Paris . . .
“Ahh, mana mungkin aku bisa ke
sana?” Gumamku ragu – ragu. Hingga akhirnya ku tatap gambar Menara Eiffel
tersebut lekat – lekat.
“Pasti bisa.” Ku yakinkan diriku
sendiri. Aku mempercayai kekuatanku,
kekuatan Tuhan yang telah diberi. Suatu
saat nanti aku pasti berhasil meraihnya seperti mimpi – mimpiku sebelumnya.
***
Tet . . Tet. . Tet . .
Akhirnya bel istirahat itu berbunyi,
sepertinya waktu itulah yang telah dinantikan para siswa di kelas ini, termasuk
aku. Bosan sekali, mendengar Guru Bahasa
Indonesia yang baru keluar tadi berceletuk di depan kelas, apalagi dengan suara
yang jauh dari kata keras. Bukankah itu membuat kami mengantuk? Tapi ya sudahlah,
untuk memahami pelajaran, salah satu syaratnya ialah kita harus mencintai guru.
‘AKU CINTA GURU’ Gumamku
dalam hati sembari tersenyum sendirian di bangkuku, Tiba – tiba seorang teman
menepuk pundakku dan berhasil menyadarkanku dari lamunan konyolku tadi.
“Wooyy, senyum – senyum sendiri,
Kenapa? Jangan sampai anak – anak yang lain meragukan kesehatanmu ya? Hehehe.”
Ujar Nia dengan gamblangnya, Temanku ini memang sangat terbuka, jadi wajar jika
bicaranya cenderung ceplas – ceplos. Tapi, dia adalah sahabat karibku, aku
menyayanginya sekaligus menghargai sikapnya tersebut.
“Kau ini.” Balasku agak sedikit
kesal.
“Mau ke kantin?” Tawarnya penuh
semangat.
“Ahh, tidak, aku sudah sarapan
nih.” Jawabku sembari menyunggingkan senyum termanisku, walau niat dalam hati
ialah penolakan.
“Yah, kau ini, apa tidak ada aktivitas
lain selain membaca buku?” Ekspresinya berubah cemberut.
“Tidak.” Jawabanku sukses membuatnya
semakin kecewa. Walaupun begitu, aku senang bisa menggodanya setiap hari.
“Ok, selamat belajar, kutu buku.”
Ucapnya sekali lagi sambil menjulurkan lidahnya sebelum langkahnya bergerak
membelakangiku dan membawanya pergi ke luar kelas.
Aku hanya bisa menggeleng –
gelengkan kepalaku melihat tingkah konyolnya itu.
Pulang sekolah tiba . . .
Seperti biasa aku dan Nia berjalan
menuju rumah yang terbilang berjarak cukup dekat dari sekolah. Tak ketinggalan,
selama berjalan berdua, obrolan – obrolan mengiringi setiap langkah kami.
“Dit, main yuk.” Tawar Nia untuk kesekian kalinya. Dia
sepertinya tidak dapat kehabisan ide untuk membujukku, walau seringkali jumlah
tawarannya tidak seimbang dengan penolakanku yang menduduki prosentase lebih
besar. Kadang, aku juga merasa tidak enak hati.
“Yah, kamu tidak dengar Bu Khusnul
tadi? Lusa ada ulangan Matematika?” Lagi – lagi aku menolaknya.
“Sebentar sajalah, kan belajarnya
bisa besok.” Bujuk Nia memohon.
“Maaf Nia, tidak bisa. Kalau aku
nggak bisa ngerjain, aku pasti menyesal berminggu – minggu.”
“Apa kau juga menjawab tidak jika
aku mengajak Nicholas?”
Pernyataan itu sukses mebuatku
terpatung di tempat. Nicholas, teman SMPku dulu, mendadak pikiran beralih
mengingat sosok Nicholas. Aku tak bisa mengelak jika aku menyukainya dulu
bahkan hingga sekarang. Aku terdiam begitu lama. Kutimbang – timbang ulang
penolakanku tadi, dan sekarang kegalauan mulai menyusul menambah suramnya
suasana antara memilih Nicholas atau belajar.
***
Aku harap aku tidak salah mengambil
keputusan ini dan menyesal kemudian. Kali ini, Nia mengajakku pergi ke sebuah
kafe. Kami berbincang – bincang banyak mengenai diri kami masing – masing, atau
sekedar bersenda gurau dan yang pasti tentang Nicholas, teman SMP sekaligus
cinta pertamaku. Aku belum dapat mengartikan rasa ini, entah kenapa ketika
namanya terngiang di otakku, keinginan bertemu dengannya selalu muncul bahkan
di saat waktu yang tidak tepat sekalipun.
“Apa kau sudah bertemu Nicholas
sebelumnya?” Tanyaku mengubah topik pembicaraan.
“Ahh, sepertinya kau sudah rindu ya,
aku bertemu dengannya seminggu yang lalu dan segera merencanakan untuk main
bersama seperti ini, jadi aku mengajakmu saja?” Jawabnya berniat menggoda.
Aku tak merespon jawaban Nia. Jujur
saja, aku lega bisa mengetahui kabar tentangnya, terlebih mengetahui bahwa
Nicholas baik – baik saja. Ingin sekali segera berjumpa dengan sosoknya yang
sekarang, masihkah setampan dulu. Tidak lama setelah imajinasiku mulai
berkembang, tak sengaja cahaya mataku menatap sosok yang menurutku sudah tak
asing lagi, sosok yang kutunggu – tunggu selama ini.
“Hei Nicholas!” Panggil Nia kepada
sosok yang ku maksudkan tadi.
Nicholas segera menghampiri kami
setelah dia menampakkan senyum manisnya itu. Senyuman yang sama seperti 3 tahun
yang lalu.
“Hai, apa kabar?” Nia menyapanya
ramah yang kemudian mengambil posisi di dekatku. Ternyata tak banyak perubahan
dalam dirinya. Sementara jantungku mulai berdegup lebih kencang diselingi
kegugupan yang mulai merambah sekujur tubuhku.
“Baik. Bagaimana dengan kalian?”
Ujarnya berbalik Tanya.
Tidak seperti Nia yang menjawabnya ceria
, aku hanya memberi jawaban dengan anggukan kecil tak lepas dari kegugupan yang
masih hingap di ragaku bahkan pipiku pun mulai memerah.
“Aku ke toilet dulu ya.” Lagi –
lagi Nia membuatku mati kutu. Bagaimana bisa meninggalkanku sendirian dengan Nicholas,
hanya berdua. Aku terpaksa mengiyakannya, semakin jauh dia berjalan, tak terasa
sosoknya cepat sekali lenyap di balik dinding. Dan sekarang, Kepanikan mulai
menyerangku.
“Dita, aku ingin memberimu sesuatu.”
Kalimat Nicholas mebujukku menatapnya untuk yang pertama kali setelah aku
menunduk terlalu lama.
“Apa?” Kutanyakan sebuah kata untuk
yang pertama kalinya pula, walaupun terasa berat.
Kulihat tangannya sibuk merogoh
kantong kanan pada jasnya, dan di letakkan benda berwarna pink itu di atas
meja, sebuh surat. Aku terbelalak kaget. Bukankah itu surat yang kuberikan
kepadanya 3 tahun yang lalu? Dan hingga sekarang, masih ia simpan. Tak lama
setelah itu, dia berbicara,
“Aku menerimanya. Maaf aku baru
bisa membalas perasaanmu, Apakah aku terlambat?”
Oh Tuhan, Apakah aku sedang
bermimpi? Dia juga memiliki rasa yang sama denganku. Benar – benar tidak habis
pikir. Ku ambil surat cinta itu lalu kudekap di depan dadaku, kutundukkan kepalaku
kembali untuk meyakinkan bahwa ini bukan mimpi, dia menyukaiku.
***
Satu bulan kemudian . . .
“Kamu turun peringkat? Bagaimana
bisa?”
Entah gejolak apa yang menyelimuti
hatiku saat itu ketika harus menerima amarah dari kedua orang tuaku, terutama
ayahku.
“Maaf Ayah. Dita juga sedih.”
Ujarku terisak, aku benar – benar tidak mampu menahan air mata yang dari tadi terus
– menerus mendesak keluar.
“Kamu enggak belajar? Apa kamu
pacaran?” Bentak Ayah lebih keras. Aku sudah
tak dapat berkutik untuk menyembunyikan semua fakta ini. Fakta ini benar
– benar mendustai kedua orang tuaku, ingin rasanya mengatakan yang sebenarnya,
tapi aku tidak sanggup.
“Jawab Ayah!!!”
“Iya.” Terpaksa aku melontarkan
kata ini. Kata yang membuat keberadaanku menjadi semakin terpojok, yang
selanjutnya omelan – omelan menyakitkan itupun meledak kembali.
“Ya ampun Dita. Sudah Ayah bilang,
jangan pacaran dulu sebelum lulus SMA, itu akan mengganggu belajarmu, Lihat
raportmu, semula kau menjadi bintang kelas, dan sekarang 10 besarpun tidak kau
peroleh? Kau Ingat, sebentar lagi kamu akan menghadapi UN dan sukses tidaknya masa
depanmu semakin dekat, tak bisakah kau sadari. Bersabarlah, Dita. PUTUSLAH
DENGAN PACARMU ITU.”
“Tapi Ayah . . .”
“Lebih menyayangi Ayah atau Dia.”
Segera mungkin Ayah melangkah cepat meninggalkanku yang tak kuasa menahan isak
tangis. Aku berlari kencang menuju kamarku, kemudian kurebahkan tubuh keras.
Aku menangis sejadi – jadinya kala itu. Aku baru sadar, ternyata hubunganku
dengan Nicholas akan menumbangkan semua mimpi – mimpiku. Ini pun kesalahanku, waktu
berhargaku lebih banyak kuhabiskan dengannya daripada belajar. Jika aku tidak
menuruti egoku, pasti semua akan baik – baik saja. Aku juga sadar, aku terlalu
egois, aku hanya memikirkan diriku sendiri, tidak sekalipun memikirkan mereka,
kedua orang tuaku yang sudah jelas – jelas mendidikku mati – matian hingga saat
ini. Namun apa yang ku balas? Aku malah berbuat menyimpang.
Tapi dari semua fakta itu, aku juga
mencintai NIcholas, entah ini hanya perasaan sayang semata, atau perasaan
sayang yang nyata.
‘Masihkah ada kesempatan untukku?’
***
Hari ini, Kuputuskan untuk bertemu
Nicholas, aku belum tahu apa yang harus ku katakan nantinya. Namu aku berharap
dia mengerti mengenai masalahku dengan orang tuaku semalam. Aku memutuskan
untuk tidak memberitahunya mengenai kedatanganku kali ini. Aku tidak ingin dia
mencemaskanku yang tiba – tiba akan singgah ke rumahnya.
Semakin lama aku berjalan, semakin
dekat langkahku dengan rumah Nicholas. Tapi, tak seperti biasanya, pintu
gerbang rumah Nicholas terbuka dan aku juga mendapati mobil terparkir di
dalamnya, menurutku itu bukan mobil Nicholas. Tanpa memencet bel terlebih
dahulu, aku langsung memasuki rumahnya. Keganjalan mulai terlihat kembali,
ketika aku mendapati pintu rumahnya juga terbuka. Perasaan penasaran sekaligus
khawatir berbaur menjadi satu. Kuputuskan untuk membuka pintu rumahnya tersebut
dan…
‘Apa yang ku lihat ini?’
“Dita? Sejak kapan kau di sana?”
Nicholas menatap kedatanganku shock. Bukannya aku yang seharusnya merasa shock
melihat pemandangan memuakkan seperti ini. Dengan kedua mataku, kulihat
kekasihku sendiri bermesraan dengan gadis lain.
“Jadi ini kamu yang sebenarnya?
Dasar Munafik.” Bentakku kepada Nico tanpa mempedulikan gadis yang terlihat
masih bingung dengan semua kejadian ini.
“Tunggu, aku bisa jelaskan.”
Nicholas berusaha menahanku. Namun tentu saja aku mengelaknya.
“Aku salah memilihmu, Nico.”
Itulah kalimat terakhirku sebelum
aku meninggalkan Nicholas dan gadis selingkuhannya tadi. Aku beranjak pergi
dari tempat laknat itu kemudian berlari sekencang – kencangnya, lari, dan terus
berlari, tak peduli lelah yang mulai diderita kakiku. Yang aku inginkan saat
ini adalah menghilang dari kenyataan pahit yang menimpaku dengan kejamnya.
Bagaimana mungkin? Orang yang kucintai ialah orang yang menghianatiku.
Kini, kelelahan sudah tak dapat ku
tahan lagi. Aku memutuskan berhenti di sebuah tanah lapang. Aku ingat, tempat
ini adalah tempat yang aku datangi pertama kali ketika aku memberikan surat itu
kepada Nicholas. Dan sekarang, aku datang sendirian tanpa cinta tulusnya
melainkan hanya luka nyata terperih yang aku dapat. Aku payah, benar – benar payah,
bisa – bisanya tertipu oleh kata – kata manis yang menjerumuskan itu. Lalu, apa
gunanya aku menyita waktuku hanya untuknya, menghianati ayahku hanya untukknya,
bahkan merelakan kegagalanku hanya untuknya. Semuanya sia -sia, aku menyesal.
“Ini pelajaran untukmu sayang.”
Suara itu, kutengok ke arah sumber
suara dan kudapati ibuku sudah berada di belakangku. Lekas aku memeluknya dan
menangis di dekapannya. Kucurahkan semua sakit hatiku dan tangis yang sebelumnya
aku pendam sendiri.
“Wanita baik sepertimu, tidak cocok
untuk bersanding dengan laki – laki licik seperti dia. Percayalah akan ada yang
lebih baik untukmu nanti. Kau hanya harus bersabar sayang. Lihat langit biru di atas sana.”
Ku usap air mataku, kutengadahkan
kepalaku ke atas, menatap lagit biru indah itu.
“Selama langit biru itu masih di atas, kau masih memiliki kesempatan
berharga lainnya karena kehidupan akan terus berjalan, tidak ada kata terlambat
untuk terus maju. Berjuanglah apapun yang terjadi.”
“Tapi aku sudah gagal ibu, aku kalah.” Jawabku murung.
“Jangan pernah berkata gagal,
karena kegagalan hanya untuk orang – orang yang menyerah dan kalah.
Bukankah kau masih memiliki mimpi – mimpimu yang dulu?”
Seketika aku teringat mereka,
impian – impian besarku. Seperti sebuah kilas balik menayangkan di saat aku bekerja
keras untuk meraih satu demi satu cita – cita yang kuimpikan, dan betapa
gembiranya diriku saat aku meraihnya. Aku benar – benar merindukan mereka, merindukan diriku yang
dulu.
“Kembalilah pada dirimu yang dulu,
kembali pada mimpi - mimpimu. Raih mereka kembali. Kami akan senang jika kamu
bahagia kelak, Dita. Dan percayalah, Keyakinan dan cita - cita akan menjadi
sebuah doa. Yakinlah pada dirimu sendiri, dan yakinlah bahwa Tuhan bersama
orang – orang yang berusaha dan berdoa.”
“Ya, aku sadar ibu. Terima kasih.”
-TAMAT-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar