Dreaming in حلالا way. . .

Halaman

Cari Blog Ini

Apa sih artinya?

Rabu, 13 Mei 2015

[Cerpen] Harapan



Ada yang pernah berkata, belum tentu harapan yang kita panjatkan selalu menjadi kenyataan. Begitu pun juga dengan harapan besar ini, sebuah harapan besar dari orang-orang kecil seperti kami. Harapan tentang gedung sekolah,  tumpukan-tumpukan buku, atau guru-guru yang ramah itu. Harapan yang terlampau indah, namun sayang, kenyataan menyakitkan menenggelamkan segalanya.
Ku terbangun pagi itu, dan segera menyiapkan beberapa peralatan mengamenku. Aku harus bekerja sejak pagi. Ya, sebuah pekerjaan yang terlihat tidak lazim bagi kalian bukan? Bahkan bagi anak-anak seusia kami, usia anak yang seharusnya disibukkan dengan aktivitas belajar. Namun, tidak bagi kami, sejak kecil hingga usia kami 14 tahun seperti sekarang, orang tua kami sudah membiasakan untuk bekerja. Ya, inilah kehidupan, terkadang kita tidak selalu mendapatkan apa yang diidam-idamkan.
Pagi ini, aku dan temanku sudah bersiap-siap mengamen di lampu merah. Sebuah rutinitas yang sebenarnya sangat berat untuk kukerjakan. Terkadang aku lelah, lelah dalam menopang hidup ini, lelah akan wajah-wajah sinis dari mereka, belum lagi sikap kasar mereka ketika kami sedang mengamen. Tahukah kalian? Aku juga tak ingin seperti ini, aku juga ingin hidup normal seperti anak-anak lain.
“Dit, Ayo bus itu!”
Dodi, temanku mengamen mendadak membuyarkan lamunanku dengan ajakannya. Dia terlihat antusias ketika bus dengan ukuran sedang itu melintasi kami dan tak lama setelahnya, berhenti di halte tak jauh dari tempat kami berdiri.
Tanpa perlu pikir panjang, kami pun segera beranjak ke sana. Kami harus bergerak cepat dan berebut masuk di tengah penumpang lainnya, dengan satu tujuan agar tidak tertinggal atau ketahuan sopir.
Seperti biasa, kami menyesuaikan posisi untuk memainkan beberapa buah lagu, hingga kemudian kami berjalan menyodorkan kantung itu kepada setiap penumpang, berharap mereka memberikan beberapa uang barang sedikitpun. Meski banyak yang mengabaikan kami, tapi beberapa di antara mereka pun terketuk untuk memberi belas kasihnya.
“Kita istirahat dulu yuk?”
Dodi menawarkan diri untuk beristirahat sejenak di bawah pohon beringin siang itu.  Aku pun menyetujuinya. Sepertinya dia sangat kelelahan, tangannya masih tak berhenti mengipas-ngipas wajah yang sudah dipenuhi peluh tersebut.  Pantas saja, kami sudah naik turun bus dari pagi hari hingga matahari sudah jelas terlihat di atas sana.
“Kita dapat berapa ya?” Ujarku sesesekali mengelap peluh seperti yang Dodi lakukan.
“Ah, sudahlah, kita istirahat dulu. Jangan menghitung di sini. Nanti ada preman baru tau rasa.”
 Benar juga, aku hampir lupa kalau setiap wilayah Ibukota ini pasti memiliki preman yang berkuasa. Pernah suatu saat kami kepergok menghitung uang di tempat umum, dan alhasil preman-preman itu merampas hasil keringat kami.
Di sela-sela istirahatku siang itu, aku melihat segerombolan anak berseragam SMP sedang duduk di gazebo taman tak jauh dari sini. Mereka terlihat bersantai-santai ria dan mengobrol satu sama lain, sesekali menghisap rokok di tangan mereka.
“Eh, Dodi. Bukannya ini masih jam sekolah ya? Kok mereka sudah nongkrong-nongkrong di sana?”
Dodi yang menyadari bahwa aku sedang memandangi siswa-siswa itu langsung mengalihkan pandangannya ke arah mereka pula.
“Ah, biarlah! Itu urusan anak sekolah. Mengapa kamu tiba-tiba mengurus mereka, sih?” Ujar Rito ketus
“Ya bukan begitu. Masa anak sekolah malah bolos dan merokok seperti itu ketika jam sekolah?” Tukasku kecewa.
“Namanya juga anak sekolah jaman sekarang. Sudahlah kita kerja lagi aja ya, Adit. Yuk mengamen lagi.”
Aku pun beranjak dari tempatku, meskipun pandanganku masih tak lepas dari anak-anak tadi. Aku belum puas dengan jawaban Dodi baru saja, menurutku ini tidak adil. Anak-anak yang sudah diberi amanah untuk bersekolah malah menyimpang seperti itu. Padahal, aku ingin sekali mengenyam bangku sekolah seperti mereka.  Lamunanku tentang anak-anak itu buyar saat kusadari Dodi mulai menaiki bus tepat di depanku.

Akhirnya sore mulai menjelang, waktunya bagi kami untuk beristirahat. Sore itu, kami kembali ke rumah masing-masing. Namun, bukan berarti kami mengakhiri rutinitas dan bersantai-santai ria. Kebetulan sekali, di dekat rumahku sudah berdiri sekolah terbuka yang dipelopori oleh mahasiswa di salah satu universitas di kotaku pula. Aku pun memanfaatkan kesempatan ini untuk menuntut ilmu seperti anak-anak sekolah lainnya. Bekerja bukan berarti menyurutkan niat untuk belajar, bukan?
Aku dan Dodi berangkat bersama ke sekolah tersebut. Sekolah tersebut baru berdiri 1 bulan, tetapi peminatnya sudah cukup banyak. Keseluruhan muridnya adalah anak-anak putus sekolah, dan kebanyakan adalah pengamen seperti kami.

“Jadi, hari ini waktunya memasuki kelas motivasi.”
Salah satu pengajar di sekolah ini memulai kelas seperti biasa. Namun, aku belum terlalu paham tentang kelas motivasi yang diutarakannya baru saja. Hingga akhirnya semua murid bertanya-tanya tentang kelas motivasi tersebut.
“Jadi, pada kelas motivasi ini, kita tidak belajar apapun. Kita hanya memberikan semangat satu sama lain dan saling berbagi tentang pengalaman ataupun peristiwa yang dapat membuat kita bersemangat. Ada yang ingin memulai untuk berbagi cerita?”
Mendengar pertanyaan itu, pikiranku langsung memutar kilas balik tentang peristiwa siang tadi, tentang anak sekolah yang bolos pada saat jam sekolah. Aku pun memberanikan diri mengacungkan jari.
“Kak, tadi saya melihat anak-anak SMP bolos sekolah. Mengapa sih mereka berbuat seperti itu? Padahal, banyak anak seperti kami ingin mengenyam bangku sekolah.”
Mendengar pertanyaan dariku, kakak pengajar itu terdiam sejenak. Dia terlihat berpikir keras sembari menatapku.
“Jadi, itulah potret kehidupan pendidikan di Indonesia. Kalian tidak perlu merasa iri dan menyalahkan mereka. Setiap orang itu memiliki takdir sendiri-sendiri. Ketika kalian bekerja dan tidak bersekolah seperti mereka, bukan berarti kalian berhenti belajar, bukan? Nah, rutinitas kalian dalam mengikuti pembelajaran di sekolah terbuka ini menjadi salah satu komitemen kalian untuk meraih kesuksesan di masa depan juga.”
“Namun, banyak orang-orang di luar sana yang menganggap bahwa anak yang tidak memiliki pendidikan di sekolah formal itu buruk. Mereka sering menganggap rendah kami, kak.” Salah satu temanku pun mengutarakan keluh kesahnya.
“Jadi begini, dengarkan kakak baik-baik ya! Banyak sekali rintangan yang harus kita hadapi di dunia ini. Sebenarnya, tidak salah jika kalian dilahirkan dalam keadaan miskin, namun akan menjadi kesalahan jika kalian mati dalam keadaan miskin pula. Jadi berhentilah mengeluhkan keadaan, dan mulailah hadapi kenyataan. Optimalkan kesempatan dan keadaan yang ada. InsyaAllah, Tuhan bersama orang-orang yang sabar dan bekerja keras. Setiap orang itu berhak suskes, entah dia berasal dari keluarga kaya atau miskin. Yang jelas, selama kalian memiliki niat yang besar untuk bekerja dan belajar, kalian akan selangkah lebih maju dari anak yang bermalas-malasan itu. Mari kita lihat siapa yang lebih sukses di masa depan!”
Paparan dan motivasi dari kakak pengajar tadi meyadarkanku seketika, menyadarkan bahwa semua orang memiliki kesempatan yang sama untuk sukses, begitu pun denganku. Ya, aku harus berjuang. Aku harus membuktikan, walaupun kami tidak mengenyam pendidikan di sekolah formal, tapi bukan berarti kami berhenti belajar. Bukan berarti kami tidak memiliki masa depan yang cerah seperti mereka. Kita adalah sama, usaha dan doalah yang akan memutuskan akhir cerita kehidupan ini. Sejak saat itu, harapan-harapan besar itupun mulai subur bersemi di hatiku, sebuah harapan yang ingin sekali kupetik di masa depan.

10 tahun kemudian….
Aku membuka lembar demi lembar buku yang sudah menemaniku sepuluh tahun ini. Sebuah buku tentang kisah kehidupan yang sangat berliku. Kehidupan tentang anak jalanan yang sebagian besar dari mereka menganggapnya rendah. Namun sekarang, aku berhasil mengubah paradigma tersebut berkat keyakinan yang kuat.
Kututup buku itu perlahan dan kupandangi dunia luar lewat kaca jendela di hadapanku. Sunggingan senyum terukir lebar saat kutemui anak-anak yang belajar dengan penuh semangat di luar sana. Anak-anak yang mengingatkanku pada kehidupan masa laluku, yang sejatinya tidak berbeda jauh dengan mereka.
Namun, semua lika-liku itu sudah kulalui. Memang benar, semua orang memiliki kesempatan yang sama untuk sukses, hanya saja bagaimana ia memanfaatkan kesempatan itu semaksimal mungkin. Kini aku sudah menjadi pengusaha yang terbilang sukses, itu yang mereka katakana. Walaupun sebenarnya, aku tak lebih dari manusia penuh kekurangan dan keburukan.
Namun, aku bukanlah kacang yang lupa akan kulitnya. Sekolah terbuka itu berjasa sekali untukku. Sekolah yang menginspirasiku dan mengajarkanku banyak hal tentang ilmu pengetahuan hingga kehidupan yang sebenarnya. Beberapa sekolah gratis pun berhasil kubangun untuk anak-anak putus sekolah. Mereka bisa belajar sekaligus bekerja, sama sepertiku dulu. Senang sekali jika bisa memberikan manfaat bagi orang lain.
Tiba-tiba, sekelebat memori tentang anak-anak SMP itu singgah di pikiranku. Bagaimana nasib mereka sekarang ya? Semoga mereka semua diberi kesuksesan berkat bekal ilmu yang mereka timbun. Namun, aku melihat salah satu dari mereka bekerja di perusahaanku. Entahlah, apakah aku salah orang atau tidak? Tetapi kala itu wajah mereka benar-benar terbekas di kepalaku hingga sekarang. Bukankah Tuhan Maha Adil? Tuhan pasti berpihak kepada orang-orang yang selalu sabar dan bekerja keras.

-TAMAT-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar