Dreaming in حلالا way. . .

Halaman

Cari Blog Ini

Apa sih artinya?

Minggu, 22 Maret 2015

[Cerpen] Apel Ketulusan

Derek roda gerobak terdengar nyaring di sepanjang jalan menurun siang itu. Terlihat seorang anak remaja berusaha menahannya agar tak tergelincir ataupun terlepas dengan genggamannya yang cukup kuat. Sirat semangat jelas terpancar dari wajah anak itu, meski sirat itu tidak lebih besar dari kelelahan yang tergambar oleh keringat yang terus menerus menetes di pipinya. Sesekali ia berhenti dan mengusap wajah penuh keringat itu dengan handuk yang ia selempangkan di lehernya.
“Buah, buah.”
Begitu teriaknya, di setiap derap langkah kecil sepanjang perjalanan. Namanya Amir, dia memang penjual buah yang masih muda, bukan dari keluarga yang kaya ataupun berada, bahkan dia harus mengorbankan masa sekolahnya untuk berjualan demi menambah pundi-pundi rupiah di tabungan keluarganya. Walau begitu, semangat dan kerja kerasnya terbukti melebihi anak lainnya.
 “Aaa… Siaal!”
Tiba-tiba Terdengar  teriakan yang cukup keras dari seberang jalan tempat Amir berdiri. Suara itu sukses membuatnya terlonjak kaget. Iapun mengalihkan pandangannya mencari sumber suara tersebut. Betapa terkejutnya ia saat ditemui seorang gadis seumurannya jatuh tercebur di kubangan penuh lumpur di sekitar taman kota. Amirpun lekas memutarbalik gerobak dorongnya menghampiri gadis tersebut. Sepertinya kubangan itu terlalu dalam hingga membuat gadis itu tak mampu keluar seorang diri.
“Kamu tidak apa-apa?” Ujar Amir sedikit cemas
“Aku tidak bisa keluar dari sini.” Jawab Gadis itu sedikit terisak mencemaskan kondisi tubuhnya yang sangat kotor saat itu. Benar saja cairan coklat kental itu kini sudah mendominasi keseluruhan tubuh gadis yang nyaris terlihat seperti coklat matang.
“Aku akan menolongmu, raih tanganku!” Amir mengulurkan kedua tangannya ke arah gadis tersebut. Tanpa pikir panjang, gadis itu menyambut uluran tangan pemuda yang baru dikenalnya itu. Dengan susah payah, ia berusaha naik dari lubang besar tersebut dan memijak apapun yang dapat membuatnya segera keluar dari sana. Tanpa membutuhkan waktu lama, gadis itu pun berhasil keluar dari kubangan lumpur yang menjebaknya.
“Terima kasih ya.” Ujar gadis itu lega, meskipun begitu ia masih mencemaskan seragam dan tubuhnya yang sangat kotor.
“Kau tidak apa-apa kan? Apa ada yang terluka?” Tanya Amir terlihat cemas.
“Tidak. Aku baik-baik saja.” Jawab gadis itu sedikit tersenyum, berusaha menenangkan Amir
“Bagaimana kamu bisa jatuh? Apa kamu pulang sendirian tadi?”
Gadis itu menggeleng sedih. Bibirnya terlihat bergetar saat ia menceritakan segalanya pada Amir.
“Tadi aku bersama temanku saat pulang sekolah. Lalu saat melewati taman ini tanpa sengaja aku tersandung dan terjatuh di dalam kubangan lumpur tersebut. Dan tanpa ada alasan yang jelas teman-temanku malah pergi begitu saja saat kumintai pertolongan.”
Gadis itu menghentikan ceritanya, tanpa terasa satu tetes air mata mengalir lembut di pipinya. Amir ikut prihatin melihat kondisi teman yang baru dikenalnya itu, apalagi saat mengetahui teman-teman yang mencampakkannya begitu saja, pasti sakit.  
“Bersihkan lumpur di tubuhmu dengan ini!” Amir menyodorkan handuk miliknya kepada gadis itu.
“Eh, tidak usah, nanti handukmu kotor.” Tolak gadis itu dengan segera.
“Tidak apa-apa. Pakai saja!” Amir meletakkan handuknya di tangan gadis itu dengan paksa. “Oh ya, namaku Amir, kamu siapa?”
“ Aku Lusi.” Gadis yang diketahui bernama Lusi itu tersenyum menatap Amir sebelum ia memposisikan sikap duduknya di atas rumput taman di sana. Sejenak dibersihkannya noda-noda lumpur yang menempel di pakaiannya dengan handuk milik Amir.
“Lusi, ini untukmu?” Tawar Amir tiba-tiba sembari menyodorkan sebuah apel merah yang terlihat sangat segar.
“Eh? Apel?” Tidak seperti reaksi penolakan sebelumnya saat Amir menawarkan handuk miliknya, Lusi terlihat gembira mendapati apel pemberian dari Amir tersebut. Diusapnya air mata yang sedari tadi menetes, hingga kemudian diraih apel tersebut dengan lembut.
“Kau suka apel, ya?” Tanya Amir kepada Lusi yang terlihat memakan apel pemberiannya dengan lahap. Lusi mengangguk pelan, setidaknya Amir sedikit lega saat ditemui wajah Lusi yang telah berubah ceria tanpa buliran air mata lagi.
Tiin tinn tiin …
Tiba-tiba suara klakson mobil terdengar dari kejauhan. Tanpa pikir panjang, Lusi yang menyadari bahwa sumber suara itu berasal dari mobil ayahnya segera bangkit dari posisi duduknya.
“Amir aku duluan ya! Kita ketemu di sini lagi besok. Terima kasih. Daa!”
Belum sempat Lusi mendengar ucapan selamat tinggal dari Amir, ia langsung menghamburkan diri menuju mobil Ayahnya. Amir hanya bisa terdiam dan melambaikan tangannya ke arah punggung lusi yang tidak menggubrisnya. Bahkan saking terburu-burunya, Amir baru sadar bahwa handuk miliknya terbawa oleh Lusi. Amir menyunggingkan seulas senyum siang itu. Pertemuan yang mengesankan.
---

“Lusi, aku lihat kemarin kamu sedang berbincang-bincang dengan penjual buah keliling ya?” Salah satu teman bertanya kepada Lusi yang sedang duduk di bangku taman.
“Memangnya kenapa?” Jawab Lusi ketus.
“Tidak apa-apa. Aku hanya heran, kamu kan anak orang kaya, mau-maunya berteman dengan orang miskin seperti itu.” Kini teman Lusi yang lain menimpali dengan sedikit mengejek.
“Mengapa kalian tiba-tiba peduli padaku? Bukannya kemarin kalian mengacuhkanku saat aku jatuh di sana?” Jawab Lusi geram sembari menunjuk kubangan lumpur di depannya dengan kasar.
“Emm, kalau soal itu, kami …”
“Ahh, banyak alasan, bilang saja kalian jijik melihatku, iya kan? Untuk apa harus mementingkan rupa, status, bahkan harta? Semua itu bahkan tidak lebih baik dari ketulusan dan kebaikan hati.” Potong Lusi dengan raut wajah kesal.
Mereka terdiam cukup lama hingga kemudian pandangan Lusi menangkap sosok yang tak asing dari kejauhan. Sosok yang sedari tadi ditunggunya.
“Amir!” Teriak Lusi spontan sembari melambaikan tangannya kepada seseorang di seberang jalan sana. Ia pun segera berlari menghampiri Amir, mengabaikan teman-teman yang lebih dahulu menemaninya tadi.
“Lusi? Mengapa kau ada di sini?” Ujar Amir sedikit keheranan saat mendapati Lusi menghampirinya dengan penuh semangat.
“Memangnya tidak boleh? Ini handukmu kemarin sudah aku cuci, maaf ya kalau tidak sebersih sebelumnya.” Ujar Lusi memberikan handuknya kepada Amir.
“Oh, tidak usah repot-repot. Oh iya, kamu mau apel lagi?” Tawar Amir penuh antusias
“Tidak, aku tidak mau diberi lagi. Tapi aku ingin membelinya.”
“Loh? Tidak apa-apa. Toh Cuma satu.”
“Aku tidak mau hanya satu. Aku ingin membeli semua apel di gerobakmu itu.”
“Hah?” Amir tersentak kaget saat mendengar kalimat yang diucapkan Lusi baru saja.
“Boleh kan?” Ujar Lusi sumringah.
“Boleh-boleh. Aku bungkusin dulu ya.”
Lusi menatap Amir yang sedang sibuk membungkus beberapa apel untuknya. Ekspresi wajahnya jelas sekali menggambarkan kepuasan dan kebahagiaan yang memuncak. Ia bahagia bisa menemui sosok laki-laki tegar dan baik hati sepertinya. Amir cukup membuktikan kepada dirinya, merubah paradigma pikiran sebelumnya yang menganggap bahwa harta dan kekayaan adalah satu-satunya tolak ukutr dalam mengangkat citra seseorang. Namun ia salah, bahkan ada faktor lain yang lebih mulia yang tidak dimiliki oleh semua orang, yaitu keikhlasan dan ketulusan hati. Terimakasih Amir, terima kasih telah datang bersamanya, bersama sebuah Apel penuh ketulusan.
TAMAT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar