang sudah diketahui bernama Sita itu meletakkan karangan bunga di atas sebuah makam berselimut rumput hijau dengan batu nisan yang menciptakan “Awan Setiawan” .

“Hai Awan, aku sudah berhasil menjadi pengusaha kue seperti yang kau idamkan dulu.” Suara tercekat wanita itu terdengar lirih sekali.

“Tapi, kenapa kau tidak tinggal saja bersamaku? Aku benci denganmu, bukankah kau dulu yang bilang akan menemaniku. Aku merindukanmu, aku teramat menderita tanpamu.” Wanita itu berusaha menahan genangan air yang telah terkumpul di permukaan matanya. Ia mendongakkan kepalanya menatap lagit biru nun jauh di sana, seraya berdoa. 

“Terima kasih, kau telah membantu meraih cita – citaku. Tuhan, terima kasih Kau telah mendatangkan sosok Awan kepadaku, Malaikat pelindungku.”

Satu tetes embun berlinang di pipi gadis itu. Kenangan pahit 10 tahun yang lalu adalah penyebab semua kekejaman ini. Walaupun Takdir memang tak selau indah tapi takdir Tuhanlah yang terbaik untuk kita. Karena Tuhan adalah Maha Adil. 

Jangan berputus asa dengan mudahnya, Hidupkanlah kembali cahaya yang pernah pudar.

-Tamat-