Sore itu, aku berjalan sembari menenteng case gitarku beserta
sebuah koper berukuran besar menuju stasiun di kota Osaka, tempat
tinggalku semula. Perasaan bimbang masih melekati jiwaku sebelum aku
memutuskan untuk meninggalkan tempat kelahiranku ini. Tentu saja aku
memiliki alasan kuat mengapa aku harus melakukan ini semua. Di saat
derap langkahku berarah memasuki stasiun, tiba tiba seseorang
meneriakiku dari belakang.
“Tomo?”
Kulihat seorang laki – laki remaja yang sudah tak asing lagi bagiku, berlari ke arahku. Ia terlihat sangat terburu – buru.
“Yume, kau mau kemana?” Tanyanya terengah – engah ketika ia berhasil menyusulku, sembari mendekap lututnya kelelahan.
“Ke Tokyo. Aku ingin melanjutkan kepastian masa depanku di sana. Aku ingin meraih cita – citaku.” Jawabku penuh keyakinan.
“Benarkah? Kenapa se
cepat
ini? Bahkan kau tidak berpamitan denganku?” Perkataan memelasnya
membuatku terpukul begitu dalam. Tomo, teman masa kecilku, yang
senantiasa mendampingiku hingga saat ini. Aku baru sadar bahwa aku akan
merasa kesepian tanpanya, menyedihkan sekali. Tapi aku juga tak ingin
terombang – ambing dalam kehidupan tanpa kepastian seperti ini.
“Maaf aku hanya tidak ingin membuatmu sedih.”
Tak
lama kemudian kudengar sebuah suara menandakan datangnya kereta api
membuat perasaanku semaikin tak menentu. Sepertinya aku baru saja
disuguhi dua pilihan yang sama – sama penting, antara Tomo atau
terlambat memasuki kereta. Apalagi aku adalah salah satu penumpang di
dalamnya. Sontak aku langsung berlari ke arah stasiun, hingga membuatku
lupa berpamitan dengan Tomo yang terlambat mencegahku.
“Aku akan kembali nanti.” Teriakku sambil melambaikan tangan ke arahnya meski suaraku terdengar tidak jelas karena berlarian.
Tidak
sempat aku mengetahui ekspresi Tomo. Yang ada di pikiranku, aku
berharap tidak terlambat dan membuatku ketinggalan kereta. Aku
mengeluarkan seluruh tenagaku untuk berlari sekencang – kencangnya. Dan
akhirnya aku berhasil memasuki area stasiun. Tidak jauh dari
keberadaanku, ku lihat kereta api tujuanku sudah diserbu oleh para
penumpang lain. Tanpa menunggu terlalu lama, aku segera menuju ke
arahnya. Nyaris saja kereta api itu sudah mulai bergerak, namun
ternyata, Tuhan mengabulkan harapanku, aku berhasil memasuki lorong
kereta tersebut. Lega sekali. Ku tapakkan kakiku di atas lantai kereta
mencari nomor tempat dudukku, dan aku menemukannya, tepat di samping
laki – laki tua yang sedang terlelap tidur.
Aku
memposisikan dudukku sepelan mungkin berharap tidak membangunkannya.
Kemudian kuletakkan koperku beserta case gitarku di tempat tas sebelah
atas kereta tersebut. Sejenak, kuistirahatkan tubuhku yang sudah basah
oleh
keringat, efek dari berlarian tadi, dan sialnya
lagi, sekarang kakiku mulai terasa pegal. Tiba – tiba dalam suasana ini
Tomo kembali hadir di pikiranku beserta kehidupanku di Osaka sebelumnya.
Tapi, apa boleh buat, sudah kuambil keputusan ini matang – matang. Aku
tak mungkin membiarkan ragaku berada di panti asuhan terus menerus
setelah perpisahan antara kedua orangtuaku sebelumnya.
Mereka
sama sekali tidak mempedulikan diriku ketika keluarga berantakan itu
masih saling terikat. Apalagi setelah kehancurannya, perihnya hati
semakin terasa ketika tak ada yang menanyakan keberadaanku ataupun
sekedar membahas kelangsungan hidupku selanjutnya. Mereka terlalu egois,
pikiran mereka hanya kepentingan diri sendiri, kemudian tanpa perasaan
sedikitpun, pergi dengan pasangan mereka masing – masing. Sementara aku?
Aku berubah menjadi anak sebatang kara.
Sempat terpikir
olehku, bagaimana bisa aku terlahir di tengah kehancuran keluarga
seperti ini. Dan hatiku sering bertanya – tanya, bagaimana rasanya
memiliki keluarga harmonis seperti teman – temanku, yang dengan polosnya
menggambarkan kehidupan keluarga mereka ketika bersekolah dulu. Aku
benar -benar tidak tahan, kesabaranku terkalahkan oleh perasaan iri
yang memuncak. Hanya Tomolah yang mengerti kondisiku saat itu. Dia
seperti cahaya yang membangkitkanku dari keterpurukan dan menyinariku
dari kegelapan dunia. Tapi sekarang, aku akan hidup sendirian tanpanya.
Namun di balik itu semua, aku sadar bahwa aku juga harus
maju,
aku tak ingin berlarut – larut dengan penyesalan berselimut kesedihan
dalam masa laluku ini. Aku ingin meninggalkan hari kemarin dan
maju menuju esok yang lebih cerah, esok yang penuh kesempatan untuk meraih kebahagiaan.
***
Keributan
derap kaki penumpang membangunkanku yang sebelumnya tengah tertidur
lelap sekali. Segera saja, aku membuka kelopak mataku dengan beratnya.
Rasa kantuk dan
malas tentu saja masih bersarang di
ragaku. Namun semuanya terusir ketika menyadari, aku sudah sampai pada
tujuanku, Tokyo. Sesegera mungkin aku merapikan barang -barangku untuk
berjalan keluar kereta seperti penumpang lain.
BRRUKKK..
Ah, sial bisa – bisanya aku ter
jatuh
hanya karena turun dari kereta. Aku berusaha untuk bangkit, tapi
kenapa susah sekali? Sepertinya kakiku terkilir, hingga kulihat
seseorang menjulurkan tangan ke arahku, menawarkan pertolongannya.
Dengan terpaksa, aku meraih tangan orang yang belum kukenali itu. Saat
aku mulai dapat bangkit dan berdiri sempurna, aku menatap pria itu untuk
mengucapkan terima kasih. Tapi ternyata pertanyaannya mendahului niat
dalam hatiku.
“Kau tidak apa – apa, kenapa bisa
jatuh?” Tanyanya khawatir.
“Aku baik – baik saja. Mungkin karena aku tidak fokus.Terima kasih telah menolongku.” Jawabku sembari membungkukkan badan.
“Sepertinya
kita harus lekas pergi dari tempat ini, kamu menghalangi penumpang yang
akan keluar dari kereta.” Pernyataan yang tiba – tiba itu membuatku
tersentak kaget, segera aku berjalan
cepat untuk pergi
dari sana, sebelum aku menengok ke belakang untuk memastikan kebenaran
perkataan laki – laki tadi. Dan pantas saja, semua orang, menatapku saat
itu. Ah, malu sekali.
“Oh ya. Kita belum berkenalan, namaku Ray.” Ujarnya sembari menjulurkan tangan yang sama saat menolongku tadi, ke arahku.
“Aku Yume senang bertemu denganmu.” Jawabku ramah, kemudian menyambut tangan itu.
“Kamu
mau kemana setelah ini.” Tanyanya kembali. Aku tidak tahu harus
membalas apa, karena aku juga tidak terlalu mengetahui mengenai Osaka,
bahkan sama sekali tidak tahu.
“Tidak tahu, ini kali pertama aku kesini.” Jawabku jujur.
“Oh, berani sekali kamu datang sendirian. Apa tujuanmu?”
“Emm, berharap aku dapat memperbaiki hidupku dengan menyanyi dan bermain gitar.”
“Oh? Kau bisa menyanyi. Boleh aku dengar?”
Permintaan
laki – laki ini tidak aku ladeni seperti sebelumnya. Tiba – tiba aku
berpikir mengapa dia ingin sekali mengetahui kehidupanku lebih dalam,
sampai – sampai menyuruhku bernyanyi. Padahal kita kan belum saling
kenal sebelumnya. Bagaimana jika dia orang jahat?
“Hei? Kenapa melamun?” Ucapannya menyadarkan lamunanku mengenai laki – laki tadi, mengenai pikiran – pikiran buruk tentangnya.
“Oh, kenapa kau tiba – tiba ingin mengetahui semua tentangku?”
“Oh,
jadi kamu khawatir jika aku adalah orang jahat atau semacamnya?” Ucap
laki – laki itu sembari tertawa pelan, ia berhasil menebak pikiranku.
Aku hanya terdiam, kemudian disusul perkataannya kembali.
“Tenang,
ini kartu namaku.” Dia menyodorkan secarik kertas tebal berukuran kecil
itu. Setelah ku baca isinya, aku merasa sedikit lega.
“Jadi anda seorang produser?” Tanyaku senang saat menyadari bahwa aku sudah menemukan orang yang sedang aku cari sejak awal.
“Iya, boleh aku mendengar suaramu? Aku bisa membantumu meraih impianmu itu.”
“Boleh,
bisakah aku bernyanyi di sana.” Ujarku sembari menunjuk di salah satu
sudut stasiun tempatku berada. Permintaanku dibalas anggukan oleh laki –
laki tadi. Kami segera berjalan ke sana diiringi perasaan penuh harapan
yang tumbuh indah di hatiku.
Aku mengambil posisi duduk
bersila di atas lantai tak berkarpet tersebut. Ku buka case gitarku
perlahan kemudian mulai memetiknya,memainkan sebuah intro. Aku menikmati
perform pertamaku di stasiun ini. Semakin aku bernyanyi terlalu lama,
semakin aku menikmati lantunan lagu yang sedang kusenandungkan ini.
Mataku terpejam berusaha mendalami lagu ini, Tomorrow’s Way, lagu milik
YUI, penyanyi terkenal yang sangat aku idolakan.
Plok … Plok …. Plokk…
Tepuk
tangan meriah tiba – tiba memenuhi sekeliling tempatku bernyanyi. Saat
mataku terbuka, betapa kagetnya aku ketika kudapati kerumunan orang
berada di depanku bersamaan tepuk tangan mereka yang ternyata telah
menonton performku tadi.
“Terima kasih.” Berulang kali aku
mengucapkan terima kasih kepada mereka, karena apresiasi yang
mengagumkanu baru saja. Benar – benar tak habis pikir.
“Selamat mulai saat ini, kamu terdaftar ke dalam label kami.”
****
Bulan
demi bulan. Aku menikmati kehidupan bahagia ini, kehidupan baru seorang
Yume, yang dulunya hanya seorang anak penghuni panti asuhan. Aku
menjadi penyanyi baru yang sedang digandrungi banyak orang, khusunya
remaja. Mereka bilang suaraku indah, tapi aku tidak berpikir seperti
itu. Aku menyadari masih banyak yang lebih hebat daripadaku.
Aku
memanjakan tubuhku sejenak di atas kasur hotel tersebut. Maklum saja,
akhir – akhir ini, aku sedang melakoni banyak tawaran bernyanyi. Tak
heran, jika akhir – akhir ini pula, aku menjadi mudah sekali lelah.
Panggung demi panggung, seentero Jepang, sudah banyak kusinggahi. Saat
inilah, aku menyadari jika cita – cita kecilku telah tercapai. Tiba –
tiba bayangan seseorang menghinggapi pikiranku, Tomo. Entah ada angin
apa, aku sangat merindukannya, sahabat kecilku tersebut. Bagaimana
kabarnya sekarang? Ku ambil ponsel pink yang tergeletak di atas meja
itu, kemudian aku mulai menggerakkan jemari tanganku, mengetikkan sebuah
pesan singkat.
Hai, Lama tak berjumpa. Bagaimana kabarmu?
Aku
menunggu balasan pesan singkatku gundah. Kerinduanku dengan sahabat
kecilku itu sudah amat terasa. Hingga akhiranya terdengar getaran pada
ponselku, saat kutatap layar ponselku yang menyala, senyumku tersungging
lebar ketika mendapati nama ‘Tomo’ terpampang di sana. Lekas, aku
mengambilnya dan mulai membuka pesan singkat tersebut.
Baik
– baik saja. Bagaimana dengan kehidupan barumu di Tokyo. Tidakkah
timbul keinginan untuk mengunjungiku? Aku merindukanmu Yume.
Kalimat
balasannya tersebut membuatku tak kuasa menahan kesedihan. Andai dia
tahu bahwa di sini aku juga merindukannya. Tapi, semua keinginan –
keinginan manis itu dengan mudahnya terhalang jadwal padat milikku.
Tunggulah di stasiun minggu depan. Aku akan menemuimu.
Aku tidak menghiraukan jadwal apa yang harus kulakukan minggu depan. Tapi keinginanku untuk bertemu Tomo lebih
cepat sudah amat ingin kulakukan. Aku harap aku bisa meminta izin libur sebentar pada label.
Seminggu kemudian . . .
Betapa
sedihnya ketika aku harus menerima fakta bahwa aku hanya memiliki
kesempatan satu hari untuk libur. Bagaimana bisa, aku mengobati rinduku
dengan Tomo? Tapi aku tak ingin melewati kesempatan ini sia - sia. Lebih
baik bertemu sebentar, daripada tidak sama sekali bukan? Aku menyiapkan
diriku sebaik mungkin pagi itu. Kudandani wajahku secara natural, namun
tetap terlihat cantik. Selain itu, aku juga menyiapkan kebutuhan yang
kira – kira kuperlukan untuk berada di Osaka selama satu hari.
Sepertinya tidak terlalu banyak, jadi aku memutuskan untuk membawa tas
kecil saja.
Entah kenapa, aku merasa senang sekali untuk
bertemu dengan Tomo. Mungkin aku sudah teramat merindukannya, sekaligus
menyayanginya. Aku sadar kebaikan selama menemaniku dari keterpurukan
masa laluku sangatlah mulia. Itulah sebabnya aku tak akan sanggup
melupakan Tomo, selamanya.
Setelah semuanya siap, kali ini
aku akan berangkata sendiri tanpa didampingi oleh manager ataupun pihak
label. Aku juga berharap tidak ada yang mengetahui keberangkatanku,
sehingga aku akan merasa nyaman nantinya. Stasiun pagi itu sudah
terlihat ramai seperti biasa. Keberangkatanku untuk menjadi penumpang
kereta kembali memutar memori lama, mengundang nostalgia. Masih teringat
di benakku, stasiun inilah awal dari diriku yang sekarang, stasiun ini
pula yang memberikanku pagi yang penuh harapan, pagi yang penuh
kesempatan untuk meraih kebahagiaan.
Perjalanan ke tempat tinggalku di Osaka menjadi terasa sangat
cepat,
ketika aku menyadari bahwa matahari sudah berada di atas sana,
menandakan siang sudah menggantikan pagi. Aku menengokkan kepalaku ke
arah jendela kereta. Tepat sekali, aku telah menemukan pemandangan Osaka
yang dulu. Rasanya, aku ingin
cepat – cepat turun dan
menginjakkan kakiku di sana. Namun, pikiranku mendadak mengingat Tomo
kembali, segera kuraih ponsel di kantong jaketku lalu mengetikkan pesan
singkat untuknya kembali.
Aku akan tiba di Osaka. Aku harap kamu menjadi orang pertama yang aku temui.
Kereta
telah tiba di Osaka, gejolak hatiku lama kelamaan berubah damai bak
ditumbuhi bunga – bunga musim semi yang menyejukkan. Aku merindukan
Tomo, sangat merindukannya.
Ketika kereta sudah berhenti
di stasiun, sesegera mungkin aku menginjakkan kakiku turun dari kereta,
selanjutnya membawa langkahku keluar dari stasiun. Dugaanku tepat
sekali, ketika mataku menangkap sosok Tomo yang sedang berdiri tak jauh
dari stasiun. Sesegara mungkin aku berlari ke arahnya, ku lihat ekspresi
gembira terlukis di wajahnya sama denganku. Ku peluk Tomo seerat
mungkin berusaha menghapus kerinduanku dengannya walau hanya sejenak.
“Aku
merindukanmu, Yume.” Nada bicaranya terdegar lirih sekali di telingaku,
seperti berbisik. “Aku menyayangkan detik – detik keberangkatanmu
dulu.” Perkataannya barusan membuatku heran.
“Maksudmu?” Ucapku melepaskan pelukannya kemudian menatap mata sendunya tersebut.
“Aku takut jika aku terlambat. Aku ingin mengatakan jika, Aku menyukaimu.”
Perasaan
Tomo yang dilantunkan baru saja membuatku tersentak kaget. Aku tidak
menyangka bahwa sahabat kecilnya itu memiliki perasaan sayang kepadanya
lebih dari sahabat. Aku hanya dapat terdiam lama sekali, entah aku harus
merasa sengan ataupun sedih mendengar kenyataan ini.
“Apa
sudah ada orang lain yang mengatakan ini lebih dulu?” Suara Tomo
terdengar makin lirih, tidak terlalu jelas terdengar. Tapi aku mengerti
makna yang ia katakan baru saja.
“Belum. Karena aku hanya
mengharap sosokmu. Tidak ada orang lain yang mengerti perasaanku sedari
kecil, tidak pula ada yang memperdulikan keberadaanku dalam kegelapan
masa kecilku hingga sekarang. Kecuali kamu, hanya kamu yang kurindukan
saat aku di Tokyo. Tomo”
Aku tidak terlalu mengerti,
mengapa kalimat pengakuan itu tiba – tiba mengalir begitu lancarnya dari
bibirku. Namun aku tau, kalimat itulah yang selama ini hanya bisa
kupendam, yang hanya aku dan hatiku yang mengetahuinya. Sekarang aku
lega, orang yang kusimpan dalam hatiku selama ini, bisa mengetahui
perasaanku padanya. Tak terasa sebulir air mata sudah membasahi pipiku.
“Aku
tidak akan lama berada di sini. Aku tidak bisa tinggal di sini, Tomo.
Aku ingin pergi dari Kenangan gelap masa kecilku di Osaka. Aku sudah
berhasil melupakannya ketika aku di Tokyo, dan aku tidak ingin
mengingatnya kembali.” Ujarku sembari mengusap buliran air mata itu.
“Aku berjanji, suatu saat nanti aku akan menyusulmu.” Ujar Tomo yakin, sebelum ia mendekapku penuh kehangatan.
- THE END -