Gadis berpayung hitam itu terlihat berjalan menyusuri kota Bandung di tengah
derai air hujan yang secara beriringan membasahi jalan tempatnya berpijak dan sesekali tetes – tetesnya
memperdengarkan irama hujan yang
sederhana namun menyejukkan telinga. Dia terus berjalan hingga akhirnya sebuah papan nama menghentikan langkahnya.
Didongakkannya kepala gadis itu ke atas, matanya menelusuri tiap abjad dalam
papan nama yang terpampang tepat di tepi jalan
dimana dia berada sekarang. “WS Bakery”.
Sedikit sunggingan senyum menghias wajahnya sebelum kedua
kakinya memaksanya masuk ke dalam toko kue yang lumayan besar itu. Kedua bola
Matanya langsung menerawang seisi toko, yang sudah dipenuhi oleh para pembeli.
Dia memilih salah satu bangku di sana untuk didudukinya.
“Ada yang bisa saya bantu Nona?” Seorang pelayan
berompi hitam dengan kemeja putih menawarinya. “Satu potong Rainbow cake ukuran kecil dan cappuccino hangat.”
Ucap gadis dewasa tersebut yang masih sibuk membaca daftar menu.
“Mohon tunggu sebentar.” Pelayan itu beranjak pergi
setelah mencatat pesanan yang sudah ia dengar tadi. Tidak selang kemudian, dua
orang pelayan dengan seragam sama berjalan
menuju meja dimana wanita tadi berada.
“Silahkan dinikmati.” Pelayan itu membungkukkan badan
lalu beranjak kembali setelah mengantarkan pesanannya. Wanita itu hanya
tersenyum bersamaan dengan sedikit anggukan kepala yang nyaris tidak terlihat.
Seketika ia menyeduh satu cangkir cappuccino hangat yang dipesannya tadi. Tiba
– tiba ia menolehkan wajahnya ke arah kaca transparan di sampingnya. Mendadak
ekspresinya berubah muram, rindu terpahit
itu mulai menyeruak sempurna di dadanya.
Di balik aliran tetes – tetes hujan di sisi luar kaca
itu, cahaya matanya mampu memantulkan sebuah tempat menarik di luar sana,
sebuah halte tua. Sepertinya tempat itu sudah tak asing lagi bagi dirinya.
Disilangkan kedua tangannya di atas meja untuk mefokuskan pandangannya ke arah
halte. Seketika pula sekelimat bayangan muncul, memutar memori masa lalu dalam
otaknya. Sebuah kenangan nyata, kenangan indah sekaligus menyedihkan.
“Awan, bagaimana kabarmu?”
****
Suara ribut terdengar memenuhi sebuah toko kue kecil
pinggir jalan, ternyata sang pemilik
sekaligus karyawannya sedang sibuk mempersiapkan dagangannya yang tak lain
ialah macam – macam kue lezat yang siap menggoda lidah.
“Sita, cepat cuci wadah kue di sana, bukannya kamu
harus pergi kuliah lebih awal?” Suara serak namun terdengar keras dari seorang
wanita paruh baya itu membuat gadis remajanya bergegas menuruti perintahnya.
Disiapkannya segala yang diperlukan dengan cekatan, hingga peluh yang mengalir
deras di wajahnya tidak dihiraukan lagi.
“Ibu, aku berangkat kuliah dulu ya. Sepertinya aku
akan terlambat.” Ucap gadis berseragam hitam tersebut.
“Baiklah, hati – hati. Jangan lupa bawa kue di dalam
keranjang itu.” Jawab sang ibu yang masih berkutat dengan pekerjaannya. Setelah
mengucap salam, gadis itu langsung bergegas pergi, bersama keranjang kue yang digenggamnya
sekarang. Langkahnya bergerak cepat bergantian. Ia tak ingin terlambat kuliah, tapi
semakin cepat ia berlari, ternyata lintang jarak itu teramat jauh. Hingga
akhirnya ia sampai di halte bus dan beruntung sekali ketika ditemuinya bus yang
sudah siap menunggu. Berarti ia tak perlu repot – repot sekaligus memakan
banyak waktu untuk mencari angkutan lain. Dengan semangat ia segera bergabung
dengan penumpang lainnya.
“Aahh, melelahkan sekali.”
****
Harapan Sita terkabul, mahasiswa ITB jurusan Teknik Industri
tersebut tidak datang terlambat seperti apa yang ditakutkannya esok tadi. Namun
sayang, sepertinya kue yang dibawanya tidak terlalu laku terjual, masih banyak
yang tersisa. Ketika waktu istirahat tiba, ia mencoba berkeliling kampus dengan
tetap ditemani keranjang kue yang sekarang berada di dekapannya. Baginya, tak
ada rasa malu sedikitpun, ini adalah sebuah kewajiban membantu orangtua
sekaligus membantu membiayai kuliahnya. Masa depan apapun pasti bisa diraih
jika ada kerja keras.
Sita berjalan
semakin jauh dari kelasnya. Kakinya pun mulai menimbulkan efek kelelahan,
Kampus ITB kan luas. Hingga tiba saatnya Sita melewati sekerumunan pemuda yang
sedang berbincang – bincang di depan sebuah laboratorium fisika. Sita merasa
agak ragu untuk menawarkan kue ini kepada mereka, tapi jika ia tidak menawari
mereka, mana mungkin ia tahu jika mereka mau beli atau tidak. Akhirnya Sita
hanya berniat lewat saja. Namun sebelum Sita bergerak lebih jauh, suara seorang
pemuda berteriak menyebut sebuh panggilan, dan kala itu Sita merasa dialah yang
dipanggil. Sita menoleh,
“Iya kamu.” Pernyataan itu meyakinkannya apalagi saat
mata pemuda yang memanggilnya tadi tepat mengarah pada sosok Sita. Tanpa
menunggu lama, Sita bergegas menghampiri kerumunan pemuda tersebut.
“Hei, aku beli dong kuenya.” Nada sumringah keluar
dari mulut salah satu dari mereka begitupun dengan wajah Sita yang berkespresi
sama, yang sepertinya sudah mengetahui jika dagangannya sebentar lagi akan
laku.
“Siapa yang mau?”
“Aku dong.”
“Aku juga.”
Nada – nada ketertarikan mulai terdengar sahut - menyahut tanpa henti, hingga seseorang dari mereka
berbicara.
“Kalau begitu kami borong semua.” Kalimat itu sukses
menumbuhkan kepuasaan dalam hati Sita. Dia membayangkan, betapa senangnya Ibu
Sita melihat dagangannya ludes terjual.
“Nogomong – ngomong kenalin, aku Awan.” Pemuda itu
mengulurkan tangannya ke arah Sita yang dengan segera menyambutnya ramah.
‘DEG’
“Sita.”
****
Lama - kelamaan perkenalan singkat itu mengantarkan
sebuah kedekatan yang cukup erat di antara mereka. Tak jarang pula Awan
terlihat berangkat dan pulang bersama dari kampus dan ternyata rumah mereka
tidak terlalu jauh satu sama lain. Entah timbul perasaan apa, Sita mulai merasa
nyaman saat Awan mendampinginya.
“Oh, Jadi orangtuamu punya toko kue?” Awan memulai
pembicaraan mereka ketika keduanya terlihat berjalan bersama – sama.
“Iya kami sering menitipkan dagangan kami di beberapa
toko kue lain yang lebih besar selain menjualnya sendiri.” Jelas Sita.
“Emang cita – citamu apa?” Tanya Awan untuk kedua
kalinya.
“Pengusaha kue, aku ingin mengembangkan usaha orang
tuaku.”
“Wah, mungkin nanti kita bisa mendirikan perusahaan
kue terbesar di pulau Jawa bersama, ya?” Goda Awan kepada Sita.
Hah? Kita? Bersama – sama?
“Eh, ngomong – ngomong besok berangkat bareng yuk, aku
tunggu di halte bus biasa.” Tawar Awan yang membuat Sita mendadak tersipu. Dia
juga belum menemukan alasan mengapa hatinya tiba – tiba memunculkan rasa aneh
ini.
“Eh, Sita…” tepukan tangan Awan di bahuku menyadarkan
lamunanku. Bisa kulihat dia tertawa saat mengetahui aku megedip – edipkan
mataku untuk membuatku kembali ke dunia nyata.
“Hahaha, kau itu lucu.” Suaranya terkikik.
“Kalau rumah Awan sendiri dimana?”
Tiba – tiba Awan mengehentikan langkah kakinya. Ia
menatap mata Sita lekat – lekat, membuat Sita bergemetar takut sekaligus gugup.
“Ayo kutunjukkan.”
Kini tangan Sita sudah menyatu dengan tangan Awan, ia
belum sempat menolak saat Awan menggandengnya serta menarik dengan penuh
semangat seperti ini.
***
Keesokan harinya . . .
Sita telah berangkat pagi – pagi sekali, bahkan jauh
lebih pagi dari sebelumnya, tujuannya adalah tak ingin membuat Awan yang
sebelumnya menawarkan ajakan untuk berangkat bersama malah menunggu dirinya.
Dan tepat dugaan, Halte masih sepi, bahkan masih bisa dirasakan udara dingin
bertiup semilir meraba permukaan kulit tangan Sita yang kebetulan tidak
terlindungi jaket kala itu. Ia melipatkan tangannya di depan dada dan sesekali
mengusap – usapkan kedua telapak tangannya untuk sedikit mengurangi hawa dingin
yang menyerangnya tersebut.
Tiba – tiba terlintas dalam pikirannya momen – momen
di rumah Awan kemarin. Ternyata Awan adalah anak orang kaya, ayahnya adalah pengusah
kue terbesar di kota bandung. Dari situlah Awan menyuguhkan pemberian
berharganya, ia mengenalkan ayahnya kepada Sita, serta mengatakan bahwa Sita
adalah penjual kue pula tak jauh berbeda dari ayah Awan, hanya saja besarnya
usahalah yang membedakan mereka berdua. Dari situ, Toko Sita menjadi penyetor
kue tetap untuk perusahaan ayah Sita, karena mereka berpikir bahwa kuenya
terasa sangat lezat.
Aku menyukainya . . .
Ahh, apa ini
kenapa hatiku tiba – tiba berkata demikian?
Sita segera menyadarkan dirinya kembali, akhir – akhir
ini sepertinya ia sering melamunkan aktor lamunan yang sama, yang tak lain
ialah Awan.
Tiba – tiba tapak kaki seseorang terdengar semakin
dekat, sontak Sita menoleh ke sumber suara.
“Awan.”
“Hei, maaf membuatmu menunggu.” Responnya mengambil
posisi duduk di sampingku.
“Kenapa datang sepagi ini?” Awan mengangkat alis
kirinya keheranan.
“Oh, tidak. Aku hanya tidak ingin membuatmu menunggu,
aku merasa selalu merepotkanmu.” Ucap Sita tertunduk.
“Oh ya? Aku merasa tidak direpotkan. Aku senang
membantumu, Sita. Karena, aku menyukaimu.”
Kalimat itu bergetar indah di gendang telinga Sita.
Detak jantungnya mulai tak beraturan. Dia menyukai Sita, seorang Awan. Ah, Sita
memastikan bahwa perkataannya hanya candaan semata. Topeng wajahnya mulai
dipersiapkannya, berusaha menyembunyikan perasaan hatinya yang memang sama
dengan apa yang keluar dari mulut Awan barusan. Tapi apa itu benar – benar
nyata?
“Kau bercanda?” Suara Sinta keluar begitu berat,
mencoba memastikannya.
“Tidak, aku serius. Apa mukaku ini terlihat bercanda?
Apa kamu mau jadi kekasihku?”Jawab Awan lugas, benar – benar tidak ada ekspresi
bercanda terugurat di wajah tampannya itu. Sita pun berpikir demikian, tapi apa
yang harus ia ucapkan selanjutnya? Ingin rasanya ia mengucapkan “Ya”. Tapi
di balik keinginannya tersebut, timbul
ketakutan, apakah Awan memang jodoh yang Tuhan berikan? Tapi perasaannya mulai
beradu kembali, perasaan yang menjelaskan dengan gamblangnya bahwa Awanlah yang
mampu menggetarkan hatinya sejak pertemuan pertamanya dulu.
“Iya, aku mau.” Inilah keputusan Sita, ia tidak
bohong, ia benar – benar menyukainya bukan sekedar candaan semata.
“Terima kasih”
***
Kebahagian mereka tak dapat terukir oleh kata – kata
dan kalimat. Bahagia sekali, Sita sangat mencintai Awan, sosok idamannya, sosok
pemberi semangat, sosok penolong, dan sekarang sosok itu menjadi miliknya.
Tidak pernah terbayangkan sama sekali namun inilah hidup, tidak bisa ditebak, hanya sebuah arus yang dimainkan oleh
waktu yang selalu mengalir maju tanpa pernah kembali, arus itu terkadang
mengalir tenang, tapi ada saatnya mengalir deras mencelakai manusia.
Tetapi kesedihanpun berganti datang. Semua itu tidak
bertahan lama, kebahagiaan mereka, keinginan mereka, dan masa depan mereka
sirna sudah ketika kegelapan malam
itu dengan kejamnya melenyapkan cahaya terang itu.
Mereka dirampok oleh mafia bersenjata tajam saat
sedang pergi kencan. Mereka yang dengan membabi buta ingin membunuh Sita, karena
saat itu ia menolak untuk memberikan tasnya kepada mafia – mafia busuk
tersebut. Dengan susah payah, Awan menolongnya, dia berhasil. Tapi senjata
mereka tidak berpihak kepada kami, ujung pisau itu berhasil menembus punggung
Awan.
Dan Awan pergi, dengan tragisnya di depan mata Sita
sendiri.
***
Wanita yang sudah diketahui bernama Sita itu
meletakkan karangan bunga di atas sebuah makam berselimut rumput hijau dengan batu nisan yang menciptakan
“Awan Setiawan” .
“Hai Awan, aku sudah berhasil menjadi pengusaha kue
seperti yang kau idamkan dulu.” Suara tercekat wanita itu terdengar lirih
sekali.
“Tapi, kenapa kau tidak tinggal saja bersamaku? Aku
benci denganmu, bukankah kau dulu yang bilang akan menemaniku. Aku merindukanmu, aku teramat menderita
tanpamu.” Wanita itu berusaha menahan genangan air yang telah terkumpul di
permukaan matanya. Ia mendongakkan kepalanya menatap lagit biru nun jauh di
sana, seraya berdoa.
“Terima kasih, kau telah membantu meraih cita –
citaku. Tuhan, terima kasih Kau telah mendatangkan sosok Awan kepadaku,
Malaikat pelindungku.”
Satu tetes embun berlinang di pipi gadis itu. Kenangan
pahit 10 tahun yang lalu adalah penyebab semua kekejaman ini. Walaupun Takdir
memang tak selau indah tapi takdir Tuhanlah yang terbaik untuk kita. Karena
Tuhan adalah Maha Adil.
Jangan
berputus asa dengan mudahnya, Hidupkanlah
kembali cahaya yang pernah pudar.
-Tamat-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar