Tak ada kata yang benar-benar
konkret yang pantas untuk menggambarkan sosok Ibu di kehidupanku. Karena kemurnian
kasih sayangnya lah tak bosan hadir mengisi lika-liku kehidupanku hingga saat
ini, bak sebuah surga di dunia.
Ibuku, 18 tahun yang lalu, menjadi
sosok penting dibalik lahirnya seorang bayi mungil di dunia ini. Beliaulah yang berjuang mengurus dan merawat
bayi itu sepenuh hati.
Dan hari demi hari itu berlalu. Bayi
yang semula hanya bisa menangis dan tertawa itu telah tumbuh menjadi seorang
anak yang menggemaskan dengan kelucuan yang terpancar dari wajahnya. Hal itu
pun tak lepas dari peran beliau selama ini.
Namun
, apa yang bisa aku persembahkan untuknya?
Tidak
ada –
Hari berganti minggu hingga bulan
dan tahun, masa sekolah mulai kutapaki. Aku masih ingat saat dengan sabarnya
Ibu mengantarku ke sekolah dan menjemputku sepulangnya. Namun masa-masa indah
dan canda tawa sepanjang perjalanan itu terkadang kunodai dengan sikap burukku.
Pernah suatu hari, aku melupakannya,
berjam-jam ibuku menunggu kepulanganku namun aku tak kunjung keluar. Aku ingat
betapa kecewanya raut muka ibuku, rasa bersalah jelas terpendam di hatiku, namun
aku tak sanggup mengungkapkannya, bahkan tak ada kata maaf yang terucap, bodohnya
hal ini tak hanya berlangsung satu kali. Aku menyesal, mengapa aku harus
mengedepankan sebuah ego sesaat?
Tidak hanya itu, aku masih ingat
masa-masa SMA yang harusnya aliran prestasi memenuhi perjalananku di sana. Namun
apa daya, aku terlalu pesimis. Hingga akhirnya penyesalan itu datang di
penghujung waktu. Mengapa aku tidak mencobanya terlebih dahulu? Aku sedih, saat
tidak bisa membanggakannya dengan prestasi seperti yang berhasil diraih oleh teman-temanku
yang lain.
Entahlah,
anak macam apa aku ini?
Namun tidak seluruhnya kehidupanku
bersama beliau diwarnai dengan kesalahan-kesalahan yang sama. Dibalik semua
kegagalanku itu, aku bukanlah tipe anak yang tidak bertanggung jawab mengenai
karierku di sekolah, tapi mungkin aku tidak seberuntung mereka. Aku pun selalu memperbaiki
diri demi beliau dan rela berkorban deminya.
Hingga saat jenjang kuliah akan
kutapaki, aku pun mulai memutuskan sebuah pilihan yang amat berat dimana ketika
cita-citaku bertentangan dengan keinginan mereka. Cita-cita yang sedikit lagi
akan terwujud namun harus rela ku buang – buang jauh-jauh, tapi aku harap itu
hanyalah sebuah penundaan. Aku memutuskan untuk meneruskan pendidikan di sebuah
Universitas Negeri yang sebelumnya bukan menjadi pilihanku. Namun aku berpikir,
pada saat itulah aku harus membalas semua kesalahan masa laluku. Aku sadar, ada
saatnya aku harus berkorban demi melihat beliau menyunggingkan sebuah senyum
kepuasaan, meski hati ini tidak selaras dengan senyum itu, tapi itu sudah cukup
untukku.
Ridho Allah terletak pada Ridho
orang tua. Ternyata perkiraanku salah, aku bersyukur berada pada titik ini,
sebuah keadaan dimana aku bisa melebur dalam sebuah lingkungan pendidikan yang
sangat luar biasa.
Sampai saat ini pun, ibu juga tak
berubah. Beliau tetap menjadi ibu dengan sejuta kasih sayang dan pengorbanan
untuk anak-anaknya. Darinya aku belajar banyak hal dan Ibulah yang akan menjadi
inspirasi terbesar untukku, ketika sosok ibu itu akan kusandang di kemudian
hari. Tak peduli apapun keadaan ibu saat ini, aku akan tetap menyayanginya. Terima
kasih untuk segalanya, Ibu.
Sukoharjo, 27 Desember 2014.
Kupersembahkan curahan hati ini lewat tulisan (Cermin) sederhana untuk Ibuku
tercinta,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar