“Kamu yakin?” Ujar Laki-laki itu sembari memicingkan
alisnya. Keraguan dan kekhawatiran terus terulas di wajahnya ketika didapati keinginan
putri semata wayangnya itu.
Elvi sadar, keputusan ini pasti
sangatlah berat, mengingat umurnya yang sudah menginjak 22 tahun. Usia yang
selayaknya sudah menikah, namun ia memilih untuk mengabdi di daerah terpencil usai
menamatkan pendidikannya di bangku kuliah.
“Pikirkanlah kembali Elvi jangan
tergesa-gesa! Apakah kamu benar-benar mantap untuk mengajar di Papua selama 5
tahun? Papua itu berbeda dengan Jawa, sulit untuk beradaptasi di sana. Ibu
khawatir engkau tidak betah.”
Elvi menundukkan wajahnya. Pikirannya
berkecamuk. Sebuah keputusan yang sulit ketika ia dihadapkan antara keinginan
Ibunya atau pengabdian yang sudah ia nanti-nantikan sedari dulu. Ibu Elvi
adalah wanita yang sangat menjunjung adat Jawa. Sudah berulangkali beliau
menginginkan Elvi untuk menikah di usia muda seperti layaknya gadis-gadis Jawa
lainnya. Tetapi Elvi masih ingin melakukan hal lain, ia masih ingin menggenggam
harapan dan belajar mengabdi untuk menjadi lebih bermanfaat bagi orang lain.
Salah satunya dengan mengabdikan diri untuk mengajar anak-anak di Papua, apakah
keputusannya salah?
“Elvi harap Ibu merestui saya.”
Ya, keputusannya sudah bulat. Inilah
jalan hidup yang akan dia ambil, sebuah jalan yang dia harap dapat memberi
hikmah lebih bagi kehidupannya, sebuah jalan yang ia harap akan menuntunnya
menjadi manusia yang lebih bermanfaat bagi orang lain.
“Baiklah Ibu merestuimu Nak, jaga dirimu
baik-baik!” Ucap Ibu lembat sembari mendekap Elvi penuh ketulusan. Hatinya
trenyuh. Senyumnya seketika terkembang sembari dibalasnya pelukan Ibu. Terima kasih
Ibu.
****
Elvi menatap ke luar jendela pesawat terbang
tersebut. Terlintas sebentar ekspresi Ibu dan Bapak kemarin sebelum
keberangkatannya ke Papua hari ini. Begitu berat meninggalkan dua orang yang
begitu dicintainya dalam waktu lama. Namun, inilah jalan kehidupan yang telah
ia pilih.
Setelah 3 jam penerbangan, pesawat tersebut
lepas landas tepat di Bandara Sentani, Jayapura, Papua. Elvi tidak sendiri, ia
bersama 12 orang lain yang tergabung dalam program tahunan pemerintah. Program
ini bertujuan untuk mengirimkan guru-guru di pulau Jawa untuk mengabdi selama 5
tahun di Papua.
Mereka pun melanjutkan perjalanan
untuk mencapai sekolah yang berada di Distrik Kiwirok Kabupaten Jayapura. Baru di tengah perjalanan, mobil yang mereka
tumpangi berhenti. Pantas saja, medan yang mereka lalui tidak bisa dilewati
dengan kendaraan. Sekolah itu berada di area pegunungan dan sangat jauh untuk ditempuh.
Medan yang becek dan terjal memaksa mereka untuk berjalan kaki berpuluh-puluh
kilometer. Sebuah awal yang berat, hingga akhirnya kaki – kaki itu menapaki
sebuah sekolah dasar tempat pengabdian
mereka selama 5 tahun ke depan. Sebuah
tempat yang menjadi awal dari segalanya.
***
Hari ini Elvi dan rombongan menuju SD
Kiwirok. Ketika pertama kali bertemu, Elvi dapat melihat binar-binar mata
anak-anak yang sangat antusias menyambut mereka. Berbeda dengan SD di Jawa, jumlah
murid di sini tidak terlalu banyak, hanya sekitar 10 hingga 15 orang di setiap
kelasnya. Kebetulan Elvi dan Tomi, teman satu kelompoknya mendapat jatah
mengajar kelas 2 SD.
“Nara gerotelo?”
Sapaan Tomi dengan bahasa Papua tersebut langsung disambut
riuh oleh anak-anak. Semua menjawab baik,
membuat Elvi paham jika Tomi baru saja menanyakan kabar mereka.
Sekolah ini sangat unik, meski
bangunannya sederhana dan hanya terdiri dari beberapa ruang saja, tapi ketika
menengok ke luar, bentangan pegunungan nan hijau terpampang indah menyejukkan
mata. Fakta lain yang baru Elvi sadari, murid-murid di sini tidak memakai
sepatu dan membawa banyak bukuseperti anak-anak sekolah pada umumnya. Elvi
maklum bahwa medan yang terjal dan becek tidak memungkinkan untuk dilalui
dengan sepatu itu, begitu pun dengan harga buku yang terlampau mahal untuk
dibeli. Benar-benar rintangan yang berat.
Elvi mengajak mereka untuk belajar
bercerita. Sembari membentuk posisi duduk melingkar, Elvi menunjuk satu per
satu dari mereka bergiliran bercerita. Fakta lain yang mengejutkan Elvi adalah rata-rata
dari mereka berangkat ke sekolah pukul 3 dini hari hanya untuk datang ke
sekolah tepat waktu. Tak disangka mereka akan berjuang sekeras ini untuk
mengenyam pendidikan. Mereka benar-benar hebat, semangat merekalah yang meyakinkannya
untuk tetap tinggal dan menjalani pengabdian dengan penuh ketulusan.
“Oke adik-adik, karena waktu sudah
siang, pelajaran dicukupkan sampai saat ini dahulu, besok disambung lagi ya.”
Tampak raut-raut wajah kecewa anak-anak
saat mendapati pelajaran telah usai. Ketika Elvi dan Tomo akan kembali,
terlihat beberapa anak mengikuti mereka.
“Kakak, boleh kami ikut? Ingin main
bersama kakak-kakak.”
Elvi dan Tomo bertatapan penuh
keheranan, hingga akhirnya Tomo tersenyum menatap mereka. “Boleh, ayo ikut!”
Ujar Tomo ceria sembari menggandeng tangan-tangan mungil mereka, begitu pun
dengan Elvi.
Di tengah perjalanan pulang, Elvi
serombongan begitu pun dengan anak-anak tadi bercerita banyak hal. Hingga tanpa
sengaja, Elvi tersandung akar pohon yang membuatnya tersungkur ke tanah.
“Ah, kakiku!”
Erangnya berteriak kesakitan.
Beberapa teman datang mendekat dan menolong Elvi, sepertinya kaki Elvi terkilir,
Elvi pun harus dibantu berjalan oleh rekan-rekannya. Sesampainya di rumah, Elvi
beristirahat sejenak sembari mengurut-urut kakinya yang terluka. Rasanya sakit
sekali. Tiba-tiba anak-anak yang menemani Elvi tadi membawakannya sebuah mangkuk
berisi cairan hijau.
“Itu untuk apa?” Ujarnya penasaran,
“Ini untuk kaki kakak. Kami biasa
menggunakan ramuan ini untuk mengobati sendi yang terkilir.” Jelas mereka polos
Aku menatap cairan tersebut dengan
sedikit ragu. Namun melihat sikap tulus dan kepedulian anak-anak itu mendorongku
untuk mencoba ramuan tersebut. Kubiarkan mereka mengurut-urut kakiku dengan
ramuan tadi, lagi-lagi aku kagum dengan mereka. Anak – anak sekecil mereka
sudah pandai mengobati luka seperti ini, hebat sekali.
“Terima kasih ya! Ngomong-ngomong
kalian tidak dimarahi orang tua kalian jika pulang terlambat?” Tanya Elvi
tiba-tiba kepada empat murid di hadapannya.
“Tidak kok. Orang tua kami mengerti
jika sekolah kami jauh. Kami pun sering menginap di rumah ibu dan bapak guru.
Hari ini bolehkah kami menginap di sini?”
Elvi cukup terkejut mendengar hal
ini. Jika dipikir kembali perkataan mereka ada benarnya juga, jarak rumah yang
jauh menjadi faktor enggannya anak-anak Papua untuk bersekolah. Elvi pun
tersenyum kemudian mengangguk menyetujui permintaan mereka. Seketika saja mereka
bersorak penuh kegirangan.
Semenjak tinggal di Papua, Elvi
benar-benar harus menyesuaikan kebiasaan-kebiasaan yang begitu kontras dengan
Jawa, entah dari segi makanan hingga kehidupan beragama. Elvi harus membiasakan
diri dengan makanan ubi jalar dan sayur-sayuran setiap hari. Begitu pun dengan
mayoritas masyarakat yang beragama non muslim di sini, terkadang Elvi begitu merindukan
suara adzan yang menggema ketika memasuki waktu sholat.
***
Ibu
sakit nak
Kalimat singkat yang baru saja Elvi terima membuatnya mematung di tempat. Elvi
terdiam lama sekali, raut wajahnya mendadak cemas dan keringat dingin keluar begitu
saja. Tomi terkejut melihat ekspresi Elvi yang tiba-tiba berubah ini. Begitu
pun dengan anak-anak di depannya, mereka terlihat kebingungan mengetahui
ekspresi Elvi yang berubah panik pasca membuka handphone dan membaca pesan
singkat yang baru saja masuk.
Tanpa berkata apapun, Elvi segera
meninggalkan kelas dan berlari keluar. Pikirannya sudah tak tentu arah lagi,
hanya ada satu orang di pikirannya kala itu. Ibu yang amat dicintainya sakit sedangkan
dia tidak bisa menemaninya. Elvi terduduk di samping pohon yang terletak cukup
jauh dari kelas. Ia membuka handphone kembali kemudian menggoyang-goyangkan ke
atas, berusaha mendapatkan sinyal untuk mengirimkan sms balasan kepada
Ibu.
Rasanya begitu menyakitkan ketika mendapati
kabar tentang Ibu. Ingin rasanya segera pulang, namun tidak semudah itu. Jarak
Jawa dan Papua tidaklah dekat, apalagi ia tidak bisa melanggar ketentuan dari
program pengabdian yang diikutinya. Elvi menenggelamkan wajah pada kedua
lututnya, menyembunyikan tangisan yang mendadak ingin diluapkan.
“Kakak kenapa?”
Tiba-tiba suara kecil itu terdengar
begitu dekat. Elvi mendongakkan wajahnya dan ditemuilah murid-murid yang sedang
memandanginya dengan penuh kecemasan. Sesegera mungkin, dihapus air matanya itu.
“Tidak apa-apa. Kakak hanya
merindukan Ibu di rumah.” Ujarnya lemah.
“Kakak yang sabar ya. Mari berdoa untuk
kebahagiaan Ibu di rumah.”
Kata-kata penghiburan dari
anak-anak tadi justru semakin membuatnya menitikkan air mata lagi dan lagi.
Tiba-tiba anak-anak itu memeluknya bersamaan, menghibur Elvi tanpa lelah
kemudian menangis bersamanya. Mereka seolah ikut tenggelam dalam kesedihan Elvi.
Di saat yang bersamaan Elvi terharu melihat kepeduliaan mereka. Sebuah
kepeduliaan yang mampu menenangkan hatinya sejenak Sebuah kepeduliaan yang
justru membuatnya lebih kuat dan tabah menghadapi ujian ini. Anak-anak, kalianlah alasan untuk tetap
bertahan di sini, kalianlah alasan untuk lebih kuat menjalani kehidupan ini.
***
Tak terasa 1 tahun terlewati sudah di
desa Kiwirok ini. Alhamdulillah, Ibu sudah sembuh. Walaupun Elvi sempat
berputus asa pasca kambuhnya penyakit Ibu satu bulan yang lalu, namun berkat
hiburan dan semangat dari anak-anak, membuatnya tersadar bahwa ia tidak boleh larut
dalam kesedihan terus menerus.
Elvi mengambil banyak pelajaran
berharga di sini. Elvi belajar dari anak-anak yang tak pernah menyerah dalam
menempuh pendidikannya. Anak-anak yang rela berjalan kaki berpuluh-puluh
kilometer, menghadapi lelah dan penat yang tak sedikitpun mengggoyahkan
tekadnya untuk meraih cita-cita. Tentu saja ujian yang ia hadapi tak pernah bisa
menandingi rintangan mereka. Harusnya ia malu, jika Elvi berada di posisi
mereka mungkin ia sudah tidak mau sekolah.
Di sepertiga malam itu, Elvi
mengenang kembali bagian perjalanan yang akan terus berlanjut ini. Sebuah
perjalanan dengan berjuta harapan mengiringi pengabdian kecilnya itu. Dalam
kesunyian, ia berdoa “Untuk murid-muridku
tercinta, tetaplah menjadi cahaya bagi Papua, tetaplah menjadi cahaya harapan
bagi negeri ini. Kalianlah para penerus negeri, kalianlah sosok penuh semangat
yang tidak pernah tertandingi. Semoga gerbang kesuksesan menghantarkan kalian
menjadi insan-insan emas bangsa dan tumbuh menjadi cahaya harapan bagi
Indonesia di masa depan”.
TAMAT