Suara bacaan Al quran itu kembali kudengar, entah mengapa
aku sangat menyukainya. Aku pun bertanya-tanya, sebagai keturunan atheis, aku
tidak diperkenalkan dengan adanya Tuhan dalam keluargaku. Namun, mengapa aku
sangat nyaman mendengar lantunan Alquran tersebut?
“Hui Lan, maaf telah membuatmu menunggu.”Aku menengokkan
wajahku ke belakang tepat ketika sahabatku itu mendekatiku.
“Tidak, kok!”
Jawabku tenang
“Oke. Makasih ya, sudah menemaniku sholat.”Ujarnya
tersenyum
“Nanti aku ajak ke
toko buku mau tidak?”
“Boleh.” Jawab Cindy dengan ekspresi ceria seperti
biasanya. Yang membuatku kagum adalah ketekunannya untuk selalu membaca kitab Alquran
di setiap kesempatan. Aku tidak merasa terganggu, malah membuatku semakin ingin
mendekatinya. Entah mengapa hati ini selalu luluh saaat bacaan-bacaan itu
mengalir indah di telingaku. Mungkinkah?
Sesuai ajakanku tadi, aku dan Cindy langsung bergegas
menuju toko buku terdekat sepulang kuliah. Pandanganku langsung menangkap satu
persatu buku yang berjajar rapi di rak buku. Begitu pun dengan cindy yang masih
sibuk mengamati novel-novel terbaru di sudut ruangan yang lain.
“Mengapa susah sekali mencari buku Psikologi Lingkungan di
sini?”Ujarku sedikit berdehem.
Aku sudah hampir menyerah dan pergi dari sana sebelum
kutemui buku yang tiba-tiba menarik perhatianku, sebuah buku yang tak ada
hubungannya dengan Psikologi Lingkungan. Aku menariknya pelan. Buku bercover
gadis bercadar dengan lampion-lampion khas Cina itu membuatku ingin sekali mengetahui isi
di dalamnya. Aku tahu, buku ini sediki mengandung unsur Islam. Namun, yang
membuatkku penasaran adalah mengapa ada lampion di sekelilingnya? Apakah ada
orang cina sepertiku yang berperan di dalamnya?
####
Kurebahkan tubuhku di atas kasur milikku dan mulai membuka
buku yang kubeli baru saja. Mataku berputar-putar seiring deretan kalimat yang
berjajar rapi di sana, berusaha mencerna satu per satu kalimat tersebut.
Deg Deg Deg...
“Hui Lan? Ayo kemari. Ayo mengaji!”
“Cindy mengapa kau di sana?” Ya, aku melihatnya, seorang
Cindy dengan balutan kerudung warna putih terlihat anggun dan bersinar. “Ayoo.”
Ajaknya lagi sembari melambaikan tangan ke arahku. Perlahan sosoknya pergi
menjauh. Aku mencoba mengejarnya, namun ruangan ini seakan menghalangiku, muncul
sinar yang semakin menyilaukan hingga membuatku tak bisa membuka mata dengan
sempurna.
“Aaargh. Cindy” Aku terhenyak, berusaha mengatur kesadaran
dan segera memeriksa sekelilingku. Tidak ada yang berubah.
“Ahh, ternyata hanya mimpi.” Aku berusaha mengatur napasku
yang masih terengah setelah mendapati mimpi aneh tersebut. Aku menatap buku
bersampul merah di pangkuanku, ada pikiran yang mengganjal di otakku. Gadis
Cina itu akhirnya memeluk Islam.
“Aaarggh..” Aku memegang erat kepalaku yang tiba-tiba
terasa sakit. Satu per satu pikiran ganjil memenuhi otakku. Pikiran tentang
agama dan keberadaan Tuhan yang semakin membujukku untuk mempercayainya. Apa
yang harus kulakukan?
Tok... tok....
“Hui lan, Ini mama.” Seorang wanita paruh baya tiba-tiba
memasuki kamarku. “Kamu kenapa?” ujarnya kembali sembari mendekati posisiku
saat itu. Aku tak merespon kedatangan Ibu Pikiranku masih berkecamuk tentang
mimpiku baru saja.
“Ibu? Apakah Tuhan itu ada?”
Wanita itu terpaku tak bergerak. Raut mukanya berubah
tegang, jelas menggambarkan ketidak sukaan dengan kata-kataku baru saja.
“Mengapa engkau berbicara seperti itu? Ibu tidak suka!”
Jawab Ibu sedikit membentak,
“Ibu, entah mengapa hati Hui Lan mengakui kalau Tuhan itu
ada?” Aku terus merajuk kepada Ibu, berusaha meyakinkannya. “Hui Lan ingin mengakui
bahwa dunia dan alam semesta ini adalah milik Tuhan. Hui Lan ingin masuk Islam,
Ibu.”
Kemarahan Ibu memuncak. Rautan emosi memancar dari wajah
berkerutnya tersebut.
“Kamu ingin membantah Ibu? Lepaskan kepercayaanmu atau
pergi dari sini. Ibu tidak segan-segan mengusir anak pembangkang sepertimu.”
“Tapi, bu...”
Sebelum kulanjutkan
kalimatku, Ibu sudah menarik tanganku keras dan menyeretku keluar dari kamar.
Aku tidak menyangka, emosi Ibu akan setinggi ini, tapi aku sudah memantapkan
keyakinanku untuk memeluk Islam. Aku tidak dapat berbuat banyak, Ibu sudah terlanjur
mengeluarkanku dari rumah dan mengusirku jauh-jauh. Aku terduduk tak berdaya,
isakanku semakin keras saat kutemui fakta bahwa Ibu telah tega membuangku dari
kehidupannya.
3 bulan kemudian,
Ku lantunkan dzikir berulang-ulang dengan khusyuknya. Satu
per satu air mata mengalir seiring dzikirku yang terdengar lirih malam itu.
Rasa syukur tak henti-hentinya kuucapkan kepada sang Khalik yang telah
memberikan kesempatan dan pencerahan jalan untuk diri yang semula tesesat ini.
Kuhentikan dzikirku seketika saat kupandangi sebuah buku di
hadapanku. Memoriku lantas memutar kilas balik dari dalamnya. Buku dengan jalan
cerita yang sangat bermakna untuk hidupku sebelum semua ini terjadi. Buku
tentang perjuangan seorang gadis Cina Atheis untuk mencari keberadaan Tuhan,
hingga membuatku berada di jalan Islam seperti ini.
“Hui Lan?”
Suara dari luar itu membuyarkan lamunan masa laluku. Terlihat
sinar wajah yang selalu tersenyum kepadaku, Cindy.
“Kamu tidak apa-apa? Mengapa mukamu terlihat sedih?”Ujarnya
cemas setelah melihat leleran air mata yang belum sempat kuhapus.
“Aku teringat ibuku.
Aku sangat merindukannya.”Bibirku bergetar, berusaha menahan leleran air mata
yang berdesakan ingin keluar.
“Sudahlah, ini semua
sudah takdir dari Allah.” Responnya sembari mengelus pundakku lembut.
“Cindy, terima kasih telah mengijinkanku untuk tinggal di
rumahmu, terima kasih untuk segalanya.”
Dalam keheningan malam itu, ku peluk Cindy erat. Aku
mengungkapkan perasaan sekaligus beribu-ribu terima kasihku kepadanya. Terima
kasih telah menjadi Seseorang yang setia menemaniku hingga akhirnya kutemukan
hidayah Allah bersamanya. Wo Ai Ni, Allah.
TAMAT