Aku
membuka album foto itu perlahan, berusaha menerka satu per satu keping kenangan
masa lalu. Wajah-wajah itu kembali menyambangi memoriku, wajah-wajah polos
dengan tingkah laku kekanakan mereka. Ya, teman masa kecilku. Ah, rasanya ingin
sekali kembali pada waktu itu, kembali menjadi anak-anak dan mengulang cerita
berharga tersebut. Tapi apalah daya, hanya kenangan yang dapat diputar, tanpa
dapat merasakannya secara nyata.
Namun
aku beruntung, aku menyisakan banyak kenangan manis yang terukir di sana, tentu
saja di Solo, kampung halamanku. Aku menutup lembaran album foto itu perlahan.
Mataku menerawang jauh ke luar jendela apartemen bertingkat tersebut. Kucoba
mengingat-ingat setiap sudut kampung halaman itu sedetail-detailnya. Namun
sulit rasanya, deretan gedung dan tumpukan salju putih di depan mataku ini
seketika menghalangi memoriku tersebut.
Ya,
empat tahun sudah aku meninggalkan Indonesia demi mengejar impianku di negara
yang mereka sebut macan asia ini. Alhamdulillah, aku berhasil mendapatkan
beasiswa untuk melanjutkan S2 ku di sini. Namun, tidak seterusnya kurasakan
damai dan tenteram. Ada kalanya aku begitu merindukan nuansa asri pedesaan yang
jarang sekali kutemukan di kota Tokyo. Yang ada di sini hanyalah teknologi
super canggih yang menggantikan keakraban manusia dengan lingkungannya.
Drrt…
Getaran
hp di sampingku membuyarkan lamunanku sejenak. Mataku langsung mengalihkan fokus
ke arahnya. Segera kuraih benda kecil itu saat kudapati nama Vendi terpampang
di layar LCD.
“Vendi
mengirim pesan?”
Gumamku
sesaat ketika kusadari bahwa sahabat kecil yang lama sekali tidak kujumpai itu
menanyakan kabarku lewat sms seperti ini. Tanpa pikir panjang, aku segera
mengetik sms balasan dan menanyakan hal serupa kepadanya. Begitu pun seterusnya,
kami saling berkirim pesan hingga ia menanyakan satu pertanyaan yang membuatku sumringah.
“Hei,
Kapan kamu ke Indonesia? Yuk ke desa, nostalgia dengan teman lama!”
Sunggingan
senyum langsung tergambar di wajahku. Kubalas pesan itu dengan antusias. Pulang
ke Solo dan berjumpa kembali dengan sahabat-sahabat kecilku adalah salah satu
harapanku saat ini. Ya, di akhir bulan nanti aku berencana kembali ke
Indonesia. Alhamdulillah, aku sudah menuntaskan masa kuliahku di sini. Tidak
sabar rasanya segera menyantap nasi liwet buatan Ibu di desa. Padahal, Ibu
sudah berkali-kali menelponku dan menanyakan kepulanganku akhir-akhir ini.
Tetapi tenang saja, tinggal hitungan hari lagi aku dapat berjumpa dengan beliau
dan menghirup aroma desaku secara langsung.
Bandara
Juanda, Surabaya.
Roda
pesawat itu akhirnya mendarat di tempat tujuanku semula, Indonesia. Meskipun
bukan tempat tujuanku sesungguhnya yaitu Solo, tetapi memang sudah menjadi
ketentuan bahwa pesawat dari Tokyo itu harus mendarat di bandara ini terlebih
dahulu. Aku menuruni pesawat dengan langkah mantap. Rasanya kerinduanku sudah
benar-benar memuncak.
Tiba-tiba
dari kejauhan kulihat sosok yang sepertinya tak asing lagi bagiku. Aku
membenarkan kaca mataku berusaha meyakinkan bahwa penglihatanku ini tak salah.
Ya, sepertinya aku mengenalnya. Keyakinanku memantap saat sosok pria itu
mendekat dan melambaikan tangannya padaku.
“Hei,
Sugeng!”
Ya,
itu Vendi aku segera menjemput kedatangannya dengan antusias. Kami segera
berpelukan dan saling melepas kerinduan kala itu. Pantas saja sudah 7 tahun
kita berpisah semenjak lulus sekolah menengah atas dahulu.
“Vendi,
Apa kabar?”
“Alhamdulillah
kabarku baik. Wah sepertinya kau tambah gemuk saja.” Candaku kepada sahabt
kecilku itu yang langsung disambut dengan tawa khasnya.
“Yuk.
Kita ke berangkat sekarang!”
Sebelum
kepulanganku kala itu, aku memang menghubungi Vendi terlebih dahulu. Aku ingin
kita bersama menuju Solo, kampung halaman tercinta itu. Kebetulan dia sedang
menempuh pendidika S2 di salah satu
universitas ternama di Surabaya. Hari itu, kami langsung mencari kendaraan
menuju Solo dan pilihan kami pun tertuju pada Bus. Sepanjang perjalanan kami
bercerita banyak hal tentang kehidupan kami dan masa lalu kami. Semuanya begitu
indah untuk dikenang.
“Sugeng,
tahu tidak? Banyak yang berubah sepertinya.” Vendi mengawali pembicaraan
pertama kami di dalam Bus.
“Memang,
apanya yang berubah?” Tanyaku mengernyitkan dahi
“Di
Surabaya, anak-anak tidak lagi bermain permainan tradisional seperti dahulu.
Mereka lebih tertarik dengan game android dan gadget mereka. Aku khawatir jika
saja hal itu juga terjadi di Solo.”
Aku
sedikit tercengang dengan pernyataan Vendi baru saja. Meski begitu aku juga
sedikit khawatir jika saja anak-anak di kampung halamanku juga mendapatkan
dampak yang sama pada perkembangan teknologi sekarang. Ternyata tidak hanya
Jepang saja, kini seluruh dunia merasakan dampak negatif dari arus globalisasi ini.
“Kalau
pun begitu, setidaknya kita harus mengubah dan mengembalikan masa-masa kecil
kita dahulu.” Ujarku sembari menepuk pundak Vendi, berusaha menghibur dan
meyakinkannya. “Ngomong-ngomong, sesampainya di Solo aku ingin langsung makan
nasi liwet buatan Ibu.” Ujarku berusaha mengalihkan pembicaraan. Kami pun
tertawa dan melanjutkan perbincangan tentang nostalgia masa kecil kami.
Tak
terasa, dua jam perjalanan berlalu. Mataku berbinar-binar ketika sudut kota
Solo mulai terlihat. Aku membangunkan Vendi yang sedang terlelap tidur karena
kelelahan. Dan akhirnya saat yang ditunggu-tunggu pun tiba, rumah itu terlihat,
sebuah rumah sederhana yang begitu kurindukan, sebuah rumah dimana aku
menghabiskan waktuku sedari lahir hingga sekarang, rumah yang menyimpan berjuta
kenangan bersama Ibu, Bapak, adikku, dan teman-teman.
“Turun
di depan pak!” Aku bersiap-siap turun dari bus kala itu. Dari kejauhan rumah
itu terlihat sepi, mungkin keluargaku belum mengetahui kalau aku pulang secepat
ini. Namun, tak lama kemudian, aku melihat anak kecil yang spontan berteriak
ketika menyambut kedatangan kami. Ya, siapa lagi kalau bukan Dina, adik kecilku
yang sangat kurindukan. Setelahnya, Ibu dan Bapak pun keluar dan menyambut kami
dengan riangnya. Aku pun langsung memeluk mereka penuh kerinduan.
“Sugeng,
Sugeng. Mengapa tidak beritahu Ibu kalau ingin pulang hari ini? Kan Bapak bisa
menjemputmu?” Ujar Ibuku dengan logat Jawa yang masih sangat kental
“Sugeng
kan ingin memberi kejutan pada Ibu.” Jawabku sembari tertawa.
“Ayo,
kalau begitu masuk, Istirahat dulu dengan nak Vendi, Ibu sudah siapkan nasi
liwet kesukaanmu.”
“Ah,
benarkah?”
Aku
tersenyum antusias mendengar pernyataan ibu baru saja, rasanya perut ini sudah sedari
tadi minta diisi. Kami pun bergegas memasuki rumah untuk beristirahat sejenak. Ternyata
belum banyak yang berubah dari bangunan yang mirip dengan rumah Adat Jawa
Tengah yang dikenal dengan nama Joglo
ini. Pendapanya (yang biasa disebut untuk mewakili ruang tamu bagi orang Jawa) masih
luas begitu pun dengan aksen dan ukiran Jawa yang masih melekat di dalamnya.
“Mas,
ini es tehnya.” Pandanganku langsung beralih kepada adik kesayanganku yang
berjalan ke arah kami. Langkahnya perlahan mendekat, berusaha menjaga nampan
berisi minuman itu di tangannya.
“Terima
kasih adikku. Ayo diminum, Vendi!”
Aku
mempersilakan Vendi untuk meminum es teh tadi, begitu pun denganku yang
langsung meneguknya perlahan. Sungguh perjalanan yang melelahkan.
“Dik
Dina, sini mas pangku.” Aku memangku adik termanisku itu dan sedikit
bercengkrama, sejenak melepas rindu bersamanya. Setelah pertemuan terakhir 4
tahun yang lalu, kini dia sudah besar, rambut hitamnya sudah panjang, dan
wajahnya pun kian menggemaskan.
“Dik,
Bagimana sekolahmu?” Tanyaku sembari memeluk adik kesayanganku ini.
“Aku
sudah kelas 3 SD lho. Aku dapat ranking 1 lagi mas.” Celotehnya kepadaku.
“Wah,
Adik mas Sugeng emang pintar.” Sambutku sembari mempererat pelukanku
“Sugeng,
Yuk kita jalan-jalan di kota Solo, mumpung masih siang juga.” Ajak Vendi
tiba-tiba.
“Wah,
ide bagus tuh. Tetapi kita makan dulu yuk, Ibu sudah masak nasi liwet
kesukaanku, hehe. Adik ikut mas jalan-jalan nggak?”
“Ikut-ikut.”
Jawab adikku penuh kegirangan. Kami pun segera menuju meja makan, menikmati
makan siang sembari melepas kerinduan dan mengenang kebersamaan yang belum
pernah terulang semenjak 4 tahun silam.
***
Sesuai
kesepakatan kami, siang itu kami bertiga berjalan-jalan menyusuri kota Solo.
Banyak sekali tempat wisata yang begitu kurindukan di sini. Teringat pada masa
lalu, aku, Vendi, dan teman-teman masa kecilku sering sekali menghabiskan waktu
untuk bermain-main di sini ketika liburan tiba. Seperti tempat yang kami pijaki
saat ini, Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat Solo, sebuah tempat yang
menjadi cikal bakal berdirinya kota Solo sekaligus menjadi ikon budaya kota
Solo. Banyak turis yang menghabiskan waktu liburan mereka untuk mengunjungi
tempat ini. Kami pun mencoba menaiki delman, dan mengitari kompleks keraton
tersebut. Beruntungnya kami saat melihat Kerbau putih yang menjadi ciri khas
keraton tersebut, konon katanya kerbau itu menjadi hewan sakral keraton, dan hanya
bisa keluar pada waktu-waktu tertentu saja. Selain itu, banyak juga para
penjual cindera mata dan kerajinan unik di sekitarnya. Aku ingat sekali saat aku
merengek kepada Ibu agar dibelikan kerajinan-kerajinan itu dahulu. Benar-benar
kenangan yang indah.
Perjalanan
kami pun dilanjutkan ke tempat wisata lain, seperti Ngarsopuro Solo, Museum
Radyapustaka Solo, THR Sriwedari Solo, dan sebagainya. Jika ingin berkeliling
di kota Solo rasanya tiada habisnya. Setelah cukup lama berkeliling, sepertinya
Vendi dan adikku terlihat kelelahan. Aku pun mengajak mereka ke suatu tempat
makan langgananku dahulu. Tempat makan yang menjual berbagai macam makanan khas
kota Solo, ada sate kare. Timlo, nasi liwet, tengkleng dan masih banyak lagi.
Inilah yang membuatku dirundung kebimbangan, rasanya semua makanan di sini
enak-enak. Ingin sekali aku membeli semuanya, apalagi selama di Jepang, aku belum
pernah sekali pun mecicipi makanan Indonesia lagi. Pilihanku pun lagi-lagi
jatuh kepada nasi liwet. Nasi Liwet khas solo ini adalah
beras yang dimasak denga kaldu ayam yang membuat nasi terasa gurih dan beraroma
lezat. Dalam memasaknya, nasi tersebut dicampur dengan sayur labu siyam yang
dimasak agak pedas, telur pindang rebus, daging ayam suwir, kumut (terbuat dari
kuah santan yang dikentalkan). Nasi Liwet ini biasanya disajikan dengan daun
pisang yang dibentuk pincuk sebagai piringnya. Lezat sekali.
“Ngomong-ngomong,
Apa kabar ya dengan Andi dan Didit?” Tiba-tiba aku teringat dengan dua sahabat
masa kecilku itu.
“Yang
aku dengar terakhir, mereka merantau. Andi di Kalimantan dan Didit ke
Sumatera.”Jawab Vendi sembari menuangkan saos ke dalam mangkok baksonya.
“Wah,
tak terasa semua berjalan begitu cepat ya.”
Aku
sudah bersiap-siap ingin menyantap hidangan yang tersaji di depanku, namun
niatku terhenti ketika kutatap Dina masih sibuk dengan ponsel di genggamannya.
“Dik,
kok kamu mainan game terus dari tadi?”
Pertanyaanku
tidak digubris sama sekali oleh Dina. Matanya tetap memandang layar handphone
android itu begitupun dengan tangannya yang sibuk mengotak-atik tombol di sana.
“Dik,
makan dulu!” Kini aku memanggilnya dengan nada yang lumayan keras, dan agaknya
berhasil. Dina yang menyadari panggilanku pun langsung meletakkan hpnya di meja
dan bersiap-siap menyantap makanan seperti kami.
***
Vendi
benar. Tidak selamanya desa ini mengabadikan tiap momen kenangan masa kecil
kami. Aku teringat perkataannya ketika berada di bus. Sekarang, tak ada lagi anak-anak yang bermain-main seperti
kami dahulu, desa hanya ramai oleh suara kendaraan dan aktivitas warga yang
sibuk berjualan. Sedangkan, dimana anak-anak itu? Apakah mereka membantu orang
tuanya?
Ternyata
tidak. Miris sekali bukan?
Seperti
adikku yang mulai terpengaruh oleh derasnya kemajuan globalisasi. Mereka lebih
sibuk dengan gadget di genggaman mereka. Parahnya lagi, para orang tua membiarkan
hal itu terjadi. Bahkan ada yang merasa bangga melihat anaknya bermain hp
berjam-jam, bermalas-malasan, dan menjadi antisosial karena lebih suka mengurung
diri di rumah. Tak ada satu pun anak-anak yang memainkan permainan tradisional,
seperti kami dahulu. Sedih sekali rasanya.
“Vendi,
ingat tidak? Dulu kita sering sekali bermain gobag sodor (salah satu permainan tradisional jaman dahulu), di
tanah lapang itu?” Ujarku sembari memutar kilas balik masa kecilku.
“Ya,
aku ingat sekali. Sepertinya kecemasanku akan menjadi kenyataan, Sugeng.”
Vendi
terlihat sedih mengetahui fakta ini. Begitu pun denganku, ada yang hilang dari
tradisi kita, tradisi penuh nilai dan moral yang seharusnya dimiliki oleh
anak-anak melalui permainan tradisional bukan malah menumbuhkan kemalasan,
individualisme, dan sikap apatis karena game-game di gadget mereka. Lagi-lagi
aku menemui Dina yang masih sibuk dengan gadget di tangannya, sudah berulang
kali aku menegur untuk mengurangi bermain-main dengan handphone miliknya tersebut,
tetapi sepertinya tidak digubris sama sekali.
“Dik
Dina, boleh pinjam hpnya?”
“Buat
apa?” Dina yang awalnya sibuk dengan gamenya pun bertanya penuh keheranan. Aku
tersenyum dan langsung mengambil handphone itu.
“Mas
tunjukkan permainan yang lebih seru daripada game ini.”
Dina
hanya mengangguk dan menuruti pernyataanku. Sepertinya Vendi sudah mulai
mengerti maksudku ini. Kami berjalan menuju suatu tempat, sebuah tempat yang
sepertinya sudah lama sekali tidak terurus. Sebuah tempat yang lebih mirip saung
sebenarnya, di dalamnya penuh dengan barang-barang dolanan (permainan) yang familiar bagi anak-anak era 90an. Dina pun
dibuat penasaran olehnya.
“Dulu,
Mas Sugeng, Mas Vendi, dan teman-teman lain sering main di sini. Kamu pasti
tidak tahu ya, kalau ada permainan seru seperti ini?”
Dina
terdiam. Matanya masih berputar-putar mengamati sudut demi sudut ruangan penuh
benda-benda unik itu.
“Yuk
dibersihkan, nanti kita main bersama-sama!” Ajakku semangat
Kami
pun langsung membersihkan tempat yang dianggap baru bagi Dina tersebut. Namun
sepertinya Dina mulai tertarik dengan tempat ini. Pantas saja, ekspresinya
terlihat serius membersihkan setiap inci ruangan tersebut, matanya pun tak
pernah lepas dari benda-benda yang menarik perhatiannya itu.
“Yes,
selesai.”
Kami
menghela napas lega saat mendapati ruangan itu telah bersih dan tertata rapi.
Ternyata tidak membutuhkan waktu lama untuk membersihkannya, barang-barangnya
pun masih bagus terawat, hanya debu yang membuat tampak buruk.
Saat
kami sedang berkeliling mengamati ruangan tersebut, tiba-tiba segerombolan anak
yang sedang lewat terlihat mengawasi kami kala itu, seperti penasaran dengan
tempat yang mereka anggap baru ini. Anak-anak itu pasti tidak sadar kalau ada
saung di kampung mereka. Tanpa keraguan lagi, aku pun mengajak anak-anak itu
untuk mendekat.
“Nah,
karena semuanya sudah berkumpul. Kakak ingin memberi tahu, inilah tempat
bermain kalian yang baru. Sekarang kita mulai main apa?”
Semua
terlihat antusias dan sibuk dengan pengamatan mereka masing-masing. Ada yang
mengambil papan congklak, kelereng, lompat tali, alat masak-masakan dan lain
sebagainya. Sesekali aku dan Vendi memeragakan cara bermain enggrang, congklak,
kelereng, petak umpet, dan permainan lain yang langsung disambut tawa renyah
anak-anak itu.
Aku
dan Vendi pun menatap mereka sembari tersenyum lega. Itulah saung permainan
tradisional, sebuah tempat yang sangat sering kuhabiskan bersama teman-teman
untuk menjadi seutuhnya anak. Sebuah tempat yang mengajarkan kepada kita tentang
persahabatan, kepedulian, toleransi, dan kenangan indah yang tidak pernah
terlupakan hingga sekarang.
Setidaknya
kecemasan itu hanya terjadi sesaat, bukan? Sesuai keyakinanku dulu, kita bisa
memperbaikinya, dan ketika saung permainan tradisional itu kembali bukankah
kita dapat mengisi kembali sesuatu yang hilang dari kampung ini?
Ya,
inilah kampung halamanku, sebuah kampung kecil yang tumbuh di tengah arus
globalisasi tanpa pernah melupakan keramahan, toleransi, dan adat istiadat di dalamnya, sebuah kampung
yang akan menjadi saksi kokohnya keteguhan budaya dan kenangan masa kecil kita.
TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar