Dreaming in حلالا way. . .

Halaman

Cari Blog Ini

Apa sih artinya?

Sabtu, 19 Januari 2013

Takdir Masa Depan


Gadis berpayung hitam itu terlihat berjalan menyusuri kota Bandung di tengah derai air hujan yang secara beriringan membasahi jalan tempatnya berpijak dan sesekali tetes – tetesnya memperdengarkan  irama hujan yang sederhana namun menyejukkan telinga. Dia terus berjalan hingga akhirnya sebuah papan nama menghentikan langkahnya. Didongakkannya kepala gadis itu ke atas, matanya menelusuri tiap abjad dalam papan nama yang terpampang tepat di tepi jalan dimana dia berada sekarang. “WS Bakery”.

Sedikit sunggingan senyum menghias wajahnya sebelum kedua kakinya memaksanya masuk ke dalam toko kue yang lumayan besar itu. Kedua bola Matanya langsung menerawang seisi toko, yang sudah dipenuhi oleh para pembeli. Dia memilih salah satu bangku di sana untuk didudukinya. 

“Ada yang bisa saya bantu Nona?” Seorang pelayan berompi hitam dengan kemeja putih menawarinya. “Satu potong Rainbow  cake ukuran kecil dan cappuccino hangat.” Ucap gadis dewasa tersebut yang masih sibuk membaca daftar menu.

“Mohon tunggu sebentar.” Pelayan itu beranjak pergi setelah mencatat pesanan yang sudah ia dengar tadi. Tidak selang kemudian, dua orang pelayan dengan seragam sama berjalan menuju meja dimana wanita tadi berada. 

“Silahkan dinikmati.” Pelayan itu membungkukkan badan lalu beranjak kembali setelah mengantarkan pesanannya. Wanita itu hanya tersenyum bersamaan dengan sedikit anggukan kepala yang nyaris tidak terlihat. Seketika ia menyeduh satu cangkir cappuccino hangat yang dipesannya tadi. Tiba – tiba ia menolehkan wajahnya ke arah kaca transparan di sampingnya. Mendadak ekspresinya berubah muram, rindu terpahit itu mulai menyeruak sempurna di dadanya.

Di balik aliran tetes – tetes hujan di sisi luar kaca itu, cahaya matanya mampu memantulkan sebuah tempat menarik di luar sana, sebuah halte tua. Sepertinya tempat itu sudah tak asing lagi bagi dirinya. Disilangkan kedua tangannya di atas meja untuk mefokuskan pandangannya ke arah halte. Seketika pula sekelimat bayangan muncul, memutar memori masa lalu dalam otaknya. Sebuah kenangan nyata, kenangan indah sekaligus menyedihkan. 

“Awan, bagaimana kabarmu?”

****
Suara ribut terdengar memenuhi sebuah toko kue kecil pinggir jalan, ternyata sang pemilik sekaligus karyawannya sedang sibuk mempersiapkan dagangannya yang tak lain ialah macam – macam kue lezat yang siap menggoda lidah. 

“Sita, cepat cuci wadah kue di sana, bukannya kamu harus pergi kuliah lebih awal?” Suara serak namun terdengar keras dari seorang wanita paruh baya itu membuat gadis remajanya bergegas menuruti perintahnya. Disiapkannya segala yang diperlukan dengan cekatan, hingga peluh yang mengalir deras di wajahnya tidak dihiraukan lagi. 

“Ibu, aku berangkat kuliah dulu ya. Sepertinya aku akan terlambat.” Ucap gadis berseragam hitam tersebut.

“Baiklah, hati – hati. Jangan lupa bawa kue di dalam keranjang itu.” Jawab sang ibu yang masih berkutat dengan pekerjaannya. Setelah mengucap salam, gadis itu langsung bergegas pergi, bersama keranjang kue yang digenggamnya sekarang. Langkahnya bergerak cepat bergantian. Ia tak ingin terlambat kuliah, tapi semakin cepat ia berlari, ternyata lintang jarak itu teramat jauh. Hingga akhirnya ia sampai di halte bus dan beruntung sekali ketika ditemuinya bus yang sudah siap menunggu. Berarti ia tak perlu repot – repot sekaligus memakan banyak waktu untuk mencari angkutan lain. Dengan semangat ia segera bergabung dengan penumpang lainnya. 

“Aahh, melelahkan sekali.” 

****

Harapan Sita terkabul, mahasiswa ITB jurusan Teknik Industri tersebut tidak datang terlambat seperti apa yang ditakutkannya esok tadi. Namun sayang, sepertinya kue yang dibawanya tidak terlalu laku terjual, masih banyak yang tersisa. Ketika waktu istirahat tiba, ia mencoba berkeliling kampus dengan tetap ditemani keranjang kue yang sekarang berada di dekapannya. Baginya, tak ada rasa malu sedikitpun, ini adalah sebuah kewajiban membantu orangtua sekaligus membantu membiayai kuliahnya. Masa depan apapun pasti bisa diraih jika ada kerja keras. 

Sita berjalan semakin jauh dari kelasnya. Kakinya pun mulai menimbulkan efek kelelahan, Kampus ITB kan luas. Hingga tiba saatnya Sita melewati sekerumunan pemuda yang sedang berbincang – bincang di depan sebuah laboratorium fisika. Sita merasa agak ragu untuk menawarkan kue ini kepada mereka, tapi jika ia tidak menawari mereka, mana mungkin ia tahu jika mereka mau beli atau tidak. Akhirnya Sita hanya berniat lewat saja. Namun sebelum Sita bergerak lebih jauh, suara seorang pemuda berteriak menyebut sebuh panggilan, dan kala itu Sita merasa dialah yang dipanggil. Sita menoleh,

“Iya kamu.” Pernyataan itu meyakinkannya apalagi saat mata pemuda yang memanggilnya tadi tepat mengarah pada sosok Sita. Tanpa menunggu lama, Sita bergegas menghampiri kerumunan pemuda tersebut. 

“Hei, aku beli dong kuenya.” Nada sumringah keluar dari mulut salah satu dari mereka begitupun dengan wajah Sita yang berkespresi sama, yang sepertinya sudah mengetahui jika dagangannya sebentar lagi akan laku.

“Siapa yang mau?” 

“Aku dong.”

“Aku juga.”

Nada – nada ketertarikan mulai terdengar sahut -  menyahut tanpa henti, hingga seseorang dari mereka berbicara.

“Kalau begitu kami borong semua.” Kalimat itu sukses menumbuhkan kepuasaan dalam hati Sita. Dia membayangkan, betapa senangnya Ibu Sita melihat dagangannya ludes terjual.

“Nogomong – ngomong kenalin, aku Awan.” Pemuda itu mengulurkan tangannya ke arah Sita yang dengan segera menyambutnya ramah.

‘DEG’

“Sita.”

****

Lama - kelamaan perkenalan singkat itu mengantarkan sebuah kedekatan yang cukup erat di antara mereka. Tak jarang pula Awan terlihat berangkat dan pulang bersama dari kampus dan ternyata rumah mereka tidak terlalu jauh satu sama lain. Entah timbul perasaan apa, Sita mulai merasa nyaman saat Awan mendampinginya.

“Oh, Jadi orangtuamu punya toko kue?” Awan memulai pembicaraan mereka ketika keduanya terlihat berjalan bersama – sama. 

“Iya kami sering menitipkan dagangan kami di beberapa toko kue lain yang lebih besar selain menjualnya sendiri.” Jelas Sita.

“Emang cita – citamu apa?” Tanya Awan untuk kedua kalinya.

“Pengusaha kue, aku ingin mengembangkan usaha orang tuaku.”

“Wah, mungkin nanti kita bisa mendirikan perusahaan kue terbesar di pulau Jawa bersama, ya?” Goda Awan kepada Sita.

Hah? Kita? Bersama – sama?

“Eh, ngomong – ngomong besok berangkat bareng yuk, aku tunggu di halte bus biasa.” Tawar Awan yang membuat Sita mendadak tersipu. Dia juga belum menemukan alasan mengapa hatinya tiba – tiba memunculkan rasa aneh ini. 

“Eh, Sita…” tepukan tangan Awan di bahuku menyadarkan lamunanku. Bisa kulihat dia tertawa saat mengetahui aku megedip – edipkan mataku untuk membuatku kembali ke dunia nyata. 

“Hahaha, kau itu lucu.” Suaranya terkikik.

“Kalau rumah Awan sendiri dimana?” 

Tiba – tiba Awan mengehentikan langkah kakinya. Ia menatap mata Sita lekat – lekat, membuat Sita bergemetar takut sekaligus gugup. 

“Ayo kutunjukkan.”

Kini tangan Sita sudah menyatu dengan tangan Awan, ia belum sempat menolak saat Awan menggandengnya serta menarik dengan penuh semangat seperti ini. 

***

Keesokan harinya . . .

Sita telah berangkat pagi – pagi sekali, bahkan jauh lebih pagi dari sebelumnya, tujuannya adalah tak ingin membuat Awan yang sebelumnya menawarkan ajakan untuk berangkat bersama malah menunggu dirinya. Dan tepat dugaan, Halte masih sepi, bahkan masih bisa dirasakan udara dingin bertiup semilir meraba permukaan kulit tangan Sita yang kebetulan tidak terlindungi jaket kala itu. Ia melipatkan tangannya di depan dada dan sesekali mengusap – usapkan kedua telapak tangannya untuk sedikit mengurangi hawa dingin yang menyerangnya tersebut. 

Tiba – tiba terlintas dalam pikirannya momen – momen di rumah Awan kemarin. Ternyata Awan adalah anak orang kaya, ayahnya adalah pengusah kue terbesar di kota bandung. Dari situlah Awan menyuguhkan pemberian berharganya, ia mengenalkan ayahnya kepada Sita, serta mengatakan bahwa Sita adalah penjual kue pula tak jauh berbeda dari ayah Awan, hanya saja besarnya usahalah yang membedakan mereka berdua. Dari situ, Toko Sita menjadi penyetor kue tetap untuk perusahaan ayah Sita, karena mereka berpikir bahwa kuenya terasa  sangat lezat. 

Aku menyukainya . . .

Ahh, apa ini kenapa hatiku tiba – tiba berkata demikian? 

Sita segera menyadarkan dirinya kembali, akhir – akhir ini sepertinya ia sering melamunkan aktor lamunan yang sama, yang tak lain ialah  Awan. 

Tiba – tiba tapak kaki seseorang terdengar semakin dekat, sontak Sita menoleh ke sumber suara.

“Awan.”

“Hei, maaf membuatmu menunggu.” Responnya mengambil posisi duduk di sampingku.

“Kenapa datang sepagi ini?” Awan mengangkat alis kirinya keheranan.

“Oh, tidak. Aku hanya tidak ingin membuatmu menunggu, aku merasa selalu merepotkanmu.” Ucap Sita tertunduk.

“Oh ya? Aku merasa tidak direpotkan. Aku senang membantumu, Sita. Karena, aku menyukaimu.”
Kalimat itu bergetar indah di gendang telinga Sita. Detak jantungnya mulai tak beraturan. Dia menyukai Sita, seorang Awan. Ah, Sita memastikan bahwa perkataannya hanya candaan semata. Topeng wajahnya mulai dipersiapkannya, berusaha menyembunyikan perasaan hatinya yang memang sama dengan apa yang keluar dari mulut Awan barusan. Tapi apa itu benar – benar nyata?

“Kau bercanda?” Suara Sinta keluar begitu berat, mencoba memastikannya. 

“Tidak, aku serius. Apa mukaku ini terlihat bercanda? Apa kamu mau jadi kekasihku?”Jawab Awan lugas, benar – benar tidak ada ekspresi bercanda terugurat di wajah tampannya itu. Sita pun berpikir demikian, tapi apa yang harus ia ucapkan selanjutnya? Ingin rasanya ia mengucapkan “Ya”. Tapi di  balik keinginannya tersebut, timbul ketakutan, apakah Awan memang jodoh yang Tuhan berikan? Tapi perasaannya mulai beradu kembali, perasaan yang menjelaskan dengan gamblangnya bahwa Awanlah yang mampu menggetarkan hatinya sejak pertemuan pertamanya dulu. 

“Iya, aku mau.” Inilah keputusan Sita, ia tidak bohong, ia benar – benar menyukainya bukan sekedar candaan semata. 

“Terima kasih”

***

Kebahagian mereka tak dapat terukir oleh kata – kata dan kalimat. Bahagia sekali, Sita sangat mencintai Awan, sosok idamannya, sosok pemberi semangat, sosok penolong, dan sekarang sosok itu menjadi miliknya. Tidak pernah terbayangkan sama sekali namun inilah hidup, tidak bisa ditebak, hanya sebuah arus yang dimainkan oleh waktu yang selalu mengalir maju tanpa pernah kembali, arus itu terkadang mengalir tenang, tapi ada saatnya mengalir deras mencelakai manusia.
Tetapi kesedihanpun berganti datang. Semua itu tidak bertahan lama, kebahagiaan mereka, keinginan mereka, dan masa depan mereka sirna sudah ketika kegelapan malam itu dengan kejamnya melenyapkan cahaya terang itu.

Mereka dirampok oleh mafia bersenjata tajam saat sedang pergi kencan. Mereka yang dengan membabi buta ingin membunuh Sita, karena saat itu ia menolak untuk memberikan tasnya kepada mafia – mafia busuk tersebut. Dengan susah payah, Awan menolongnya, dia berhasil. Tapi senjata mereka tidak berpihak kepada kami, ujung pisau itu berhasil menembus punggung Awan.

Dan Awan pergi, dengan tragisnya di depan mata Sita sendiri.

***

Wanita yang sudah diketahui bernama Sita itu meletakkan karangan bunga di atas sebuah makam berselimut rumput hijau dengan batu nisan yang menciptakan “Awan Setiawan” .

“Hai Awan, aku sudah berhasil menjadi pengusaha kue seperti yang kau idamkan dulu.” Suara tercekat wanita itu terdengar lirih sekali.

“Tapi, kenapa kau tidak tinggal saja bersamaku? Aku benci denganmu, bukankah kau dulu yang bilang akan menemaniku. Aku merindukanmu, aku teramat menderita tanpamu.” Wanita itu berusaha menahan genangan air yang telah terkumpul di permukaan matanya. Ia mendongakkan kepalanya menatap lagit biru nun jauh di sana, seraya berdoa. 

“Terima kasih, kau telah membantu meraih cita – citaku. Tuhan, terima kasih Kau telah mendatangkan sosok Awan kepadaku, Malaikat pelindungku.”

Satu tetes embun berlinang di pipi gadis itu. Kenangan pahit 10 tahun yang lalu adalah penyebab semua kekejaman ini. Walaupun Takdir memang tak selau indah tapi takdir Tuhanlah yang terbaik untuk kita. Karena Tuhan adalah Maha Adil. 

Jangan berputus asa dengan mudahnya, Hidupkanlah kembali cahaya yang pernah pudar.

-Tamat-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar