Aku
menatap diriku di depan cermin besar ini. Sosok berpakaian rapi lengkap dengan
atribut wisuda itu bersiap-siap menjalani masa terpentingnya hari ini. Rasanya
seperti mimpi bahwa orang sesederhana aku bisa mengantongi predikat wisudawan
beberapa detik lagi. Tiba-tiba pikiranku terbang ke sebuah masa, masa dimana
perjuangan terasa kental untuk mencapai titik ini. Ah, sebuah masa yang
mestinya dilupakan, namun aku tak sanggup menghapusnya, karena bagaimana pun
masa itu sudah menjadi bagian terpenting dalam pencapaian ini.
###
Aku
menatap jam dinding di samping kamarku dengan sesekali mengedipkan mata yang
masih sulit terbuka ini. Waktu masih menunjukkan pukul 02.00 WIB, tapi aku
harus segera bangun. Ya aku memang berbeda, namun tepatnya aktivitasku lah yang
berbeda. Di umurku yang ke-20 ini, Aku tetap seorang mahasiswa yang masih
menuntut ilmu seperti orang-orang seumuranku lainnya. Namun pembedanya adalah aku
harus bekerja lebih keras dari mereka.
Kupaksakan
badanku beranjak dari tempat tidur yang nyaman itu, lalu mengambil beberapa
perlengkapan yang aku butuhkan untuk bekerja. Bukan pekerjaan yang penting
sebenarnya, namun aku harus benar-benar giat, karena aku masih butuh banyak
uang untuk menopang biaya kuliahku dan kehidupanku. Untung saja aku adalah
mahasiswa bidik misi, jadi uang beasiswa itu dapat kumanfaatkan juga.
“Ibu,
Andi berangkat ke pasar dulu.”
Aku
berpamitan dengan Ibu yang sudah berkecimpung di dapur lebih dahulu dariku,
beliau pun harus bangun sepagi itu untuk mempersiapkan makanan yang akan
dijualnya nanti. Beliau lah salah satu semangatku untuk terus berjuang mencapai
kesuksesan.
“Iya,
le. Hati-hati.”
Setelah
kudapat ijin ibu tersebut, segera kukayuh sepeda dengan dua keranjang penuh
sayuran di sebelah sampingnya. Meski masih pagi – pagi buta, namun aku yakin
suasana pasar sudah penuh sesak dengan hiruk pikuk pembeli dan pedagang yang
lainnya.
Ya,
dugaanku tepat. Aku segera menuju lapak
daganganku, kemudian berjualan seperti yang lain. Satu pembeli terlihat menghamipiriku
kemudian diikuti pembeli lainnya.
Fajar
mulai menyingsinlg, Alhamdulillah daganganku pun sudah hampir habis. Aku
menatap lembaran kertas bernilai itu dengan senyuman puas sembari menghitungnya
sebentar. Namun, aku segera sadar, di sini bukan tempat yang aman untuk
menghitung uang. Pernah suatu ketika ada preman pasar yang merebut hasil jerih
payahku itu, dan alhasil aku pulang dengan tangan hampa.
Sepulang
dari pasar, tak serta merta aku harus membaringkan tubuhku lagi dan
beristirahat, karena aku harus menunaikan kewajibanku yang lain yaitu kuliah.
Dengan belajar di fakultas hukum di salah satu universitas negeri di kota ini,
kugantungkan harapan untuk mengubah hidupku ini, tak apa aku bersusah-susah
terlebih dahulu, namun kelak aku ingin hidup dengan genggaman kesuksesan yang
berhasil kuraih.
Untung
saja jarak rumah dengan pasar tidak terlalu jauh, jadi aku bisa tiba di rumah
lebih cepat dan menyiapkan perlengkapan kuliahku setelahnya.
“Ini
bekal makanmu, Nak.”
Kulihat
ibu menghampiriku yang sudah siap dengan tas di pundak dan sepeda yang sama
sembari tersenyum tulus. Ibu sangat sayang kepada anak-anaknya, beliau selalu
menyiapkan segela kebutuhan untukku dan adikku. Begitu pun dengan bekal makanan
yang selalu beliau berikan di setiap pagi.
“Terima
kasih bu, Andi berangkat dulu ya.”
Kucium
tangan Ibu dan meminta restu beliau demi kelancaran kuliahku. Kukayuh sepedaku segera,
karena aku harus segera tiba di kampus dan mata kuliah pertamaku dimulai pukul
7, jadi aku harus bergerak cepat.
Namun
tiba-tiba, ada yang aneh pada sepedaku. Aku tidak bisa menahan keseimbanganku
saat aku sadar bahwa sepedaku mulai oleng.
“Ah,
bannya bocor.” Keluhku seketika. Aku harus bagaimana? Padahal kuliah akan
dimulai sebentar lagi. Aku menyebar pandangan di sekelilingku, kutemukan tambal
ban tak jauh dari tempatku berdiri. Tak perlu berpikir lama, segera ku berlari
ke sana.
“Pak,
kira-kira tambal ban butuh berapa lama?” Tanyaku kepada bapak-bapak tambal ban
tersebut.
“Kira-kira
setengah jam.”
Ah,
tidak bisa. Aku harus sudah sampai kurang dari setengah jam lagi. “Ya, sudah
pak. Saya titip sepeda dulu.”
Karena
jarak ke kampus tinggal 1 km, akhirnya aku putuskan untuk berjalan menuju
kampus. Sekuat tenaga, aku berusaha datang tepat waktu pagi itu. Dengan
sesekali berlari, aku tidak memperdulikan pakaianku yang mulai basah oleh peluh
dan keringat, yang ada di pikiranku adalah jangan sampai aku terlambat pagi
itu.
Akhirnya,
dari kejauhan gedung-gedung bertingkat itu mulai terlihat. Aku menambah
kecepata kakiku dan akhirnya, tepat sekali. Aku sampai di ruang kelas pukul 7
tepat. Alhamdulillah.
“Kamu
kenapa basah kuyup seperti ini? Kehujanan?” Tanya salah satu teman sekelasku
keheranan.
“Ban
Sepedaku bocor.” Jawabku langsung menyandarkan punggungku di kursi yang
kududuki kala itu dan menghela napas berulang kali untuk melepas penat akibat
berlarian tadi.
Cahaya
siang sudah tergantikan oleh senja, dan mata kuliah hari itu pun telah usai.
Aku segera mempersiapkan diri untuk segera pulang. Ya, aku harus cepat, karena
aku harus berjalan terlebih dahulu untuk mengambil sepedaku di bengkel pagi
tadi. Syukurlah, sepedaku telah selesai diperbaiki dan aku dapat menaikinya
kembali. Sepertinya hari ini aku pulang lebih malam, semoga saja Ibu tidak cemas
menantiku. Tetapi mengapa hari ini perasaanku tidak enak.
“Assalamualaikum.”
Kuketuk pintu rumahku berulang kali, namun tak kunjung ada yang membuka. Hingga
kemudian ada yang mendorong pintu tersebut perlahan. Desi. Tetapi mengapa
wajahnya begitu sedih?
“Desi?
Kok menangis?” Tanyaku sembari sedikit membungkukkan punggungku untuk menatap
mata kecilnya.
“Ibu
sakit kak.”
Deg.
Jantungku serasa berhenti, kecemasan langsung menjalar ke seluruh saraf
tubuhku. Aku Segera masuk rumah kemudian
menuju kamar tidur Ibu. Ya benar saja, Ibu terbaring lemas dan terlihat pucat. Aku
mendekatinya perlahan.
“Nak,
maaf Ibu tidak bisa bekerja hari ini.”
“Sudah,
Ibu istirahat saja. Biar Andi yang bekerja.” Ujarku menyela perkataan Ibu baru
saja. Tak terasa air mataku menetes perlahan, kutatap wajah yang mulai renta
itu. Aku sadar Ibu sudah berjuang sejauh ini, berjuang sendirian demi
kelangsungan hidup kami berdua. Aku merasa amat bersalah selama ini, merasa
belum bisa membalas jasa Ibu kepadaku.
Hingga
kemudian aku tersadar, aku harus segera bangkit. Mulai hari itu, aku meneguhkan
janji di dalam hatiku, meneguhkan semangat sekaligus harapan untuk
membahagiakan Ibu dan mencapai kesuksesan kelak.
###
Ya
sesuai janjiku, perjuangan dan pengorbananku berjalan lebih keras lagi, tak
pernah terhenti pun hingga detik ini. Hingga detik dimana hari wisuda itu pun
datang. Hari dimana aku mencapai puncak tertinggiku sebagai mahasiswa yang akan
membuka pintu kesuksesan setelahnya.
Hari
ini pula, aku melihat senyum Ibu melebar, wajah tulus terpancar, dan mata itu tetap
berkaca-kaca. Belum pernah aku melihat Ibu sebahagia ini, Alhamdulillah Allah
mengabulkan doaku, meridhoi harapanku untuk membahagiakan beliau. Akhirnya satu
predikat sebagai wisudawan terbaik itu berhasil kugenggam, dan janji itu pun
berhasil kuhidupkan secara nyata, janji untuk membuka gerbang kesuksesan mmenuju
masa depan yang cerah.