Aku
akan menurut dan langsung mempercayai Ibuku ketika ia mengatakan bahwa ayah
sedang merantau. Tapi sekarang? Aku bukan anak kecil lagi, aku juga tidak
sepenuhnya percaya dengan jawaban ibu. Merantau? Selama inikah? Bahkan aku
belum pernah melihatnya sama sekali semenjak kecil hingga sekarang, hingga
usiaku menginjak 17 tahun. Apa benar yang dikatakan Ibuku? Apa hanya
membohongiku saja? Aku yakin Ibu bohong.
Ku
ambil setumpuk kayu bakar itu dan langsung menaruhnya di atas punggungku.
Sebuah pekerjaan yang sudah menjadi kebiasaan sehari – hariku. Aku memang bukan
anak orang kaya, bahkan kehidupanku teramatlah sederhana. Terkadang aku merasa sedih,
aku juga ingin seperti anak – anak lain, belajar dengan tenang dan merasakan
kehidupan yang lebih baik dari ini. Bukan karena aku tidak mensyukuri takdir
yang diberikan Tuhan, aku hanya iri kepada teman – temanku, dimana mereka
memiliki figur seorang Ayah yang menjadi tulang punggung dan pemimpin dalam
sebuah keluarga. Sedangkan aku? Ibukulah yang
menggantikan peran Ayah selama ini. Berjuang mati – matian demi
menghidupi keluarga kami. Sebenarnya aku tidak rela jika Ibu berjuang sendirian,
sedangkan suaminya? Berada jauh entah dimana, bahkan aku yakin pasti Ibu juga
tidak mengetahui dimana Ayah berada sekarang.
Kulangkahkan
kakiku menuju pelataran sebuah rumah kecil yang sangat sederhana. Bahkan dengan
lantai yang masih beralaskan tanah. Kukencangkan tali yang mengikat setumpuk
kayu bakar itu dipunggungku saat akan memasuki tempat tinggalku ini. Suasana
sepi menyambutku seketika, aku tidak heran. Memang Ibuku sedang sibuk memasak
dan adikku satu – satunya itu pasti sedang bermain dengan anak tetangga. Aku
berjalan ke arah Ibuku lalu meletakkan kayu bakar hasil jerih payahku itu di
dekat pawon, sebuah kata yang asing
sepertinya pada jaman global seperti ini. Kami memang masih memasak menggunakan
kayu bakar karena kami tidak mampu membeli kompor gas layaknya orang – orang
modern itu.
“Istirahat
dululah nak. Bukankah sebulan lagi kau akan ujian?” Ucap Ibuku di sela – sela aktivitas
memasaknya.
“Nanti
saja bu, Narni masih ingin membantu Ibu kok.” Jawabku sembari mengusap peluh
yang sudah memenuhi mukaku saat itu.
“Ya
sudah, cucilah piring saja.” Sambung Ibuku halus dengan logat jawa yang masih
kental di dalamnya.
Segera
aku menuruti perintah Ibu, ku posisikan tempat dudukku di depan sebuah tumpukan
piring yang sudah menantiku untuk segera membersihkannya. Lagi – lagi sekelumat
pertanyaanku tentang siapa ayahku hadir kembali.
“Ayah
itu seperti apa?” Tanyaku tiba – tiba, membuat Ibuku sejenak menghentikan
aktivitasnya menggorengnya. Aku yakin Ibu masih berpikir untuk menjawab
pertanyaanku ini. Aku harap bukan kebohongan lagi yang Ibu akan katakan, aku
ingin jawaban yang sebenarnya.
“Ayahmu
pribadi yang baik. Hanya saja kamu belum mengetahuinya.” Jawab Ibuku datar.
Membuatku merasa tidak puas atas jawaban yang kudapatkan baru saja.
“Mengapa
Ayah tak mengirimi ibu uang?”
“Mungkin
ayah belum sempat.” Lagi – lagi Ibu tak menanggapi masalah ini serumit yang aku
pikirkan. Untuk kesekian kalinya Ibu hanya sabar dan sabar. Bukannya aku tak senang, tapi aku kasihan
sama Ibu, tega- teganya laki – laki yang disebut Ayah bagi kita itu tidak
mempedulikan Ibu saat ini, saat kondisi Ibu yang sudah makin renta. Aku
kasihan, aku khawatir.
****
“Narni,
kau sudah punya rencana untuk meneruskan kuliah?” Seorang teman di dekatku tiba
– tiba bertanya.
“Belum
sama sekali.” Jawabku yang masih tetap mencoba memecahkan soal Limit di hadapanku
ini.
“Hah?
Bukannya sebentar lagi kita kuliah?” Tanyanya lagi penuh keheranan.
“Bahkan
aku tidak tahu, apakah aku bisa melanjutkan untuk kuliah atau tidak.” Jawabku lega
saat soal yang terbilang sulit ini berhasil kupecahkan.
“Oh.”
Ujarnya pelan, sepertinya dia merasa bersalah menanyakan hal itu kepadaku.
“Kalau
kamu, Lisa?” Untuk pertama kalinya, aku memandang lawan bicaraku tersebut.
“Ayahku
menyarankanku untuk melanjutkan ke UGM. Tapi, aku tidak yakin bisa menembus tes
masuknya.” Ucap Lisa sedih. Ku tepuk pundak Lisa berulang untuk meyakinkannya.
“Kamu
pasti bisa. Jangan jadikan keraguanmu menjadi sebuah hambatan untuk meraih
impianmu itu. Dan jangan pula kecewakan Ayahmu, Lisa.”
“Terima
kasih Narni, pasti Ayahmu bangga memiliki anak sebaik dan secerdas dirimu.”
Tidak
ada kata yang terlontar dari mulutku. Diam adalah satu – satunya jalan yang bisa
kulakukan. Memang apa yang bisa kuperbuat untuk membanggakan orang tuaku
apalagi ayahku yang belum pernah sedetikpun menemuiku? Bahkan sempat terpikir,
membanggakan ayah bukanlah hal yang penting lagi saat ini. Bagaimana bisa aku membahagiakan
seseorang yang tidak pernah mempedulikan kehidupan kami.
Tak
terasa bel pulang sekolah berbunyi. Ku masukkan seluruh bukuku ke dalam tas,
dan ku tata sedemikian rupa. Tak banyak waktu yang kubuang sia – sia sepulang sekolah, aku hanya ingin langsung
pulang untuk melihat keluarga kecilku dan tentunya membantu ibuku. Aku berpamitan
dengan beberapa teman dekatku, dan sedikit melepas canda dengan mereka walau hanya
sebentar. Tanpa membuang banyak waktu lagi, aku berjalan menuju gerbang
sekolah. Tapi suasana aneh datang saat aku melihat sosok anak kecil yang
sepertinya tak asing lagi bagiku, terlihat sedang menunggu seseorang.
Sepertinya aku kenal dengannya. Sinta? Adik kecilku itu, kenapa dia kemari?
Bergegas aku menghampirinya.
“Sinta?
Ngapain kamu di sini?” Pertanyaanku yang tiba – tiba ini sedikit
mengagetkannya. Sontak Sinta mengalihkan pandangannya ke arahku.
“Ada
apa?” Sekarang keterkejutan bergantian menghinggapiku saat menatap wajah adikku
yang penuh dengan kecemasan.
“Ibu
sakit kak.”
Kalimat
singkat yang terdengar sangat lirih itu membuat jantungku berdegup lebih
kencang. Aku sempat kehilangan jiwaku sendiri ketika mendadak ragaku tidak bisa
digerakkan. Namun aku segera sadar, ku gandeng tangan adikku dan mengajakknya
untuk lekas pulang ke rumah. Kecemasan mulai melingkupi seluruh tubuhku dan keringat
dingin pun mulai keluar dari setiap pori – pori kulitku. Bagaimana mungkin, Ibu
sakit?
Untung
saja jarak antara sekolah dan rumahku tidak terlalu jauh. Dalam kurun waktu
setengah jam, kami sudah memasuki area rumah. Segera kubuka pintu rumah yang kebetulan
terkunci, lalu kulangkahkan kakiku menuju kamar ibuku. Wajahku mendadak pucat
saat kulihat sosok perempuan yang kusayangi terbaring lemah di atas ranjang.
Perlahan kudekati ibuku yang sepertinya sudah mengetahui kehadiranku di sampingnya.
“Narni,
kau sudah pulang? Maaf ibu tidak bisa berjualan saat ini, tiba – tiba kepala
ibu ter,”
“Sudah,
Ibu tidak usah terlalu banyak berpikir. Istirahatlah saja, biar Narni yang akan
berjualan siang ini.” Ujarku terpaksa memotong pembicaraan ibu. Aku tidak ingin
pada saat kondisi ibu yang sedang sakit seperti ini, Ibu masih sempat berpikir
terlalu berat. Aku sangat khawatir jika saja kondisi Ibu semakin buruk.
“Narni,
maafkan Ibu. Jika saja Ayahmu di sini, pasti kamu tidak perlu bekerja sekeras seperti
ini.” Ujar Ibuku, raut wajahnya mendadak lesu dan sebulir embun berhasil jatuh mengalir
pipinya. Kuusap air mata itu lembut.
“Tidak
Ibu, aku tidak keberatan bekerja sekeras ini. Walau tanpa ayahpun, aku juga
tidak merasa menderita untuk hidup seperti ini.”
Kutundukkan
kepalaku sejenak, pikiran – pikiran tentang ayah yang sangat merisaukanku
begitu juga dengan ibuku bukanlah cara yang tepat untuk memecahkan masalah saat
ini. Yang aku pikirkan hanyalah bagaimana cara menyembuhkan ibuku, sementara
kami tidak memiliki cukup uang untuk membawa ibu ke rumah sakit.
“Kita
ke rumah sakit ya bu?” Tawarku cemas sembari kuletakkan punggung tanganku di
atas dahi ibuku sekedar untuk mengecek temperatur tubuhnya sekarang.
“Tidak
usah nak, Ibu hanya sedikit kelelahan. Jangan terlalu cemas ya!” Jawab Ibu
sembari tersenyum, senyum yang benar – benar tulus untuk kami.
“Sinta,
tolong ambilkan air hangat untuk Ibu.” Suruhku kepada adikku yang dari tadi
tidak berani berucap sepatah katapun, mungkin dia juga merasa khawatir. Sinta
mengangguk kemudian melangkah keluar untuk mengambilkan minum. Sejenak kupijat
tangan kurus Ibuku, berusaha membuat keadaan Ibu menjadi lebih baik.
“Ngomong
– ngomong, kamu berencana melanjutkan kuliah kemana, Narni?”
Pertanyaan
Ibu barusan membuatku terkejut untuk kesekian kalinya. Rasanya tidak sanggup
untuk menjawab pertanyaan Ibu, saat mengingat keadaan ekonomi kami yang sangat
bertolak belakang dengan impianku saat ini. Bagaimana caranya aku harus
menjawab bahwa sebenarnya impianku dari kecil adalah menjadi seorang dokter.
Tapi biaya darimana? Dengan sangat terpaksa, kulupakan impian besarku itu,
impian yang bisa dibilang mustahil untuk dicapai oleh orang sepertiku.
“Belum
tahu bu.”
“Maaf
nak, jika Ibu tidak bisa menyekolahkanmu nanti. Kau harus banyak berdoa dan
berusaha, agar Tuhan memberikan berkahNya kepada kita, dan membuatmu bisa
meneruskan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Tetapi jika hanya mengandalkan
keadaan ekonomi kita, kamu tahu sendiri bukan? Sekali lagi maafkan Ibu ya,
Nak.” Terlihat kesedihan dan penyesalan yang teramat dalam pada diri Ibu. Aku
pun hanya bisa menundukkan wajahku dan menyembunyikan kesedihanku, saat
mendengar pengakuan tulus dari Ibuku baru saja.
“Tidak
apa – apa, bu. Semoga saja Narni bisa mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan
kuliah. Narni akan berjuang.” Saat itu pula ia mencurahkan segala perasaan
sayangnya kepada ibunya sendiri, dipeluk erat ibunya sembari mengucapkan
bertubi – tubi terima kasih atas pengorbanan ibu yang sudah merawatnya hingga
saat ini, walau tanpa peran seorang ayah sekalipun.
****
“Terima kasih bu.” Ujarku mengucapkan terima
kasih kepada pemilik toko ini. Aku memang sengaja menitipkan dagangan ibu ke
toko tetangga, karena aku harus masuk sekolah sementara kondisi ibuku tidak
memungkinkan untuk berjualan sepanjang hari. Ku ambil wadah yang sebelumnya
menjadi tempat menjual daganganku. Syukurlah, daganganku ludes terjual hari
ini.
“Sebentar
Narni.” Pangilan pemilik toko itu menghentikan langkahku.
“Sepertinya
kamu punya tamu ya? Aku melihat seorang laki – laki berada di depan rumahmu
sepanjang hari tadi, dan adikmu mempersilakannya masuk.”
“Seorang
laki – laki?”
Secepat
mungkin aku melangkahkan kakiku menuju rumah sebelum kuucapkan terima kasih
kepada pemilik toko tersebut. Kepanikan mendadak menyelimuti ragaku, aku harap
tidak terjadi apa – apa, aku harap laki – laki itu bukan orang jahat, aku
harap, Ya Allah. Kupercepat langkahku saat rumahku sudah mulai tampak. Hingga
akhirnya aku sudah berada di depan pintu rumahku sendiri.
“Ibu?”
Saat pertama kali menginjakkan kaki di rumahku tak ada tanda – tanda tamu yang
singgah, namun mendadak kedua bola mataku memfokuskan pandangan pada sepasang
sepatu, yang sepertinya milik seorang laki – laki.
Sesegera
mungkin aku berlari menuju kamar ibuku dan betapa terkejutnya ketika kudapati
seorang laki – laki paruh baya yang sedang bersimpuh mencium tangan ibu yang
sedang berbaring lemah bersamaan dengan air mata yang berleleran keluar dari
kedua pelupuk mata laki – laki asing itu. Apa yang sebenarnya terjadi?
“Ibu?”
Suaraku seketika membuyarkan suasana. Pandangan ibu dan laki – laki asing itu
sontak mengalihkan fokus mereka
kepadaku. Aku hanya bisa mematung di tempat tanpa mengetahui apapun.
“Narni?”
Laki – laki asing itu terkejut saat melihatku, tiba – tiba ia berjalan mendekatiku.
Matanya yang penuh dengan misteri itu membuatku takut, refleks aku melangkah
mundur untuk menjauhinya.
“Berhenti!
Anda siapa?” Tanyaku gemetar menahannya agar berhenti untuk mendekatiku.
“Aku,
ayahmu. Kau sudah besar sekarang.” Jawabnya sembari tersenyum.
“Ayah?
Ayah siapa?” Ujarku sama sekali tidak
percaya.
“Aku
ayahmu.” Jawab Laki – laki asing itu berusaha meyakinkan.
“Dia
ayahmu, nak.” Ibuku menimpali secara tiba – tiba. Entah kenapa pernyataan ibuku
ini membuatku lemas seketika, tidak ada aura kebahagiaan secuilpun muncul dalam
diriku. Malah kebencianlah yang tiba – tiba menggantikannya.
“Aku
tidak punya ayah selama ini. Kenapa engkau yang hanya orang asing tiba – tiba
mengaku sebagai ayahku?” Kebencianku mulai merambah ke sekujur tubuhku
“Maafkan
ayah, nak. Selama ini ayah tidak bisa menemani kalian.” Laki – laki asing itu
jatuh berlutut di hadapanku. Benar – benar memuakkan.
“Jangan
sekali – kali menyebut nama ayah di hadapanku!” Sepertinya kemarahanku sudah
mencapai puncaknya. Lagi – lagi aku melangkahkan kakiku mundur untuk
menjauhinya.
“Maafkan
ayahmu nak. Ibu mohon.” Terdengar lemah suara ibuku yang memohon kepadaku. Tiba
– tiba perasaanku luluh seketika saat memandang ibuku yang menangis, raut
wajahnya tergambar jelas memintaku untuk memaafkan ayah. Aku tahu, Ibu adalah
pribadi yang sangat sabar, dia mendidik kami untuk menjadi pribadi yang kuat
sekaligus pemaaf. Tapi apa aku bisa memaafkannya, memaafkan seorang Ayah yang
harusnya mendampingi kami dalam menghadapi beratnya hidup, yang harusnya
melindungi kami, dan menjadi seorang pemimpin dalam sebuah keluarga, tapi ia
tidak melakukannya satupun. Aku jatuh terduduk, tidak kuat menahan beban yang
amat menyakitkan ini. Laki-laki itu memeluk tubuh kecil Narni, ia akhirnya
menyerah, keinginan terpendam akan hadirnya seorang ayah saat kecil dululah
yang menjadi alasannya saat itu.
“Nak,
ayah minta maaf. Ayah terpaksa meninggalkan kalian dalam jangka waktu selama
ini. Itu murni kesalahan ayah. Ayah harus berjuang membayar hutang yang
menumpuk karena perusahaan ayah bankrut, ayah harus merantau dan terpaksa
meninggalkan kalian. Tapi sekarang ayah sudah berhasil nak.” Laki – laki yang
mengaku sebagai ayah Narni itu mempererat pelukannya. Air mata Narni tumpah
ketika keinginan untuk mendapat pelukan seorang ayah itu akhirnya terwujud.
“Ayah
sama sekali tidak melupakan kalian. Tanpa kalian ketahui, Ayah benar-benar
merindukan kalian, selama 16 tahun ini. Cinta dan kasih sayang ayah tidak akan
pudar untuk kalian, percayalah.”
“Maafkan
Narni, Ayah.” Ujarku lemas. Ia menyesal, selama ini ia hanya mementingkan
egonya sendiri. Dengan gamblangnya ia menghakimi bahwa Ayah yang selama ini ia nanti-nantikan
sama sekali tidak mempedulikan kehidupan mereka, tetapi semua dugaan-dugaannya
itu ternyata salah besar. Tiba – tiba Ayah melepaskan pelukannya dan menatap
Narni lekat – lekat.
“Ayah
dengar, Narni ingin jadi dokter, ya?”
Narni
mengangguk dengan sedikit terisak.
“Jangan
pikirkan biaya lagi. Kejarlah mimpimu setinggi mungkin, sekarang ayah akan
selalu mendukung dan berjuang untuk kebahagiaan kalian, untuk anak – anak
ayah.”
“Terima
kasih, Ayah.” Suasana haru tersebar menyelingi mereka. Dipeluknya lagi ayah
yang selama ini ia rindukan, ia berjanji akan selalu menyayanginya.
“Tidak
semua kasih sayang seorang Ayah itu harus
benar – benar tampak di mata anak
– anaknya karena kasih sayang seorang ayah itu akan selalu ada untuk kita,
walau tersembunyi sekalipun.”
Kalimat
terakhir ibu melengkapi suasana haru biru bercampur kebahagiaan siang itu.
Keluarga yang dulunya terpisah, sekarang saling berbagi kebersamaan dan
ketulusan sebuah kasih sayang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar