SEMARFEST 2015 adalah rangkaian acara dalam memeriahkan HUT UNS ke 39. Salah satu acara yang diselenggarakan adalah lomba melukis mural. Berikut adalah hasil karya seni mural dari mahasiswa PGSD dan PGPAUD di kampus 4 Universitas Sebelas Maret
Apa sih artinya?
Minggu, 22 Maret 2015
[Cerpen] Ibuku Surgaku
Tak ada kata yang benar-benar
konkret yang pantas untuk menggambarkan sosok Ibu di kehidupanku. Karena kemurnian
kasih sayangnya lah tak bosan hadir mengisi lika-liku kehidupanku hingga saat
ini, bak sebuah surga di dunia.
Ibuku, 18 tahun yang lalu, menjadi
sosok penting dibalik lahirnya seorang bayi mungil di dunia ini. Beliaulah yang berjuang mengurus dan merawat
bayi itu sepenuh hati.
Dan hari demi hari itu berlalu. Bayi
yang semula hanya bisa menangis dan tertawa itu telah tumbuh menjadi seorang
anak yang menggemaskan dengan kelucuan yang terpancar dari wajahnya. Hal itu
pun tak lepas dari peran beliau selama ini.
Namun
, apa yang bisa aku persembahkan untuknya?
Tidak
ada –
Hari berganti minggu hingga bulan
dan tahun, masa sekolah mulai kutapaki. Aku masih ingat saat dengan sabarnya
Ibu mengantarku ke sekolah dan menjemputku sepulangnya. Namun masa-masa indah
dan canda tawa sepanjang perjalanan itu terkadang kunodai dengan sikap burukku.
Pernah suatu hari, aku melupakannya,
berjam-jam ibuku menunggu kepulanganku namun aku tak kunjung keluar. Aku ingat
betapa kecewanya raut muka ibuku, rasa bersalah jelas terpendam di hatiku, namun
aku tak sanggup mengungkapkannya, bahkan tak ada kata maaf yang terucap, bodohnya
hal ini tak hanya berlangsung satu kali. Aku menyesal, mengapa aku harus
mengedepankan sebuah ego sesaat?
Tidak hanya itu, aku masih ingat
masa-masa SMA yang harusnya aliran prestasi memenuhi perjalananku di sana. Namun
apa daya, aku terlalu pesimis. Hingga akhirnya penyesalan itu datang di
penghujung waktu. Mengapa aku tidak mencobanya terlebih dahulu? Aku sedih, saat
tidak bisa membanggakannya dengan prestasi seperti yang berhasil diraih oleh teman-temanku
yang lain.
Entahlah,
anak macam apa aku ini?
Namun tidak seluruhnya kehidupanku
bersama beliau diwarnai dengan kesalahan-kesalahan yang sama. Dibalik semua
kegagalanku itu, aku bukanlah tipe anak yang tidak bertanggung jawab mengenai
karierku di sekolah, tapi mungkin aku tidak seberuntung mereka. Aku pun selalu memperbaiki
diri demi beliau dan rela berkorban deminya.
Hingga saat jenjang kuliah akan
kutapaki, aku pun mulai memutuskan sebuah pilihan yang amat berat dimana ketika
cita-citaku bertentangan dengan keinginan mereka. Cita-cita yang sedikit lagi
akan terwujud namun harus rela ku buang – buang jauh-jauh, tapi aku harap itu
hanyalah sebuah penundaan. Aku memutuskan untuk meneruskan pendidikan di sebuah
Universitas Negeri yang sebelumnya bukan menjadi pilihanku. Namun aku berpikir,
pada saat itulah aku harus membalas semua kesalahan masa laluku. Aku sadar, ada
saatnya aku harus berkorban demi melihat beliau menyunggingkan sebuah senyum
kepuasaan, meski hati ini tidak selaras dengan senyum itu, tapi itu sudah cukup
untukku.
Ridho Allah terletak pada Ridho
orang tua. Ternyata perkiraanku salah, aku bersyukur berada pada titik ini,
sebuah keadaan dimana aku bisa melebur dalam sebuah lingkungan pendidikan yang
sangat luar biasa.
Sampai saat ini pun, ibu juga tak
berubah. Beliau tetap menjadi ibu dengan sejuta kasih sayang dan pengorbanan
untuk anak-anaknya. Darinya aku belajar banyak hal dan Ibulah yang akan menjadi
inspirasi terbesar untukku, ketika sosok ibu itu akan kusandang di kemudian
hari. Tak peduli apapun keadaan ibu saat ini, aku akan tetap menyayanginya. Terima
kasih untuk segalanya, Ibu.
Sukoharjo, 27 Desember 2014.
Kupersembahkan curahan hati ini lewat tulisan (Cermin) sederhana untuk Ibuku
tercinta,
[Cerpen] Apel Ketulusan
Derek roda gerobak
terdengar nyaring di sepanjang jalan menurun siang itu. Terlihat seorang anak
remaja berusaha menahannya agar tak tergelincir ataupun terlepas dengan
genggamannya yang cukup kuat. Sirat semangat jelas terpancar dari wajah anak
itu, meski sirat itu tidak lebih besar dari kelelahan yang tergambar oleh
keringat yang terus menerus menetes di pipinya. Sesekali ia berhenti dan
mengusap wajah penuh keringat itu dengan handuk yang ia selempangkan di
lehernya.
“Buah, buah.”
Begitu teriaknya,
di setiap derap langkah kecil sepanjang perjalanan. Namanya Amir, dia memang
penjual buah yang masih muda, bukan dari keluarga yang kaya ataupun berada,
bahkan dia harus mengorbankan masa sekolahnya untuk berjualan demi menambah
pundi-pundi rupiah di tabungan keluarganya. Walau begitu, semangat dan kerja
kerasnya terbukti melebihi anak lainnya.
“Aaa… Siaal!”
Tiba-tiba
Terdengar teriakan yang cukup keras dari
seberang jalan tempat Amir berdiri. Suara itu sukses membuatnya terlonjak
kaget. Iapun mengalihkan pandangannya mencari sumber suara tersebut. Betapa
terkejutnya ia saat ditemui seorang gadis seumurannya jatuh tercebur di
kubangan penuh lumpur di sekitar taman kota. Amirpun lekas memutarbalik gerobak
dorongnya menghampiri gadis tersebut. Sepertinya kubangan itu terlalu dalam
hingga membuat gadis itu tak mampu keluar seorang diri.
“Kamu tidak
apa-apa?” Ujar Amir sedikit cemas
“Aku tidak bisa
keluar dari sini.” Jawab Gadis itu sedikit terisak mencemaskan kondisi tubuhnya
yang sangat kotor saat itu. Benar saja cairan coklat kental itu kini sudah
mendominasi keseluruhan tubuh gadis yang nyaris terlihat seperti coklat matang.
“Aku akan
menolongmu, raih tanganku!” Amir mengulurkan kedua tangannya ke arah gadis
tersebut. Tanpa pikir panjang, gadis itu menyambut uluran tangan pemuda yang
baru dikenalnya itu. Dengan susah payah, ia berusaha naik dari lubang besar
tersebut dan memijak apapun yang dapat membuatnya segera keluar dari sana.
Tanpa membutuhkan waktu lama, gadis itu pun berhasil keluar dari kubangan
lumpur yang menjebaknya.
“Terima kasih ya.”
Ujar gadis itu lega, meskipun begitu ia masih mencemaskan seragam dan tubuhnya
yang sangat kotor.
“Kau tidak apa-apa
kan? Apa ada yang terluka?” Tanya Amir terlihat cemas.
“Tidak. Aku
baik-baik saja.” Jawab gadis itu sedikit tersenyum, berusaha menenangkan Amir
“Bagaimana kamu bisa
jatuh? Apa kamu pulang sendirian tadi?”
Gadis itu
menggeleng sedih. Bibirnya terlihat bergetar saat ia menceritakan segalanya
pada Amir.
“Tadi aku bersama
temanku saat pulang sekolah. Lalu saat melewati taman ini tanpa sengaja aku
tersandung dan terjatuh di dalam kubangan lumpur tersebut. Dan tanpa ada alasan
yang jelas teman-temanku malah pergi begitu saja saat kumintai pertolongan.”
Gadis itu
menghentikan ceritanya, tanpa terasa satu tetes air mata mengalir lembut di
pipinya. Amir ikut prihatin melihat kondisi teman yang baru dikenalnya itu,
apalagi saat mengetahui teman-teman yang mencampakkannya begitu saja, pasti
sakit.
“Bersihkan lumpur
di tubuhmu dengan ini!” Amir menyodorkan handuk miliknya kepada gadis itu.
“Eh, tidak usah,
nanti handukmu kotor.” Tolak gadis itu dengan segera.
“Tidak apa-apa.
Pakai saja!” Amir meletakkan handuknya di tangan gadis itu dengan paksa. “Oh ya,
namaku Amir, kamu siapa?”
“ Aku Lusi.” Gadis
yang diketahui bernama Lusi itu tersenyum menatap Amir sebelum ia memposisikan sikap
duduknya di atas rumput taman di sana. Sejenak dibersihkannya noda-noda lumpur
yang menempel di pakaiannya dengan handuk milik Amir.
“Lusi, ini
untukmu?” Tawar Amir tiba-tiba sembari menyodorkan sebuah apel merah yang
terlihat sangat segar.
“Eh? Apel?” Tidak
seperti reaksi penolakan sebelumnya saat Amir menawarkan handuk miliknya, Lusi terlihat
gembira mendapati apel pemberian dari Amir tersebut. Diusapnya air mata yang
sedari tadi menetes, hingga kemudian diraih apel tersebut dengan lembut.
“Kau suka apel, ya?”
Tanya Amir kepada Lusi yang terlihat memakan apel pemberiannya dengan lahap.
Lusi mengangguk pelan, setidaknya Amir sedikit lega saat ditemui wajah Lusi yang
telah berubah ceria tanpa buliran air mata lagi.
Tiin tinn tiin …
Tiba-tiba suara
klakson mobil terdengar dari kejauhan. Tanpa pikir panjang, Lusi yang menyadari
bahwa sumber suara itu berasal dari mobil ayahnya segera bangkit dari posisi
duduknya.
“Amir aku duluan
ya! Kita ketemu di sini lagi besok. Terima kasih. Daa!”
Belum sempat Lusi
mendengar ucapan selamat tinggal dari Amir, ia langsung menghamburkan diri
menuju mobil Ayahnya. Amir hanya bisa terdiam dan melambaikan tangannya ke arah
punggung lusi yang tidak menggubrisnya. Bahkan saking terburu-burunya, Amir
baru sadar bahwa handuk miliknya terbawa oleh Lusi. Amir menyunggingkan seulas
senyum siang itu. Pertemuan yang
mengesankan.
---
“Lusi, aku lihat kemarin kamu sedang berbincang-bincang dengan penjual buah keliling ya?” Salah satu teman bertanya kepada Lusi yang sedang duduk di bangku taman.
“Memangnya
kenapa?” Jawab Lusi ketus.
“Tidak apa-apa.
Aku hanya heran, kamu kan anak orang kaya, mau-maunya berteman dengan orang
miskin seperti itu.” Kini teman Lusi yang lain menimpali dengan sedikit
mengejek.
“Mengapa kalian
tiba-tiba peduli padaku? Bukannya kemarin kalian mengacuhkanku saat aku jatuh
di sana?” Jawab Lusi geram sembari menunjuk kubangan lumpur di depannya dengan
kasar.
“Emm, kalau soal
itu, kami …”
“Ahh, banyak
alasan, bilang saja kalian jijik melihatku, iya kan? Untuk apa harus
mementingkan rupa, status, bahkan harta? Semua itu bahkan tidak lebih baik dari
ketulusan dan kebaikan hati.” Potong Lusi dengan raut wajah kesal.
Mereka terdiam
cukup lama hingga kemudian pandangan Lusi menangkap sosok yang tak asing dari
kejauhan. Sosok yang sedari tadi ditunggunya.
“Amir!” Teriak
Lusi spontan sembari melambaikan tangannya kepada seseorang di seberang jalan
sana. Ia pun segera berlari menghampiri Amir, mengabaikan teman-teman yang
lebih dahulu menemaninya tadi.
“Lusi? Mengapa kau
ada di sini?” Ujar Amir sedikit keheranan saat mendapati Lusi menghampirinya
dengan penuh semangat.
“Memangnya tidak
boleh? Ini handukmu kemarin sudah aku cuci, maaf ya kalau tidak sebersih
sebelumnya.” Ujar Lusi memberikan handuknya kepada Amir.
“Oh, tidak usah
repot-repot. Oh iya, kamu mau apel lagi?” Tawar Amir penuh antusias
“Tidak, aku tidak
mau diberi lagi. Tapi aku ingin membelinya.”
“Loh? Tidak
apa-apa. Toh Cuma satu.”
“Aku tidak mau
hanya satu. Aku ingin membeli semua apel di gerobakmu itu.”
“Hah?” Amir
tersentak kaget saat mendengar kalimat yang diucapkan Lusi baru saja.
“Boleh kan?” Ujar
Lusi sumringah.
“Boleh-boleh. Aku
bungkusin dulu ya.”
Lusi menatap Amir yang
sedang sibuk membungkus beberapa apel untuknya. Ekspresi wajahnya jelas sekali
menggambarkan kepuasan dan kebahagiaan yang memuncak. Ia bahagia bisa menemui
sosok laki-laki tegar dan baik hati sepertinya. Amir cukup membuktikan kepada
dirinya, merubah paradigma pikiran sebelumnya yang menganggap bahwa harta dan
kekayaan adalah satu-satunya tolak ukutr dalam mengangkat citra seseorang. Namun
ia salah, bahkan ada faktor lain yang lebih mulia yang tidak dimiliki oleh
semua orang, yaitu keikhlasan dan ketulusan hati. Terimakasih Amir, terima
kasih telah datang bersamanya, bersama sebuah Apel penuh ketulusan.
TAMAT
[Cerpen] Hujan untuk Ruki
“Aaa, Hujaan!”
Seorang gadis remaja terlihat berteriak
kegirangan saat didapatinya satu per satu rintik air langit itu jatuh di bumi,
rintiknya yang bergantian terdengar berirama, indah sekali. Begitulah yang
dipikirkan Rani, nama gadis itu, gadis penyuka hujan.
“Rani, Kau ini terlalu berlebihan. Ini
hanya hujan.” Sosok gadis lain terlihat merespon tingkah Rani yang berubah
drastis semenjak buliran-buliran bening yang ia sebut air langit keberuntungan
itu datang.
“Yeni, Ini tidak seperti yang kau
bayangkan. Lihatlah betapa indah dan syahdunya suasana di sini semenjak hujan
datang. Rasakan Yeni!”
Rani semakin menjadi saat di jumpainya
buliran itu turun semakin deras. Dipejamkan mata birunya itu kemudian ditarik
napasnya perlahan bersamaan dengan sunggingan senyum yang terulas manis di
wajahnya, berusaha merasakan aroma hujan yang begitu dirindukannya. Yeni yang
melihat reaksi teman sebangkunya tersebut hanya dapat menggeleng keheranan
sebelum ia kembali berkutat dengan beberapa soal integral di depannya. Dia
memang sudah hafal setiap gerak gerik sahabatnya itu, termasuk antusiasnya
ketika hujan datang.
“Yeni. Ayo kita hujan-hujan.”
“Eh?” Tawaran Rani baru saja
mengaggetkan dirinya, Ia tidak menyangka sahabat satu-satunya itu terlihat
begitu gembira hanya karena rintik hujan, “Ahh, tidak. Kamu tidak tahu, kita
sedang mengerjakan tugas untuk besok? Lihatllah soalnya begitu rumit, lebih
baik kau membantuku saja Yeni. Kau kan jago matematika.”
Penolakan Yeni membuat teman bicaranya
itu memajukan bibirnya beberapa senti. Ekspresinya berubah kesal saat mendengar
respon negatif dari Yeni. Melihat sahabatnya yang kehilangan semangat secara
tiba-tiba, Yeni menjadi merasa bersalah. Iapun berusaha mendekati dan
membujuknya untuk tersenyum kembali.
“Rani. Coba kamu pikirkan kembali,
kita sudah SMP dan sedang berada di lingkungan sekolah. Kamu nggak malu di cap
seperti anak kecil saat teman-teman melihatmu hujan-hujan.” Ujar Yeni sedikit
berbisik.
Yeni terdiam, raut wajahnya berubah
datar, sepertinya dia sedang menimbang-nimbang kembali saran dari temannya baru
saja. Hingga kemudian ia berucap,
“Aah, padahal aku begitu ingin, sudah
lama sekali aku tidak berbaur dengan hujan. Yah, mungkin harus kutunda dulu
untuk mengajari temanku satu ini.”
Jawaban Rani membuat Yeni sumringah,
meski ia tahu Rani sangat terpaksa memutuskan hal itu, tapi bukankah itu lebih
baik, ketimbang melihat seisi sekolah memandangi seorang siswi SMP bermain
hujan-hujanan bak anak kecil. Tidak perlu dibayangkan. Yeni segera mengambil
buku yang tergeletak tidak jauh dari posisinya saat itu dan segera menunjukkan
beberapa soal yang ia anggap sulit kepada Reni.
“Mengapa sih kamu suka sekali kepada
Hujan?” Tanya Yeni tiba-tiba, di tengah kesibukan Rani mengerjakan soal-soalnya saat itu.
Rani menghentikan aktivitas
menulisnya, Ia tersenyum, tatapanya berubah teduh saat didongakkan wajahnya
memandang rintik hujan yang turun berirama tepat di hadapannya.
“Hujan itu mengaggumkan. Aku bersyukur
atas karunia Tuhan yang satu ini. Amati setiap rintik yang jatuh itu! Bukankah
Tuhan memberikan banyak berkah melalui hujan? Ia dapat menentramkan suasana,
menyuburkan tumbuhan yang layu, menyegarkan udara dari kepenatan atau polusi,
dan masih banyak lagi. Pokoknya semua orang pasti suka hujan.”
“Kecuali aku.”
Suara sumbang yang tidak diharapkan
itu tiba-tiba membuyarkan suasana syahdu yang menyelimuti raga Rani sebelumnya.
Rupanya mndadak muram saat mendengar kalimat yang mengalir di telinganya,
sepertinya ia tidak suka. Ia menolehkan wajahnya mencari sumber suara
pengganggu itu. Kekecewaannya memuncak saat didapati seorang laki-laki, yang
tak lain adalah teman sekelas Rani pula sedang menyilangkan kedua tangannya
dengan ekspresi benci, benar-benar jauh dari kata menyenangkan. Cahaya empat
bola mata penuh kebencian itu saling bertatapan untuk sesaat.
“Kenapa? Kamu tidak suka mendengarnya?
Kamu tidak suka jika aku mengatakan aku benci hujan?”Laki-laki di hadapan Rani
menimpali dengan ekspresi kesal, cukup membuat Rani ingin menampar wajahnya
saat itu. Sebelumnya, Rani memang tak pernah menjumpai seorangpun yang
menyatakan kebenciannya terhadap hujan hingga sebenci itu. Pendapat mereka
pasti sama terhadap Rani, hujan adalah anugerah, tapi ada apa dengan anak ini.
“Kau yakin dengan kalimatmu baru saja?
Memangnya kau bisa hidup tanpa anugerah Tuhan berupa hujan?” Tanya Rani
berusaha melawan.
“Yakin, bahkan sangat yakin! Hujan itu
kejam!”
Kalimat singkat anak itu cukup membuat
tangannya mengepal semakin keras hingga ia pun ingin benar – benar menampar
wajah tirusnya tadi. Namun sepertinya Rani harus memendam jauh-jauh keinginan
buruknya itu, saat anak laki-laki itu kemudian beranjak pergi meninggalkan
mereka.
“Ada apa sih dengan Ruki?” Tanya Yeni
tiba-tiba. Tak ada jawaban dari Rani, ekspresi geramnya masih terpeta jelas di
wajahnya. Kepalan kedua tangannya yang semakin keras memaksa Yeni bergerak
mundur menjauhinya.
“Akan ku
buat dia menyukai hujan.”
-[]-[]-[]-
“Yee, akhirnya kita pulang.”
Sorak sorai seisi kelas terdengar riuh
menandakan kebahagiaan mereka menyambut jam pulang. Begitupun dengan Rani dan
Yeni, sepertinya suasana hati mereka sudah cukup stabil pasca kejadian
menegangkan kemarin, ekspresi ceria dari Renilah yang menandakannya.
“Yeni, tunggu sebentar. Aku ingin
memberikan kabar gembira untukmu.” Ujar Rani menahan tangan Yeni yang
sebelumnya sudah berdiri berniat meninggalkan kelas.
“Ada apa?” Tanya Yeni penasaran
sembari memposisikan sikap duduknya kembali.
“Ssst.. jangan sampai ada yang tahu,
tunggu kelas sepi dulu ya.” Ujar Rani tersenyum lebar.
Rani pun hanya bisa menyetujui
permintaan sahabatnya tersebut walaupun sebenarnya ia ingin sekali segera
pulang karena awan mendung penanda turun hujan sudah terlihat sejak tadi.
“Udah sepi nih. Ada apa?”
Rani mengeluarkan sebuah barang
berbentuk batangan bulat berbungkus kain berwarna merah dari tasnya.
“Hah? Payung? Lalu apa kabar baiknya?”
Tanya Yeni masih belum mengerti.
“Ini payung milik Ruki.” Jawab Reni
sembari berbisik ke telinga Yeni,
“Hah? Mengapa kau ambil?” Refleks
Yaniberteriak cukup keras kepada Reni, membuatnya terlonjak kaget.
“Ssst, jangan keras-keras!” Ujar Reni
lalu menutup mulut Yeni untuk mengecilkan volume suara sahabatnya itu. “Aku kan
sudah bilang,aku ingin membuatnya menyukai hujan.” Sambung Reni tersenyum,
membuat Yani terkaget-kaget untuk kesekian kalinya.
“Bagaimana bisa?” Reni tidak menjawab
pertanyaan terakhir Yani.
Wajahnya mendadak sumringah saat
didengarnya rintik hujan mengetuk atap kelas secara bergantian. Ia menggandeng
tangan sahabatnya tersebut dan menariknya keluar. Benar saja, hujan sudah mulai
turun sangat deras. Berkebalikan dengan Reni yang terlihat semakin bahagia
menyambut hujan, Yani terlihat sedih saat keinginannya untuk pulang lebih cepat
terhenti oleh hujan yang pasti akan membuatnya basah kuyup jika ia tetap
bersikukuh untuk pulang.
Dari kejauhan terlihat Ruki sedang
berdiri di depan aula sekolah, sepertinya ia terlihat sibuk menggeledah tasnya
berulang kali, seperti mencari sesuatu tetapi ia tak kunjung menemukannya.
Kepanikan mulai melingkupi raut muka tirus itu, sesuatu itu sepertinya sangat
penting untuknya. Reni yang melihat keberadaan Ruki pun hanya terkikik kecil
dari kejauhan saat melihat ekspresi Ruki yang pasti sedang mencari payung
miliknya.
“Lihat si Ruki? Sepertinya ia akan
basah kuyup hari ini.” Ujar Reni senang berhasil mengerjai Ruki
“Kau tidak kasihan ya? Dia kan ada
kursus hari ini, sepertinya ia akan terlambat jika tidak segera
berangkat.” Ujar Yeni dengan tampang
memelasnya, sepertinya Ia menaruh rasa kasihan yang sangat tinggi kepada Ruki
saat itu.
“Mari kita lihat! Berapa lama ia akan
bertahan?” Reni menimpali lagi, antusiasnya menjadi-jadi saat ditemui kepanikan
Ruki yang bertambah dua kali lipat, dan di luar dugaan, Ruki memaksakan dirinya
menerjang hujan deras siang itu tanpa pelindung apapun. Yeni terlihat cemas
melihat kondisinya saat itu, rasanya ia ingin sekali menarik tangan Ruki dan
melindunginya dari hujan, tapi ia tidak bisa. Tak butuh waktu lama, hujan sudah
membuat seragam dan raganya basah kuyup. Bukankah itu sangat buruk untuk
kesehatannya? Apalagi bagi hati dan perasaannya yang menyatakan
ketidaksukaannya hujan.
-[]-[]-[]-
“Reni, Hari ini Ruki tidak masuk.
Bagaimana kalau dia sakit?” Tanya Yani tiba-tiba dengan raut wajah yang
dipenuhi kecemasan.
Benar saja. Hari ini Ruki tidak masuk,
sepanjang jam pelajaran, Yani terus menerus dirundung rasa bersalah. Meskipun
sepenuhnya bukan Yani yang bersalah karena bukan dia pemicu pencurian payung
itu, tapi apapun alasannya Yani juga sudah terlibat di dalamnya dan menyetujui
rencana buruk itu.
“Aku juga tidak tahu.”
Meskipun Reni terlihat sedikit cuek
mendengar keadaan Ruki, tetap saja gurat-gurat kecemasan di wajahnya tidak
dapat disembunyikan. Selama ini Reni bukanlah
tipe orang yang lari dari kesalahan bahkan menjadi pemicu kesalahan. Ia
adalah orang yang baik. Tapi kebaikannya mulai luntur semenjak kejadian sepele
akhir-akhir ini, hanya karena ada orang yang membenci hujan.
“Ayo, kita jenguk dan minta maaf
kepadanya Reni. Jangan sampai hanya dia berbeda pendapat denganmu tentang hujan
membuat jarak di antara kalian berdua. Bukankah sebelumnya kalian teman yang
akur? Biarkan dia benci, dan biarkan dirimu tetap menyukai hujan. Toh sebenci apapun
dia terhadap hujan, tidak akan bisa menghentikan rintiknya bukan?”
Reni merenung sejenak, mencerna satu
per satu kata yang merangkai ucapan Yani baru saja. Kalimat penjelasan dari
Yani cukup menyadarkan Reni bahwa ia harus menerima semua tanggapan yang
berbeda dari orang lain. Ya, Yani benar, ia tak seharusnya memaksakan Ruki
untuk menyukai hujan sama sepertinya. Akhirnya meskipun agak sedikit terpaksa
Reni menyetujui ajakan Yeni.
Sepulang sekolah, mereka pun menunda
kepulangan masing-masing demi menjenguk Ruki dan mencari tahu alasan yang
menyebabkannya tidak masuk sekolah hari ini. Tak butuh waktu lama untuk
menyambangi rumah Ruki, karena jarak rumah anak itu memang tidak terlalu jauh
dari sekolah. Suasana Rumah Ruki terlihat sepi, Yani mengetuk pintu kayu rumah
tersebut. Tak ada jawaban, diketuknya kembali untuk memastikan keberadaan
penghuninya. Hingga akhirnya ganggang pintu di depan mereka bergerak menandakan
akan terbuka dan benar saja, terlihat wanita paruh baya tersenyum ramah
menyambut mereka.
“Ibu, Kami teman sekelas Ruki, Hari
ini Ruki tidak masuk, jadi kami menjenguknya.” Ujar Yani memulai pembicaraan.
“Oh begitu, mari masuk.” Sambut Ibu
tadi mempersilakan masuk disusul langkah mereka yang mengikutinya dari belakang.
Setelah dipersilakan duduk pula, Ibu Ruki mulai mengawali pembicaraan.
“Ruki jatuh sakit semenjak kemarin
malam, mungkin karena kehujanan. Ibu sangat panic melihatnya basah kuyup dan
menggigil secara berlebihan. Semenjak ia mengidap phobia terhadap hujan, dia
jarang sekali kehujanan bahkan tidak pernah.” Jelas Ibu dengan nada lembut.
Hah? Phobia? Mereka memandang satu
sama lain, kalimat penjelasan Ibu cukup membuat mereka berdua terkejut kembali.
Satu per satu pikiran buruk menyambangi otak Reni, ia tidak menyangka akan jadi seperti ini, Ruki mengidap phobia
kepada hujan, dan karena paksaannya Ruki menjadi sakit. Hal itu cukup membuat
penyesalan Reni muncul kembali, ditundukkan wajahnya dalam-dalam berusaha
menutupi penyesalan atas sikapnya kemarin.
“Sekarang Ruki di mana bu?” Tanya Yani
kemudian
“Oh dia ada di kamar. Sepertinya
kondisinya sudah cukup membaik hanya butuh istirahat saja, silahkan kalau ingin
menjenguk.” Ujar Ibu sembari menunjukkan kamar Ruki kepada kami.
Setelah Ibu mengetuk pintu dan
terdengar suara lemah Ruki yang mempersilakan masuk, akhirnya mereka bertiga
pun masuk. Kedatangan mereka cukup membuat Ruki kaget, apalagi saat melihat
Reni yang masih ragu-ragu untuk mendongakkan wajahnya. Ia masih sibuk dengan
pikirannya sendiri, pikiran dan rasa bersalahnya kepada Ruki. Berat sekali
baginya untuk bertemu Ruki karena keadaan mereka yang belum membaik semenjak
kejadian itu.
“Ibu tinggal dulu ya.” Ijin Ibu
sebelum beliau pergi meninggalkan mereka berdua di kamar Ruki.
Mereka terdiam di tempat, tak ada gerak
lanjutan yang dilakukan sejak Ibu meninggalkan mereka di kamar Ruki. Mereka
tetap saja memandang Ruki yang masih tergeletak di atas ranjang kecilnya itu
tanpa keberanian untuk mendekatinya. Rasa bersalah yang teramatlah yang menjadi
alasan mereka saat itu.
“Emm,
Ada yang ingin kalian sampaikan?” Pertanyaan Ruki baru saja membuyarkan
lamunan-lamuna semu mereka, hingga akhirnya dibernaikan langkah mereka unutk
mendekati Ruki meski sedikit terpaksa. Merekapun duduk tepat di samping ranjang
Ruki, diikuti gerakan Ruki yang bangkit untuk menyandarkan punggungnya di depan
tembok.
“Ruki,
Bagaimana keadaanmu?”Tanya Yani tergagap-gagap memberanikan diri untuk
berbicara.
“Oh,
Aku sudah mendingan.” Jawabnya pelan
“Ruki,
aku ingin minta maaf soal kejadian itu.” Akhirnya Reni pun memberanikan diri
untuk berucap.
Ruki
menatap sendu wajah Reni yang masih tidak terlihat karena ia masikh konsisten
menundukkan wajahnya berusaha menyembunyikan segala perasaan bersalahnya kepada
Ruki.
“Tidak
apa-apa. Aku malah berterima kasih kepadamu. Terima kasih telah memaksaku
kehujanan, Semenjak kau mengambil payungku, Aku jadi memberanikan diri untuk
menghadapi fobiaku terhadap hujan. Itu berguna sekali.” Pernyataan Ruki sontak
mengaggetkan Reni. Untuk pertama kalinya didongakkan wajah Reni dan ditatapnya
teman laki-lakinya itu. Ia tidak menyangka ruki mengetahui niat buruk darinya
saat mencuri payung milik Ruki.
“Kau
sudah tahu Ruki?” Ujar Reni dengan mulut sedikit bergetar. Rasanya ia malu
sekali berjumpa dengan ruki saat itu apalagi menatapnya.
“Aku
mengetahui dirimu yang mengambil payungku saat seisi kelas sedang berolahraga.
Saat itu aku ingin mengambil minum di kelas, tapi ku urungkan niatku seketika,
karena aku tidak ingin menggagalkan rencanamu itu.” Jawab Ruki dengan sedikit
bercanda. Candaan yang sama sekali tidak membuat hati Reni terhibur tapi malah
semakin mempermalukannya.
“Taukah
kalian mengapa aku begitu membenci hujan sebelumnya?” Tanya Ruki, tiba-tiba
wajahnya berubah serius melenyapkan candaan yang ia buat baru saja. Mereka
menggeleng pelan.
“Hujan
sudah merenggut seseorang yang sangat berarti untukku, Ayahku.” Mereka terdiam
sesaat, masih belum bisa menangkap maksud penjelasan Ruki baru saja, hingga
iapun melanjutkan pembicaraannya, “Saat itu hujan turun begitu deras bahkan
sangat deras, hujan turun berhari-hari hingga mampu memecah bendungan di
desaku. Pada saat yang sama pula, aku sedang berada di dalam rumah. Kami begitu
panik, tapi Ayahku segera membawa aku dan Ibu ke dalam mobil yang jauh-jauh
hari sebelum bencana itu disiapkan oleh tetangga kami, kami memang sudah
menduga bendungan itu tidak akan kuat menahan derasnya air. Tapi, Tetangga kami
begitu terburu-buru unutuk segera menyelamatkan jiwa raga kami, hingga ia pun
tak menggubris Ayah yang tiba-tiba berbalik arah menuju rumah untuk membawa
beberapa dokumen penting. Namun sayang, Air bah itu muncul lebih cepat
dibanding langkah ayah untuk menyelamatkan diri. Dan akhirnya..” Ruki
menghentikan penjelasannya, ia tmengusap air mata yang sudah mengalir di
pipinya, rasanya sakit sekali saat ia harus mengingat kembali kenangan buruk
yang mati-matian ingin sekali dihilangkannya.
Sebelum
akhirnya keheningan benar-benar menyelimuti suasana siang itu. Tak ada kata
yang terucap, Reni begitu terkejut saat mendapati alasan dibalik kebencian Ruki
terhadap Hujan. Ia semakin menyalahkan dirinya sendiri . Mengapa ia begitu
bodoh saat itu? Tega-teganya ia menghakimi Ruki tanpa alasan yang logis.
Bagaimana bisa Reni memaksanya untuk menyukai hujan yang telah memberi kenangan
buruk baginya?
“Ruki, aku minta maaf. ” Reni meraih
tangan Ruki dan mengenggamnya erat. Ia benar-benar menyesal saat itu.
“Tidak apa-apa. Ini bukan salahmu, Aku
mengambil banyak hikmah dari kejadian ini. Setidaknya aku sedikit mulai
menerima semua takdir ini, takdir bahwa Tuhanlah yang merencanakan semua ini,
termasuk kematian Ayah. Aku juga sadar bahwa hujan adalah anugerah sama seperti
yang kau katakan, dan Aku menarik kata-kataku dulu, Aku pun pasti tak bisa
hidup tanpa hujan. Karena yang membuat bencana adalah kesalahan manusia, dan
takdir Tuhan itu pastilah yang paling baik. Sepertinya kau sudah hampir
mencapai tujuanmu, Reni.”
“Hah?” Reni menangkap cahaya mata dari
Ruki yang sedang tersenyum menatapnya pula.
“Sepertinya aku mulai menyukai hujan
sama sepertimu, Reni.”
Reni tertergun mendengarnya, tak ada
kata yang terucap untuk merespon pernyataan yang berhasil membuatnya termangu
cukup lama. Ia tidak tahu pasti apa yang sedang dirasakannya saat itu,
kebahagiaan atau kesedihan? Sepertinya dia terjebak pada tempat yang sama.
Sekuat tenaga, ditahannya air mata yang sudah berkumpul di pelupuknya.
Ditundukkan wajahnya untuk kesekian
kalinya, Ia mengucapkan beribu-ribu maaf
kepada Ruki, Reni sadar ia tidak bisa memaksa semua orang untuk menyukai
hujan sama sepertinya. Tapi ia juga sadar, mereka yang membenci hujan pasti
akan menyukainya seiring berjalannya waktu, seperti Ruki. Ya karena hujan
adalah anugerah dan hal itu tidak dapat dipungkiri.
-End-
Comments and Cirtics are LOVED :D
Langganan:
Postingan (Atom)