Tak ada yang
menginginkan hidup pada masa ini. Masa di mana perang menjadi santapan setiap
hari, begitu pun dengan ranjau dan bom yang meledak di setiap kedipan mata.
Namun, tidak ada yang bisa melawan bahkan menyingkapnya. Semua mengalir bak
air, pengorbanan, darah, dan air mata, menjadi hal yang tidak tabu lagi bahkan dapat
ditemui setiap saat. Mereka yang menjadi korban perang, tentu saja merindukan
sebuah negeri yang damai, aman, dan tenteram. Namun semenjak perang bergulir,
kondisi manusiawi tak pernah tercium kembali di negara ini.
Bosnia, 1976
“Laura,
berlindunglah! Tentara musuh sudah mendekat.”
Seorang wanita
paruh baya berlari ke arah anak kecil tak jauh dari pandangannya. Digendongnya
raga kecil anak tersebut dan selekas mungkin dibawanya ke sebuah lorong bawah
tanah, tempat mereka berlindung seperti biasa. Tak hanya mereka, berpuluh-puluh
warga sekitar sudah berkerumun terlebih dahulu di sana. Semenit kemudian,
ledakan besar terdengar. Sesuai dugaan, tentara musuh itu menjatuhkan bom di
wilayah mereka untuk kesekian kalinya. Tak ada aktivitas lain selain menunggu,
berdoa, dan memeluk anak mereka masing-masing dengan penuh kecemasan. Begitu
pun dengan Ibu tadi, tak sedetik pun ia melepas pelukannya kepada anak
perempuan bernama Laura itu.
Baginya sudah
cukup suami dan anak laki-lakinya yang telah menjadi korban kejahatan perang.
Setahun yang lalu, di depan matanya sendiri, Ibu tadi menyaksikan kekejaman
tentara musuh menangkap laki-laki yang dicintainya tersebut. Tak berhenti di
situ, salah satu tentara musuh itu langsung menghunuskan pedang tepat di perut suaminya
hingga darah segar keluar dari mulutnya. Ibu tidak tahu apa yang terjadi setelahnya.
Ia tak sanggup lagi menyaksikan kebejatan tentara musuh tadi.
Yang bisa
dilakukannya hanyalah berlari dan mengendap-endap, berusaha agar Ibu dan Laura
tidak tertangkap musuh seperti suaminya. Saat itu, mereka bersembunyi di
sela-sela puing rumah bekas bombardir tentara musuh. Hingga ia teringat kepada anak
sulungnya. Kala itu, ia hanya bisa membawa Laura karena pergerakan tentara
musuh sangatlah cepat. Tak sedetik pun mereka memberikan kesempatan baginya untuk
mencari anak sulungnya tersebut. Ingin sekali ia keluar dari sana dan mencari
putra kesayangannya itu, namun cara itu pastilah mustahil, banyak sekali
tentara musuh yang berjaga di luar. Masih jelas terdengar teriakan warga
lainnya sebelum tembakan-tembakan peluru dan pedang-pedang itu melesat untuk ke
sekian kalinya pada tubuh mereka. Ketika itu, ia memutuskan untuk berdiam di
bawah atap rumah yang rubuh hingga menutupi seluruh tubuhnya. Tak sengaja,
melalui celah kecil di depannya, pandangannya menangkap seorang pemuda yang tidak
asing. Ya, dia anak laki-laki kesayangannya. Kelegaan sedikit menjalari tubuh
wanita itu hingga kemudian semuanya redup saat tentara musuh menangkap dan
menyeretnya hilang dari pandangan Ibu.
Ibu mempererat
pelukannya kepada Laura. Rasanya ia tidak sanggup membayangkan kejadian tidak
manusiawi itu lagi. Kini ia hanya memiliki Laura, ia tak ingin kehilangan
satu-satunya buah hatinya tersebut. Pasalnya tentara musuh sering mengincar
anak-anak dan pemuda. Mereka sering membunuh anak-anak tak berdosa itu
sedangkan pemuda yang masih kekar dipaksa untuk melakukan kerja tanpa upah.
Mengapa perang itu terjadi? Mengapa manusia di dunia ini tidak memilih hidup damai
tanpa saling membunuh seperti ini? Entahlah, kapan pertanyaan itu akan
terwujud.
###
Entah sudah
berapa kali bom itu jatuh di tempat ini. Tempat yang sudah berulang kali
dibangun setiap ledakan itu meluluhlantahkan bangunan tempat tinggal masyarakat
Bosnia semenjak perang saudara bergulir. Namun sekarang, yang tersisa hanyalah
puing-puing bangunan, runtuhan tembok, dan sisa-sisa kebakaran yang di sebagian
sudut yang masih terlihat mengepulkan asapnya akibat ledakan bom tadi malam.
Lagi-lagi Ibu
Laura tampak memilah sisa-sisa bangunan tersebut. Berharap masih ada harta
ataupun makanan yang tersisa untuk sekedar mengganjal perut yang belum terisi semenjak
tadi malam. Bukan hanya penyiksaan batin yang di derita akibat perang, para
korban pun tidak dapat bekerja dan mendapatkan makanan yang cukup untuk
kebutuhan mereka.
Laura tampak
berjalan mendekati Ibu yang terduduk lemas, wanita itu tampak putus asa,
ternyata tak ada yang tersisa, semua barang sudah terbakar akibat ledakan bom
semalam. Disandarkan badan mungilnya itu di samping Ibu. Badannya masih sedikit
gemetar akibat tragedi malam tadi. Pandangannya menyebar ke seluruh tempat yang
sudah hampir mirip tanah lapang kala itu. Tidak ada tawa, canda, bahkan
gurauan. Yang ada hanyalah tangisan anak-anak yang nyaring terdengar begitu pun
orang – orang dewasa yang tampak meratapi rumah mereka yang telah hancur lebur.
Laura hanya bisa terdiam sembari memeluk boneka teddy bear kesayangannya.
“Ayo kita ke
pengungsian.”Ajak Ibu sembari mengelus rambut hitam Laura lembut.
Laura menyetujui
permintaan Ibu. Tak ada pilihan lain bagi mereka selain berpindah ke
pengungsian. Setidaknya mereka bisa mendapatkan sedikit sisa makanan di sana. Walau
pun pengungsian bukan tempat yang tepat untuk mengandalkan makanan. Pasalnya,
hampir seluruh warga di negara kecil itu mengungsi ke sana, sehingga bekal
makanan pun terkadang tidak mencukupi seluruh orang yang tinggal.
Mereka berjalan
tertatih-tatih ke pengungsian. Rasanya berat sekali meninggalkan rumah yang
sudah mereka tinggali bertahun-tahun. Namun, mereka juga harus mempertimbangkan
banyak hal dan tetap waspada jika saja bom akan dijatuhkan kembali.
Kondisi
pengungsian yang kumuh dan penuh sesak tidak serta merta langsung menghibur
hati mereka. Suasana di sana pun sama. Hanya ada kesedihan dan kecemasan akibat
perang. Ibu mendadak teringat kedamaian di masa lalu. Dulu, kondisi di sini
baik-baik saja ketika negara Bosnia belum terpecah belah menjadi dua kubu
seperti ini. Konon, hanya konflik kecillah yang telah memecah belah keduanya
hingga meletusnya perang saudara. Sayangnya,
negara bagian timur tempat Ibu dan Laura tinggal tidak memiliki cukup
persenjataan dan tentara perang. Hingga akhirnya merekalah yang harus
menanggung kekalahan dan menjadi pelampiasan perang dari kubu selatan.
Ibu dan Laura
duduk di sebuah tempat sempit beralaskan
daun. Seperti yang dapat dilihat, pengungsian ini tidak mampu menampung semua
pengungsi dengan kondisi yang layak. Semua harus rela membagi tempat dan
makanan. Ibu mengamati setiap sudut tenda pengungsian tersebut, berusaha
mencari makanan yang dapat mengganjal perutnya dan Laura. Namun, sepertinya
nihil. Ia pun hanya dapat tertunduk pasrah. Di tengah kelaparan yang mendera, perlahan
Ibu mulai terlelap dan bayangan tentang ayah dan anak sulungnya terngiang
kembali.
“Ibu merindukan
Ayah dan kakak, nak.” Ucap Ibu samar-samar di tengah kondisinya yang sedikit
terlelap tadi.
Laura menatap
wajah Ibu yang mulai tertidur. Ia mencerna perlahan makna kalimat tadi. Namun, ia
tak kunjung menemukan maksud dari perkataan tadi. Dipegang erat tangan Ibunya,
tak ingin rasanya untuk kehilangan atau pun berpisah dengan wanita satu-satunya
yang dimilikinya itu.
Bosnia,
12.00 p.m
DUAAARRRR!!!!!
Ledakan bom
meluluhlantahkan tenda-tenda pengungsian di ujung Bosnia itu tiba-tiba. Tidak
ada yang menyangka serangan akan secepat itu. Banyak korban berjatuhan dari pengungsi
yang mayoritas masih tertidur pulas. Sedangkan, pengungsi lain yang masih
selamat langsung berhamburan keluar dari tenda pengungsian tersebut. Mereka
berlarian tak tentu arah, berusaha menyelamatkan diri.
Laura yang
mendengar ledakan besar itu segera terbangun dan betapa terkejutnya dia saat
tak didapatinya Ibu di sampingnya. Kekhawatiran dan kecemasan langsung
menjalari tubuhnya. Di tengah hiruk pikuk orang-orang yang berupaya
menyelamatkan diri, ia hanya bisa menangis kemudian menghamburkan diri keluar
seperti yang lain.
“IBU!!!!”
Dipanggilnya
sosok wanita itu berulang kali.
Pikirannya kacau, ia tak tahu harus ke mana lagi. Setiap mata memandang, hanya
ada mayat-mayat yang tergeletak sedangkan orang-orang yang selamat terus saja
berlarian dan berteriak menambah panik suasana. Tubuhnya gemetar saat dilihat
beberapa tentara perang mulai mendekat dan membantai wanita-wanita serta
anak-anak seusianya. Ia berlari sekencang-kencangnya berusaha bersembunyi di
balik semak-semak belukar di sekitar.
Rasanya, Laura
sudah tak tahan lagi menyaksikan setiap adegan pembunuhan itu. Ia mulai
meneteskan air mata, berusaha berteriak namun tak ada suara yang sanggup dikeluarkannya.
Dadanya mulai sesak menahan penderitaan kala itu. Ia sadar, jika saja ia terus
menerus memanggil Ibunya, tentu saja tentara perang itu akan menemui dan
menghabisinya tanpa ampun.
“Laura.”
Suara samar itu mengalun
pelan di telinga Laura, ingatannya langsung tertuju pada Ibu. Ditengokkan
wajahnya ke belakang. Namun betapa terkejutnya dia, yang didapatinya adalah prajurit
perang yang kemudian membungkam mulutnya lalu membawanya kabur. Laura tak dapat
berbuat banyak, prajurit itu bergerak cepat tanpa memberikan kesempatan baginya
untuk memberontak. Laura memejamkan mata tak sanggup melihat perbuatan apa yang
akan diperbuat tentara itu pada dirinya, `Apakah ini akan menjadi akhir
baginya?`
###
“Mengapa kau
membawanya kemari?”
Suara seorang laki-laki
terdengar berat di sudut ruangan gelap itu. Hanya ada lampu bercahaya redup menerangi
dua orang yang terlihat bercakap-cakap sebelumnya. Sesekali ia mengisap putung
rokok dan mengetuk-ngetuk tangannya di atas meja.
“Setidaknya aku
ingin melindunginya sesaat.”
Laki-laki muda
lain di hadapannya merespon dengan sedikit cemas. Sama seperti rekannya. Ia
menghisap rokok itu berulang kali, mengepulkan asapnya ke atas, membuat suasana
menjadi semakin tidak nyaman.
“Melindungi
seperti apa, Samuel? Lambat laun bos akan mengetahuinya dan ia pun pasti
terbunuh seperti anak lainnya.”
Mendengar
penuturan rekannya tadi, pemuda bernama Samuel itu hanya diam. Ia terlihat
berpikir keras, tapi tak kunjung diperolehnya jalan keluar. Hingga akhirnya, Ia
berdiri dan pergi meninggalkan lawan bicaranya tadi. Langkahnya berjalan ke
sebuah bilik kecil. Di dalamnya terbaring gadis kecil yang sedang terlelap
tidur. Kasihan sekali dia. Raut wajahnya sangat menggambarkan ketakutan dan penderitaan
yang mendalam. Tentu saja ia sudah tidak memiliki siapa-siapa lagi sekarang.
Samuel tak
sengaja menjatuhkan senjata di punggungnya hingga membuat gadis kecil itu terbangun
seketika. Matanya terbelalak saat mengetahui sosok tentara itu di depannya. Sontak,
ia bergerak mundur saking ketakutannya.
“Pergi kamu!
Dasar tentara jahat. Di mana Ibuku?”
Laura berteriak sembari
membentak Samuel dengan nada keras. Kebenciannya sudah benar-benar memuncak.
Pantas saja, ia sudah kehilangan semua anggota keluarganya dalam perang ini.
Dan sekarang, dia sendirian. Samuel memungut senjata miliknya dan meletakkan
kembali ke punggungnya. Ia berbalik arah meninggalkan Laura yang masih merengek
memanggil-manggil Ibunya.
“Bahkan perang
sudah melupakan ingatannya dariku.” Ujar Samuel pelan sekali, nyaris tak
bersuara.
Keesokan
harinya, Samuel datang menemui Laura kembali. Ia membawa sepiring makanan
untuknya. Laura masih duduk di sudut ruangan itu, seperti semalam. Matanya
memerah, sepertinya ia belum tertidur dari tadi malam.
“Ini untukmu.
Makanlah!”
Laura tak
bergerak. Ia tetap memeluk kedua lututnya, tanpa melepaskan pandangan was-was dari
Samuel.
“Sudahlah. Aku
tidak akan menyakitimu. Ini makanlah, kau pasti sangat kelaparan.”
Samuel
mendekatkan piring itu ke arahnya. Awalnya Laura tetap bertahan di tempat tanpa
menyentuh sedikit pun makanan itu. Namun, ketika Samuel menjauh, disambarnya
piring tadi dan dengan lahap, ia langsung memakannya. Samuel sedikit lega,
setidaknya Laura sedikit mempercayai dirinya. Samuel memnadang gadis kecil itu
lamat-lamat. Penampilannya sudah benar-benar kusut dan tampak depresi. Kasihan
sekali, gadis sekecil itu sudah dipaksa hidup pada zaman perang yang pasti akan
mempengaruhi kondisi kejiwaannya.
Tiba-tiba salah
seorang tentara lain memanggil Samuel dengan tergesa-gesa. “Cepat! Komandan
akan segera ke sini!”
Samuel yang
menyadari hal itu langsung bangkit dan menatap Laura tajam. “Kau, diamlah di
sini! Jangan bergerak ataupun bersuara!” Tanpa mendengar jawaban dari Laura,
Samuel langsung menutup bilik itu dan menguncinya dari luar. Berharap komandan
tidak mengetahui bahwa Ia baru saja menyelamatkan seorang anak yang seharusnya
dibunuh.
###
“Kau gila
Samuel! Ini tidak main-main, kau menyelamatkan seorang anak dan menyimpannya di
dalam markas? Kita bisa dibunuh oleh Komandan.” Seorang laki-laki tegap dan
gagah yang diketahui adalah pemimpin pasukan itu berteriak keras, membentak Samuel.
Ia sangat terkejut mengetahui keberadaan Laura di markas itu.
“Mana mungkin
aku tega membunuhnya?” Balas Samuel dengan nada yang tak kalah keras.
Pikirannya berkecamuk. Ia merasa sangat tersudutkan kala itu. Tentu saja
teman-temannya berada di pihak pemimpin pasukan. Benar saja, menyelamatkan seorang
anak adalah kesalahan yang fatal apalagi jika perbuatan itu disengaja. Bisa
saja komandan perang menjatuhkan hukuman yang berat bagi seluruh pasukan.
“Ingat Samuel,
nyawa seluruh pasukan akan menjadi ancamannya. Cepat atau lambat dia harus
dibunuh.” Pemimpin pasukan itu berucap sekali lagi kemudian pergi meninggalkan
Samuel sendirian di sana. Begitu pun dengan rekan-rekannya yang terlihat
mengikuti pemimpin pasukan tersebut.
Samuel terdiam
lama sekali. Ia meremas kepalanya keras. Pikirannya benar-benar memberontak,
Apa yang harus dilakukannya sekarang? Benar-benar tak ada niat untuk membunuh gadis
kecil itu. Ia berjalan mendekati bilik miliknya. Ketika dibukanya pintu
tersebut, Samuel mendapati Laura yang lagi-lagi sedang terlelap tidur.
“Mungkin sudah
saatnya aku membuatnya bahagia untuk terakhir kali.”
Laura yang
mendengar gumaman Samuel langsung terbangun, sontak ia bergerak mundur ke sudut
ruangan kembali. Sepertinya ia masih takut dengannya.
“Apa
kau mau kutunjukkan boneka dan keberadaan keluargamu?”
Laura terdiam. Tentu
saja ia ingin sekali bertemu dengan keluarganya, apalagi memiliki boneka
kesayangannya yang belum sempat ia temukan saat bom itu meledakkan pengungsian.
Namun, Ia tak langsung percaya dengan perkataan Samuel walaupun begitu, matanya
berbinar-binar memandang Samuel penuh harap.
“Apakah aku
terlihat berbohong? Apakah aku pernah menyakitimu selama ini?”
Laura berpikir
kembali. Ya, ia sadar, selama ini tak sedikit pun Samuel menyakitinya, bahkan
membentaknya pun tak pernah. Samuel memang tentara yang berbeda. Laura pun akhirnya
mengangguk, menyetujui bujukan Samuel.
Samuel
tersenyum, dihampirinya Laura perlahan. Dan untuk pertama kalinya juga, ketakutan
Laura terhadap Samuel lenyap. Bahkan Ia menggenggam tangan Samuel erat. Harapan
untuk bertemu keluarga dan memiliki bonekanya kembali sudah sangat dirindukan.
Mereka berjalan
menembus kegelapan malam. Langkah mereka menapak pelan sekali, mengendap-endap perlahan
berusaha tak menimbulkan suara dan membangunkan tentara lain yang sudah
tertidur. Samuel membawa Laura ke tempat yang cukup jauh dari markas. Mereka
berjalan ke sebuah tanah lapang. Laura heran, mana mungkin ia menemukan
keluarganya di sini. Tempat ini sama sekali tak menunjukkan tanda-tanda
keberadaan keluarganya. Namun perlahan, mereka menemui sebuah rumah kecil yang
hampir rubuh. Samuel menghentikan langkahnya.
“Nah, di tempat
itulah mereka berada, Ayah, Ibu, kakak, dan bonekamu. Kamu berani mengambilnya,
bukan?”
Samuel menunjuk
sebuah rumah di hadapan mereka. Awalnya Laura ragu, karena rumah itu sudah
tampak rusak dan tidak mungkin untuk dihuni lagi. Namun, karena Laura sudah
terlanjur mempercayai Samuel, ia pun langsung menuruti perkataan tentara itu
dan berlari ke arah rumah tersebut. Sesampainya di sana, dibukanya pintu rumah
itu perlahan. Ia tidak bisa melihat dengan jelas kondisi rumah tersebut, penerangan
yang minim menghalanginya untuk bergerak cepat ke dalam.
“Ibu, Ayah,
kakak?”
Laura terus memanggil
satu per satu keluarganya tersebut tanpa henti. Namun, semakin dalam ia
memasuki rumah itu, tak ada tanda-tanda keberadaan mereka. Laura hampir putus
asa. Hingga akhirnya, senyumnya terkembang saat ditemuinya boneka teddy bear kesayangannya
tergeletak di atas kursi tua tak jauh dari keberadaannya.
“Aah, kau di
sini rupanya!”
Laura berjalan
perlahan ke arah boneka itu. Di raihnya boneka itu dan dipeluknya erat hingga
kemudian ledakan besar menghancurkankan rumah itu. Samuel mematung lama sekali.
Ia masih menatap rumah dengan api yang menyala-nyala itu.
“Maafkan kakak,
Laura.”
Hatinya hancur
saat mendapati kenyataan bahwa ia telah membunuh Laura, adik kesayangannya itu
dengan tangannya sendiri. Satu tetes air mata itu berhasil mengalir di pipinya.
Sekarang, ia tidak bisa menatap wajah adiknya lagi apalagi melindunginya. Namun
setidaknya, ia telah memberikan harapan dan kebahagiaan kepada laura, sesaat
sebelum boneka itu meledak bersama dirinya.
“Ayah, Ibu,
Laura, kita akan bertemu setelah ini.”
Samuel berjalan
perlahan dan tiba-tiba tubuhnya terjatuh ke dalam jurang tak jauh dari
tempatnya berdiri. Hingga kemudian ledakan besar kembali terjadi. Inilah akhir
bahagia baginya, sebuah akhir di mana Samuel telah menyudahi penderitaan akibat
perang, sebuah akhir di mana ia dapat berhenti membunuh manusia tanpa dosa, tetapi,
menjadi sebuah awal bagi ia dan keluarganya memulai kehidupan baru di alam
sana.
TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar