Demi matahari dan
sinarnya
Dan bulan apabila
menyinari
Dan siang apabila
menampakkannya
Dan malam apabila
menutupinya
Demi langit dan
pembuatannya
Dan bumi serta
penghamparannya…
={}=[}={}={}={}={}={}={}={}={}=
Aku menyudahi tilawahku malam itu. Jam dinding
sudah menunjukkan angka sepuluh malam namun kantuk belum menyerangku sedikitpun.
Waktu selarut ini menjadi waktu yang
terlalu malam untuk dihabiskan oleh anak sekolah dasar seusiaku. Mungkin aku akan terlambat di esok hari,
tetapi sekalipun aku mencoba untuk menutup dua buah mataku ini dan membaringkan
tubuh kecilku di atas ranjang, tetap saja raga ini tak kunjung terlelap. Ahh…
Aku menyerah.
Ku beranjak dari tempat tidur satu-satunya di
kamar itu. Ibu masih terjaga, menyenandungkan tilawah dengan khusyuk dan
merdunya. Benar-benar mengaggumkan, aku belum bisa membaca Al-Quran selama itu,
begitupun dengan kakakku yang masih mencerna terjemahan Al-Quran di
pangkuannya. Kulangkahkan kakiku menuju balkon rumah, sebuah tempat favoritku
untuk menghabiskan waktu semalaman saat aku mengalami insomnia seperti ini.
Banyak alasan mengapa balkon rumah ini menjadi tempat kesukaanku, salah satunya
adalah atap kaca itu, sebuah benda transparan yang membuatku dapat memandang
bentangan langit yang sangat mengaggumkan di atas sana. Jelas sekali kulihat
taburan bintang beserta bulan yang tertata sempurna malam ini.
Kujatuhkan tubuhku di sebuah kursi kayu.
Pandanganku tak henti-hentinya menatap langit nun jauh di sana. Langit memang
indah, salah satu tanda kekuasaan Tuhan yang Maha Agung ini selalu berhasil
membuatku berdecak kagum. Kupanjatkan syukur atas segala karuniaNya, termasuk
kenikmatan akan kemampuan memandang segala bentuk penciptaan yang Maha Indah
dariNya.
“Halimah, kau belum tidur?” Suara Ibu
membangunkan lamunanku malam itu. Aku menegakkan tubuhku, masih tetap duduk di
atas kursi kayu itu. Kulihat Ibu mendekatiku kemudian mengelus rambutku lembut.
“Mengapa tidak tidur? Apa hafalanmu sudah selesai?” Tanyanya kembali masih
tetap mengelus rambut hitamku dengan penuh kasih sayang.
“Belum ngantuk bu. Hafalannya masih setengah
juz bu, hehe.” Ujarku sedikit bercanda. Benar saja, aku memang tak sehebat ibu
ataupun kakakku yang tidak butuh waktu lama untuk menghafal lembar demi lembar
ayat suci AlQuran itu, tidak seperti ku yang
sangat rentan dari rasa kantuk dan malas saat membacanya. “Ibu sini deh,
adek mau tanya.” Ujarku sembari menggeser sedikit tubuh untuk menyisakan tempat
duduk untuk Ibu.
“Ada apa?”
“Adek mau tanya, Awan-awan kok tidak tampak di
malam hari ya, Bu?” Ujarku dengan polosnya. Ibu hanya tersenyum mendengar
pertanyaanku baru saja. Selain langit, aku memang sangat menyukai awan, entah
mengapa aku sangat tertarik melihat gumpalan benda putih di pagi dan siang hari itu. Senang sekali
rasanya. Rasa penasaranku selalu muncul saat awan-awan itu nampak di depan
amataku, termasuk tentang negeri di atas awan yang sering diceritakan guruku di
sekolah.
“Adek tau kan awan itu warnanya putih. Kalau
malam hari ya tidak kelihatan.” Jelas Ibuku lemubut walaupun tidak membuatku
cukup puas mendengarnya, karena aku belum sepenuhnya paham akan penjelasan Ibu baru saja.
“Tapi bu, kalau saja awan ada di sana pasti
langit akan nampak lebih indah, ya kan?”
“Ciptaan dari Tuhanlah yang paling sempurna, Halimah.
Kenapa kau sangat menyukai awan?” Tanya Ibu untuk kesekian kalinya
“Ya, karena awan itu keren bu, bentuknya bisa
bermacam-macam. Jadi Adek suka.” Jawabku masih dengan nada polos. Ibu hanya meresponku
dengan senyuman kecil, dan terus saja memandangi langit yang sama denganku.
={}=[}={}={}={}={}={}={}={}={}=
Pagi ini aku dan Ibuku akan pergi ke taman. Bahagia
sekali rasanya. Menjadi sesuatu yang langka bagiku untuk menghabiskan waktu
bersama Ibu. Ibu memang bukan sekedar Ibu rumah tangga, beliau adalah pribadi
yang sangat aktif. Selain bekerja sebagai pengajar di SMA, beliau juga terlibat
dalam mengurus organisasi pengabdian masyarakat di kampungnya. Tapi itulah ibu,
beliau sangat pintar membagi waktu antara urusan pekerjaan dan rumah tangga,
hingga kesibukannya pun tak pernah melunturkan perasaan cinta kami pada Ibu. Karena Ibu tetap menjadi
seorang dengan kasih dan sayangnya yang selalu luar biasa.
Pagi itu, Ibu terlihat cantik dengan balutan
jilbab biru mudanya, sama seperti warna yang aku pakai. Ya, aku sengaja
menyeragamkan jilbabku dengan milik ibu agar kami terlihat kompak.
“Ibu, kita duduk di sana yuk.” Ajakku sembari
menunjuk salah satu bangku taman yang tidak jauh dari keberadaan kami. Seperti
biasa Ibu menyetujui tawaranku. “Ibu, Lihat! Awan sudah bergerombol pagi ini.”
Ujarku sumringah sembari mengacungkan telunjuk kananku ke arah langit. Ah,
menyenangkan sekali, menikmati suasana pagi bersama Ibu dan awan-awan itu.
“Iya. Indah sekali, Nak.” Respon Ibu turut
memandang langit, sama sepertiku.
“Oh ya, Ibu guru pernah menceritakan dongeng
pada adek, bahwa di atas awan itu ada sebuah negeri dan kehidupan lho, Bu.”
Ucapku antusias.
“Oh ya? Memangnya kehidupan seperti apa di atas
sana?” Tanya ibu ikut antusias saat mendengar celotehanku baru saja.
“Jadi, banyak manusia yang hidup dengan damai.
Mereka adalah orang-orang baik yang dipilih Tuhan untuk mendiami tempat bernama
Surga. Memangnya Surga itu ada di atas sana ya bu?” Tanyaku masih dengan nada
kepolosan.
Ibu hanya terdiam menatapku. Senyumnya masih
terulas cantik di raut wajahnya.
“Emm, Yang jelas, luas surga itu meliputi
langit dan bumi. Surga itu sangat indah. Keindahan yang belum pernah dijumpai
oleh mata, didengar oleh telinga, dan aroma yang belum tercium serta tersentuh
kulit sedikitpun.”
Aku termangu mendengar penjelasan Ibu.
“Jadi, Surga itu sangat indah ya bu, sampai
tidak pernah terbayangkan sebelumnya?” Ujarku masih tetap menatap gumpalan
benda-benda putih yang tergantung di atas sana. “Ahh, adek ingin masuk surga
bu. Agar kelak, adek bisa tidur-tiduran di awan-awan putih itu. Empuk pasti ya?
Hehehe..” Candaku sembari tertawa.
“Kalau ingin ke surga, Ibadahnya harus rajin,
tekun belajar, berbakti kepada orang tua, dan berakhlak baik. Itu namanya baru
penghuni surga. Adek mau kan?
Aku mengangguk pertanda setuju. Aku harap, aku
bisa meraih negeri di atas sana. Sebuah negeri terindah, negeri impianku.
={}=[}={}={}={}={}={}={}={}={}=
“Ibu,
Apakah engkau sudah sampai di atas awan putih itu? Semoga Tuhan menempatkanmu
menjadi salah satu penghuni surga.”
Aku yakin iya. Beliau adalah sosok yang teramat
baik bagi kami, anak-anaknya. Ahh, waktu begitu cepat berjalan, bahkan sangat
cepat. Aku masih terdiam melamun sembari menatap alat lukisku. Kutertunduk
cukup lama merenungi tragedi mengerikan satu bulan yang lalu, tak jauh dari
tempat ku berada.
Aku tak menyangka, aku harus kehilangan
seseorang yang sangat berarti di hidupku. Seorang wanita yanag selalu merawat
dan menghiburku di setiap waktu. Aku juga
tak menyangka, motor itu terlalu cepat melaju hingga membuat ibuku tak sempat
menghindarinya. Kututup mukaku dengan kedua telapak tangan, berusaha
menyembunyikan kesedihan dan kepiluan yang sangat dalam. Aku menyesal, mengapa
saat itu aku ingin sekali membeli es krim di seberang jalan ini, dan seperti
biasa Ibu selalu menyetujui permintaanku. Ibu sangatlah baik.
Aku menangis. Ya, aku tak tahu sudah berapa
kali air mata ini menetes meratapi kepergian Ibu. Kini aku hanya bisa menatap
awan itu sendirian tanpa sentuhan lembut dan senyum tulusnya yang sangat menenangkan.
Kudongakkan kepalaku mengamati gumpalan awan penuh misteri. Misteri yang terus
menerus memenuhi kepalaku, tentang sebuah negeri nan indah. Kugerakkan jari
jemariku perlahan, mencoba menyampaikan sesuatu melalui lukisan sederhana ini sembari
tetap membayangkan sebuah negeri di atas awan itu. Negeri impianku.
Akulah yang semula ingin pergi ke sana, tetapi mengapa
Ibu mendahuluiku? Butuh berminggu-minggu untuk menerima semua takdir dan menanamkan keikhlasan untuk melepas
kepergian beliau. Tapi, Ibu pernah berkata kepadaku, semua orang pasti akan
mengalami hal yan sama, hanya saja pilihan antara surga atau neraka itu ada
pada diri kita. Bagaimana kita mengendalikan nafsu dan keinginan kita untuk
selalu berada pada jalan yang benar atau menyimpang ke jalan yang buruk. Ya aku
sadar akan hal itu. Sang pencipta pasti tahu yang terbaik untuk hamba-hambaNya
“Halimah akan jadi anak yang baik. Tahu tidak
bu? Hafalan Halimah sudah hampir satu juz. Halimah juga sudah tidak
menunda-nunda solat lagi, Halimah akan menyusul Ibu ke sana suatu saat nanti,
menatap dan menggenggam awan bersama Ibu.” Gumamku sendirian tanpa sedikitpun
mengalihkan pandanganku dari gumpalan-gumpalan putih tak beraturan itu.
Kuhembuskan nafasku ke udara bersamaan dengan
tetesan air mata yang terus mengalir di pipiku. Kupandangi Langit itu dengan
tatapan sendu. Hamparan Langit dan awan yang selalu menawarkan keindahan, sebagai
pertanda bukti kekuasaan Tuhan. Segala puji bagiNya, atas penciptaan yang maha
sempurna.
-TAMAT-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar