Derek roda gerobak
terdengar nyaring di sepanjang jalan menurun siang itu. Terlihat seorang anak
remaja berusaha menahannya agar tak tergelincir ataupun terlepas dengan
genggamannya yang cukup kuat. Sirat semangat jelas terpancar dari wajah anak
itu, meski sirat itu tidak lebih besar dari kelelahan yang tergambar oleh
keringat yang terus menerus menetes di pipinya. Sesekali ia berhenti dan
mengusap wajah penuh keringat itu dengan handuk yang ia selempangkan di
lehernya.
“Buah, buah.”
Begitu teriaknya,
di setiap derap langkah kecil sepanjang perjalanan. Namanya Amir, dia memang
penjual buah yang masih muda, bukan dari keluarga yang kaya ataupun berada,
bahkan dia harus mengorbankan masa sekolahnya untuk berjualan demi menambah
pundi-pundi rupiah di tabungan keluarganya. Walau begitu, semangat dan kerja
kerasnya terbukti melebihi anak lainnya.
“Aaa… Siaal!”
Tiba-tiba
Terdengar teriakan yang cukup keras dari
seberang jalan tempat Amir berdiri. Suara itu sukses membuatnya terlonjak
kaget. Iapun mengalihkan pandangannya mencari sumber suara tersebut. Betapa
terkejutnya ia saat ditemui seorang gadis seumurannya jatuh tercebur di
kubangan penuh lumpur di sekitar taman kota. Amirpun lekas memutarbalik gerobak
dorongnya menghampiri gadis tersebut. Sepertinya kubangan itu terlalu dalam
hingga membuat gadis itu tak mampu keluar seorang diri.
“Kamu tidak
apa-apa?” Ujar Amir sedikit cemas
“Aku tidak bisa
keluar dari sini.” Jawab Gadis itu sedikit terisak mencemaskan kondisi tubuhnya
yang sangat kotor saat itu. Benar saja cairan coklat kental itu kini sudah
mendominasi keseluruhan tubuh gadis yang nyaris terlihat seperti coklat matang.
“Aku akan
menolongmu, raih tanganku!” Amir mengulurkan kedua tangannya ke arah gadis
tersebut. Tanpa pikir panjang, gadis itu menyambut uluran tangan pemuda yang
baru dikenalnya itu. Dengan susah payah, ia berusaha naik dari lubang besar
tersebut dan memijak apapun yang dapat membuatnya segera keluar dari sana.
Tanpa membutuhkan waktu lama, gadis itu pun berhasil keluar dari kubangan
lumpur yang menjebaknya.
“Terima kasih ya.”
Ujar gadis itu lega, meskipun begitu ia masih mencemaskan seragam dan tubuhnya
yang sangat kotor.
“Kau tidak apa-apa
kan? Apa ada yang terluka?” Tanya Amir terlihat cemas.
“Tidak. Aku
baik-baik saja.” Jawab gadis itu sedikit tersenyum, berusaha menenangkan Amir
“Bagaimana kamu bisa
jatuh? Apa kamu pulang sendirian tadi?”
Gadis itu
menggeleng sedih. Bibirnya terlihat bergetar saat ia menceritakan segalanya
pada Amir.
“Tadi aku bersama
temanku saat pulang sekolah. Lalu saat melewati taman ini tanpa sengaja aku
tersandung dan terjatuh di dalam kubangan lumpur tersebut. Dan tanpa ada alasan
yang jelas teman-temanku malah pergi begitu saja saat kumintai pertolongan.”
Gadis itu
menghentikan ceritanya, tanpa terasa satu tetes air mata mengalir lembut di
pipinya. Amir ikut prihatin melihat kondisi teman yang baru dikenalnya itu,
apalagi saat mengetahui teman-teman yang mencampakkannya begitu saja, pasti
sakit.
“Bersihkan lumpur
di tubuhmu dengan ini!” Amir menyodorkan handuk miliknya kepada gadis itu.
“Eh, tidak usah,
nanti handukmu kotor.” Tolak gadis itu dengan segera.
“Tidak apa-apa.
Pakai saja!” Amir meletakkan handuknya di tangan gadis itu dengan paksa. “Oh ya,
namaku Amir, kamu siapa?”
“ Aku Lusi.” Gadis
yang diketahui bernama Lusi itu tersenyum menatap Amir sebelum ia memposisikan sikap
duduknya di atas rumput taman di sana. Sejenak dibersihkannya noda-noda lumpur
yang menempel di pakaiannya dengan handuk milik Amir.
“Lusi, ini
untukmu?” Tawar Amir tiba-tiba sembari menyodorkan sebuah apel merah yang
terlihat sangat segar.
“Eh? Apel?” Tidak
seperti reaksi penolakan sebelumnya saat Amir menawarkan handuk miliknya, Lusi terlihat
gembira mendapati apel pemberian dari Amir tersebut. Diusapnya air mata yang
sedari tadi menetes, hingga kemudian diraih apel tersebut dengan lembut.
“Kau suka apel, ya?”
Tanya Amir kepada Lusi yang terlihat memakan apel pemberiannya dengan lahap.
Lusi mengangguk pelan, setidaknya Amir sedikit lega saat ditemui wajah Lusi yang
telah berubah ceria tanpa buliran air mata lagi.
Tiin tinn tiin …
Tiba-tiba suara
klakson mobil terdengar dari kejauhan. Tanpa pikir panjang, Lusi yang menyadari
bahwa sumber suara itu berasal dari mobil ayahnya segera bangkit dari posisi
duduknya.
“Amir aku duluan
ya! Kita ketemu di sini lagi besok. Terima kasih. Daa!”
Belum sempat Lusi
mendengar ucapan selamat tinggal dari Amir, ia langsung menghamburkan diri
menuju mobil Ayahnya. Amir hanya bisa terdiam dan melambaikan tangannya ke arah
punggung lusi yang tidak menggubrisnya. Bahkan saking terburu-burunya, Amir
baru sadar bahwa handuk miliknya terbawa oleh Lusi. Amir menyunggingkan seulas
senyum siang itu. Pertemuan yang
mengesankan.
---
“Lusi, aku lihat kemarin kamu sedang berbincang-bincang dengan penjual buah keliling ya?” Salah satu teman bertanya kepada Lusi yang sedang duduk di bangku taman.
“Memangnya
kenapa?” Jawab Lusi ketus.
“Tidak apa-apa.
Aku hanya heran, kamu kan anak orang kaya, mau-maunya berteman dengan orang
miskin seperti itu.” Kini teman Lusi yang lain menimpali dengan sedikit
mengejek.
“Mengapa kalian
tiba-tiba peduli padaku? Bukannya kemarin kalian mengacuhkanku saat aku jatuh
di sana?” Jawab Lusi geram sembari menunjuk kubangan lumpur di depannya dengan
kasar.
“Emm, kalau soal
itu, kami …”
“Ahh, banyak
alasan, bilang saja kalian jijik melihatku, iya kan? Untuk apa harus
mementingkan rupa, status, bahkan harta? Semua itu bahkan tidak lebih baik dari
ketulusan dan kebaikan hati.” Potong Lusi dengan raut wajah kesal.
Mereka terdiam
cukup lama hingga kemudian pandangan Lusi menangkap sosok yang tak asing dari
kejauhan. Sosok yang sedari tadi ditunggunya.
“Amir!” Teriak
Lusi spontan sembari melambaikan tangannya kepada seseorang di seberang jalan
sana. Ia pun segera berlari menghampiri Amir, mengabaikan teman-teman yang
lebih dahulu menemaninya tadi.
“Lusi? Mengapa kau
ada di sini?” Ujar Amir sedikit keheranan saat mendapati Lusi menghampirinya
dengan penuh semangat.
“Memangnya tidak
boleh? Ini handukmu kemarin sudah aku cuci, maaf ya kalau tidak sebersih
sebelumnya.” Ujar Lusi memberikan handuknya kepada Amir.
“Oh, tidak usah
repot-repot. Oh iya, kamu mau apel lagi?” Tawar Amir penuh antusias
“Tidak, aku tidak
mau diberi lagi. Tapi aku ingin membelinya.”
“Loh? Tidak
apa-apa. Toh Cuma satu.”
“Aku tidak mau
hanya satu. Aku ingin membeli semua apel di gerobakmu itu.”
“Hah?” Amir
tersentak kaget saat mendengar kalimat yang diucapkan Lusi baru saja.
“Boleh kan?” Ujar
Lusi sumringah.
“Boleh-boleh. Aku
bungkusin dulu ya.”
Lusi menatap Amir yang
sedang sibuk membungkus beberapa apel untuknya. Ekspresi wajahnya jelas sekali
menggambarkan kepuasan dan kebahagiaan yang memuncak. Ia bahagia bisa menemui
sosok laki-laki tegar dan baik hati sepertinya. Amir cukup membuktikan kepada
dirinya, merubah paradigma pikiran sebelumnya yang menganggap bahwa harta dan
kekayaan adalah satu-satunya tolak ukutr dalam mengangkat citra seseorang. Namun
ia salah, bahkan ada faktor lain yang lebih mulia yang tidak dimiliki oleh
semua orang, yaitu keikhlasan dan ketulusan hati. Terimakasih Amir, terima
kasih telah datang bersamanya, bersama sebuah Apel penuh ketulusan.
TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar