Dreaming in حلالا way. . .

Halaman

Cari Blog Ini

Apa sih artinya?

Sabtu, 23 Mei 2015

[Cerpen] Wo Ai Ni ALLAH



Suara bacaan Al quran itu kembali kudengar, entah mengapa aku sangat menyukainya. Aku pun bertanya-tanya, sebagai keturunan atheis, aku tidak diperkenalkan dengan adanya Tuhan dalam keluargaku. Namun, mengapa aku sangat nyaman mendengar lantunan Alquran tersebut?
“Hui Lan, maaf telah membuatmu menunggu.”Aku menengokkan wajahku ke belakang tepat ketika sahabatku itu mendekatiku.
 “Tidak, kok!” Jawabku tenang
“Oke. Makasih ya, sudah menemaniku sholat.”Ujarnya tersenyum
 “Nanti aku ajak ke toko buku mau tidak?”
“Boleh.” Jawab Cindy dengan ekspresi ceria seperti biasanya. Yang membuatku kagum adalah ketekunannya untuk selalu membaca kitab Alquran di setiap kesempatan. Aku tidak merasa terganggu, malah membuatku semakin ingin mendekatinya. Entah mengapa hati ini selalu luluh saaat bacaan-bacaan itu mengalir indah di telingaku. Mungkinkah?
Sesuai ajakanku tadi, aku dan Cindy langsung bergegas menuju toko buku terdekat sepulang kuliah. Pandanganku langsung menangkap satu persatu buku yang berjajar rapi di rak buku. Begitu pun dengan cindy yang masih sibuk mengamati novel-novel terbaru di sudut ruangan yang lain.
“Mengapa susah sekali mencari buku Psikologi Lingkungan di sini?”Ujarku sedikit berdehem.
Aku sudah hampir menyerah dan pergi dari sana sebelum kutemui buku yang tiba-tiba menarik perhatianku, sebuah buku yang tak ada hubungannya dengan Psikologi Lingkungan. Aku menariknya pelan. Buku bercover gadis bercadar dengan lampion-lampion khas  Cina itu membuatku ingin sekali mengetahui isi di dalamnya. Aku tahu, buku ini sediki mengandung unsur Islam. Namun, yang membuatkku penasaran adalah mengapa ada lampion di sekelilingnya? Apakah ada orang cina sepertiku yang berperan di dalamnya?
####
Kurebahkan tubuhku di atas kasur milikku dan mulai membuka buku yang kubeli baru saja. Mataku berputar-putar seiring deretan kalimat yang berjajar rapi di sana, berusaha mencerna satu per satu kalimat tersebut.
Deg Deg Deg...
“Hui Lan? Ayo kemari. Ayo mengaji!”
“Cindy mengapa kau di sana?” Ya, aku melihatnya, seorang Cindy dengan balutan kerudung warna putih terlihat anggun dan bersinar. “Ayoo.” Ajaknya lagi sembari melambaikan tangan ke arahku. Perlahan sosoknya pergi menjauh. Aku mencoba mengejarnya, namun ruangan ini seakan menghalangiku, muncul sinar yang semakin menyilaukan hingga membuatku tak bisa membuka mata dengan sempurna.
“Aaargh. Cindy” Aku terhenyak, berusaha mengatur kesadaran dan segera memeriksa sekelilingku. Tidak ada yang berubah.
“Ahh, ternyata hanya mimpi.” Aku berusaha mengatur napasku yang masih terengah setelah mendapati mimpi aneh tersebut. Aku menatap buku bersampul merah di pangkuanku, ada pikiran yang mengganjal di otakku. Gadis Cina itu akhirnya memeluk Islam.
“Aaarggh..” Aku memegang erat kepalaku yang tiba-tiba terasa sakit. Satu per satu pikiran ganjil memenuhi otakku. Pikiran tentang agama dan keberadaan Tuhan yang semakin membujukku untuk mempercayainya. Apa yang harus kulakukan?
Tok... tok....
“Hui lan, Ini mama.” Seorang wanita paruh baya tiba-tiba memasuki kamarku. “Kamu kenapa?” ujarnya kembali sembari mendekati posisiku saat itu. Aku tak merespon kedatangan Ibu Pikiranku masih berkecamuk tentang mimpiku baru saja.
“Ibu? Apakah Tuhan itu ada?”
Wanita itu terpaku tak bergerak. Raut mukanya berubah tegang, jelas menggambarkan ketidak sukaan dengan kata-kataku baru saja.
“Mengapa engkau berbicara seperti itu? Ibu tidak suka!” Jawab Ibu sedikit membentak,
“Ibu, entah mengapa hati Hui Lan mengakui kalau Tuhan itu ada?” Aku terus merajuk kepada Ibu, berusaha meyakinkannya. “Hui Lan ingin mengakui bahwa dunia dan alam semesta ini adalah milik Tuhan. Hui Lan ingin masuk Islam, Ibu.”
Kemarahan Ibu memuncak. Rautan emosi memancar dari wajah berkerutnya tersebut.
“Kamu ingin membantah Ibu? Lepaskan kepercayaanmu atau pergi dari sini. Ibu tidak segan-segan mengusir anak pembangkang sepertimu.”
“Tapi, bu...”
Sebelum  kulanjutkan kalimatku, Ibu sudah menarik tanganku keras dan menyeretku keluar dari kamar. Aku tidak menyangka, emosi Ibu akan setinggi ini, tapi aku sudah memantapkan keyakinanku untuk memeluk Islam. Aku tidak dapat berbuat banyak, Ibu sudah terlanjur mengeluarkanku dari rumah dan mengusirku jauh-jauh. Aku terduduk tak berdaya, isakanku semakin keras saat kutemui fakta bahwa Ibu telah tega membuangku dari kehidupannya.
3 bulan kemudian,
Ku lantunkan dzikir berulang-ulang dengan khusyuknya. Satu per satu air mata mengalir seiring dzikirku yang terdengar lirih malam itu. Rasa syukur tak henti-hentinya kuucapkan kepada sang Khalik yang telah memberikan kesempatan dan pencerahan jalan untuk diri yang semula tesesat ini.
Kuhentikan dzikirku seketika saat kupandangi sebuah buku di hadapanku. Memoriku lantas memutar kilas balik dari dalamnya. Buku dengan jalan cerita yang sangat bermakna untuk hidupku sebelum semua ini terjadi. Buku tentang perjuangan seorang gadis Cina Atheis untuk mencari keberadaan Tuhan, hingga membuatku berada di jalan Islam seperti ini.  
 “Hui Lan?”
Suara dari luar itu membuyarkan lamunan masa laluku. Terlihat sinar wajah yang selalu tersenyum kepadaku, Cindy.
“Kamu tidak apa-apa? Mengapa mukamu terlihat sedih?”Ujarnya cemas setelah melihat leleran air mata yang belum sempat kuhapus.
“Aku teringat  ibuku. Aku sangat merindukannya.”Bibirku bergetar, berusaha menahan leleran air mata yang berdesakan ingin keluar.
 “Sudahlah, ini semua sudah takdir dari Allah.” Responnya sembari mengelus pundakku lembut.
“Cindy, terima kasih telah mengijinkanku untuk tinggal di rumahmu, terima kasih untuk segalanya.”
Dalam keheningan malam itu, ku peluk Cindy erat. Aku mengungkapkan perasaan sekaligus beribu-ribu terima kasihku kepadanya. Terima kasih telah menjadi Seseorang yang setia menemaniku hingga akhirnya kutemukan hidayah Allah bersamanya. Wo Ai Ni, Allah.

TAMAT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar