Dreaming in حلالا way. . .

Halaman

Cari Blog Ini

Apa sih artinya?

Rabu, 13 Mei 2015

[Cerpen] Negeri Impian



Demi matahari dan sinarnya
Dan bulan apabila menyinari
Dan siang apabila menampakkannya
Dan malam apabila menutupinya
Demi langit dan pembuatannya
Dan bumi serta penghamparannya…

={}=[}={}={}={}={}={}={}={}={}=

Aku menyudahi tilawahku malam itu. Jam dinding sudah menunjukkan angka sepuluh malam namun kantuk belum menyerangku sedikitpun.  Waktu selarut ini menjadi waktu yang terlalu malam untuk dihabiskan oleh anak sekolah dasar seusiaku.  Mungkin aku akan terlambat di esok hari, tetapi sekalipun aku mencoba untuk menutup dua buah mataku ini dan membaringkan tubuh kecilku di atas ranjang, tetap saja raga ini tak kunjung terlelap. Ahh… Aku menyerah.
Ku beranjak dari tempat tidur satu-satunya di kamar itu. Ibu masih terjaga, menyenandungkan tilawah dengan khusyuk dan merdunya. Benar-benar mengaggumkan, aku belum bisa membaca Al-Quran selama itu, begitupun dengan kakakku yang masih mencerna terjemahan Al-Quran di pangkuannya. Kulangkahkan kakiku menuju balkon rumah, sebuah tempat favoritku untuk menghabiskan waktu semalaman saat aku mengalami insomnia seperti ini. Banyak alasan mengapa balkon rumah ini menjadi tempat kesukaanku, salah satunya adalah atap kaca itu, sebuah benda transparan yang membuatku dapat memandang bentangan langit yang sangat mengaggumkan di atas sana. Jelas sekali kulihat taburan bintang beserta bulan yang tertata sempurna malam ini.
Kujatuhkan tubuhku di sebuah kursi kayu. Pandanganku tak henti-hentinya menatap langit nun jauh di sana. Langit memang indah, salah satu tanda kekuasaan Tuhan yang Maha Agung ini selalu berhasil membuatku berdecak kagum. Kupanjatkan syukur atas segala karuniaNya, termasuk kenikmatan akan kemampuan memandang segala bentuk penciptaan yang Maha Indah dariNya.
“Halimah, kau belum tidur?” Suara Ibu membangunkan lamunanku malam itu. Aku menegakkan tubuhku, masih tetap duduk di atas kursi kayu itu. Kulihat Ibu mendekatiku kemudian mengelus rambutku lembut. “Mengapa tidak tidur? Apa hafalanmu sudah selesai?” Tanyanya kembali masih tetap mengelus rambut hitamku dengan penuh kasih sayang.
“Belum ngantuk bu. Hafalannya masih setengah juz bu, hehe.” Ujarku sedikit bercanda. Benar saja, aku memang tak sehebat ibu ataupun kakakku yang tidak butuh waktu lama untuk menghafal lembar demi lembar ayat suci AlQuran itu, tidak seperti ku yang  sangat rentan dari rasa kantuk dan malas saat membacanya. “Ibu sini deh, adek mau tanya.” Ujarku sembari menggeser sedikit tubuh untuk menyisakan tempat  duduk untuk Ibu.
“Ada apa?”
“Adek mau tanya, Awan-awan kok tidak tampak di malam hari ya, Bu?” Ujarku dengan polosnya. Ibu hanya tersenyum mendengar pertanyaanku baru saja. Selain langit, aku memang sangat menyukai awan, entah mengapa aku sangat tertarik melihat gumpalan benda putih di  pagi dan siang hari itu. Senang sekali rasanya. Rasa penasaranku selalu muncul saat awan-awan itu nampak di depan amataku, termasuk tentang negeri di atas awan yang sering diceritakan guruku di sekolah.
“Adek tau kan awan itu warnanya putih. Kalau malam hari ya tidak kelihatan.” Jelas Ibuku lemubut walaupun tidak membuatku cukup puas mendengarnya, karena aku belum sepenuhnya paham akan  penjelasan Ibu baru saja.
“Tapi bu, kalau saja awan ada di sana pasti langit akan nampak lebih indah, ya kan?”
“Ciptaan dari Tuhanlah yang paling sempurna, Halimah. Kenapa kau sangat menyukai awan?” Tanya Ibu untuk kesekian kalinya
“Ya, karena awan itu keren bu, bentuknya bisa bermacam-macam. Jadi Adek suka.” Jawabku masih dengan nada polos. Ibu hanya meresponku dengan senyuman kecil, dan terus saja memandangi langit yang sama denganku. 

={}=[}={}={}={}={}={}={}={}={}=

Pagi ini aku dan Ibuku akan pergi ke taman. Bahagia sekali rasanya. Menjadi sesuatu yang langka bagiku untuk menghabiskan waktu bersama Ibu. Ibu memang bukan sekedar Ibu rumah tangga, beliau adalah pribadi yang sangat aktif. Selain bekerja sebagai pengajar di SMA, beliau juga terlibat dalam mengurus organisasi pengabdian masyarakat di kampungnya. Tapi itulah ibu, beliau sangat pintar membagi waktu antara urusan pekerjaan dan rumah tangga, hingga kesibukannya pun tak pernah melunturkan perasaan cinta  kami pada Ibu. Karena Ibu tetap menjadi seorang dengan kasih dan sayangnya yang selalu luar biasa.
Pagi itu, Ibu terlihat cantik dengan balutan jilbab biru mudanya, sama seperti warna yang aku pakai. Ya, aku sengaja menyeragamkan jilbabku dengan milik ibu agar kami terlihat kompak.
“Ibu, kita duduk di sana yuk.” Ajakku sembari menunjuk salah satu bangku taman yang tidak jauh dari keberadaan kami. Seperti biasa Ibu menyetujui tawaranku. “Ibu, Lihat! Awan sudah bergerombol pagi ini.” Ujarku sumringah sembari mengacungkan telunjuk kananku ke arah langit. Ah, menyenangkan sekali, menikmati suasana pagi bersama Ibu dan awan-awan itu.
“Iya. Indah sekali, Nak.” Respon Ibu turut memandang langit, sama sepertiku.
“Oh ya, Ibu guru pernah menceritakan dongeng pada adek, bahwa di atas awan itu ada sebuah negeri dan kehidupan lho, Bu.” Ucapku antusias.
“Oh ya? Memangnya kehidupan seperti apa di atas sana?” Tanya ibu ikut antusias saat mendengar celotehanku baru saja.
“Jadi, banyak manusia yang hidup dengan damai. Mereka adalah orang-orang baik yang dipilih Tuhan untuk mendiami tempat bernama Surga. Memangnya Surga itu ada di atas sana ya bu?” Tanyaku masih dengan nada kepolosan.
Ibu hanya terdiam menatapku. Senyumnya masih terulas cantik di raut wajahnya.
“Emm, Yang jelas, luas surga itu meliputi langit dan bumi. Surga itu sangat indah. Keindahan yang belum pernah dijumpai oleh mata, didengar oleh telinga, dan aroma yang belum tercium serta tersentuh kulit sedikitpun.”
Aku termangu mendengar penjelasan Ibu.
“Jadi, Surga itu sangat indah ya bu, sampai tidak pernah terbayangkan sebelumnya?” Ujarku masih tetap menatap gumpalan benda-benda putih yang tergantung di atas sana. “Ahh, adek ingin masuk surga bu. Agar kelak, adek bisa tidur-tiduran di awan-awan putih itu. Empuk pasti ya? Hehehe..” Candaku sembari tertawa.
“Kalau ingin ke surga, Ibadahnya harus rajin, tekun belajar, berbakti kepada orang tua, dan berakhlak baik. Itu namanya baru penghuni surga. Adek mau kan?
Aku mengangguk pertanda setuju. Aku harap, aku bisa meraih negeri di atas sana. Sebuah negeri terindah, negeri impianku. 

={}=[}={}={}={}={}={}={}={}={}=

 “Ibu, Apakah engkau sudah sampai di atas awan putih itu? Semoga Tuhan menempatkanmu menjadi salah satu penghuni surga.”
Aku yakin iya. Beliau adalah sosok yang teramat baik bagi kami, anak-anaknya. Ahh, waktu begitu cepat berjalan, bahkan sangat cepat. Aku masih terdiam melamun sembari menatap alat lukisku. Kutertunduk cukup lama merenungi tragedi mengerikan satu bulan yang lalu, tak jauh dari tempat ku berada.
Aku tak menyangka, aku harus kehilangan seseorang yang sangat berarti di hidupku. Seorang wanita yanag selalu merawat dan menghiburku di setiap waktu.  Aku juga tak menyangka, motor itu terlalu cepat melaju hingga membuat ibuku tak sempat menghindarinya. Kututup mukaku dengan kedua telapak tangan, berusaha menyembunyikan kesedihan dan kepiluan yang sangat dalam. Aku menyesal, mengapa saat itu aku ingin sekali membeli es krim di seberang jalan ini, dan seperti biasa Ibu selalu menyetujui permintaanku. Ibu sangatlah baik.
Aku menangis. Ya, aku tak tahu sudah berapa kali air mata ini menetes meratapi kepergian Ibu. Kini aku hanya bisa menatap awan itu sendirian tanpa sentuhan lembut dan senyum tulusnya yang sangat menenangkan. Kudongakkan kepalaku mengamati gumpalan awan penuh misteri. Misteri yang terus menerus memenuhi kepalaku, tentang sebuah negeri nan indah. Kugerakkan jari jemariku perlahan, mencoba menyampaikan sesuatu melalui lukisan sederhana ini sembari tetap membayangkan sebuah negeri di atas awan itu. Negeri impianku.
Akulah yang semula ingin pergi ke sana, tetapi mengapa Ibu mendahuluiku? Butuh berminggu-minggu untuk menerima semua takdir  dan menanamkan keikhlasan untuk melepas kepergian beliau. Tapi, Ibu pernah berkata kepadaku, semua orang pasti akan mengalami hal yan sama, hanya saja pilihan antara surga atau neraka itu ada pada diri kita. Bagaimana kita mengendalikan nafsu dan keinginan kita untuk selalu berada pada jalan yang benar atau menyimpang ke jalan yang buruk. Ya aku sadar akan hal itu. Sang pencipta pasti tahu yang terbaik untuk hamba-hambaNya
“Halimah akan jadi anak yang baik. Tahu tidak bu? Hafalan Halimah sudah hampir satu juz. Halimah juga sudah tidak menunda-nunda solat lagi, Halimah akan menyusul Ibu ke sana suatu saat nanti, menatap dan menggenggam awan bersama Ibu.” Gumamku sendirian tanpa sedikitpun mengalihkan pandanganku dari gumpalan-gumpalan putih tak beraturan itu.
Kuhembuskan nafasku ke udara bersamaan dengan tetesan air mata yang terus mengalir di pipiku. Kupandangi Langit itu dengan tatapan sendu. Hamparan Langit dan awan yang selalu menawarkan keindahan, sebagai pertanda bukti kekuasaan Tuhan. Segala puji bagiNya, atas penciptaan yang maha sempurna.

-TAMAT-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar