Dreaming in حلالا way. . .

Halaman

Cari Blog Ini

Apa sih artinya?

Sabtu, 19 Januari 2013

Takdir Masa Depan


Gadis berpayung hitam itu terlihat berjalan menyusuri kota Bandung di tengah derai air hujan yang secara beriringan membasahi jalan tempatnya berpijak dan sesekali tetes – tetesnya memperdengarkan  irama hujan yang sederhana namun menyejukkan telinga. Dia terus berjalan hingga akhirnya sebuah papan nama menghentikan langkahnya. Didongakkannya kepala gadis itu ke atas, matanya menelusuri tiap abjad dalam papan nama yang terpampang tepat di tepi jalan dimana dia berada sekarang. “WS Bakery”.

Sedikit sunggingan senyum menghias wajahnya sebelum kedua kakinya memaksanya masuk ke dalam toko kue yang lumayan besar itu. Kedua bola Matanya langsung menerawang seisi toko, yang sudah dipenuhi oleh para pembeli. Dia memilih salah satu bangku di sana untuk didudukinya. 

“Ada yang bisa saya bantu Nona?” Seorang pelayan berompi hitam dengan kemeja putih menawarinya. “Satu potong Rainbow  cake ukuran kecil dan cappuccino hangat.” Ucap gadis dewasa tersebut yang masih sibuk membaca daftar menu.

“Mohon tunggu sebentar.” Pelayan itu beranjak pergi setelah mencatat pesanan yang sudah ia dengar tadi. Tidak selang kemudian, dua orang pelayan dengan seragam sama berjalan menuju meja dimana wanita tadi berada. 

“Silahkan dinikmati.” Pelayan itu membungkukkan badan lalu beranjak kembali setelah mengantarkan pesanannya. Wanita itu hanya tersenyum bersamaan dengan sedikit anggukan kepala yang nyaris tidak terlihat. Seketika ia menyeduh satu cangkir cappuccino hangat yang dipesannya tadi. Tiba – tiba ia menolehkan wajahnya ke arah kaca transparan di sampingnya. Mendadak ekspresinya berubah muram, rindu terpahit itu mulai menyeruak sempurna di dadanya.

Di balik aliran tetes – tetes hujan di sisi luar kaca itu, cahaya matanya mampu memantulkan sebuah tempat menarik di luar sana, sebuah halte tua. Sepertinya tempat itu sudah tak asing lagi bagi dirinya. Disilangkan kedua tangannya di atas meja untuk mefokuskan pandangannya ke arah halte. Seketika pula sekelimat bayangan muncul, memutar memori masa lalu dalam otaknya. Sebuah kenangan nyata, kenangan indah sekaligus menyedihkan. 

“Awan, bagaimana kabarmu?”

****
Suara ribut terdengar memenuhi sebuah toko kue kecil pinggir jalan, ternyata sang pemilik sekaligus karyawannya sedang sibuk mempersiapkan dagangannya yang tak lain ialah macam – macam kue lezat yang siap menggoda lidah. 

“Sita, cepat cuci wadah kue di sana, bukannya kamu harus pergi kuliah lebih awal?” Suara serak namun terdengar keras dari seorang wanita paruh baya itu membuat gadis remajanya bergegas menuruti perintahnya. Disiapkannya segala yang diperlukan dengan cekatan, hingga peluh yang mengalir deras di wajahnya tidak dihiraukan lagi. 

“Ibu, aku berangkat kuliah dulu ya. Sepertinya aku akan terlambat.” Ucap gadis berseragam hitam tersebut.

“Baiklah, hati – hati. Jangan lupa bawa kue di dalam keranjang itu.” Jawab sang ibu yang masih berkutat dengan pekerjaannya. Setelah mengucap salam, gadis itu langsung bergegas pergi, bersama keranjang kue yang digenggamnya sekarang. Langkahnya bergerak cepat bergantian. Ia tak ingin terlambat kuliah, tapi semakin cepat ia berlari, ternyata lintang jarak itu teramat jauh. Hingga akhirnya ia sampai di halte bus dan beruntung sekali ketika ditemuinya bus yang sudah siap menunggu. Berarti ia tak perlu repot – repot sekaligus memakan banyak waktu untuk mencari angkutan lain. Dengan semangat ia segera bergabung dengan penumpang lainnya. 

“Aahh, melelahkan sekali.” 

****

Harapan Sita terkabul, mahasiswa ITB jurusan Teknik Industri tersebut tidak datang terlambat seperti apa yang ditakutkannya esok tadi. Namun sayang, sepertinya kue yang dibawanya tidak terlalu laku terjual, masih banyak yang tersisa. Ketika waktu istirahat tiba, ia mencoba berkeliling kampus dengan tetap ditemani keranjang kue yang sekarang berada di dekapannya. Baginya, tak ada rasa malu sedikitpun, ini adalah sebuah kewajiban membantu orangtua sekaligus membantu membiayai kuliahnya. Masa depan apapun pasti bisa diraih jika ada kerja keras. 

Sita berjalan semakin jauh dari kelasnya. Kakinya pun mulai menimbulkan efek kelelahan, Kampus ITB kan luas. Hingga tiba saatnya Sita melewati sekerumunan pemuda yang sedang berbincang – bincang di depan sebuah laboratorium fisika. Sita merasa agak ragu untuk menawarkan kue ini kepada mereka, tapi jika ia tidak menawari mereka, mana mungkin ia tahu jika mereka mau beli atau tidak. Akhirnya Sita hanya berniat lewat saja. Namun sebelum Sita bergerak lebih jauh, suara seorang pemuda berteriak menyebut sebuh panggilan, dan kala itu Sita merasa dialah yang dipanggil. Sita menoleh,

“Iya kamu.” Pernyataan itu meyakinkannya apalagi saat mata pemuda yang memanggilnya tadi tepat mengarah pada sosok Sita. Tanpa menunggu lama, Sita bergegas menghampiri kerumunan pemuda tersebut. 

“Hei, aku beli dong kuenya.” Nada sumringah keluar dari mulut salah satu dari mereka begitupun dengan wajah Sita yang berkespresi sama, yang sepertinya sudah mengetahui jika dagangannya sebentar lagi akan laku.

“Siapa yang mau?” 

“Aku dong.”

“Aku juga.”

Nada – nada ketertarikan mulai terdengar sahut -  menyahut tanpa henti, hingga seseorang dari mereka berbicara.

“Kalau begitu kami borong semua.” Kalimat itu sukses menumbuhkan kepuasaan dalam hati Sita. Dia membayangkan, betapa senangnya Ibu Sita melihat dagangannya ludes terjual.

“Nogomong – ngomong kenalin, aku Awan.” Pemuda itu mengulurkan tangannya ke arah Sita yang dengan segera menyambutnya ramah.

‘DEG’

“Sita.”

****

Lama - kelamaan perkenalan singkat itu mengantarkan sebuah kedekatan yang cukup erat di antara mereka. Tak jarang pula Awan terlihat berangkat dan pulang bersama dari kampus dan ternyata rumah mereka tidak terlalu jauh satu sama lain. Entah timbul perasaan apa, Sita mulai merasa nyaman saat Awan mendampinginya.

“Oh, Jadi orangtuamu punya toko kue?” Awan memulai pembicaraan mereka ketika keduanya terlihat berjalan bersama – sama. 

“Iya kami sering menitipkan dagangan kami di beberapa toko kue lain yang lebih besar selain menjualnya sendiri.” Jelas Sita.

“Emang cita – citamu apa?” Tanya Awan untuk kedua kalinya.

“Pengusaha kue, aku ingin mengembangkan usaha orang tuaku.”

“Wah, mungkin nanti kita bisa mendirikan perusahaan kue terbesar di pulau Jawa bersama, ya?” Goda Awan kepada Sita.

Hah? Kita? Bersama – sama?

“Eh, ngomong – ngomong besok berangkat bareng yuk, aku tunggu di halte bus biasa.” Tawar Awan yang membuat Sita mendadak tersipu. Dia juga belum menemukan alasan mengapa hatinya tiba – tiba memunculkan rasa aneh ini. 

“Eh, Sita…” tepukan tangan Awan di bahuku menyadarkan lamunanku. Bisa kulihat dia tertawa saat mengetahui aku megedip – edipkan mataku untuk membuatku kembali ke dunia nyata. 

“Hahaha, kau itu lucu.” Suaranya terkikik.

“Kalau rumah Awan sendiri dimana?” 

Tiba – tiba Awan mengehentikan langkah kakinya. Ia menatap mata Sita lekat – lekat, membuat Sita bergemetar takut sekaligus gugup. 

“Ayo kutunjukkan.”

Kini tangan Sita sudah menyatu dengan tangan Awan, ia belum sempat menolak saat Awan menggandengnya serta menarik dengan penuh semangat seperti ini. 

***

Keesokan harinya . . .

Sita telah berangkat pagi – pagi sekali, bahkan jauh lebih pagi dari sebelumnya, tujuannya adalah tak ingin membuat Awan yang sebelumnya menawarkan ajakan untuk berangkat bersama malah menunggu dirinya. Dan tepat dugaan, Halte masih sepi, bahkan masih bisa dirasakan udara dingin bertiup semilir meraba permukaan kulit tangan Sita yang kebetulan tidak terlindungi jaket kala itu. Ia melipatkan tangannya di depan dada dan sesekali mengusap – usapkan kedua telapak tangannya untuk sedikit mengurangi hawa dingin yang menyerangnya tersebut. 

Tiba – tiba terlintas dalam pikirannya momen – momen di rumah Awan kemarin. Ternyata Awan adalah anak orang kaya, ayahnya adalah pengusah kue terbesar di kota bandung. Dari situlah Awan menyuguhkan pemberian berharganya, ia mengenalkan ayahnya kepada Sita, serta mengatakan bahwa Sita adalah penjual kue pula tak jauh berbeda dari ayah Awan, hanya saja besarnya usahalah yang membedakan mereka berdua. Dari situ, Toko Sita menjadi penyetor kue tetap untuk perusahaan ayah Sita, karena mereka berpikir bahwa kuenya terasa  sangat lezat. 

Aku menyukainya . . .

Ahh, apa ini kenapa hatiku tiba – tiba berkata demikian? 

Sita segera menyadarkan dirinya kembali, akhir – akhir ini sepertinya ia sering melamunkan aktor lamunan yang sama, yang tak lain ialah  Awan. 

Tiba – tiba tapak kaki seseorang terdengar semakin dekat, sontak Sita menoleh ke sumber suara.

“Awan.”

“Hei, maaf membuatmu menunggu.” Responnya mengambil posisi duduk di sampingku.

“Kenapa datang sepagi ini?” Awan mengangkat alis kirinya keheranan.

“Oh, tidak. Aku hanya tidak ingin membuatmu menunggu, aku merasa selalu merepotkanmu.” Ucap Sita tertunduk.

“Oh ya? Aku merasa tidak direpotkan. Aku senang membantumu, Sita. Karena, aku menyukaimu.”
Kalimat itu bergetar indah di gendang telinga Sita. Detak jantungnya mulai tak beraturan. Dia menyukai Sita, seorang Awan. Ah, Sita memastikan bahwa perkataannya hanya candaan semata. Topeng wajahnya mulai dipersiapkannya, berusaha menyembunyikan perasaan hatinya yang memang sama dengan apa yang keluar dari mulut Awan barusan. Tapi apa itu benar – benar nyata?

“Kau bercanda?” Suara Sinta keluar begitu berat, mencoba memastikannya. 

“Tidak, aku serius. Apa mukaku ini terlihat bercanda? Apa kamu mau jadi kekasihku?”Jawab Awan lugas, benar – benar tidak ada ekspresi bercanda terugurat di wajah tampannya itu. Sita pun berpikir demikian, tapi apa yang harus ia ucapkan selanjutnya? Ingin rasanya ia mengucapkan “Ya”. Tapi di  balik keinginannya tersebut, timbul ketakutan, apakah Awan memang jodoh yang Tuhan berikan? Tapi perasaannya mulai beradu kembali, perasaan yang menjelaskan dengan gamblangnya bahwa Awanlah yang mampu menggetarkan hatinya sejak pertemuan pertamanya dulu. 

“Iya, aku mau.” Inilah keputusan Sita, ia tidak bohong, ia benar – benar menyukainya bukan sekedar candaan semata. 

“Terima kasih”

***

Kebahagian mereka tak dapat terukir oleh kata – kata dan kalimat. Bahagia sekali, Sita sangat mencintai Awan, sosok idamannya, sosok pemberi semangat, sosok penolong, dan sekarang sosok itu menjadi miliknya. Tidak pernah terbayangkan sama sekali namun inilah hidup, tidak bisa ditebak, hanya sebuah arus yang dimainkan oleh waktu yang selalu mengalir maju tanpa pernah kembali, arus itu terkadang mengalir tenang, tapi ada saatnya mengalir deras mencelakai manusia.
Tetapi kesedihanpun berganti datang. Semua itu tidak bertahan lama, kebahagiaan mereka, keinginan mereka, dan masa depan mereka sirna sudah ketika kegelapan malam itu dengan kejamnya melenyapkan cahaya terang itu.

Mereka dirampok oleh mafia bersenjata tajam saat sedang pergi kencan. Mereka yang dengan membabi buta ingin membunuh Sita, karena saat itu ia menolak untuk memberikan tasnya kepada mafia – mafia busuk tersebut. Dengan susah payah, Awan menolongnya, dia berhasil. Tapi senjata mereka tidak berpihak kepada kami, ujung pisau itu berhasil menembus punggung Awan.

Dan Awan pergi, dengan tragisnya di depan mata Sita sendiri.

***

Wanita yang sudah diketahui bernama Sita itu meletakkan karangan bunga di atas sebuah makam berselimut rumput hijau dengan batu nisan yang menciptakan “Awan Setiawan” .

“Hai Awan, aku sudah berhasil menjadi pengusaha kue seperti yang kau idamkan dulu.” Suara tercekat wanita itu terdengar lirih sekali.

“Tapi, kenapa kau tidak tinggal saja bersamaku? Aku benci denganmu, bukankah kau dulu yang bilang akan menemaniku. Aku merindukanmu, aku teramat menderita tanpamu.” Wanita itu berusaha menahan genangan air yang telah terkumpul di permukaan matanya. Ia mendongakkan kepalanya menatap lagit biru nun jauh di sana, seraya berdoa. 

“Terima kasih, kau telah membantu meraih cita – citaku. Tuhan, terima kasih Kau telah mendatangkan sosok Awan kepadaku, Malaikat pelindungku.”

Satu tetes embun berlinang di pipi gadis itu. Kenangan pahit 10 tahun yang lalu adalah penyebab semua kekejaman ini. Walaupun Takdir memang tak selau indah tapi takdir Tuhanlah yang terbaik untuk kita. Karena Tuhan adalah Maha Adil. 

Jangan berputus asa dengan mudahnya, Hidupkanlah kembali cahaya yang pernah pudar.

-Tamat-

Sabtu, 20 Oktober 2012

[Drama] I Love You, Dad


Seorang ayah itu seperti...
Kura-kura

Terlihat keras dan tangguh dari luar,
namun sebenarnya begitu lembut dan rapuh di dalamnya.

゚・:,。゚・:,。★゚・:,。゚・:,

Pagi itu, 3 orang siswa SMA sedang  berjalan bersama menuju sekolah. Mereka terlihat akrab satu dengan yang lain, karena memang mereka sudah saling mengenal sejak pertemuan pertama mereka di SMA ini ketika masih duduk di kelas X, kurang lebih 1 tahun yang lalu. Hingga dari arah lain, terdengar teriakan dari seorang siswa memanggil mereka.

Yeni     : Hai, Tunggu (berlari). Eh, kalian jahat sekali tidak menunggu ku masuk ke dalam kelas?
Yura     : Oh Yeni, Maaf. Kami lupa hehe
Sinta    : Iya hari ini ada kelas Bahasa Jawa. Jadi aku nggak mau terlambat.
Yeni     : Ya ampun, Aku heran deh, mengapa sih kamu suka banget sama pelajarannya pak Dimas itu? Menurutku dia membosankan.
Sinta    : Itu menurutmu, menurutku tidak (tersenyum)
Amane            : sudah  - sudah ayo masuk kelas, nanti malah tambah telat (mengajak kedua temannya)

Mereka melanjutkan perjalanan menuju kelas bersama – sama dengan  terus membicarakan Pak Dimas. Hingga akhirnya, mereka sampai di kelas.

Sinta    : Emm, hari ini main yuk.
Yura dan Yeni : Boleh, kemana?
Sinta    : Emm, ke rumahnya Yeni saja.
Yeni     : Eh? kan seminggu yang lalu sudah. Masa’ mau ke rumahku lagi?
Sinta    : Ya udah ke rumahmu ya Yura?
Yura     : Lagi? bukannya 3 hari yang lalu sudah ya. Kamu lupa?
Sinta    : Oh iya. Lalu kemana? Ke rumahnya Amane?
Amane            : Gantian ke rumahmu aja gimana?
Sinta    : (kaget) Hah? ke rumahku? Emm - - - - tapi rumahku berantakan
Amane            : Tidak apa – apa nanti kita rapikan bersama. Bukannya selama 1 tahun kita berteman, kita belum pernah ke rumahmu kan, sin?
Yura     : Iya Sinta? Boleh?
Sinta    : Eh? Lupakan saja (membalikkan badan)

Melihat tingkah laku Sinta yang mendadak berubah, Yura, Amane, dan Yeni menjadi bingung. Dan merasa bersalah dengan apa yang sudah diucapkan mereka tadi. Akhirnya waktu pulang sekolah pun tiba. Mereka  tidak pulang bersama Sinta sejak kejadian tadi pagi. Sinta memilih pulang terlebih dahulu tanpa menyapa ketiga temanna tadi.

Yura     : Bagaimana ini? Apa si Sinta marah ya?
Yeni     : Aku juga tidak tahu. Apa kita ke rumahnya saja?
Amane            : Hah? Nanti dia marah gak kalau kita tiba – tiba datang ke rumahnya? Lagipula kan kita tidak tahu alamat rumahnya Sinta.

Sementara mereka masih bimbang. Seorang teman yang lain,  menghampiri  mereka.

Cho     : Hai, kenapa kalian tidak pulang?
Yeni     : Oh, kami masih ingin di sekolah dulu.
Cho     : Eh? kok tumben hanya bertiga, biasanya bersama Sinta? Kemana dia?
Yura     : Kami juga tidak tahu, tadi pagi, Sinta seperti tidak suka jika kami berniat main ke rumahnya.
Cho     : Oh, kalian ingin ke rumah Sinta? Pantas.
Yeni     : (bingung) Maksudmu? Memang ada apa dengan rumahnya Sinta?
Cho     : (terdiam) Begini, ada yang ingin ku katakan kepada kalian. Sebenarnya ayah Sintalah yang menjadi penyebabnya.
Amane            : Hah? Memang ada apa dengan ayahnya?
Cho     : Dia tidak ingin teman – temannya mengetahui jika ayahnya itu bersikap keras kepada Sinta, bahkan sangat keras menurutku. Ayah Sinta itu tukang pukul.
Yura     : (kaget) Hah! Bagaimana kamu bisa tahu?
Cho     : Aku kan tetangganya. Eh, aku mau ada les, aku pulang dulu ya.
Yeni     : Tunggu dulu, aku minta alamat rumahnya Sinta dong.
Cho     : Ok, nanti aku sms. Dadahh
Amane            : Ok.  Hati – hati di jalan.
Cho     : Sipp.

Cho pergi ke luar kelas .  .  .

Amane            :  Aku tidak menyangka ternyata Sinta memiliki masalah di keluarganya yang ia sembunyikan selama 1 tahun ini dari kita.
Yeni     : Aku juga tidak menyangkanya (sedih)
Yura     : Bagaimana ini? Apa kita ke rumahnya saja. Dia pasti sangat membutuhkan perhatian.
Yeni     : Jika sekarang, pasti Sinta masih kesal dengan kita. Bagaimana kalau besok?
Yura     : Baiklah.

Di rumah Yeni,

Yeni     : Selamat Siang. Aku pulang.
Ayah    : Siang. (membukakan pintu)

Yeni masuk dengan wajah lesu, lalu duduk di sofa rumahnya.

Ayah    : Mengapa kamu terlihat lesu seperti itu?
Yeni     : “Ayah, apa ada ayah yang tidak menyayangi anaknya?” Tanya Yeni tiba - tiba
Ayah    : (Heran) Tentu saja tidak ada. Semua ayah mencintai puteranya.
Yeni     : Benarkah? Bagaimana dengan ayah yang suka memukul putranya? Apakah mereka juga mencintai putranya, Ayah?

Ayah terdiam lama menatap kedua mata Yeni. Sekarang ia kebingungan dengan pertanyaan Yeni.

Yeni     : Ayah?
Ayah    : Mereka menyayangi putranya dengan cara yang sedikit berbeda, Yeni.
Yeni     : Kenapa?
Ayah    : Kita tidak bisa selalu mendapatkan apa yang kita inginkan, Yeni. Kita tidak bisa mengharapkan semua yang kita inginkan menjadi nyata. Tuhan maha adil, Dia yang tahu apa yang terbaik untuk kita semua.

Hening . . . .

Ayah    : Contohnya seperti Yeni sendiri. Kalau boleh memilih, pasti Yeni ingin bersama dengan keluarga Yeni sendiri ‘kan? Karena Ayah bukan ayah kandung Yeni.
Yeni     : Enggak. Aku nggak mau dengan keluarga lain kecuali Ayah. Bagiku Ayah adalah satu-satunya keluargaku.
Ayah    (terkesima, wkwkwkwk)
Yeni     : Kalau waktu itu Ayah tidak memungutku, mungkin aku tidak akan sebahagia ini.
Ayah    : Apa yang kau bicarakan? Ayah bukan ayah kandungmu kan? Waktu itu Yeni juga pernah dihina di sekolah karena Ayah seperti ini, jadi..
Yeni     : Bukannya Ayah sendiri yang bilang? Tuhan maha adil, Dia yang tahu apa yang terbaik untuk kita semua.”

゚・:,。゚・:,。★゚・:,。゚・:,

Menjadi seorang ayah berarti siap untuk
terluka
jatuh
terpukul
terhina

tapi setimpal dengan hadiah yang diterimanya,
senyum tulus putranya

---###---

Tomorrow after school . . .. .

Yura     : Kita yakin mau mengunjungi Sinta sekarang. Kamu sudah tau alamatnya kan?
Yeni     : Sudah, Cho sudah sms aku semalam.

Mereka berjalan ke alamat tujuan. Hingga akhirnya, ketiga anak itu tiba di depan rumah Sinta. Meski agak ragu, Yeni mengetuk pintu rumah Sinta beberapa kali hingga terdengar jawaban dari dalam. Sinta sangat terkejut melihat kedua temannya berdiri di depan rumah, ekspresi wajahnya berubah tidak suka.

Sinta    : Ngapain kalian berdua ke sini?
Yura     : Kami Cuma mau main ke rumah Sinta saja kok.
Sinta    : Sudah kubilang rumahku berantakan! (berteriak)
Yeni     : Mengapa Sinta tidak pernah cerita kalau punya masalah di rumah. Sinta adalah temanku, tapi kenapa nggak pernah bilang?
Sinta    : Kamu ngomong apa sih? (tangannya mencengkeram kenop pintu erat)
Yeni     : Sinta nggak mengijinkan kita main karena  ayah Sinta suka memukul Sinta kan?
Amane            : Yeni, kalau bicara jangan terlalu denotative.
Yeni     : (menghiraukan Amane) Kenapa Sinta nggak cerita. Aku pasti membantu Sinta kalau kamu cerita dari awal.
Sinta    : Bukan urusanmu kalau kehidupanku begini! Memangnya ini menyenangkan sampai-sampai aku harus menceritakannya ke sana kemari, hah?! Memangnya semua orang harus punya hidup sesempurna kau?! Asal kau tahu, lebih baik aku tidak punya ayah sama sekali daripada harus punya ayah seperti itu!

PLAAAKK (Sinta ditampar Yeni J)

Yeni     : Tarik kembali kata-katamu!
Sinta    : Hah?
Yeni     : Sinta pikir rasanya tidak punya ayah itu enak? Sinta pikir bisa hidup sendiri tanpa adanya ayah di sisi kita?
Sinta    : Kau! Apa – apaan sih (mendorong Yeni)
Yura     : hentikan dong. Jangan bertengkar di sini (melerai)
Sinta    : (mendorong Yura kasar) Sudah kubilang ‘kan? Memangnya semua orang harus punya hidup sempurna sepertimu?
Yeni     : Siapa bilang hidupku sempurna? Tidak ada orang yang memiliki hidup sempurna, karena bukan kita yang menentukan semua impian menjadi nyata! Kita tidak bisa selalu mendapatkan apa yang kita inginkan! Kita tidak bisa memilih ayah macam apa yang akan membesarkan kita. Ayah adalah ayah,~ bagaimanapun kita menyebutnya. Dia adalah pria yang membesarkan kita, menafkahi kita, melindungi kita ketika dunia hendak menyakiti kita...”
Sinta    : (sedih) Kau tidak paham, Yeni. Kau tidak paham karena kau punya ayah yang sempurna, sedangkan aku?
Yeni     : Ayah bukan ayah kandungku. kalian tahu?
Amane            : Apa? Ayahmu bukan ayah kandungmu?
Yeni     : (menggeleng) Ayah memungutku saat dia liburan ke Sumatera dulu, dia menemukanku nyaris tenggelam di dermaga dan memutuskan untuk membesarkanku. Sinta seharusnya bersyukur, ayah Sinta tidak membuang Sinta sepertiku.
Sinta    : LEBIH BAIK AKU DIBUANG!!! (kesal). Jangan seenaknya menceramahiku kalau kau tidak tahu rasanya jadi aku!
Yeni     : Sinta juga nggak tahu kan rasanya jadi aku? Bagaimana rasanya saat tahu Ayah yang selama ini aku sayangi ternyata hanya pria yang memungutku dari dermaga waktu aku masih bayi.

“...........”

Yeni     : Waktu mendengar cerita Ayah, rasanya aku ingin mati saja. Apa aku segitu tidak berharganya sampai-sampai keluargaku membuangku seperti itu. (mbrebes) Tapi mengingat apa yang sudah Ayah lakukan padaku selama enam belas tahun ini membuatku mengabaikan semua fakta menyedihkan itu.

“...........”

Yeni     : Waktu SD. Teman-teman mengejek Ayah dan menyebutnya memeshi. Setiap hari aku diancam, diejek, dihina, karena Ayah seperti itu~ apa seperti itu yang kau sebut hidup sempurna, Hah?
Yeni     : Kau tahu, Ayah selalu tersenyum setiap kali aku mengadu padanya. Aku marah pada teman-temanku karena menyebutnya memeshi. Ayah tersenyum! Padahal aku tahu sebenarnya Ayah sedih. Ayah berpikir, kalau saja dia dulu tidak membesarkanku dan memberikan saja aku ke keluarga lain, pasti aku nggak perlu dihina seperti ini, tapi -----(berhenti)---------(lanjut) tapi, bukankah itu takdir? Ayah adalah Ayah dan aku bersyukur aku mendapatkan ayah sebaik dia.
Yeni     : Semua ayah mencintai putranya, Sinta, hanya caranya yang berbeda-beda... Bukankah ayah Sinta hebat? Ayah Sinta bisa memukul Sinta jika berbuat salah, membentak Sinta, mengajarkan Sinta secara tidak langsung untuk menjadi tangguh? Semua itu juga butuh pengorbanan. Ayah Sinta mengorbankan perasaannya supaya Sinta tidak membuat kesalahan fatal dan melindungi Sinta, ya ‘kan?”

Yeni     : Apakah Sinta pernah bertanya-tanya bagaimana perasaan ayah Sinta sehabis memukul Sinta?”
 Sinta menggeleng
Yeni     : Percayalah padaku, ayah Sinta pasti sangat menyesal. Dia pasti menangis dalam hati karena sudah memukul putra tersayangnya. Tapi supaya Sinta terhindar dari kesalahan, bukankah itu lebih baik?

゚・:,。゚・:,。★゚・:,。゚・:,

Ayah adalah ayah
Yang telah membesarkan, menafkahi, menyayangi kita
Yang tidak bisa kita pilih

Tuhan tahu yang terbaik,
Biar itu seorang ayah yang kelewat lembut
Atau seorang ayah yang kelewat disiplin
Yang ada dalam kepala mereka adalah:
Membuat putranya bahagia

Bukankah seorang ayah itu hebat?
Dia bisa terlihat begitu kuat dan keras
Kemudian begitu lembut saat mendekap kita dalam pelukannya
Membisikkan mimpinya
Saat kita terlelap,
Mengutarakan beribu maaf karena tidak bisa membuat kita cukup bahagia
dengan nafkahnya
atau dengan waktunya

Bukankah ayah itu hebat?
Mengorbankan perasaannya sendiri demi melindungiku
Mengatakan hal yan tak pernah ku bayangkan,
Melayangkan tangan yang sama dengan tangan yang mendekapku
Untuk mengingatkan akan kesalahanku

Maaf, aku jarang menyadari
Kesulitanmu menjalani peran sebagai seorang ayah
Maaf, aku selalu berprasangka
Berpikir kau tidak menyayangiku
Padahal sebenarnya aku yang bodoh dan egois
Maaf, aku selalu tidak mau tahu
Apa saja yang telah kau lalui, bahkan sebelum aku terlahir

゚・:,。゚・:,。★゚・:,。゚・:,

@ School

Yura     : “ Yeni, kamu baik – baik saja kan? Aku khawatir terjadi apa – apa denganmu sejak kejadian kemarin?
Yeni     : (tersenyum) Aku tidak apa – apa kok. Aku malah lega, dapat mengeluarkan uneg2 ku selama ini.
Yura     : Syukurlah.
Amane            : Ngomong – ngomomg, Kalian sudah ketemu dengan Sinta pagi ini?
Yura     : Belum.

Dari luar, seorang siswi yang tak asing lagi bagi mereka berjalan menghampiri Yeni dan Yura.

Sinta    : (ceria) Pagi semua
Yura dan Yeni : (bengong)
Sinta    : kenapa tidak ada yang menjawab? Oh ya, Yeni, Aku cuma bilang, terima kasih sudah memukulku waktu itu.
Yeni     : Hah?
Sinta    : Kamu adalah anak yang hebat. Kalau bukan karenamu, mungkin sampai sekarang aku akan menjadi anak paling bodoh sedunia—menyia-nyiakan kasih sayang ayahku selagi dia masih ada di sisiku.
Yeni     : Oh, Soal kemarin, aku minta maaf sudah memukul dan membentakmu secara kasar.
Sinta    : Ahh, Tidak apa – apa, Aku juga minta maaf ya. Jadi, kapan kalian mau main ke rumahku?
Amane            : Boleh nih?
Sinta    : Iya dong. Akan kukenalkan kalian dengan ayahku juga.
Yura     : Yee … Pulang sekolah aja gimana?  Setuju?
Amane dan Yeni         : Setuju !!!

Ayah
Untuk semua yang telah kau lakukan
—terima kasih.

_______________おわり_________________

=Inspired from the fict by @Nacchii Ogawa=