Dreaming in حلالا way. . .

Halaman

Cari Blog Ini

Apa sih artinya?

Kamis, 09 Juli 2015

[Cerpen] Janji Masa Depan



Aku menatap diriku di depan cermin besar ini. Sosok berpakaian rapi lengkap dengan atribut wisuda itu bersiap-siap menjalani masa terpentingnya hari ini. Rasanya seperti mimpi bahwa orang sesederhana aku bisa mengantongi predikat wisudawan beberapa detik lagi. Tiba-tiba pikiranku terbang ke sebuah masa, masa dimana perjuangan terasa kental untuk mencapai titik ini. Ah, sebuah masa yang mestinya dilupakan, namun aku tak sanggup menghapusnya, karena bagaimana pun masa itu sudah menjadi bagian terpenting dalam pencapaian ini.
###
Aku menatap jam dinding di samping kamarku dengan sesekali mengedipkan mata yang masih sulit terbuka ini. Waktu masih menunjukkan pukul 02.00 WIB, tapi aku harus segera bangun. Ya aku memang berbeda, namun tepatnya aktivitasku lah yang berbeda. Di umurku yang ke-20 ini, Aku tetap seorang mahasiswa yang masih menuntut ilmu seperti orang-orang seumuranku lainnya. Namun pembedanya adalah aku harus bekerja lebih keras dari mereka.
Kupaksakan badanku beranjak dari tempat tidur yang nyaman itu, lalu mengambil beberapa perlengkapan yang aku butuhkan untuk bekerja. Bukan pekerjaan yang penting sebenarnya, namun aku harus benar-benar giat, karena aku masih butuh banyak uang untuk menopang biaya kuliahku dan kehidupanku. Untung saja aku adalah mahasiswa bidik misi, jadi uang beasiswa itu dapat kumanfaatkan juga.
“Ibu, Andi berangkat ke pasar dulu.”
Aku berpamitan dengan Ibu yang sudah berkecimpung di dapur lebih dahulu dariku, beliau pun harus bangun sepagi itu untuk mempersiapkan makanan yang akan dijualnya nanti. Beliau lah salah satu semangatku untuk terus berjuang mencapai kesuksesan.
“Iya, le. Hati-hati.”
Setelah kudapat ijin ibu tersebut, segera kukayuh sepeda dengan dua keranjang penuh sayuran di sebelah sampingnya. Meski masih pagi – pagi buta, namun aku yakin suasana pasar sudah penuh sesak dengan hiruk pikuk pembeli dan pedagang yang lainnya.
Ya, dugaanku tepat. Aku segera menuju  lapak daganganku, kemudian berjualan seperti yang lain. Satu pembeli terlihat menghamipiriku kemudian diikuti pembeli lainnya.
Fajar mulai menyingsinlg, Alhamdulillah daganganku pun sudah hampir habis. Aku menatap lembaran kertas bernilai itu dengan senyuman puas sembari menghitungnya sebentar. Namun, aku segera sadar, di sini bukan tempat yang aman untuk menghitung uang. Pernah suatu ketika ada preman pasar yang merebut hasil jerih payahku itu, dan alhasil aku pulang dengan tangan hampa.
Sepulang dari pasar, tak serta merta aku harus membaringkan tubuhku lagi dan beristirahat, karena aku harus menunaikan kewajibanku yang lain yaitu kuliah. Dengan belajar di fakultas hukum di salah satu universitas negeri di kota ini, kugantungkan harapan untuk mengubah hidupku ini, tak apa aku bersusah-susah terlebih dahulu, namun kelak aku ingin hidup dengan genggaman kesuksesan yang berhasil kuraih.
Untung saja jarak rumah dengan pasar tidak terlalu jauh, jadi aku bisa tiba di rumah lebih cepat dan menyiapkan perlengkapan kuliahku setelahnya.
“Ini bekal makanmu, Nak.”
Kulihat ibu menghampiriku yang sudah siap dengan tas di pundak dan sepeda yang sama sembari tersenyum tulus. Ibu sangat sayang kepada anak-anaknya, beliau selalu menyiapkan segela kebutuhan untukku dan adikku. Begitu pun dengan bekal makanan yang selalu beliau berikan di setiap pagi.
“Terima kasih bu, Andi berangkat dulu ya.”
Kucium tangan Ibu dan meminta restu beliau demi kelancaran kuliahku. Kukayuh sepedaku segera, karena aku harus segera tiba di kampus dan mata kuliah pertamaku dimulai pukul 7, jadi aku harus bergerak cepat.
Namun tiba-tiba, ada yang aneh pada sepedaku. Aku tidak bisa menahan keseimbanganku saat aku sadar bahwa sepedaku mulai oleng.
“Ah, bannya bocor.” Keluhku seketika. Aku harus bagaimana? Padahal kuliah akan dimulai sebentar lagi. Aku menyebar pandangan di sekelilingku, kutemukan tambal ban tak jauh dari tempatku berdiri. Tak perlu berpikir lama, segera ku berlari ke sana.
“Pak, kira-kira tambal ban butuh berapa lama?” Tanyaku kepada bapak-bapak tambal ban tersebut.
“Kira-kira setengah jam.”
Ah, tidak bisa. Aku harus sudah sampai kurang dari setengah jam lagi. “Ya, sudah pak. Saya titip sepeda dulu.”
Karena jarak ke kampus tinggal 1 km, akhirnya aku putuskan untuk berjalan menuju kampus. Sekuat tenaga, aku berusaha datang tepat waktu pagi itu. Dengan sesekali berlari, aku tidak memperdulikan pakaianku yang mulai basah oleh peluh dan keringat, yang ada di pikiranku adalah jangan sampai aku terlambat pagi itu.
Akhirnya, dari kejauhan gedung-gedung bertingkat itu mulai terlihat. Aku menambah kecepata kakiku dan akhirnya, tepat sekali. Aku sampai di ruang kelas pukul 7 tepat. Alhamdulillah.
“Kamu kenapa basah kuyup seperti ini? Kehujanan?” Tanya salah satu teman sekelasku keheranan.
“Ban Sepedaku bocor.” Jawabku langsung menyandarkan punggungku di kursi yang kududuki kala itu dan menghela napas berulang kali untuk melepas penat akibat berlarian tadi.
Cahaya siang sudah tergantikan oleh senja, dan mata kuliah hari itu pun telah usai. Aku segera mempersiapkan diri untuk segera pulang. Ya, aku harus cepat, karena aku harus berjalan terlebih dahulu untuk mengambil sepedaku di bengkel pagi tadi. Syukurlah, sepedaku telah selesai diperbaiki dan aku dapat menaikinya kembali. Sepertinya hari ini aku pulang lebih malam, semoga saja Ibu tidak cemas menantiku. Tetapi mengapa hari ini perasaanku tidak enak.
“Assalamualaikum.” Kuketuk pintu rumahku berulang kali, namun tak kunjung ada yang membuka. Hingga kemudian ada yang mendorong pintu tersebut perlahan. Desi. Tetapi mengapa wajahnya begitu sedih?
“Desi? Kok menangis?” Tanyaku sembari sedikit membungkukkan punggungku untuk menatap mata kecilnya.
“Ibu sakit kak.”
Deg. Jantungku serasa berhenti, kecemasan langsung menjalar ke seluruh saraf tubuhku.  Aku Segera masuk rumah kemudian menuju kamar tidur Ibu. Ya benar saja, Ibu terbaring lemas dan terlihat pucat. Aku mendekatinya perlahan.
“Nak, maaf Ibu tidak bisa bekerja hari ini.”
“Sudah, Ibu istirahat saja. Biar Andi yang bekerja.” Ujarku menyela perkataan Ibu baru saja. Tak terasa air mataku menetes perlahan, kutatap wajah yang mulai renta itu. Aku sadar Ibu sudah berjuang sejauh ini, berjuang sendirian demi kelangsungan hidup kami berdua. Aku merasa amat bersalah selama ini, merasa belum bisa membalas jasa Ibu kepadaku.
Hingga kemudian aku tersadar, aku harus segera bangkit. Mulai hari itu, aku meneguhkan janji di dalam hatiku, meneguhkan semangat sekaligus harapan untuk membahagiakan Ibu dan mencapai kesuksesan kelak.
###
Ya sesuai janjiku, perjuangan dan pengorbananku berjalan lebih keras lagi, tak pernah terhenti pun hingga detik ini. Hingga detik dimana hari wisuda itu pun datang. Hari dimana aku mencapai puncak tertinggiku sebagai mahasiswa yang akan membuka pintu kesuksesan setelahnya.
Hari ini pula, aku melihat senyum Ibu melebar, wajah tulus terpancar, dan mata itu tetap berkaca-kaca. Belum pernah aku melihat Ibu sebahagia ini, Alhamdulillah Allah mengabulkan doaku, meridhoi harapanku untuk membahagiakan beliau. Akhirnya satu predikat sebagai wisudawan terbaik itu berhasil kugenggam, dan janji itu pun berhasil kuhidupkan secara nyata, janji untuk membuka gerbang kesuksesan mmenuju masa depan yang cerah. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar