Dreaming in حلالا way. . .

Halaman

Cari Blog Ini

Apa sih artinya?

Kamis, 23 Juli 2015

Belajar Rendah Hati


Bismillah..
Waktu tepat menunjukkan pukul 14.30, itu berarti sudah 2 jam lebih terjaga. Flashback ke belakang lagi, 2 jam yang lalu ngapain aja yaa?

Penyakit sekaligus kekurangan yang belum bisa diatasi dari sekarang, target-target berceceran, DL banyak yang kelewatan. Yah, semoga selanjutnya tersadar deh. 

Niatnya sih, mau latihan bikin esai terus latihan bahasa inggris, terus latihan bangun pagi juga tapi lagi-lagi rencananya melenceng ke sana kemari. Jadi, sebelum saya melanjutkan latihan bikin esai, saya ingin bercerita sedikit, sejenak melepas penat karena aktivitas yang tidak sesuai hati. Entah kenapa sulit banget menyatukan perasaan dengan tulisan nonsastra. Ya sudah lah mungkin butuh banyak belajar lagi dan lagi.

Jadi beberapa hari yang lalu, saya dan keluarga pergi ke suatu tempat makan di salah satu mall Solo, yang sudah pasti brandnya terkenal banget dan tidak perlu disebutkan. Dan kembali pada kebiasaanku yang suka mengamati orang, layaknya detektif, haha. Tapi entahlah, menurutku pribadi dan psikologi orang lain selalu menarik uintuk dibahas. 

Ada salah satu pelayan tempat makan tersebut, tepatnya seorang office boy. Yah sepertinya dia masih sangat muda, wajahnya masih terlihat polos dengan bibir merah merekahnya. Bukan gambaran wajahnya yang membuatku terpana. Tapi ekspresi yang pasti menunjukkan kepribadiannya yang membuatku semakin penasaran hingga pengamatanku tak berhenti ketika dia sedang disibukkan dengan pekerjaannya mengepel lantai di sampingku.

Jadi seperti ini, dari office boy tadi, aku sedikit menebak bahwa anak muda itu menjalankan seluruh pekerjaannya dengan ikhlas dan sangat sungguh-sungguh. Dari office boy itu, aku tersadar bahwa, pekerjaan apapun yang mungkin dianggap orang lain rendah dan tidak bernilai bisa sangat berarti bagi orang lain. Dan Kita tidak bisa menghakimi bahwa pekerjaan itu lebih rendah dibanding yang lain, bisa saja dia menyimpan berjuta rahasia dari pekerjaannya tersebut. 

Seperti kisah dari pemulung yang dapat melanjutkan studinya hingga S2 dan juga cerita dari kakak tingkat SMAku yang harus bekerja dari pukul 1 dini hari hingga fajar untuk membiayai sekolahnya, dan sekarang dia berhasil menempuh studi di perguruan tinggi kenamaan di Bandung.

Dari situ, aku belajar tentang sikap menghargai dan rendah hati. Diri ini ternyata tidak berarti apa-apa dibanding mereka. Diriku yang sudah menginjak semester 3 tapi masih menggantungkan diri pada orang tua, dan masih bersikap manja di kesehariannya. Ahh, malu sekali rasanya.

Dari situ saya juga belajar, bahwa tidak baik merendahkan orang dari segi pekerjaan, status, atau hartanya. bisa jadi mereka lebih unggul dan mandiri dibanding kita, jadi teringat pesan umi pipik di salah satu seminar yang saya hadiri dahulu.

``Jangan berpikir bahwa orang lain lebih rendah dari kita hanya karena segi penampilan dan pekerjaan, bias jadi mereka lebih rajin dalam hal beribadah dan beramal, serta lebih mulia dihadapan ALLAH SWT``

Semoga dari sini bisa semakin memperbaiki diri dan belajar dari segala yang berlalu dan yang diamati. Kagum sama Mas-mas Office Boy dengan wajah polos dan ikhlas itu, rasanya ingin sekali memberi semangat dan belajar banyak hal darinya. 

 #BelajarBersyukur #BelajarKerjaKeras #BelajarIkhlas #BelajarRendahHati

Kamis, 09 Juli 2015

[Cerpen] Janji Masa Depan



Aku menatap diriku di depan cermin besar ini. Sosok berpakaian rapi lengkap dengan atribut wisuda itu bersiap-siap menjalani masa terpentingnya hari ini. Rasanya seperti mimpi bahwa orang sesederhana aku bisa mengantongi predikat wisudawan beberapa detik lagi. Tiba-tiba pikiranku terbang ke sebuah masa, masa dimana perjuangan terasa kental untuk mencapai titik ini. Ah, sebuah masa yang mestinya dilupakan, namun aku tak sanggup menghapusnya, karena bagaimana pun masa itu sudah menjadi bagian terpenting dalam pencapaian ini.
###
Aku menatap jam dinding di samping kamarku dengan sesekali mengedipkan mata yang masih sulit terbuka ini. Waktu masih menunjukkan pukul 02.00 WIB, tapi aku harus segera bangun. Ya aku memang berbeda, namun tepatnya aktivitasku lah yang berbeda. Di umurku yang ke-20 ini, Aku tetap seorang mahasiswa yang masih menuntut ilmu seperti orang-orang seumuranku lainnya. Namun pembedanya adalah aku harus bekerja lebih keras dari mereka.
Kupaksakan badanku beranjak dari tempat tidur yang nyaman itu, lalu mengambil beberapa perlengkapan yang aku butuhkan untuk bekerja. Bukan pekerjaan yang penting sebenarnya, namun aku harus benar-benar giat, karena aku masih butuh banyak uang untuk menopang biaya kuliahku dan kehidupanku. Untung saja aku adalah mahasiswa bidik misi, jadi uang beasiswa itu dapat kumanfaatkan juga.
“Ibu, Andi berangkat ke pasar dulu.”
Aku berpamitan dengan Ibu yang sudah berkecimpung di dapur lebih dahulu dariku, beliau pun harus bangun sepagi itu untuk mempersiapkan makanan yang akan dijualnya nanti. Beliau lah salah satu semangatku untuk terus berjuang mencapai kesuksesan.
“Iya, le. Hati-hati.”
Setelah kudapat ijin ibu tersebut, segera kukayuh sepeda dengan dua keranjang penuh sayuran di sebelah sampingnya. Meski masih pagi – pagi buta, namun aku yakin suasana pasar sudah penuh sesak dengan hiruk pikuk pembeli dan pedagang yang lainnya.
Ya, dugaanku tepat. Aku segera menuju  lapak daganganku, kemudian berjualan seperti yang lain. Satu pembeli terlihat menghamipiriku kemudian diikuti pembeli lainnya.
Fajar mulai menyingsinlg, Alhamdulillah daganganku pun sudah hampir habis. Aku menatap lembaran kertas bernilai itu dengan senyuman puas sembari menghitungnya sebentar. Namun, aku segera sadar, di sini bukan tempat yang aman untuk menghitung uang. Pernah suatu ketika ada preman pasar yang merebut hasil jerih payahku itu, dan alhasil aku pulang dengan tangan hampa.
Sepulang dari pasar, tak serta merta aku harus membaringkan tubuhku lagi dan beristirahat, karena aku harus menunaikan kewajibanku yang lain yaitu kuliah. Dengan belajar di fakultas hukum di salah satu universitas negeri di kota ini, kugantungkan harapan untuk mengubah hidupku ini, tak apa aku bersusah-susah terlebih dahulu, namun kelak aku ingin hidup dengan genggaman kesuksesan yang berhasil kuraih.
Untung saja jarak rumah dengan pasar tidak terlalu jauh, jadi aku bisa tiba di rumah lebih cepat dan menyiapkan perlengkapan kuliahku setelahnya.
“Ini bekal makanmu, Nak.”
Kulihat ibu menghampiriku yang sudah siap dengan tas di pundak dan sepeda yang sama sembari tersenyum tulus. Ibu sangat sayang kepada anak-anaknya, beliau selalu menyiapkan segela kebutuhan untukku dan adikku. Begitu pun dengan bekal makanan yang selalu beliau berikan di setiap pagi.
“Terima kasih bu, Andi berangkat dulu ya.”
Kucium tangan Ibu dan meminta restu beliau demi kelancaran kuliahku. Kukayuh sepedaku segera, karena aku harus segera tiba di kampus dan mata kuliah pertamaku dimulai pukul 7, jadi aku harus bergerak cepat.
Namun tiba-tiba, ada yang aneh pada sepedaku. Aku tidak bisa menahan keseimbanganku saat aku sadar bahwa sepedaku mulai oleng.
“Ah, bannya bocor.” Keluhku seketika. Aku harus bagaimana? Padahal kuliah akan dimulai sebentar lagi. Aku menyebar pandangan di sekelilingku, kutemukan tambal ban tak jauh dari tempatku berdiri. Tak perlu berpikir lama, segera ku berlari ke sana.
“Pak, kira-kira tambal ban butuh berapa lama?” Tanyaku kepada bapak-bapak tambal ban tersebut.
“Kira-kira setengah jam.”
Ah, tidak bisa. Aku harus sudah sampai kurang dari setengah jam lagi. “Ya, sudah pak. Saya titip sepeda dulu.”
Karena jarak ke kampus tinggal 1 km, akhirnya aku putuskan untuk berjalan menuju kampus. Sekuat tenaga, aku berusaha datang tepat waktu pagi itu. Dengan sesekali berlari, aku tidak memperdulikan pakaianku yang mulai basah oleh peluh dan keringat, yang ada di pikiranku adalah jangan sampai aku terlambat pagi itu.
Akhirnya, dari kejauhan gedung-gedung bertingkat itu mulai terlihat. Aku menambah kecepata kakiku dan akhirnya, tepat sekali. Aku sampai di ruang kelas pukul 7 tepat. Alhamdulillah.
“Kamu kenapa basah kuyup seperti ini? Kehujanan?” Tanya salah satu teman sekelasku keheranan.
“Ban Sepedaku bocor.” Jawabku langsung menyandarkan punggungku di kursi yang kududuki kala itu dan menghela napas berulang kali untuk melepas penat akibat berlarian tadi.
Cahaya siang sudah tergantikan oleh senja, dan mata kuliah hari itu pun telah usai. Aku segera mempersiapkan diri untuk segera pulang. Ya, aku harus cepat, karena aku harus berjalan terlebih dahulu untuk mengambil sepedaku di bengkel pagi tadi. Syukurlah, sepedaku telah selesai diperbaiki dan aku dapat menaikinya kembali. Sepertinya hari ini aku pulang lebih malam, semoga saja Ibu tidak cemas menantiku. Tetapi mengapa hari ini perasaanku tidak enak.
“Assalamualaikum.” Kuketuk pintu rumahku berulang kali, namun tak kunjung ada yang membuka. Hingga kemudian ada yang mendorong pintu tersebut perlahan. Desi. Tetapi mengapa wajahnya begitu sedih?
“Desi? Kok menangis?” Tanyaku sembari sedikit membungkukkan punggungku untuk menatap mata kecilnya.
“Ibu sakit kak.”
Deg. Jantungku serasa berhenti, kecemasan langsung menjalar ke seluruh saraf tubuhku.  Aku Segera masuk rumah kemudian menuju kamar tidur Ibu. Ya benar saja, Ibu terbaring lemas dan terlihat pucat. Aku mendekatinya perlahan.
“Nak, maaf Ibu tidak bisa bekerja hari ini.”
“Sudah, Ibu istirahat saja. Biar Andi yang bekerja.” Ujarku menyela perkataan Ibu baru saja. Tak terasa air mataku menetes perlahan, kutatap wajah yang mulai renta itu. Aku sadar Ibu sudah berjuang sejauh ini, berjuang sendirian demi kelangsungan hidup kami berdua. Aku merasa amat bersalah selama ini, merasa belum bisa membalas jasa Ibu kepadaku.
Hingga kemudian aku tersadar, aku harus segera bangkit. Mulai hari itu, aku meneguhkan janji di dalam hatiku, meneguhkan semangat sekaligus harapan untuk membahagiakan Ibu dan mencapai kesuksesan kelak.
###
Ya sesuai janjiku, perjuangan dan pengorbananku berjalan lebih keras lagi, tak pernah terhenti pun hingga detik ini. Hingga detik dimana hari wisuda itu pun datang. Hari dimana aku mencapai puncak tertinggiku sebagai mahasiswa yang akan membuka pintu kesuksesan setelahnya.
Hari ini pula, aku melihat senyum Ibu melebar, wajah tulus terpancar, dan mata itu tetap berkaca-kaca. Belum pernah aku melihat Ibu sebahagia ini, Alhamdulillah Allah mengabulkan doaku, meridhoi harapanku untuk membahagiakan beliau. Akhirnya satu predikat sebagai wisudawan terbaik itu berhasil kugenggam, dan janji itu pun berhasil kuhidupkan secara nyata, janji untuk membuka gerbang kesuksesan mmenuju masa depan yang cerah. 

Sabtu, 23 Mei 2015

[Cerpen] Wo Ai Ni ALLAH



Suara bacaan Al quran itu kembali kudengar, entah mengapa aku sangat menyukainya. Aku pun bertanya-tanya, sebagai keturunan atheis, aku tidak diperkenalkan dengan adanya Tuhan dalam keluargaku. Namun, mengapa aku sangat nyaman mendengar lantunan Alquran tersebut?
“Hui Lan, maaf telah membuatmu menunggu.”Aku menengokkan wajahku ke belakang tepat ketika sahabatku itu mendekatiku.
 “Tidak, kok!” Jawabku tenang
“Oke. Makasih ya, sudah menemaniku sholat.”Ujarnya tersenyum
 “Nanti aku ajak ke toko buku mau tidak?”
“Boleh.” Jawab Cindy dengan ekspresi ceria seperti biasanya. Yang membuatku kagum adalah ketekunannya untuk selalu membaca kitab Alquran di setiap kesempatan. Aku tidak merasa terganggu, malah membuatku semakin ingin mendekatinya. Entah mengapa hati ini selalu luluh saaat bacaan-bacaan itu mengalir indah di telingaku. Mungkinkah?
Sesuai ajakanku tadi, aku dan Cindy langsung bergegas menuju toko buku terdekat sepulang kuliah. Pandanganku langsung menangkap satu persatu buku yang berjajar rapi di rak buku. Begitu pun dengan cindy yang masih sibuk mengamati novel-novel terbaru di sudut ruangan yang lain.
“Mengapa susah sekali mencari buku Psikologi Lingkungan di sini?”Ujarku sedikit berdehem.
Aku sudah hampir menyerah dan pergi dari sana sebelum kutemui buku yang tiba-tiba menarik perhatianku, sebuah buku yang tak ada hubungannya dengan Psikologi Lingkungan. Aku menariknya pelan. Buku bercover gadis bercadar dengan lampion-lampion khas  Cina itu membuatku ingin sekali mengetahui isi di dalamnya. Aku tahu, buku ini sediki mengandung unsur Islam. Namun, yang membuatkku penasaran adalah mengapa ada lampion di sekelilingnya? Apakah ada orang cina sepertiku yang berperan di dalamnya?
####
Kurebahkan tubuhku di atas kasur milikku dan mulai membuka buku yang kubeli baru saja. Mataku berputar-putar seiring deretan kalimat yang berjajar rapi di sana, berusaha mencerna satu per satu kalimat tersebut.
Deg Deg Deg...
“Hui Lan? Ayo kemari. Ayo mengaji!”
“Cindy mengapa kau di sana?” Ya, aku melihatnya, seorang Cindy dengan balutan kerudung warna putih terlihat anggun dan bersinar. “Ayoo.” Ajaknya lagi sembari melambaikan tangan ke arahku. Perlahan sosoknya pergi menjauh. Aku mencoba mengejarnya, namun ruangan ini seakan menghalangiku, muncul sinar yang semakin menyilaukan hingga membuatku tak bisa membuka mata dengan sempurna.
“Aaargh. Cindy” Aku terhenyak, berusaha mengatur kesadaran dan segera memeriksa sekelilingku. Tidak ada yang berubah.
“Ahh, ternyata hanya mimpi.” Aku berusaha mengatur napasku yang masih terengah setelah mendapati mimpi aneh tersebut. Aku menatap buku bersampul merah di pangkuanku, ada pikiran yang mengganjal di otakku. Gadis Cina itu akhirnya memeluk Islam.
“Aaarggh..” Aku memegang erat kepalaku yang tiba-tiba terasa sakit. Satu per satu pikiran ganjil memenuhi otakku. Pikiran tentang agama dan keberadaan Tuhan yang semakin membujukku untuk mempercayainya. Apa yang harus kulakukan?
Tok... tok....
“Hui lan, Ini mama.” Seorang wanita paruh baya tiba-tiba memasuki kamarku. “Kamu kenapa?” ujarnya kembali sembari mendekati posisiku saat itu. Aku tak merespon kedatangan Ibu Pikiranku masih berkecamuk tentang mimpiku baru saja.
“Ibu? Apakah Tuhan itu ada?”
Wanita itu terpaku tak bergerak. Raut mukanya berubah tegang, jelas menggambarkan ketidak sukaan dengan kata-kataku baru saja.
“Mengapa engkau berbicara seperti itu? Ibu tidak suka!” Jawab Ibu sedikit membentak,
“Ibu, entah mengapa hati Hui Lan mengakui kalau Tuhan itu ada?” Aku terus merajuk kepada Ibu, berusaha meyakinkannya. “Hui Lan ingin mengakui bahwa dunia dan alam semesta ini adalah milik Tuhan. Hui Lan ingin masuk Islam, Ibu.”
Kemarahan Ibu memuncak. Rautan emosi memancar dari wajah berkerutnya tersebut.
“Kamu ingin membantah Ibu? Lepaskan kepercayaanmu atau pergi dari sini. Ibu tidak segan-segan mengusir anak pembangkang sepertimu.”
“Tapi, bu...”
Sebelum  kulanjutkan kalimatku, Ibu sudah menarik tanganku keras dan menyeretku keluar dari kamar. Aku tidak menyangka, emosi Ibu akan setinggi ini, tapi aku sudah memantapkan keyakinanku untuk memeluk Islam. Aku tidak dapat berbuat banyak, Ibu sudah terlanjur mengeluarkanku dari rumah dan mengusirku jauh-jauh. Aku terduduk tak berdaya, isakanku semakin keras saat kutemui fakta bahwa Ibu telah tega membuangku dari kehidupannya.
3 bulan kemudian,
Ku lantunkan dzikir berulang-ulang dengan khusyuknya. Satu per satu air mata mengalir seiring dzikirku yang terdengar lirih malam itu. Rasa syukur tak henti-hentinya kuucapkan kepada sang Khalik yang telah memberikan kesempatan dan pencerahan jalan untuk diri yang semula tesesat ini.
Kuhentikan dzikirku seketika saat kupandangi sebuah buku di hadapanku. Memoriku lantas memutar kilas balik dari dalamnya. Buku dengan jalan cerita yang sangat bermakna untuk hidupku sebelum semua ini terjadi. Buku tentang perjuangan seorang gadis Cina Atheis untuk mencari keberadaan Tuhan, hingga membuatku berada di jalan Islam seperti ini.  
 “Hui Lan?”
Suara dari luar itu membuyarkan lamunan masa laluku. Terlihat sinar wajah yang selalu tersenyum kepadaku, Cindy.
“Kamu tidak apa-apa? Mengapa mukamu terlihat sedih?”Ujarnya cemas setelah melihat leleran air mata yang belum sempat kuhapus.
“Aku teringat  ibuku. Aku sangat merindukannya.”Bibirku bergetar, berusaha menahan leleran air mata yang berdesakan ingin keluar.
 “Sudahlah, ini semua sudah takdir dari Allah.” Responnya sembari mengelus pundakku lembut.
“Cindy, terima kasih telah mengijinkanku untuk tinggal di rumahmu, terima kasih untuk segalanya.”
Dalam keheningan malam itu, ku peluk Cindy erat. Aku mengungkapkan perasaan sekaligus beribu-ribu terima kasihku kepadanya. Terima kasih telah menjadi Seseorang yang setia menemaniku hingga akhirnya kutemukan hidayah Allah bersamanya. Wo Ai Ni, Allah.

TAMAT

Selasa, 19 Mei 2015

Seperti inilah aku mencintaimu...


    Ada kekasih yang membuktikan cintanya dengan jutaan kalimat pujian & rayuan,
    Ada pula dengan sikap yang penuh kasih,..
    Tak sedikit dengan pengorbanan yg meluluhlantahkan harga diri,
    Ada pula dengan menguras tenaga & materi.

    Namun bagiku, aku mencintaimu dengan menundukkan wajahku padamu.
    Bukan karena aku ingin berpaling darimu, tapi karena aku ingin menjaga pandanganmu dari panah-panah iblis..

    Aku mencintaimu dengan tidak melemah lembutkan suaraku padamu.
    Bukan karena aku ingin menyakitimu, namun karena aku ingin menjaga hatimu dari bisikan syaithan yg menipu..

    Aku mencintaimu dg menjauh darimu, Bukan karena aku membencimu, namun karena aku ingin menjagamu dari khalwat yg menjebak..

    Aku mencintaimu dg menjaga dirimu & diriku, menjaga kesucianmu & kesucianku, menjaga kehormatanmu & kehormatanku, menjaga kebeningan hatimu & hatiku..

    Tak mengapa saat ini kita jauh, karena kelak Allah yang akan menyatukan kita dalam ikatan suci-Nya.Sebab itu jauh lebih berarti & jauh lebih abadi,Karena ku yakin, janji Allah adalah pasti, “Wanita yang baik hanya untuk laki-laki yang baik”, pun sebaliknya.

    Ya, seperti inilah aku mencintaimu. Aku mencintaimu dengan menjaga kesucian diri, jiwa, & hatiku, hanya untuk ku persembahkan padamu kelak, siapapun dirimu nanti.

    Oleh karena itu, tolong,..Jagalah kesucian cintamu juga hanya untukku. Rabbi, pada-Mu kutitipkan cintaku padanya…

    [Repost]

    K

Sabtu, 16 Mei 2015

Kesepian



Ah, Mengapa kesepian selalu hadir dengan mudahnya?
Aku tak tahu mengapa perasaan ini muncul kembali. Sebuah perasaan yang seharusnya kukubur jauh-jauh selama ini. Aku sudah mulai membuka diriku bersama mereka, namun mengapa perasaan yang sama masih muncul?

Adakah yang salah dengan diriku? Entah mengapa, aku selalu merasa ada tatapan sinis itu dari mereka, orang-orang terdekatku pun. Mungkin hanya perasaanku saja,

Ah, tapi mengapa sangat kuat terasa?

Bukankah kita sudah saling mengenal hampir 1 tahun. Bukankah waktu yang tidak singkat untuk saling memahami satu sama lain? Tapi, mengapa aku tidak bisa sedekat dengan yang lainnya? Mengapa aku tidak dapat bercanda dan berbaur dengan ringannya?

Mengapa aku selalu merasa sepi, ketika kalian dengan senangnya bercanda satu sama lain?
Mengapa aku seperti sendiri, saat kalian sibuk berbincang membahas berbagai acara?
Mengapa aku seperti menjelma menjadi bayangan yang sangat mengganggu ketika aku bergabung?

Ah, mungkin aku harus selalu mengintropeksi diri. Aku sadar, masih banyak kepribadian buruk yang melekat sehingga tidak membuat mereka nyaman. Ya, aku sadar. Aku seharusnya sadar dan ikhlas menerimanya. Maaf telah mengecewakan kalian.

Namun, ijinkan aku menjadi salah satu anggota yang hidup tanpa kecanggungan dalam keluarga yang sangat kucintai ini. Ijinkan hati kalian untuk menerima keberadaanku, berilah senyum dan tatapan yang sangat kuidam-idamkan tersebut. 

 aku sayang kalian.