Dreaming in حلالا way. . .

Halaman

Cari Blog Ini

Apa sih artinya?

Rabu, 12 Agustus 2015

[Cerpen] Kenangan Masa Kecil




           Aku membuka album foto itu perlahan, berusaha menerka satu per satu keping kenangan masa lalu. Wajah-wajah itu kembali menyambangi memoriku, wajah-wajah polos dengan tingkah laku kekanakan mereka. Ya, teman masa kecilku. Ah, rasanya ingin sekali kembali pada waktu itu, kembali menjadi anak-anak dan mengulang cerita berharga tersebut. Tapi apalah daya, hanya kenangan yang dapat diputar, tanpa dapat merasakannya secara nyata.
Namun aku beruntung, aku menyisakan banyak kenangan manis yang terukir di sana, tentu saja di Solo, kampung halamanku. Aku menutup lembaran album foto itu perlahan. Mataku menerawang jauh ke luar jendela apartemen bertingkat tersebut. Kucoba mengingat-ingat setiap sudut kampung halaman itu sedetail-detailnya. Namun sulit rasanya, deretan gedung dan tumpukan salju putih di depan mataku ini seketika menghalangi memoriku tersebut.
Ya, empat tahun sudah aku meninggalkan Indonesia demi mengejar impianku di negara yang mereka sebut macan asia ini. Alhamdulillah, aku berhasil mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan S2 ku di sini. Namun, tidak seterusnya kurasakan damai dan tenteram. Ada kalanya aku begitu merindukan nuansa asri pedesaan yang jarang sekali kutemukan di kota Tokyo. Yang ada di sini hanyalah teknologi super canggih yang menggantikan keakraban manusia dengan lingkungannya.

Drrt…

Getaran hp di sampingku membuyarkan lamunanku sejenak. Mataku langsung mengalihkan fokus ke arahnya. Segera kuraih benda kecil itu saat kudapati nama Vendi terpampang di layar LCD.
“Vendi mengirim pesan?”
Gumamku sesaat ketika kusadari bahwa sahabat kecil yang lama sekali tidak kujumpai itu menanyakan kabarku lewat sms seperti ini. Tanpa pikir panjang, aku segera mengetik sms balasan dan menanyakan hal serupa kepadanya. Begitu pun seterusnya, kami saling berkirim pesan hingga ia menanyakan satu pertanyaan  yang membuatku sumringah.
“Hei, Kapan kamu ke Indonesia? Yuk ke desa, nostalgia dengan teman lama!”
Sunggingan senyum langsung tergambar di wajahku. Kubalas pesan itu dengan antusias. Pulang ke Solo dan berjumpa kembali dengan sahabat-sahabat kecilku adalah salah satu harapanku saat ini. Ya, di akhir bulan nanti aku berencana kembali ke Indonesia. Alhamdulillah, aku sudah menuntaskan masa kuliahku di sini. Tidak sabar rasanya segera menyantap nasi liwet buatan Ibu di desa. Padahal, Ibu sudah berkali-kali menelponku dan menanyakan kepulanganku akhir-akhir ini. Tetapi tenang saja, tinggal hitungan hari lagi aku dapat berjumpa dengan beliau dan menghirup aroma desaku secara langsung.

Bandara Juanda, Surabaya.
Roda pesawat itu akhirnya mendarat di tempat tujuanku semula, Indonesia. Meskipun bukan tempat tujuanku sesungguhnya yaitu Solo, tetapi memang sudah menjadi ketentuan bahwa pesawat dari Tokyo itu harus mendarat di bandara ini terlebih dahulu. Aku menuruni pesawat dengan langkah mantap. Rasanya kerinduanku sudah benar-benar memuncak.
Tiba-tiba dari kejauhan kulihat sosok yang sepertinya tak asing lagi bagiku. Aku membenarkan kaca mataku berusaha meyakinkan bahwa penglihatanku ini tak salah. Ya, sepertinya aku mengenalnya. Keyakinanku memantap saat sosok pria itu mendekat dan melambaikan tangannya padaku.
“Hei, Sugeng!”
Ya, itu Vendi aku segera menjemput kedatangannya dengan antusias. Kami segera berpelukan dan saling melepas kerinduan kala itu. Pantas saja sudah 7 tahun kita berpisah semenjak lulus sekolah menengah atas dahulu.
“Vendi, Apa kabar?”
“Alhamdulillah kabarku baik. Wah sepertinya kau tambah gemuk saja.” Candaku kepada sahabt kecilku itu yang langsung disambut dengan tawa khasnya.
“Yuk. Kita ke berangkat sekarang!”
Sebelum kepulanganku kala itu, aku memang menghubungi Vendi terlebih dahulu. Aku ingin kita bersama menuju Solo, kampung halaman tercinta itu. Kebetulan dia sedang menempuh pendidika   S2 di salah satu universitas ternama di Surabaya. Hari itu, kami langsung mencari kendaraan menuju Solo dan pilihan kami pun tertuju pada Bus. Sepanjang perjalanan kami bercerita banyak hal tentang kehidupan kami dan masa lalu kami. Semuanya begitu indah untuk dikenang.
“Sugeng, tahu tidak? Banyak yang berubah sepertinya.” Vendi mengawali pembicaraan pertama kami di dalam Bus.
“Memang, apanya yang berubah?” Tanyaku mengernyitkan dahi
“Di Surabaya, anak-anak tidak lagi bermain permainan tradisional seperti dahulu. Mereka lebih tertarik dengan game android dan gadget mereka. Aku khawatir jika saja hal itu juga terjadi di Solo.”
Aku sedikit tercengang dengan pernyataan Vendi baru saja. Meski begitu aku juga sedikit khawatir jika saja anak-anak di kampung halamanku juga mendapatkan dampak yang sama pada perkembangan teknologi sekarang. Ternyata tidak hanya Jepang saja, kini seluruh dunia merasakan dampak  negatif dari arus globalisasi ini.
“Kalau pun begitu, setidaknya kita harus mengubah dan mengembalikan masa-masa kecil kita dahulu.” Ujarku sembari menepuk pundak Vendi, berusaha menghibur dan meyakinkannya. “Ngomong-ngomong, sesampainya di Solo aku ingin langsung makan nasi liwet buatan Ibu.” Ujarku berusaha mengalihkan pembicaraan. Kami pun tertawa dan melanjutkan perbincangan tentang nostalgia masa kecil kami.
Tak terasa, dua jam perjalanan berlalu. Mataku berbinar-binar ketika sudut kota Solo mulai terlihat. Aku membangunkan Vendi yang sedang terlelap tidur karena kelelahan. Dan akhirnya saat yang ditunggu-tunggu pun tiba, rumah itu terlihat, sebuah rumah sederhana yang begitu kurindukan, sebuah rumah dimana aku menghabiskan waktuku sedari lahir hingga sekarang, rumah yang menyimpan berjuta kenangan bersama Ibu, Bapak, adikku, dan teman-teman.
“Turun di depan pak!” Aku bersiap-siap turun dari bus kala itu. Dari kejauhan rumah itu terlihat sepi, mungkin keluargaku belum mengetahui kalau aku pulang secepat ini. Namun, tak lama kemudian, aku melihat anak kecil yang spontan berteriak ketika menyambut kedatangan kami. Ya, siapa lagi kalau bukan Dina, adik kecilku yang sangat kurindukan. Setelahnya, Ibu dan Bapak pun keluar dan menyambut kami dengan riangnya. Aku pun langsung memeluk mereka penuh kerinduan.
“Sugeng, Sugeng. Mengapa tidak beritahu Ibu kalau ingin pulang hari ini? Kan Bapak bisa menjemputmu?” Ujar Ibuku dengan logat Jawa yang masih sangat kental
“Sugeng kan ingin memberi kejutan pada Ibu.” Jawabku sembari tertawa.
“Ayo, kalau begitu masuk, Istirahat dulu dengan nak Vendi, Ibu sudah siapkan nasi liwet kesukaanmu.”
“Ah, benarkah?”
Aku tersenyum antusias mendengar pernyataan ibu baru saja, rasanya perut ini sudah sedari tadi minta diisi. Kami pun bergegas memasuki rumah untuk beristirahat sejenak. Ternyata belum banyak yang berubah dari bangunan yang mirip dengan rumah Adat Jawa Tengah yang dikenal dengan nama Joglo ini. Pendapanya (yang biasa disebut untuk mewakili ruang tamu bagi orang Jawa) masih luas begitu pun dengan aksen dan ukiran Jawa yang masih melekat di dalamnya.
“Mas, ini es tehnya.” Pandanganku langsung beralih kepada adik kesayanganku yang berjalan ke arah kami. Langkahnya perlahan mendekat, berusaha menjaga nampan berisi minuman itu di tangannya.
“Terima kasih adikku. Ayo diminum, Vendi!”
Aku mempersilakan Vendi untuk meminum es teh tadi, begitu pun denganku yang langsung meneguknya perlahan. Sungguh perjalanan yang melelahkan.
“Dik Dina, sini mas pangku.” Aku memangku adik termanisku itu dan sedikit bercengkrama, sejenak melepas rindu bersamanya. Setelah pertemuan terakhir 4 tahun yang lalu, kini dia sudah besar, rambut hitamnya sudah panjang, dan wajahnya pun kian menggemaskan.
“Dik, Bagimana sekolahmu?” Tanyaku sembari memeluk adik kesayanganku ini.
“Aku sudah kelas 3 SD lho. Aku dapat ranking 1 lagi mas.” Celotehnya kepadaku.
“Wah, Adik mas Sugeng emang pintar.” Sambutku sembari mempererat pelukanku
“Sugeng, Yuk kita jalan-jalan di kota Solo, mumpung masih siang juga.” Ajak Vendi tiba-tiba.
“Wah, ide bagus tuh. Tetapi kita makan dulu yuk, Ibu sudah masak nasi liwet kesukaanku, hehe. Adik ikut mas jalan-jalan nggak?”
“Ikut-ikut.” Jawab adikku penuh kegirangan. Kami pun segera menuju meja makan, menikmati makan siang sembari melepas kerinduan dan mengenang kebersamaan yang belum pernah terulang semenjak 4 tahun silam.
***
Sesuai kesepakatan kami, siang itu kami bertiga berjalan-jalan menyusuri kota Solo. Banyak sekali tempat wisata yang begitu kurindukan di sini. Teringat pada masa lalu, aku, Vendi, dan teman-teman masa kecilku sering sekali menghabiskan waktu untuk bermain-main di sini ketika liburan tiba. Seperti tempat yang kami pijaki saat ini, Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat Solo, sebuah tempat yang menjadi cikal bakal berdirinya kota Solo sekaligus menjadi ikon budaya kota Solo. Banyak turis yang menghabiskan waktu liburan mereka untuk mengunjungi tempat ini. Kami pun mencoba menaiki delman, dan mengitari kompleks keraton tersebut. Beruntungnya kami saat melihat Kerbau putih yang menjadi ciri khas keraton tersebut, konon katanya kerbau itu menjadi hewan sakral keraton, dan hanya bisa keluar pada waktu-waktu tertentu saja. Selain itu, banyak juga para penjual cindera mata dan kerajinan unik di sekitarnya. Aku ingat sekali saat aku merengek kepada Ibu agar dibelikan kerajinan-kerajinan itu dahulu. Benar-benar kenangan yang indah.
Perjalanan kami pun dilanjutkan ke tempat wisata lain, seperti Ngarsopuro Solo, Museum Radyapustaka Solo, THR Sriwedari Solo, dan sebagainya. Jika ingin berkeliling di kota Solo rasanya tiada habisnya. Setelah cukup lama berkeliling, sepertinya Vendi dan adikku terlihat kelelahan. Aku pun mengajak mereka ke suatu tempat makan langgananku dahulu. Tempat makan yang menjual berbagai macam makanan khas kota Solo, ada sate kare. Timlo, nasi liwet, tengkleng dan masih banyak lagi. Inilah yang membuatku dirundung kebimbangan, rasanya semua makanan di sini enak-enak. Ingin sekali aku membeli semuanya, apalagi selama di Jepang, aku belum pernah sekali pun mecicipi makanan Indonesia lagi. Pilihanku pun lagi-lagi jatuh kepada nasi liwet.  Nasi Liwet khas solo ini adalah beras yang dimasak denga kaldu ayam yang membuat nasi terasa gurih dan beraroma lezat. Dalam memasaknya, nasi tersebut dicampur dengan sayur labu siyam yang dimasak agak pedas, telur pindang rebus, daging ayam suwir, kumut (terbuat dari kuah santan yang dikentalkan). Nasi Liwet ini biasanya disajikan dengan daun pisang yang dibentuk pincuk sebagai piringnya. Lezat sekali.
“Ngomong-ngomong, Apa kabar ya dengan Andi dan Didit?” Tiba-tiba aku teringat dengan dua sahabat masa kecilku itu.
“Yang aku dengar terakhir, mereka merantau. Andi di Kalimantan dan Didit ke Sumatera.”Jawab Vendi sembari menuangkan saos ke dalam mangkok baksonya.
“Wah, tak terasa semua berjalan begitu cepat ya.”
Aku sudah bersiap-siap ingin menyantap hidangan yang tersaji di depanku, namun niatku terhenti ketika kutatap Dina masih sibuk dengan ponsel di genggamannya.
“Dik, kok kamu mainan game terus dari tadi?”
Pertanyaanku tidak digubris sama sekali oleh Dina. Matanya tetap memandang layar handphone android itu begitupun dengan tangannya yang sibuk mengotak-atik tombol di sana.
“Dik, makan dulu!” Kini aku memanggilnya dengan nada yang lumayan keras, dan agaknya berhasil. Dina yang menyadari panggilanku pun langsung meletakkan hpnya di meja dan bersiap-siap menyantap makanan seperti kami.
***
Vendi benar. Tidak selamanya desa ini mengabadikan tiap momen kenangan masa kecil kami. Aku teringat perkataannya ketika berada di bus. Sekarang,  tak ada lagi anak-anak yang bermain-main seperti kami dahulu, desa hanya ramai oleh suara kendaraan dan aktivitas warga yang sibuk berjualan. Sedangkan, dimana anak-anak itu? Apakah mereka membantu orang tuanya?
Ternyata tidak. Miris sekali bukan?
Seperti adikku yang mulai terpengaruh oleh derasnya kemajuan globalisasi. Mereka lebih sibuk dengan gadget di genggaman mereka. Parahnya lagi, para orang tua membiarkan hal itu terjadi. Bahkan ada yang merasa bangga melihat anaknya bermain hp berjam-jam, bermalas-malasan, dan menjadi antisosial karena lebih suka mengurung diri di rumah. Tak ada satu pun anak-anak yang memainkan permainan tradisional, seperti kami dahulu. Sedih sekali rasanya.
“Vendi, ingat tidak? Dulu kita sering sekali bermain gobag sodor (salah satu permainan tradisional jaman dahulu), di tanah lapang itu?” Ujarku sembari memutar kilas balik masa kecilku.
“Ya, aku ingat sekali. Sepertinya kecemasanku akan menjadi kenyataan, Sugeng.”
Vendi terlihat sedih mengetahui fakta ini. Begitu pun denganku, ada yang hilang dari tradisi kita, tradisi penuh nilai dan moral yang seharusnya dimiliki oleh anak-anak melalui permainan tradisional bukan malah menumbuhkan kemalasan, individualisme, dan sikap apatis karena game-game di gadget mereka. Lagi-lagi aku menemui Dina yang masih sibuk dengan gadget di tangannya, sudah berulang kali aku menegur untuk mengurangi bermain-main dengan handphone miliknya tersebut, tetapi sepertinya tidak digubris sama sekali.
“Dik Dina, boleh pinjam hpnya?”
“Buat apa?” Dina yang awalnya sibuk dengan gamenya pun bertanya penuh keheranan. Aku tersenyum dan langsung mengambil handphone itu.
“Mas tunjukkan permainan yang lebih seru daripada game ini.”
Dina hanya mengangguk dan menuruti pernyataanku. Sepertinya Vendi sudah mulai mengerti maksudku ini. Kami berjalan menuju suatu tempat, sebuah tempat yang sepertinya sudah lama sekali tidak terurus. Sebuah tempat yang lebih mirip saung sebenarnya, di dalamnya penuh dengan barang-barang dolanan (permainan) yang familiar bagi anak-anak era 90an. Dina pun dibuat penasaran olehnya.
“Dulu, Mas Sugeng, Mas Vendi, dan teman-teman lain sering main di sini. Kamu pasti tidak tahu ya, kalau ada permainan seru seperti ini?”
Dina terdiam. Matanya masih berputar-putar mengamati sudut demi sudut ruangan penuh benda-benda unik itu.
“Yuk dibersihkan, nanti kita main bersama-sama!” Ajakku semangat
Kami pun langsung membersihkan tempat yang dianggap baru bagi Dina tersebut. Namun sepertinya Dina mulai tertarik dengan tempat ini. Pantas saja, ekspresinya terlihat serius membersihkan setiap inci ruangan tersebut, matanya pun tak pernah lepas dari benda-benda yang menarik perhatiannya itu.
            “Yes, selesai.”
Kami menghela napas lega saat mendapati ruangan itu telah bersih dan tertata rapi. Ternyata tidak membutuhkan waktu lama untuk membersihkannya, barang-barangnya pun masih bagus terawat, hanya debu yang membuat tampak buruk.
Saat kami sedang berkeliling mengamati ruangan tersebut, tiba-tiba segerombolan anak yang sedang lewat terlihat mengawasi kami kala itu, seperti penasaran dengan tempat yang mereka anggap baru ini. Anak-anak itu pasti tidak sadar kalau ada saung di kampung mereka. Tanpa keraguan lagi, aku pun mengajak anak-anak itu untuk mendekat.
“Nah, karena semuanya sudah berkumpul. Kakak ingin memberi tahu, inilah tempat bermain kalian yang baru. Sekarang kita mulai main apa?”
Semua terlihat antusias dan sibuk dengan pengamatan mereka masing-masing. Ada yang mengambil papan congklak, kelereng, lompat tali, alat masak-masakan dan lain sebagainya. Sesekali aku dan Vendi memeragakan cara bermain enggrang, congklak, kelereng, petak umpet, dan permainan lain yang langsung disambut tawa renyah anak-anak itu.
Aku dan Vendi pun menatap mereka sembari tersenyum lega. Itulah saung permainan tradisional, sebuah tempat yang sangat sering kuhabiskan bersama teman-teman untuk menjadi seutuhnya anak. Sebuah tempat yang mengajarkan kepada kita tentang persahabatan, kepedulian, toleransi, dan kenangan indah yang tidak pernah terlupakan hingga sekarang.
Setidaknya kecemasan itu hanya terjadi sesaat, bukan? Sesuai keyakinanku dulu, kita bisa memperbaikinya, dan ketika saung permainan tradisional itu kembali bukankah kita dapat mengisi kembali sesuatu yang hilang dari kampung ini?
Ya, inilah kampung halamanku, sebuah kampung kecil yang tumbuh di tengah arus globalisasi tanpa pernah melupakan keramahan, toleransi, dan  adat istiadat di dalamnya, sebuah kampung yang akan menjadi saksi kokohnya keteguhan budaya dan kenangan masa kecil kita.

TAMAT
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar