Dreaming in حلالا way. . .

Halaman

Cari Blog Ini

Apa sih artinya?

Rabu, 13 Mei 2015

[Cerpen] Mimpi Pendidikan



Suara kokok ayam yang terdengar riuh memaksaku untuk beranjak dari tempat tidur yang nyaman itu. Kakiku masih terasa berat untuk turun dari ranjang ini, begitu pun dengan mataku yang masih sedikit terpejam. Namun, bayangan ibuku yang sudah berkutat di dapur memberikan dorongan yang lebih besar dari apapun. Aku harus segera melakukan rutinitas harianku seperti biasa.
“Ibu.” Sapaku sesekali menggosok-gosok mataku yang belum terbuka sempurna.
Le, Tolong bantu Ibu merapikan tempe yang akan kau jual di pasar ini!”
Ibu langsung menyambut kedatanganku begitu pun juga dengan rentetan benda persegi panjang yang selalu setia menemaniku. Ya, berjualan tempe menjadi profesi Ibu sekaligus profesiku sejak lama. Aku harus selalu membantu Ibu untuk sekedar memenuhi kebutuhan kami.
Nggih, bu.” Aku menyambut perintah Ibu dengan senang hati. Kutata tempe-tempe hasil produksi Ibu ke dalam keranjang besar yang ditopang sepeda ontel, kendaraan yang biasa kugunakan untuk berjualan setiap harinya. Setelah semua siap, aku segera mengeluarkan sepedaku dari rumah. Aroma fajar langsung menyambutku pagi itu. Setelah berpamitan dengan Ibu, kukayuh sepeda tua itu perlahan. Tak butuh waktu lama bagiku untuk memasuki area pasar. Kutuntun sepedaku ke arah salah satu lapak dagangan, tempatku berjualan tempe setiap hari. Hingga kemudian, ku tata tempe-tempe itu segera ketika para pembeli sudah mulai berkerumun memenuhi pasar pagi itu.
“Tempenya 5 ribu ya nak?”
“Oh iya bu.” Sesegera mungkin kutata tempe pesanan Ibu tadi dan memasukkannya ke dalam kantong plastik. “Ini bu.” Ujarku kemudian menyodorkan satu bungkus tempe kepada beliau.
“Terima kasih nak.”
“Sama-sama bu.” Jawabku tersenyum sembari menerima satu lembar uang lima ribuan itu. Tak lama kemudian, beberapa pembeli mulai berjalan ke lapak daganganku dan memesan tempe seperti yang Ibu tadi lakukan. Begitu pun seterusnya, aku patut berbahagia karena tempe buatan Ibuku memang terkenal enak dan gurih. Pantas saja para pembeli sangat antusias memborong daganganku.
Matahari pagi mulai menggantikan fajar yang kembali temaram. Pasar pun semakin ramai dan daganganku sudah terjual habis, Alhamdulillah. Tak sabar rasanya melihat senyum Ibuku tercinta ketika menyambut kedatanganku nanti. Kurapikan lapak daganganku kala itu dan bersiap-bersiap pulang.
Selama perjalanan pulang, aku menemui beberapa anak berseragam sekolah merah putih mengiringi laju sepedaku dari belakang. Tiba-tiba rasa sesak timbul ketika mereka menyalipku sembari melemparkan canda tawa kepada teman lainnya. Ah, kapan aku bisa seperti mereka, bersepeda sembari menggendong tas dan memakai seragam merah putih yang sama. Aku mengalihkan pandanganku dari arah mereka, berusaha menahan kesedihan akibat harapan yang tak kunjung terwujud itu. Sudahlah, itu semua hanya mimpi bagiku. Walaupun sesungguhnya jauh di dalam lubuk hatiku, aku percaya akan mimpi-mimpi itu. Mimpi tentang bangku sekolah yang akan terwujud suatu hari nanti.

“Ibu. Ardi pulang.” Sapaku kepada Ibu yang terlihat sedang menggoreng tempe untuk sarapan kami.
Aku memposisikan dudukku di dekat Ibu dan mulai menggoreng tempe, seperti yang Ibu lakukan. Entah mengapa, bayangan anak-anak sekolah tadi masih teringiang di dalam pikiranku.
 Le, Ibu dengar di kampung sebelah ada mahasiswa yang sedang observasi. Sepertinya mereka mendirikan perpustakaan untuk anak-anak kampung ini.” Ucap Ibuku mengawali pembicaraan.
“Oh ya bu?” Raut wajahku berubah antusias. Entah mengapa aku sangat ingin ke sana. Aku ingin merasakan suasana belajar bersama anak-anak lain layaknya di sekolah. “ Adit boleh ke sana bu?” Ujarku kemudian.
“Boleh, Ibu dengar, sore ini perpustakaan sudah siap. Kakak-kakak mahasiswa itu pun yang akan mengajar.”
Aku tersenyum senang, walaupun bukan sekolah sungguhan, tetapi rasanya senang sekali. Setidaknya aku sedikit bisa merasakan suasana sekolah secara langsung. Aku pun segera menyiapkan baju terbaik sekaligus tas bekas dari kakakku. Aku mengisinya dengan beberapa buku kepunyaan kakakku saat bersekolah dulu. Walaupun aku tidak besekolah, tetapi bukan berarti menyurutkan niatku untuk belajar. Bagiku belajar itu menyenangkan.

Setelah berpamitan dengan Ibu, aku segera melangkah menuju tempat impianku itu dengan pasti. Sebelumnya, aku menitipkan dagangan ibuku terlebih dahulu di warung dekat sana. Dari kejauhan, perpustakaan itu lambat laun terlihat. Gedungnya agak kecil tetapi hampir mirip gedung sekolah. Aku pun mempercepat langkahku untuk sampai ke sana. Di perpustakaan, sudah banyak anak yang menunggu untuk belajar. Aku pun segera bergabung dengan mereka. Rasanya seolah-seolah berubah menjadi murid di sebuah sekolah, senang sekali.
“Hei, kamu.” Seorang anak di belakangku memanggilku tiba-tiba. Aku pun menoleh ke arahnya.
“Ada apa?” Tanyaku heran. Aku melihat wajah itu, sepertinya dia tidak nyaman melihatku.
“Bukannya kamu yang berjualan tempe setiap pagi itu?”
 “Iya. Memang kenapa?”
Sebelum aku mendengar jawaban dari anak itu. Kakak-kakak didepanku sudah mengatur kami untuk memperhatikan dan memulai kelas sore itu. Aku pun segera mengabaikannya dan memfokuskan perhatian kepada penjelasan kakak-kakak tersebut.
“Nah, Hari ini ada kelas bercerita. Jadi, siapa yang berani bercerita di depan kelas?” Salah satu dari mahasiswa itu mengajar dengan ramah dan ceria, membuatku semakin bersemangat dan terdorong untuk maju saat itu.
“Saya!” Aku pun memberanikan diri mengacungkan jari dan maju ke depan kelas.
Aku membuka buku cerita bekas kakakku semasa kecil dan mulai bercerita di depan dengan penuh semangat. Suasana hening mengiringi satu per satu kalimat yang kulontarkan. Tidak ada perasaan gugup sedikitpun saat itu, hingga kemudian aku mengakhiri ceritaku dengan sempurna. Kakak-kakak itu memberikan tepuk tangan kepadaku.
“Wah, bagus sekali. Nama kamu siapa?” Ujar salah satu dari mereka ramah.
“Penjual tempe. Hahaha”
Sebelum aku menjawab pertanyaan itu, anak yang memanggilku tadi berteriak keras diikuti tawa penuh ejekan dari seisi kelas. Aku mendadak lesu. Aku tidak tahu harus berbuat apa kala itu, malu sekali rasanya.
Segera kuambil tasku dan berlari keluar menjauhi tempat menyebalkan ini. Aku menangis sepanjang jalan pulang. Entah mengapa, harapan dan semangatku semula langsung pudar tak berbekas. Tak kusangka, semuanya akan berakhir seperti ini. Bayangan sekolah penuh kesenangan dan semangat ternyata hanya semu. Semua mimpi-mimpi itu tidak berlaku untuk orang miskin sepertiku. Ya, seharusnya aku menyadarinya sejak awal. 

***
“Adit, bangun nak!”
Aku mengerjapkan mataku berulang. Ah, rasanya masih ingin tidur lagi, lelah di badan ini masih sangat terasa. Namun, panggilan berulang itu terlalu menggangguku. Aku pun terpaksa bangun dan berusah membuka mata yang masih lengket ini.
 “Nak, ada yang mencarimu.”
“Hah, siapa?” Aku masih belum bisa menangkap maksud perkataan Ibu  baru saja, mungkin karena aku masih sangat mengantuk.
“Ayo, keluar dulu!”
Aku pun menuruti perintah Ibu. Dengan langkah gontai, aku memaksakan diri untuk berjalan keluar. Saat aku membuka pintu dan menengok keluar, kulihat kakak-kakak yang mengajarku kemarin tersenyum ke arahku. Aku terkejut sekali. Ingin sekali pergi jauh-jauh dari sana, mungkin aku belum bisa melupakan rasa maluku saat kejadian kemarin.
“Adik, kok kemarin langsung pergi?”
Aku terdiam tak menjawab. Wajahku tertunduk menyembunyikan rasa malu yang masih menetap.
“Oh ya, karena kemarin adik sudah berani maju, kakak akan memberi hadiah.” Ujar kakak itu sembari menyodorkan sebuah bungkusan besar.
Aku meraih kotak warna coklat yang terbungkus rapi itu. Tiba-tiba ada dorongan untuk langsung membukanya, mungkin karena penasaran. Mataku melebar seketika saat aku menemui isi dari kotak itu. Seperangkat peralatan sekolah lengkap dengan seragam dan buku. Apa maksud dari semua ini?
“Adik, mau sekolah kan? Mulai besok adik sudah bisa sekolah. Nanti adik juga bisa membantu Ibu, tidak usah khawatir soal biaya dan ejekan teman-teman, kakak-kakak pasti akan membantu.”
Aku menatap wajah kakak di depanku. Pelupuk mataku sudah dipenuhi air mata yang berdesakan ingin keluar. Aku pun langsung memeluknya erat, menangis penuh haru di dekapannya. Aku mengucapkan terima kasih kepada mereka berulang kali. Mimpi itu ternyata akan menjadi nyata. Mimpi tentang gedung sekolah dan suasana belajar bersama teman-teman yang terngiang-ngiang bertahun-tahun di kepalaku akhirnya terwujud. Mulai saat itu, ada satu keyakinan yang melekat di benakku, Tuhan pasti berpihak pada orang-orang yang selalu sabar dan bekerja keras.  

TAMAT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar