Dreaming in حلالا way. . .

Halaman

Cari Blog Ini

Apa sih artinya?

Sabtu, 26 Januari 2013

Stasiun dan Kenangan

Sore itu, aku berjalan sembari menenteng case gitarku beserta sebuah koper berukuran besar menuju stasiun di kota Osaka, tempat tinggalku semula. Perasaan bimbang masih melekati jiwaku sebelum aku memutuskan untuk meninggalkan tempat kelahiranku ini. Tentu saja aku memiliki alasan kuat mengapa aku harus melakukan ini semua. Di saat derap langkahku berarah memasuki stasiun, tiba  tiba seseorang meneriakiku dari belakang.

“Tomo?”

Kulihat seorang laki – laki remaja yang sudah tak asing lagi bagiku, berlari ke arahku. Ia terlihat sangat terburu – buru.

“Yume, kau mau kemana?” Tanyanya terengah – engah ketika ia berhasil menyusulku, sembari mendekap lututnya kelelahan.

“Ke Tokyo. Aku ingin melanjutkan kepastian masa depanku di sana. Aku ingin meraih cita – citaku.” Jawabku penuh keyakinan.

“Benarkah? Kenapa secepat ini? Bahkan kau tidak berpamitan denganku?” Perkataan memelasnya membuatku terpukul begitu dalam. Tomo, teman masa kecilku, yang senantiasa mendampingiku hingga saat ini. Aku baru sadar bahwa aku akan merasa  kesepian tanpanya, menyedihkan sekali. Tapi aku juga tak ingin terombang – ambing dalam kehidupan tanpa kepastian seperti ini.

“Maaf aku hanya tidak ingin membuatmu sedih.”

Tak lama kemudian kudengar sebuah suara menandakan datangnya kereta api membuat perasaanku semaikin tak menentu. Sepertinya aku baru saja disuguhi dua pilihan yang sama – sama penting, antara Tomo atau terlambat memasuki kereta. Apalagi aku adalah salah satu penumpang di dalamnya. Sontak aku langsung berlari ke arah stasiun, hingga membuatku lupa berpamitan dengan Tomo yang terlambat mencegahku.

“Aku akan kembali nanti.” Teriakku sambil melambaikan tangan ke arahnya meski suaraku terdengar tidak jelas karena berlarian.

Tidak sempat aku mengetahui ekspresi Tomo. Yang ada di pikiranku, aku berharap tidak terlambat dan  membuatku ketinggalan kereta. Aku mengeluarkan seluruh tenagaku untuk berlari sekencang – kencangnya. Dan akhirnya aku berhasil memasuki area stasiun. Tidak jauh dari keberadaanku, ku lihat kereta api tujuanku sudah diserbu oleh para penumpang lain. Tanpa menunggu terlalu lama, aku segera menuju ke arahnya. Nyaris saja kereta api itu sudah mulai bergerak, namun ternyata, Tuhan mengabulkan harapanku, aku berhasil memasuki lorong kereta tersebut. Lega sekali. Ku tapakkan kakiku di atas lantai kereta mencari nomor tempat dudukku, dan aku menemukannya, tepat di samping laki – laki tua yang sedang terlelap tidur.

Aku memposisikan dudukku sepelan mungkin berharap tidak membangunkannya. Kemudian kuletakkan koperku beserta case gitarku di tempat tas sebelah atas kereta tersebut. Sejenak, kuistirahatkan tubuhku yang sudah basah oleh keringat, efek dari berlarian tadi, dan sialnya lagi, sekarang kakiku mulai terasa pegal. Tiba – tiba dalam suasana ini Tomo kembali hadir di pikiranku beserta kehidupanku di Osaka sebelumnya. Tapi, apa boleh buat, sudah kuambil keputusan ini matang – matang. Aku tak mungkin membiarkan ragaku berada di panti asuhan terus menerus setelah perpisahan antara kedua orangtuaku sebelumnya.

Mereka sama sekali tidak mempedulikan diriku ketika keluarga berantakan itu masih saling terikat. Apalagi setelah kehancurannya, perihnya hati semakin terasa ketika tak ada yang menanyakan keberadaanku ataupun sekedar membahas kelangsungan hidupku selanjutnya. Mereka terlalu egois, pikiran mereka hanya kepentingan diri sendiri, kemudian tanpa perasaan sedikitpun, pergi dengan pasangan mereka masing – masing. Sementara aku? Aku berubah menjadi anak sebatang kara.

Sempat terpikir olehku, bagaimana bisa aku terlahir di tengah kehancuran keluarga seperti ini. Dan hatiku sering bertanya – tanya, bagaimana rasanya memiliki keluarga harmonis seperti teman – temanku, yang dengan polosnya menggambarkan kehidupan keluarga mereka ketika bersekolah dulu. Aku benar  -benar tidak tahan, kesabaranku terkalahkan oleh perasaan iri yang memuncak. Hanya Tomolah yang mengerti kondisiku saat itu. Dia seperti cahaya yang membangkitkanku dari keterpurukan dan menyinariku dari kegelapan dunia. Tapi sekarang, aku akan hidup sendirian tanpanya.
Namun di balik itu semua, aku sadar bahwa aku juga harus maju, aku tak ingin berlarut – larut dengan penyesalan berselimut kesedihan dalam masa laluku ini. Aku ingin meninggalkan hari kemarin dan maju menuju esok yang lebih cerah, esok yang penuh kesempatan untuk meraih kebahagiaan.


***


Keributan derap kaki penumpang membangunkanku yang sebelumnya tengah tertidur lelap sekali. Segera saja, aku membuka kelopak  mataku dengan beratnya. Rasa kantuk dan malas tentu saja masih bersarang di ragaku. Namun semuanya terusir ketika menyadari, aku sudah sampai pada tujuanku, Tokyo. Sesegera mungkin aku merapikan barang  -barangku untuk berjalan keluar kereta  seperti penumpang lain.

BRRUKKK..

Ah, sial bisa – bisanya aku terjatuh hanya karena  turun dari kereta. Aku berusaha untuk bangkit, tapi kenapa susah sekali? Sepertinya kakiku terkilir, hingga kulihat seseorang menjulurkan tangan ke arahku, menawarkan pertolongannya. Dengan terpaksa, aku meraih tangan orang yang belum kukenali itu. Saat aku mulai dapat bangkit dan berdiri sempurna, aku menatap pria itu untuk mengucapkan terima kasih. Tapi ternyata pertanyaannya mendahului niat dalam hatiku.

“Kau tidak apa – apa, kenapa bisa jatuh?” Tanyanya khawatir.

“Aku baik – baik saja. Mungkin karena aku tidak fokus.Terima kasih telah menolongku.” Jawabku sembari membungkukkan badan.

“Sepertinya kita harus lekas pergi dari tempat ini, kamu menghalangi penumpang yang akan keluar dari kereta.” Pernyataan yang  tiba – tiba itu membuatku tersentak kaget, segera aku berjalan cepat untuk pergi dari sana, sebelum aku menengok ke belakang untuk memastikan kebenaran perkataan laki – laki tadi. Dan pantas saja, semua orang, menatapku saat itu. Ah, malu sekali.

“Oh ya. Kita belum berkenalan, namaku Ray.” Ujarnya sembari menjulurkan tangan yang sama saat menolongku tadi, ke arahku.

“Aku Yume senang bertemu denganmu.” Jawabku ramah, kemudian menyambut tangan itu.

“Kamu mau kemana setelah ini.” Tanyanya kembali. Aku tidak tahu harus membalas apa, karena aku juga tidak terlalu mengetahui mengenai Osaka, bahkan sama sekali tidak tahu.

“Tidak tahu, ini kali pertama aku kesini.” Jawabku jujur.

“Oh, berani sekali kamu datang sendirian. Apa tujuanmu?”

“Emm, berharap aku dapat memperbaiki hidupku dengan menyanyi dan bermain gitar.”

“Oh? Kau bisa menyanyi. Boleh aku dengar?”

Permintaan laki – laki ini tidak aku ladeni seperti sebelumnya. Tiba – tiba aku berpikir mengapa dia ingin sekali mengetahui kehidupanku lebih dalam, sampai – sampai menyuruhku bernyanyi. Padahal kita kan belum saling kenal sebelumnya. Bagaimana jika dia orang jahat?

“Hei? Kenapa melamun?” Ucapannya menyadarkan lamunanku mengenai laki – laki tadi, mengenai pikiran – pikiran buruk tentangnya.

“Oh, kenapa kau tiba – tiba ingin mengetahui semua tentangku?”

“Oh, jadi kamu khawatir jika aku adalah orang jahat atau semacamnya?” Ucap laki – laki  itu sembari tertawa pelan, ia berhasil menebak pikiranku. Aku hanya terdiam, kemudian disusul perkataannya kembali.

“Tenang, ini kartu namaku.” Dia menyodorkan secarik kertas tebal berukuran kecil itu. Setelah ku baca isinya, aku merasa sedikit lega.

“Jadi anda seorang produser?” Tanyaku senang saat menyadari bahwa aku sudah menemukan orang yang sedang aku cari sejak awal.

“Iya, boleh aku mendengar suaramu? Aku bisa membantumu meraih impianmu itu.”

“Boleh, bisakah aku bernyanyi di sana.” Ujarku sembari menunjuk di salah satu sudut stasiun tempatku berada. Permintaanku dibalas anggukan oleh laki – laki tadi. Kami segera berjalan ke sana diiringi perasaan penuh harapan yang tumbuh indah di hatiku.

Aku mengambil posisi duduk bersila di atas lantai tak berkarpet tersebut. Ku buka case gitarku perlahan kemudian mulai memetiknya,memainkan sebuah intro. Aku menikmati perform pertamaku di stasiun ini. Semakin aku bernyanyi terlalu lama, semakin aku menikmati lantunan lagu yang sedang kusenandungkan ini. Mataku terpejam berusaha mendalami lagu ini, Tomorrow’s Way, lagu milik YUI, penyanyi terkenal yang sangat aku idolakan.

Plok … Plok …. Plokk…

Tepuk tangan meriah tiba – tiba memenuhi sekeliling tempatku bernyanyi. Saat mataku terbuka, betapa kagetnya aku ketika kudapati kerumunan orang berada di depanku bersamaan tepuk tangan mereka yang ternyata telah menonton performku tadi.

“Terima kasih.” Berulang kali aku mengucapkan terima kasih kepada mereka, karena apresiasi yang mengagumkanu baru saja. Benar – benar tak habis pikir.

“Selamat mulai saat ini, kamu terdaftar ke dalam label kami.”


****


Bulan demi bulan. Aku menikmati kehidupan bahagia ini, kehidupan baru seorang Yume, yang dulunya hanya seorang anak penghuni panti asuhan. Aku menjadi penyanyi baru yang sedang digandrungi banyak orang, khusunya remaja. Mereka bilang suaraku indah, tapi aku tidak berpikir seperti itu. Aku menyadari masih banyak yang lebih hebat daripadaku.

Aku memanjakan tubuhku sejenak di atas kasur hotel tersebut. Maklum saja, akhir – akhir ini, aku sedang melakoni banyak tawaran bernyanyi. Tak heran, jika akhir – akhir ini pula, aku menjadi mudah sekali lelah. Panggung demi panggung, seentero Jepang, sudah banyak kusinggahi. Saat inilah, aku menyadari jika cita – cita kecilku telah tercapai. Tiba – tiba bayangan seseorang menghinggapi pikiranku, Tomo. Entah ada angin apa, aku sangat merindukannya, sahabat kecilku tersebut. Bagaimana kabarnya sekarang? Ku ambil ponsel pink yang tergeletak di atas meja itu, kemudian aku mulai menggerakkan jemari tanganku, mengetikkan sebuah pesan singkat.


Hai, Lama tak berjumpa. Bagaimana kabarmu?


Aku menunggu balasan pesan singkatku gundah. Kerinduanku dengan sahabat kecilku itu sudah amat terasa. Hingga akhiranya terdengar getaran pada ponselku, saat kutatap layar ponselku yang menyala, senyumku tersungging lebar ketika mendapati nama ‘Tomo’ terpampang di sana. Lekas, aku mengambilnya dan mulai membuka pesan singkat tersebut.


Baik – baik saja. Bagaimana dengan kehidupan barumu di Tokyo. Tidakkah timbul keinginan untuk mengunjungiku? Aku merindukanmu Yume.


Kalimat balasannya tersebut membuatku tak kuasa menahan kesedihan. Andai dia tahu bahwa di sini aku juga merindukannya. Tapi, semua keinginan – keinginan manis itu dengan mudahnya terhalang jadwal padat milikku.


Tunggulah di stasiun minggu depan. Aku akan menemuimu.


Aku tidak menghiraukan jadwal apa yang harus kulakukan minggu depan. Tapi keinginanku untuk bertemu Tomo lebih cepat sudah amat ingin kulakukan. Aku harap aku bisa meminta izin libur sebentar pada label.

Seminggu kemudian . . .

Betapa sedihnya ketika aku harus menerima fakta bahwa aku hanya memiliki kesempatan satu hari untuk libur. Bagaimana bisa, aku mengobati rinduku dengan Tomo? Tapi aku tak ingin melewati kesempatan ini sia - sia. Lebih baik bertemu sebentar, daripada tidak sama sekali bukan? Aku menyiapkan diriku sebaik mungkin pagi itu. Kudandani wajahku secara natural, namun tetap terlihat cantik. Selain itu, aku juga menyiapkan kebutuhan yang kira – kira kuperlukan untuk berada di Osaka selama satu hari. Sepertinya tidak terlalu banyak, jadi aku memutuskan untuk membawa tas kecil saja.

Entah kenapa, aku merasa senang sekali untuk bertemu dengan Tomo. Mungkin aku sudah teramat merindukannya, sekaligus menyayanginya. Aku sadar kebaikan selama menemaniku dari keterpurukan masa laluku sangatlah mulia. Itulah sebabnya aku tak akan sanggup melupakan Tomo, selamanya.

Setelah semuanya siap, kali ini aku akan berangkata sendiri tanpa didampingi oleh manager ataupun pihak label. Aku juga berharap tidak ada yang mengetahui keberangkatanku, sehingga aku akan merasa nyaman nantinya. Stasiun pagi itu sudah terlihat ramai seperti biasa. Keberangkatanku untuk menjadi penumpang kereta kembali memutar memori lama, mengundang nostalgia. Masih teringat di benakku,  stasiun inilah awal dari diriku yang sekarang, stasiun ini pula yang memberikanku pagi yang penuh harapan, pagi yang penuh kesempatan untuk meraih kebahagiaan.

Perjalanan ke tempat tinggalku di Osaka menjadi terasa sangat cepat, ketika aku menyadari bahwa matahari sudah berada di atas sana, menandakan siang sudah menggantikan pagi. Aku menengokkan kepalaku ke arah jendela kereta. Tepat sekali, aku telah menemukan pemandangan Osaka yang dulu. Rasanya, aku ingin cepat – cepat turun dan menginjakkan kakiku di sana. Namun, pikiranku mendadak mengingat Tomo kembali, segera kuraih ponsel di kantong jaketku lalu mengetikkan pesan singkat untuknya kembali.


Aku akan tiba di Osaka. Aku harap kamu menjadi orang pertama yang aku temui.

Kereta telah tiba di Osaka, gejolak hatiku lama kelamaan berubah damai bak ditumbuhi bunga – bunga musim semi yang menyejukkan. Aku merindukan Tomo, sangat merindukannya.

Ketika kereta sudah berhenti di stasiun, sesegera mungkin aku menginjakkan kakiku turun dari kereta, selanjutnya membawa langkahku keluar dari stasiun. Dugaanku tepat sekali, ketika mataku menangkap sosok Tomo yang sedang berdiri tak jauh dari stasiun. Sesegara mungkin aku berlari ke arahnya, ku lihat ekspresi gembira terlukis di wajahnya sama denganku. Ku peluk Tomo seerat mungkin berusaha menghapus kerinduanku dengannya walau hanya sejenak.

“Aku merindukanmu, Yume.” Nada bicaranya terdegar lirih sekali di telingaku, seperti berbisik. “Aku menyayangkan detik – detik keberangkatanmu dulu.” Perkataannya barusan membuatku heran.

“Maksudmu?” Ucapku melepaskan pelukannya kemudian menatap mata sendunya tersebut.

“Aku takut jika aku terlambat. Aku ingin mengatakan jika, Aku menyukaimu.”

Perasaan Tomo yang dilantunkan baru saja membuatku tersentak kaget. Aku tidak menyangka bahwa sahabat kecilnya itu memiliki perasaan sayang kepadanya lebih dari sahabat. Aku hanya dapat terdiam lama sekali, entah aku harus merasa sengan ataupun sedih mendengar kenyataan ini.

“Apa sudah ada orang lain yang mengatakan ini lebih dulu?” Suara Tomo terdengar makin lirih, tidak terlalu jelas terdengar. Tapi aku mengerti makna yang ia katakan baru saja.

“Belum. Karena aku hanya mengharap sosokmu. Tidak ada orang lain yang mengerti perasaanku sedari kecil, tidak pula ada yang memperdulikan keberadaanku dalam kegelapan masa kecilku hingga sekarang. Kecuali kamu, hanya kamu yang kurindukan saat aku di Tokyo. Tomo”

Aku tidak terlalu mengerti, mengapa kalimat pengakuan itu tiba – tiba mengalir begitu lancarnya dari bibirku. Namun aku tau, kalimat itulah yang selama ini hanya bisa kupendam, yang hanya aku dan hatiku yang mengetahuinya. Sekarang aku lega, orang yang kusimpan dalam hatiku selama ini, bisa mengetahui perasaanku padanya. Tak terasa sebulir air mata sudah membasahi pipiku.

“Aku tidak akan lama berada di sini. Aku tidak bisa tinggal di sini, Tomo. Aku ingin pergi dari Kenangan gelap masa kecilku di Osaka. Aku sudah berhasil melupakannya ketika aku di Tokyo, dan aku tidak ingin mengingatnya kembali.” Ujarku sembari mengusap buliran air mata itu.

“Aku berjanji, suatu saat nanti aku akan menyusulmu.” Ujar Tomo yakin, sebelum ia mendekapku penuh kehangatan.


- THE END -

Tidak ada komentar:

Posting Komentar