“Aaa, Hujaan!”
Seorang gadis remaja terlihat berteriak
kegirangan saat didapatinya satu per satu rintik air langit itu jatuh di bumi,
rintiknya yang bergantian terdengar berirama, indah sekali. Begitulah yang
dipikirkan Rani, nama gadis itu, gadis penyuka hujan.
“Rani, Kau ini terlalu berlebihan. Ini
hanya hujan.” Sosok gadis lain terlihat merespon tingkah Rani yang berubah
drastis semenjak buliran-buliran bening yang ia sebut air langit keberuntungan
itu datang.
“Yeni, Ini tidak seperti yang kau
bayangkan. Lihatlah betapa indah dan syahdunya suasana di sini semenjak hujan
datang. Rasakan Yeni!”
Rani semakin menjadi saat di jumpainya
buliran itu turun semakin deras. Dipejamkan mata birunya itu kemudian ditarik
napasnya perlahan bersamaan dengan sunggingan senyum yang terulas manis di
wajahnya, berusaha merasakan aroma hujan yang begitu dirindukannya. Yeni yang
melihat reaksi teman sebangkunya tersebut hanya dapat menggeleng keheranan
sebelum ia kembali berkutat dengan beberapa soal integral di depannya. Dia
memang sudah hafal setiap gerak gerik sahabatnya itu, termasuk antusiasnya
ketika hujan datang.
“Yeni. Ayo kita hujan-hujan.”
“Eh?” Tawaran Rani baru saja
mengaggetkan dirinya, Ia tidak menyangka sahabat satu-satunya itu terlihat
begitu gembira hanya karena rintik hujan, “Ahh, tidak. Kamu tidak tahu, kita
sedang mengerjakan tugas untuk besok? Lihatllah soalnya begitu rumit, lebih
baik kau membantuku saja Yeni. Kau kan jago matematika.”
Penolakan Yeni membuat teman bicaranya
itu memajukan bibirnya beberapa senti. Ekspresinya berubah kesal saat mendengar
respon negatif dari Yeni. Melihat sahabatnya yang kehilangan semangat secara
tiba-tiba, Yeni menjadi merasa bersalah. Iapun berusaha mendekati dan
membujuknya untuk tersenyum kembali.
“Rani. Coba kamu pikirkan kembali,
kita sudah SMP dan sedang berada di lingkungan sekolah. Kamu nggak malu di cap
seperti anak kecil saat teman-teman melihatmu hujan-hujan.” Ujar Yeni sedikit
berbisik.
Yeni terdiam, raut wajahnya berubah
datar, sepertinya dia sedang menimbang-nimbang kembali saran dari temannya baru
saja. Hingga kemudian ia berucap,
“Aah, padahal aku begitu ingin, sudah
lama sekali aku tidak berbaur dengan hujan. Yah, mungkin harus kutunda dulu
untuk mengajari temanku satu ini.”
Jawaban Rani membuat Yeni sumringah,
meski ia tahu Rani sangat terpaksa memutuskan hal itu, tapi bukankah itu lebih
baik, ketimbang melihat seisi sekolah memandangi seorang siswi SMP bermain
hujan-hujanan bak anak kecil. Tidak perlu dibayangkan. Yeni segera mengambil
buku yang tergeletak tidak jauh dari posisinya saat itu dan segera menunjukkan
beberapa soal yang ia anggap sulit kepada Reni.
“Mengapa sih kamu suka sekali kepada
Hujan?” Tanya Yeni tiba-tiba, di tengah kesibukan Rani mengerjakan soal-soalnya saat itu.
Rani menghentikan aktivitas
menulisnya, Ia tersenyum, tatapanya berubah teduh saat didongakkan wajahnya
memandang rintik hujan yang turun berirama tepat di hadapannya.
“Hujan itu mengaggumkan. Aku bersyukur
atas karunia Tuhan yang satu ini. Amati setiap rintik yang jatuh itu! Bukankah
Tuhan memberikan banyak berkah melalui hujan? Ia dapat menentramkan suasana,
menyuburkan tumbuhan yang layu, menyegarkan udara dari kepenatan atau polusi,
dan masih banyak lagi. Pokoknya semua orang pasti suka hujan.”
“Kecuali aku.”
Suara sumbang yang tidak diharapkan
itu tiba-tiba membuyarkan suasana syahdu yang menyelimuti raga Rani sebelumnya.
Rupanya mndadak muram saat mendengar kalimat yang mengalir di telinganya,
sepertinya ia tidak suka. Ia menolehkan wajahnya mencari sumber suara
pengganggu itu. Kekecewaannya memuncak saat didapati seorang laki-laki, yang
tak lain adalah teman sekelas Rani pula sedang menyilangkan kedua tangannya
dengan ekspresi benci, benar-benar jauh dari kata menyenangkan. Cahaya empat
bola mata penuh kebencian itu saling bertatapan untuk sesaat.
“Kenapa? Kamu tidak suka mendengarnya?
Kamu tidak suka jika aku mengatakan aku benci hujan?”Laki-laki di hadapan Rani
menimpali dengan ekspresi kesal, cukup membuat Rani ingin menampar wajahnya
saat itu. Sebelumnya, Rani memang tak pernah menjumpai seorangpun yang
menyatakan kebenciannya terhadap hujan hingga sebenci itu. Pendapat mereka
pasti sama terhadap Rani, hujan adalah anugerah, tapi ada apa dengan anak ini.
“Kau yakin dengan kalimatmu baru saja?
Memangnya kau bisa hidup tanpa anugerah Tuhan berupa hujan?” Tanya Rani
berusaha melawan.
“Yakin, bahkan sangat yakin! Hujan itu
kejam!”
Kalimat singkat anak itu cukup membuat
tangannya mengepal semakin keras hingga ia pun ingin benar – benar menampar
wajah tirusnya tadi. Namun sepertinya Rani harus memendam jauh-jauh keinginan
buruknya itu, saat anak laki-laki itu kemudian beranjak pergi meninggalkan
mereka.
“Ada apa sih dengan Ruki?” Tanya Yeni
tiba-tiba. Tak ada jawaban dari Rani, ekspresi geramnya masih terpeta jelas di
wajahnya. Kepalan kedua tangannya yang semakin keras memaksa Yeni bergerak
mundur menjauhinya.
“Akan ku
buat dia menyukai hujan.”
-[]-[]-[]-
“Yee, akhirnya kita pulang.”
Sorak sorai seisi kelas terdengar riuh
menandakan kebahagiaan mereka menyambut jam pulang. Begitupun dengan Rani dan
Yeni, sepertinya suasana hati mereka sudah cukup stabil pasca kejadian
menegangkan kemarin, ekspresi ceria dari Renilah yang menandakannya.
“Yeni, tunggu sebentar. Aku ingin
memberikan kabar gembira untukmu.” Ujar Rani menahan tangan Yeni yang
sebelumnya sudah berdiri berniat meninggalkan kelas.
“Ada apa?” Tanya Yeni penasaran
sembari memposisikan sikap duduknya kembali.
“Ssst.. jangan sampai ada yang tahu,
tunggu kelas sepi dulu ya.” Ujar Rani tersenyum lebar.
Rani pun hanya bisa menyetujui
permintaan sahabatnya tersebut walaupun sebenarnya ia ingin sekali segera
pulang karena awan mendung penanda turun hujan sudah terlihat sejak tadi.
“Udah sepi nih. Ada apa?”
Rani mengeluarkan sebuah barang
berbentuk batangan bulat berbungkus kain berwarna merah dari tasnya.
“Hah? Payung? Lalu apa kabar baiknya?”
Tanya Yeni masih belum mengerti.
“Ini payung milik Ruki.” Jawab Reni
sembari berbisik ke telinga Yeni,
“Hah? Mengapa kau ambil?” Refleks
Yaniberteriak cukup keras kepada Reni, membuatnya terlonjak kaget.
“Ssst, jangan keras-keras!” Ujar Reni
lalu menutup mulut Yeni untuk mengecilkan volume suara sahabatnya itu. “Aku kan
sudah bilang,aku ingin membuatnya menyukai hujan.” Sambung Reni tersenyum,
membuat Yani terkaget-kaget untuk kesekian kalinya.
“Bagaimana bisa?” Reni tidak menjawab
pertanyaan terakhir Yani.
Wajahnya mendadak sumringah saat
didengarnya rintik hujan mengetuk atap kelas secara bergantian. Ia menggandeng
tangan sahabatnya tersebut dan menariknya keluar. Benar saja, hujan sudah mulai
turun sangat deras. Berkebalikan dengan Reni yang terlihat semakin bahagia
menyambut hujan, Yani terlihat sedih saat keinginannya untuk pulang lebih cepat
terhenti oleh hujan yang pasti akan membuatnya basah kuyup jika ia tetap
bersikukuh untuk pulang.
Dari kejauhan terlihat Ruki sedang
berdiri di depan aula sekolah, sepertinya ia terlihat sibuk menggeledah tasnya
berulang kali, seperti mencari sesuatu tetapi ia tak kunjung menemukannya.
Kepanikan mulai melingkupi raut muka tirus itu, sesuatu itu sepertinya sangat
penting untuknya. Reni yang melihat keberadaan Ruki pun hanya terkikik kecil
dari kejauhan saat melihat ekspresi Ruki yang pasti sedang mencari payung
miliknya.
“Lihat si Ruki? Sepertinya ia akan
basah kuyup hari ini.” Ujar Reni senang berhasil mengerjai Ruki
“Kau tidak kasihan ya? Dia kan ada
kursus hari ini, sepertinya ia akan terlambat jika tidak segera
berangkat.” Ujar Yeni dengan tampang
memelasnya, sepertinya Ia menaruh rasa kasihan yang sangat tinggi kepada Ruki
saat itu.
“Mari kita lihat! Berapa lama ia akan
bertahan?” Reni menimpali lagi, antusiasnya menjadi-jadi saat ditemui kepanikan
Ruki yang bertambah dua kali lipat, dan di luar dugaan, Ruki memaksakan dirinya
menerjang hujan deras siang itu tanpa pelindung apapun. Yeni terlihat cemas
melihat kondisinya saat itu, rasanya ia ingin sekali menarik tangan Ruki dan
melindunginya dari hujan, tapi ia tidak bisa. Tak butuh waktu lama, hujan sudah
membuat seragam dan raganya basah kuyup. Bukankah itu sangat buruk untuk
kesehatannya? Apalagi bagi hati dan perasaannya yang menyatakan
ketidaksukaannya hujan.
-[]-[]-[]-
“Reni, Hari ini Ruki tidak masuk.
Bagaimana kalau dia sakit?” Tanya Yani tiba-tiba dengan raut wajah yang
dipenuhi kecemasan.
Benar saja. Hari ini Ruki tidak masuk,
sepanjang jam pelajaran, Yani terus menerus dirundung rasa bersalah. Meskipun
sepenuhnya bukan Yani yang bersalah karena bukan dia pemicu pencurian payung
itu, tapi apapun alasannya Yani juga sudah terlibat di dalamnya dan menyetujui
rencana buruk itu.
“Aku juga tidak tahu.”
Meskipun Reni terlihat sedikit cuek
mendengar keadaan Ruki, tetap saja gurat-gurat kecemasan di wajahnya tidak
dapat disembunyikan. Selama ini Reni bukanlah
tipe orang yang lari dari kesalahan bahkan menjadi pemicu kesalahan. Ia
adalah orang yang baik. Tapi kebaikannya mulai luntur semenjak kejadian sepele
akhir-akhir ini, hanya karena ada orang yang membenci hujan.
“Ayo, kita jenguk dan minta maaf
kepadanya Reni. Jangan sampai hanya dia berbeda pendapat denganmu tentang hujan
membuat jarak di antara kalian berdua. Bukankah sebelumnya kalian teman yang
akur? Biarkan dia benci, dan biarkan dirimu tetap menyukai hujan. Toh sebenci apapun
dia terhadap hujan, tidak akan bisa menghentikan rintiknya bukan?”
Reni merenung sejenak, mencerna satu
per satu kata yang merangkai ucapan Yani baru saja. Kalimat penjelasan dari
Yani cukup menyadarkan Reni bahwa ia harus menerima semua tanggapan yang
berbeda dari orang lain. Ya, Yani benar, ia tak seharusnya memaksakan Ruki
untuk menyukai hujan sama sepertinya. Akhirnya meskipun agak sedikit terpaksa
Reni menyetujui ajakan Yeni.
Sepulang sekolah, mereka pun menunda
kepulangan masing-masing demi menjenguk Ruki dan mencari tahu alasan yang
menyebabkannya tidak masuk sekolah hari ini. Tak butuh waktu lama untuk
menyambangi rumah Ruki, karena jarak rumah anak itu memang tidak terlalu jauh
dari sekolah. Suasana Rumah Ruki terlihat sepi, Yani mengetuk pintu kayu rumah
tersebut. Tak ada jawaban, diketuknya kembali untuk memastikan keberadaan
penghuninya. Hingga akhirnya ganggang pintu di depan mereka bergerak menandakan
akan terbuka dan benar saja, terlihat wanita paruh baya tersenyum ramah
menyambut mereka.
“Ibu, Kami teman sekelas Ruki, Hari
ini Ruki tidak masuk, jadi kami menjenguknya.” Ujar Yani memulai pembicaraan.
“Oh begitu, mari masuk.” Sambut Ibu
tadi mempersilakan masuk disusul langkah mereka yang mengikutinya dari belakang.
Setelah dipersilakan duduk pula, Ibu Ruki mulai mengawali pembicaraan.
“Ruki jatuh sakit semenjak kemarin
malam, mungkin karena kehujanan. Ibu sangat panic melihatnya basah kuyup dan
menggigil secara berlebihan. Semenjak ia mengidap phobia terhadap hujan, dia
jarang sekali kehujanan bahkan tidak pernah.” Jelas Ibu dengan nada lembut.
Hah? Phobia? Mereka memandang satu
sama lain, kalimat penjelasan Ibu cukup membuat mereka berdua terkejut kembali.
Satu per satu pikiran buruk menyambangi otak Reni, ia tidak menyangka akan jadi seperti ini, Ruki mengidap phobia
kepada hujan, dan karena paksaannya Ruki menjadi sakit. Hal itu cukup membuat
penyesalan Reni muncul kembali, ditundukkan wajahnya dalam-dalam berusaha
menutupi penyesalan atas sikapnya kemarin.
“Sekarang Ruki di mana bu?” Tanya Yani
kemudian
“Oh dia ada di kamar. Sepertinya
kondisinya sudah cukup membaik hanya butuh istirahat saja, silahkan kalau ingin
menjenguk.” Ujar Ibu sembari menunjukkan kamar Ruki kepada kami.
Setelah Ibu mengetuk pintu dan
terdengar suara lemah Ruki yang mempersilakan masuk, akhirnya mereka bertiga
pun masuk. Kedatangan mereka cukup membuat Ruki kaget, apalagi saat melihat
Reni yang masih ragu-ragu untuk mendongakkan wajahnya. Ia masih sibuk dengan
pikirannya sendiri, pikiran dan rasa bersalahnya kepada Ruki. Berat sekali
baginya untuk bertemu Ruki karena keadaan mereka yang belum membaik semenjak
kejadian itu.
“Ibu tinggal dulu ya.” Ijin Ibu
sebelum beliau pergi meninggalkan mereka berdua di kamar Ruki.
Mereka terdiam di tempat, tak ada gerak
lanjutan yang dilakukan sejak Ibu meninggalkan mereka di kamar Ruki. Mereka
tetap saja memandang Ruki yang masih tergeletak di atas ranjang kecilnya itu
tanpa keberanian untuk mendekatinya. Rasa bersalah yang teramatlah yang menjadi
alasan mereka saat itu.
“Emm,
Ada yang ingin kalian sampaikan?” Pertanyaan Ruki baru saja membuyarkan
lamunan-lamuna semu mereka, hingga akhirnya dibernaikan langkah mereka unutk
mendekati Ruki meski sedikit terpaksa. Merekapun duduk tepat di samping ranjang
Ruki, diikuti gerakan Ruki yang bangkit untuk menyandarkan punggungnya di depan
tembok.
“Ruki,
Bagaimana keadaanmu?”Tanya Yani tergagap-gagap memberanikan diri untuk
berbicara.
“Oh,
Aku sudah mendingan.” Jawabnya pelan
“Ruki,
aku ingin minta maaf soal kejadian itu.” Akhirnya Reni pun memberanikan diri
untuk berucap.
Ruki
menatap sendu wajah Reni yang masih tidak terlihat karena ia masikh konsisten
menundukkan wajahnya berusaha menyembunyikan segala perasaan bersalahnya kepada
Ruki.
“Tidak
apa-apa. Aku malah berterima kasih kepadamu. Terima kasih telah memaksaku
kehujanan, Semenjak kau mengambil payungku, Aku jadi memberanikan diri untuk
menghadapi fobiaku terhadap hujan. Itu berguna sekali.” Pernyataan Ruki sontak
mengaggetkan Reni. Untuk pertama kalinya didongakkan wajah Reni dan ditatapnya
teman laki-lakinya itu. Ia tidak menyangka ruki mengetahui niat buruk darinya
saat mencuri payung milik Ruki.
“Kau
sudah tahu Ruki?” Ujar Reni dengan mulut sedikit bergetar. Rasanya ia malu
sekali berjumpa dengan ruki saat itu apalagi menatapnya.
“Aku
mengetahui dirimu yang mengambil payungku saat seisi kelas sedang berolahraga.
Saat itu aku ingin mengambil minum di kelas, tapi ku urungkan niatku seketika,
karena aku tidak ingin menggagalkan rencanamu itu.” Jawab Ruki dengan sedikit
bercanda. Candaan yang sama sekali tidak membuat hati Reni terhibur tapi malah
semakin mempermalukannya.
“Taukah
kalian mengapa aku begitu membenci hujan sebelumnya?” Tanya Ruki, tiba-tiba
wajahnya berubah serius melenyapkan candaan yang ia buat baru saja. Mereka
menggeleng pelan.
“Hujan
sudah merenggut seseorang yang sangat berarti untukku, Ayahku.” Mereka terdiam
sesaat, masih belum bisa menangkap maksud penjelasan Ruki baru saja, hingga
iapun melanjutkan pembicaraannya, “Saat itu hujan turun begitu deras bahkan
sangat deras, hujan turun berhari-hari hingga mampu memecah bendungan di
desaku. Pada saat yang sama pula, aku sedang berada di dalam rumah. Kami begitu
panik, tapi Ayahku segera membawa aku dan Ibu ke dalam mobil yang jauh-jauh
hari sebelum bencana itu disiapkan oleh tetangga kami, kami memang sudah
menduga bendungan itu tidak akan kuat menahan derasnya air. Tapi, Tetangga kami
begitu terburu-buru unutuk segera menyelamatkan jiwa raga kami, hingga ia pun
tak menggubris Ayah yang tiba-tiba berbalik arah menuju rumah untuk membawa
beberapa dokumen penting. Namun sayang, Air bah itu muncul lebih cepat
dibanding langkah ayah untuk menyelamatkan diri. Dan akhirnya..” Ruki
menghentikan penjelasannya, ia tmengusap air mata yang sudah mengalir di
pipinya, rasanya sakit sekali saat ia harus mengingat kembali kenangan buruk
yang mati-matian ingin sekali dihilangkannya.
Sebelum
akhirnya keheningan benar-benar menyelimuti suasana siang itu. Tak ada kata
yang terucap, Reni begitu terkejut saat mendapati alasan dibalik kebencian Ruki
terhadap Hujan. Ia semakin menyalahkan dirinya sendiri . Mengapa ia begitu
bodoh saat itu? Tega-teganya ia menghakimi Ruki tanpa alasan yang logis.
Bagaimana bisa Reni memaksanya untuk menyukai hujan yang telah memberi kenangan
buruk baginya?
“Ruki, aku minta maaf. ” Reni meraih
tangan Ruki dan mengenggamnya erat. Ia benar-benar menyesal saat itu.
“Tidak apa-apa. Ini bukan salahmu, Aku
mengambil banyak hikmah dari kejadian ini. Setidaknya aku sedikit mulai
menerima semua takdir ini, takdir bahwa Tuhanlah yang merencanakan semua ini,
termasuk kematian Ayah. Aku juga sadar bahwa hujan adalah anugerah sama seperti
yang kau katakan, dan Aku menarik kata-kataku dulu, Aku pun pasti tak bisa
hidup tanpa hujan. Karena yang membuat bencana adalah kesalahan manusia, dan
takdir Tuhan itu pastilah yang paling baik. Sepertinya kau sudah hampir
mencapai tujuanmu, Reni.”
“Hah?” Reni menangkap cahaya mata dari
Ruki yang sedang tersenyum menatapnya pula.
“Sepertinya aku mulai menyukai hujan
sama sepertimu, Reni.”
Reni tertergun mendengarnya, tak ada
kata yang terucap untuk merespon pernyataan yang berhasil membuatnya termangu
cukup lama. Ia tidak tahu pasti apa yang sedang dirasakannya saat itu,
kebahagiaan atau kesedihan? Sepertinya dia terjebak pada tempat yang sama.
Sekuat tenaga, ditahannya air mata yang sudah berkumpul di pelupuknya.
Ditundukkan wajahnya untuk kesekian
kalinya, Ia mengucapkan beribu-ribu maaf
kepada Ruki, Reni sadar ia tidak bisa memaksa semua orang untuk menyukai
hujan sama sepertinya. Tapi ia juga sadar, mereka yang membenci hujan pasti
akan menyukainya seiring berjalannya waktu, seperti Ruki. Ya karena hujan
adalah anugerah dan hal itu tidak dapat dipungkiri.
-End-
Comments and Cirtics are LOVED :D
Tidak ada komentar:
Posting Komentar