Suara kokok ayam
yang terdengar riuh memaksaku untuk beranjak dari tempat tidur yang nyaman itu.
Kakiku masih terasa berat untuk turun dari ranjang ini, begitu pun dengan
mataku yang masih sedikit terpejam. Namun, bayangan ibuku yang sudah berkutat
di dapur memberikan dorongan yang lebih besar dari apapun. Aku harus segera melakukan
rutinitas harianku seperti biasa.
“Ibu.” Sapaku sesekali
menggosok-gosok mataku yang belum terbuka sempurna.
“Le, Tolong bantu Ibu merapikan tempe
yang akan kau jual di pasar ini!”
Ibu langsung
menyambut kedatanganku begitu pun juga dengan rentetan benda persegi panjang yang
selalu setia menemaniku. Ya, berjualan tempe menjadi profesi Ibu sekaligus
profesiku sejak lama. Aku harus selalu membantu Ibu untuk sekedar memenuhi
kebutuhan kami.
“Nggih, bu.” Aku menyambut perintah Ibu
dengan senang hati. Kutata tempe-tempe hasil produksi Ibu ke dalam keranjang
besar yang ditopang sepeda ontel, kendaraan yang biasa kugunakan untuk
berjualan setiap harinya. Setelah semua siap, aku segera mengeluarkan sepedaku
dari rumah. Aroma fajar langsung menyambutku pagi itu. Setelah berpamitan
dengan Ibu, kukayuh sepeda tua itu perlahan. Tak butuh waktu lama bagiku untuk
memasuki area pasar. Kutuntun sepedaku ke arah salah satu lapak dagangan,
tempatku berjualan tempe setiap hari. Hingga kemudian, ku tata tempe-tempe itu
segera ketika para pembeli sudah mulai berkerumun memenuhi pasar pagi itu.
“Tempenya 5 ribu
ya nak?”
“Oh iya bu.”
Sesegera mungkin kutata tempe pesanan Ibu tadi dan memasukkannya ke dalam kantong
plastik. “Ini bu.” Ujarku kemudian menyodorkan satu bungkus tempe kepada
beliau.
“Terima kasih
nak.”
“Sama-sama bu.”
Jawabku tersenyum sembari menerima satu lembar uang lima ribuan itu. Tak lama
kemudian, beberapa pembeli mulai berjalan ke lapak daganganku dan memesan tempe
seperti yang Ibu tadi lakukan. Begitu pun seterusnya, aku patut berbahagia
karena tempe buatan Ibuku memang terkenal enak dan gurih. Pantas saja para
pembeli sangat antusias memborong daganganku.
Matahari pagi
mulai menggantikan fajar yang kembali temaram. Pasar pun semakin ramai dan
daganganku sudah terjual habis, Alhamdulillah. Tak sabar rasanya melihat senyum
Ibuku tercinta ketika menyambut kedatanganku nanti. Kurapikan lapak daganganku
kala itu dan bersiap-bersiap pulang.
Selama
perjalanan pulang, aku menemui beberapa anak berseragam sekolah merah putih
mengiringi laju sepedaku dari belakang. Tiba-tiba rasa sesak timbul ketika
mereka menyalipku sembari melemparkan canda tawa kepada teman lainnya. Ah,
kapan aku bisa seperti mereka, bersepeda sembari menggendong tas dan memakai
seragam merah putih yang sama. Aku mengalihkan pandanganku dari arah mereka,
berusaha menahan kesedihan akibat harapan yang tak kunjung terwujud itu.
Sudahlah, itu semua hanya mimpi bagiku. Walaupun sesungguhnya jauh di dalam
lubuk hatiku, aku percaya akan mimpi-mimpi itu. Mimpi tentang bangku sekolah
yang akan terwujud suatu hari nanti.
“Ibu. Ardi
pulang.” Sapaku kepada Ibu yang terlihat sedang menggoreng tempe untuk sarapan
kami.
Aku memposisikan
dudukku di dekat Ibu dan mulai menggoreng tempe, seperti yang Ibu lakukan.
Entah mengapa, bayangan anak-anak sekolah tadi masih teringiang di dalam
pikiranku.
“Le,
Ibu dengar di kampung sebelah ada mahasiswa yang sedang observasi. Sepertinya
mereka mendirikan perpustakaan untuk anak-anak kampung ini.” Ucap Ibuku
mengawali pembicaraan.
“Oh ya bu?” Raut
wajahku berubah antusias. Entah mengapa aku sangat ingin ke sana. Aku ingin
merasakan suasana belajar bersama anak-anak lain layaknya di sekolah. “ Adit
boleh ke sana bu?” Ujarku kemudian.
“Boleh, Ibu
dengar, sore ini perpustakaan sudah siap. Kakak-kakak mahasiswa itu pun yang
akan mengajar.”
Aku tersenyum
senang, walaupun bukan sekolah sungguhan, tetapi rasanya senang sekali. Setidaknya
aku sedikit bisa merasakan suasana sekolah secara langsung. Aku pun segera
menyiapkan baju terbaik sekaligus tas bekas dari kakakku. Aku mengisinya dengan
beberapa buku kepunyaan kakakku saat bersekolah dulu. Walaupun aku tidak besekolah,
tetapi bukan berarti menyurutkan niatku untuk belajar. Bagiku belajar itu
menyenangkan.
Setelah
berpamitan dengan Ibu, aku segera melangkah menuju tempat impianku itu dengan
pasti. Sebelumnya, aku menitipkan dagangan ibuku terlebih dahulu di warung
dekat sana. Dari kejauhan, perpustakaan itu lambat laun terlihat. Gedungnya
agak kecil tetapi hampir mirip gedung sekolah. Aku pun mempercepat langkahku
untuk sampai ke sana. Di perpustakaan, sudah banyak anak yang menunggu untuk
belajar. Aku pun segera bergabung dengan mereka. Rasanya seolah-seolah berubah
menjadi murid di sebuah sekolah, senang sekali.
“Hei, kamu.”
Seorang anak di belakangku memanggilku tiba-tiba. Aku pun menoleh ke arahnya.
“Ada apa?”
Tanyaku heran. Aku melihat wajah itu, sepertinya dia tidak nyaman melihatku.
“Bukannya kamu
yang berjualan tempe setiap pagi itu?”
“Iya. Memang kenapa?”
Sebelum aku
mendengar jawaban dari anak itu. Kakak-kakak didepanku sudah mengatur kami
untuk memperhatikan dan memulai kelas sore itu. Aku pun segera mengabaikannya
dan memfokuskan perhatian kepada penjelasan kakak-kakak tersebut.
“Nah, Hari ini
ada kelas bercerita. Jadi, siapa yang berani bercerita di depan kelas?” Salah
satu dari mahasiswa itu mengajar dengan ramah dan ceria, membuatku semakin
bersemangat dan terdorong untuk maju saat itu.
“Saya!” Aku pun
memberanikan diri mengacungkan jari dan maju ke depan kelas.
Aku membuka buku
cerita bekas kakakku semasa kecil dan mulai bercerita di depan dengan penuh
semangat. Suasana hening mengiringi satu per satu kalimat yang kulontarkan.
Tidak ada perasaan gugup sedikitpun saat itu, hingga kemudian aku mengakhiri
ceritaku dengan sempurna. Kakak-kakak itu memberikan tepuk tangan kepadaku.
“Wah, bagus
sekali. Nama kamu siapa?” Ujar salah satu dari mereka ramah.
“Penjual tempe.
Hahaha”
Sebelum aku
menjawab pertanyaan itu, anak yang memanggilku tadi berteriak keras diikuti
tawa penuh ejekan dari seisi kelas. Aku mendadak lesu. Aku tidak tahu harus
berbuat apa kala itu, malu sekali rasanya.
Segera kuambil
tasku dan berlari keluar menjauhi tempat menyebalkan ini. Aku menangis
sepanjang jalan pulang. Entah mengapa, harapan dan semangatku semula langsung
pudar tak berbekas. Tak kusangka, semuanya akan berakhir seperti ini. Bayangan
sekolah penuh kesenangan dan semangat ternyata hanya semu. Semua mimpi-mimpi
itu tidak berlaku untuk orang miskin sepertiku. Ya, seharusnya aku menyadarinya
sejak awal.
***
“Adit, bangun
nak!”
Aku mengerjapkan
mataku berulang. Ah, rasanya masih ingin tidur lagi, lelah di badan ini masih
sangat terasa. Namun, panggilan berulang itu terlalu menggangguku. Aku pun
terpaksa bangun dan berusah membuka mata yang masih lengket ini.
“Nak, ada yang mencarimu.”
“Hah, siapa?”
Aku masih belum bisa menangkap maksud perkataan Ibu baru saja, mungkin karena aku masih sangat
mengantuk.
“Ayo, keluar
dulu!”
Aku pun menuruti
perintah Ibu. Dengan langkah gontai, aku memaksakan diri untuk berjalan keluar.
Saat aku membuka pintu dan menengok keluar, kulihat kakak-kakak yang mengajarku
kemarin tersenyum ke arahku. Aku terkejut sekali. Ingin sekali pergi jauh-jauh
dari sana, mungkin aku belum bisa melupakan rasa maluku saat kejadian kemarin.
“Adik, kok
kemarin langsung pergi?”
Aku terdiam tak
menjawab. Wajahku tertunduk menyembunyikan rasa malu yang masih menetap.
“Oh ya, karena
kemarin adik sudah berani maju, kakak akan memberi hadiah.” Ujar kakak itu
sembari menyodorkan sebuah bungkusan besar.
Aku meraih kotak
warna coklat yang terbungkus rapi itu. Tiba-tiba ada dorongan untuk langsung
membukanya, mungkin karena penasaran. Mataku melebar seketika saat aku menemui
isi dari kotak itu. Seperangkat peralatan sekolah lengkap dengan seragam dan
buku. Apa maksud dari semua ini?
“Adik, mau
sekolah kan? Mulai besok adik sudah bisa sekolah. Nanti adik juga bisa membantu
Ibu, tidak usah khawatir soal biaya dan ejekan teman-teman, kakak-kakak pasti
akan membantu.”
Aku menatap
wajah kakak di depanku. Pelupuk mataku sudah dipenuhi air mata yang berdesakan
ingin keluar. Aku pun langsung memeluknya erat, menangis penuh haru di
dekapannya. Aku mengucapkan terima kasih kepada mereka berulang kali. Mimpi itu
ternyata akan menjadi nyata. Mimpi tentang gedung sekolah dan suasana belajar
bersama teman-teman yang terngiang-ngiang bertahun-tahun di kepalaku akhirnya
terwujud. Mulai saat itu, ada satu keyakinan yang melekat di benakku, Tuhan
pasti berpihak pada orang-orang yang selalu sabar dan bekerja keras.
TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar