Dreaming in حلالا way. . .

Halaman

Cari Blog Ini

Apa sih artinya?

Minggu, 23 Agustus 2015

[Cerpen] Cahaya dari Papua



 “Kamu yakin?” Ujar Laki-laki itu sembari memicingkan alisnya. Keraguan dan kekhawatiran terus terulas di wajahnya ketika didapati keinginan putri semata wayangnya itu.
Elvi sadar, keputusan ini pasti sangatlah berat, mengingat umurnya yang sudah menginjak 22 tahun. Usia yang selayaknya sudah menikah, namun ia memilih untuk mengabdi di daerah terpencil usai menamatkan pendidikannya di bangku kuliah.
“Pikirkanlah kembali Elvi jangan tergesa-gesa! Apakah kamu benar-benar mantap untuk mengajar di Papua selama 5 tahun? Papua itu berbeda dengan Jawa, sulit untuk beradaptasi di sana. Ibu khawatir engkau tidak betah.”
Elvi menundukkan wajahnya. Pikirannya berkecamuk. Sebuah keputusan yang sulit ketika ia dihadapkan antara keinginan Ibunya atau pengabdian yang sudah ia nanti-nantikan sedari dulu. Ibu Elvi adalah wanita yang sangat menjunjung adat Jawa. Sudah berulangkali beliau menginginkan Elvi untuk menikah di usia muda seperti layaknya gadis-gadis Jawa lainnya. Tetapi Elvi masih ingin melakukan hal lain, ia masih ingin menggenggam harapan dan belajar mengabdi untuk menjadi lebih bermanfaat bagi orang lain. Salah satunya dengan mengabdikan diri untuk mengajar anak-anak di Papua, apakah keputusannya salah?
“Elvi harap Ibu merestui saya.”
Ya, keputusannya sudah bulat. Inilah jalan hidup yang akan dia ambil, sebuah jalan yang dia harap dapat memberi hikmah lebih bagi kehidupannya, sebuah jalan yang ia harap akan menuntunnya menjadi manusia yang lebih bermanfaat bagi orang lain.
 “Baiklah Ibu merestuimu Nak, jaga dirimu baik-baik!” Ucap Ibu lembat sembari mendekap Elvi penuh ketulusan. Hatinya trenyuh. Senyumnya seketika terkembang sembari dibalasnya pelukan Ibu. Terima kasih Ibu.
****
Elvi  menatap ke luar jendela pesawat terbang tersebut. Terlintas sebentar ekspresi Ibu dan Bapak kemarin sebelum keberangkatannya ke Papua hari ini. Begitu berat meninggalkan dua orang yang begitu dicintainya dalam waktu lama. Namun, inilah jalan kehidupan yang telah ia pilih.
Setelah 3 jam penerbangan, pesawat tersebut lepas landas tepat di Bandara Sentani, Jayapura, Papua. Elvi tidak sendiri, ia bersama 12 orang lain yang tergabung dalam program tahunan pemerintah. Program ini bertujuan untuk mengirimkan guru-guru di pulau Jawa untuk mengabdi selama 5 tahun di Papua.
Mereka pun melanjutkan perjalanan untuk mencapai sekolah yang berada di Distrik Kiwirok Kabupaten Jayapura.  Baru di tengah perjalanan, mobil yang mereka tumpangi berhenti. Pantas saja, medan yang mereka lalui tidak bisa dilewati dengan kendaraan. Sekolah itu berada di area pegunungan dan sangat jauh untuk ditempuh. Medan yang becek dan terjal memaksa mereka untuk berjalan kaki berpuluh-puluh kilometer. Sebuah awal yang berat, hingga akhirnya kaki – kaki itu menapaki sebuah sekolah dasar  tempat pengabdian mereka selama 5 tahun ke depan.  Sebuah tempat yang menjadi awal dari segalanya.
***
Hari ini Elvi dan rombongan menuju SD Kiwirok. Ketika pertama kali bertemu, Elvi dapat melihat binar-binar mata anak-anak yang sangat antusias menyambut mereka. Berbeda dengan SD di Jawa, jumlah murid di sini tidak terlalu banyak, hanya sekitar 10 hingga 15 orang di setiap kelasnya. Kebetulan Elvi dan Tomi, teman satu kelompoknya mendapat jatah mengajar kelas 2 SD.
Nara gerotelo?”
Sapaan Tomi  dengan bahasa Papua tersebut langsung disambut riuh oleh anak-anak. Semua  menjawab baik, membuat Elvi paham jika Tomi baru saja menanyakan kabar mereka.
Sekolah ini sangat unik, meski bangunannya sederhana dan hanya terdiri dari beberapa ruang saja, tapi ketika menengok ke luar, bentangan pegunungan nan hijau terpampang indah menyejukkan mata. Fakta lain yang baru Elvi sadari, murid-murid di sini tidak memakai sepatu dan membawa banyak bukuseperti anak-anak sekolah pada umumnya. Elvi maklum bahwa medan yang terjal dan becek tidak memungkinkan untuk dilalui dengan sepatu itu, begitu pun dengan harga buku yang terlampau mahal untuk dibeli. Benar-benar rintangan yang berat.
Elvi mengajak mereka untuk belajar bercerita. Sembari membentuk posisi duduk melingkar, Elvi menunjuk satu per satu dari mereka bergiliran bercerita. Fakta lain yang mengejutkan Elvi adalah rata-rata dari mereka berangkat ke sekolah pukul 3 dini hari hanya untuk datang ke sekolah tepat waktu. Tak disangka mereka akan berjuang sekeras ini untuk mengenyam pendidikan. Mereka benar-benar hebat, semangat merekalah yang meyakinkannya untuk tetap tinggal dan menjalani pengabdian dengan penuh ketulusan.
“Oke adik-adik, karena waktu sudah siang, pelajaran dicukupkan sampai saat ini dahulu, besok disambung lagi ya.”
Tampak raut-raut wajah kecewa anak-anak saat mendapati pelajaran telah usai. Ketika Elvi dan Tomo akan kembali, terlihat  beberapa anak mengikuti mereka.
“Kakak, boleh kami ikut? Ingin main bersama kakak-kakak.”
Elvi dan Tomo bertatapan penuh keheranan, hingga akhirnya Tomo tersenyum menatap mereka. “Boleh, ayo ikut!” Ujar Tomo ceria sembari menggandeng tangan-tangan mungil mereka, begitu pun dengan Elvi.
Di tengah perjalanan pulang, Elvi serombongan begitu pun dengan anak-anak tadi bercerita banyak hal. Hingga tanpa sengaja, Elvi tersandung akar pohon yang membuatnya tersungkur ke tanah.
“Ah, kakiku!”
Erangnya berteriak kesakitan. Beberapa teman datang mendekat dan menolong Elvi, sepertinya kaki Elvi terkilir, Elvi pun harus dibantu berjalan oleh rekan-rekannya. Sesampainya di rumah, Elvi beristirahat sejenak sembari mengurut-urut kakinya yang terluka. Rasanya sakit sekali. Tiba-tiba anak-anak yang menemani Elvi tadi membawakannya sebuah mangkuk berisi cairan hijau.
“Itu untuk apa?” Ujarnya penasaran,
“Ini untuk kaki kakak. Kami biasa menggunakan ramuan ini untuk mengobati sendi yang terkilir.” Jelas mereka polos
Aku menatap cairan tersebut dengan sedikit ragu. Namun melihat sikap tulus dan kepedulian anak-anak itu mendorongku untuk mencoba ramuan tersebut. Kubiarkan mereka mengurut-urut kakiku dengan ramuan tadi, lagi-lagi aku kagum dengan mereka. Anak – anak sekecil mereka sudah pandai mengobati luka seperti ini, hebat sekali.
“Terima kasih ya! Ngomong-ngomong kalian tidak dimarahi orang tua kalian jika pulang terlambat?” Tanya Elvi tiba-tiba kepada empat murid di hadapannya.
“Tidak kok. Orang tua kami mengerti jika sekolah kami jauh. Kami pun sering menginap di rumah ibu dan bapak guru. Hari ini bolehkah kami menginap di sini?”
Elvi cukup terkejut mendengar hal ini. Jika dipikir kembali perkataan mereka ada benarnya juga, jarak rumah yang jauh menjadi faktor enggannya anak-anak Papua untuk bersekolah. Elvi pun tersenyum kemudian mengangguk menyetujui permintaan mereka. Seketika saja mereka bersorak penuh kegirangan.
Semenjak tinggal di Papua, Elvi benar-benar harus menyesuaikan kebiasaan-kebiasaan yang begitu kontras dengan Jawa, entah dari segi makanan hingga kehidupan beragama. Elvi harus membiasakan diri dengan makanan ubi jalar dan sayur-sayuran setiap hari. Begitu pun dengan mayoritas masyarakat yang beragama non muslim di sini, terkadang Elvi begitu merindukan suara adzan yang menggema ketika memasuki waktu sholat.
***
Ibu sakit nak
Kalimat singkat yang baru saja  Elvi terima membuatnya mematung di tempat. Elvi terdiam lama sekali, raut wajahnya mendadak cemas dan keringat dingin keluar begitu saja. Tomi terkejut melihat ekspresi Elvi yang tiba-tiba berubah ini. Begitu pun dengan anak-anak di depannya, mereka terlihat kebingungan mengetahui ekspresi Elvi yang berubah panik pasca membuka handphone dan membaca pesan singkat yang baru saja masuk.
Tanpa berkata apapun, Elvi segera meninggalkan kelas dan berlari keluar. Pikirannya sudah tak tentu arah lagi, hanya ada satu orang di pikirannya kala itu. Ibu yang amat dicintainya sakit sedangkan dia tidak bisa menemaninya. Elvi terduduk di samping pohon yang terletak cukup jauh dari kelas. Ia membuka handphone kembali kemudian menggoyang-goyangkan ke atas, berusaha mendapatkan sinyal untuk mengirimkan sms balasan kepada Ibu. 
Rasanya begitu menyakitkan ketika mendapati kabar tentang Ibu. Ingin rasanya segera pulang, namun tidak semudah itu. Jarak Jawa dan Papua tidaklah dekat, apalagi ia tidak bisa melanggar ketentuan dari program pengabdian yang diikutinya. Elvi menenggelamkan wajah pada kedua lututnya, menyembunyikan tangisan yang mendadak ingin diluapkan.
“Kakak kenapa?”
Tiba-tiba suara kecil itu terdengar begitu dekat. Elvi mendongakkan wajahnya dan ditemuilah murid-murid yang sedang memandanginya dengan penuh kecemasan. Sesegera mungkin, dihapus air matanya itu.
“Tidak apa-apa. Kakak hanya merindukan Ibu di rumah.” Ujarnya lemah.
 “Kakak yang sabar ya. Mari berdoa untuk kebahagiaan Ibu di rumah.”
Kata-kata penghiburan dari anak-anak tadi justru semakin membuatnya menitikkan air mata lagi dan lagi. Tiba-tiba anak-anak itu memeluknya bersamaan, menghibur Elvi tanpa lelah kemudian menangis bersamanya. Mereka seolah ikut tenggelam dalam kesedihan Elvi. Di saat yang bersamaan Elvi terharu melihat kepeduliaan mereka. Sebuah kepeduliaan yang mampu menenangkan hatinya sejenak Sebuah kepeduliaan yang justru membuatnya lebih kuat dan tabah menghadapi ujian ini. Anak-anak, kalianlah alasan untuk tetap bertahan di sini, kalianlah alasan untuk lebih kuat menjalani kehidupan ini.
***
Tak terasa 1 tahun terlewati sudah di desa Kiwirok ini. Alhamdulillah, Ibu sudah sembuh. Walaupun Elvi sempat berputus asa pasca kambuhnya penyakit Ibu satu bulan yang lalu, namun berkat hiburan dan semangat dari anak-anak, membuatnya tersadar bahwa ia tidak boleh larut dalam kesedihan terus menerus.
Elvi mengambil banyak pelajaran berharga di sini. Elvi belajar dari anak-anak yang tak pernah menyerah dalam menempuh pendidikannya. Anak-anak yang rela berjalan kaki berpuluh-puluh kilometer, menghadapi lelah dan penat yang tak sedikitpun mengggoyahkan tekadnya untuk meraih cita-cita. Tentu saja ujian yang ia hadapi tak pernah bisa menandingi rintangan mereka. Harusnya ia malu, jika Elvi berada di posisi mereka mungkin ia sudah tidak mau sekolah.
Di sepertiga malam itu, Elvi mengenang kembali bagian perjalanan yang akan terus berlanjut ini. Sebuah perjalanan dengan berjuta harapan mengiringi pengabdian kecilnya itu. Dalam kesunyian, ia berdoa “Untuk murid-muridku tercinta, tetaplah menjadi cahaya bagi Papua, tetaplah menjadi cahaya harapan bagi negeri ini. Kalianlah para penerus negeri, kalianlah sosok penuh semangat yang tidak pernah tertandingi. Semoga gerbang kesuksesan menghantarkan kalian menjadi insan-insan emas bangsa dan tumbuh menjadi cahaya harapan bagi Indonesia di masa depan”.
TAMAT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar