Ada yang pernah berkata, belum tentu harapan yang kita
panjatkan selalu menjadi
kenyataan. Begitu pun
juga dengan harapan besar ini,
sebuah
harapan besar dari orang-orang kecil seperti kami. Harapan tentang gedung
sekolah, tumpukan-tumpukan buku, atau
guru-guru yang ramah itu.
Harapan yang terlampau indah,
namun sayang,
kenyataan menyakitkan menenggelamkan segalanya.
Ku terbangun pagi itu, dan segera menyiapkan beberapa peralatan
mengamenku. Aku harus bekerja sejak pagi. Ya, sebuah pekerjaan
yang terlihat tidak lazim bagi kalian bukan? Bahkan bagi anak-anak seusia kami, usia anak yang seharusnya disibukkan
dengan aktivitas belajar. Namun, tidak bagi kami, sejak kecil hingga usia kami 14 tahun seperti sekarang, orang tua kami sudah
membiasakan untuk bekerja.
Ya, inilah kehidupan, terkadang kita tidak selalu mendapatkan apa yang
diidam-idamkan.
Pagi ini, aku dan
temanku sudah bersiap-siap mengamen di lampu merah. Sebuah rutinitas yang
sebenarnya sangat berat untuk kukerjakan. Terkadang aku lelah, lelah dalam
menopang hidup ini, lelah akan wajah-wajah
sinis dari mereka, belum lagi sikap
kasar mereka ketika kami sedang mengamen. Tahukah kalian? Aku juga tak ingin
seperti ini, aku juga ingin hidup
normal
seperti anak-anak lain.
“Dit, Ayo bus itu!”
Dodi, temanku mengamen mendadak
membuyarkan lamunanku dengan ajakannya. Dia terlihat antusias ketika bus
dengan ukuran sedang itu
melintasi
kami dan tak lama
setelahnya, berhenti di halte tak jauh dari tempat kami berdiri.
Tanpa perlu pikir
panjang, kami pun segera beranjak ke sana.
Kami
harus bergerak cepat dan
berebut masuk di tengah penumpang lainnya, dengan satu tujuan agar tidak
tertinggal atau ketahuan sopir.
Seperti biasa, kami menyesuaikan posisi untuk memainkan beberapa buah
lagu, hingga kemudian kami berjalan menyodorkan kantung itu kepada setiap
penumpang, berharap mereka memberikan beberapa uang barang sedikitpun. Meski
banyak yang mengabaikan kami, tapi beberapa di antara mereka pun terketuk untuk
memberi belas kasihnya.
“Kita istirahat dulu yuk?”
Dodi menawarkan diri untuk beristirahat sejenak di bawah pohon beringin
siang itu. Aku pun menyetujuinya.
Sepertinya dia sangat kelelahan, tangannya masih tak berhenti mengipas-ngipas
wajah yang sudah dipenuhi peluh tersebut. Pantas saja, kami sudah naik turun bus dari
pagi hari hingga matahari sudah jelas terlihat di atas sana.
“Kita dapat berapa ya?” Ujarku sesesekali mengelap peluh seperti yang Dodi
lakukan.
“Ah, sudahlah, kita istirahat dulu. Jangan menghitung di sini. Nanti ada
preman baru tau rasa.”
Benar juga, aku hampir lupa kalau
setiap wilayah Ibukota ini pasti memiliki preman yang berkuasa. Pernah suatu
saat kami kepergok menghitung uang di tempat umum, dan alhasil preman-preman
itu merampas hasil keringat kami.
Di sela-sela istirahatku siang itu, aku melihat segerombolan anak
berseragam SMP sedang duduk di gazebo taman tak jauh dari sini. Mereka terlihat
bersantai-santai ria dan mengobrol satu sama lain, sesekali menghisap rokok di tangan
mereka.
“Eh, Dodi. Bukannya ini masih jam sekolah ya? Kok mereka sudah
nongkrong-nongkrong di sana?”
Dodi yang menyadari bahwa aku sedang memandangi siswa-siswa itu langsung
mengalihkan pandangannya ke arah mereka pula.
“Ah, biarlah! Itu urusan anak sekolah. Mengapa kamu tiba-tiba mengurus
mereka, sih?” Ujar Rito ketus
“Ya bukan begitu. Masa anak sekolah malah bolos dan merokok seperti itu ketika
jam sekolah?” Tukasku kecewa.
“Namanya juga anak sekolah jaman sekarang. Sudahlah kita kerja lagi aja ya,
Adit. Yuk mengamen lagi.”
Aku pun beranjak dari tempatku, meskipun pandanganku masih tak lepas
dari anak-anak tadi. Aku belum puas dengan jawaban Dodi baru saja, menurutku
ini tidak adil. Anak-anak yang sudah diberi amanah untuk bersekolah malah
menyimpang seperti itu. Padahal, aku ingin sekali mengenyam bangku sekolah
seperti mereka. Lamunanku tentang
anak-anak itu buyar saat kusadari Dodi mulai menaiki bus tepat di depanku.
Akhirnya sore mulai menjelang, waktunya bagi kami untuk beristirahat.
Sore itu, kami kembali ke rumah masing-masing. Namun, bukan berarti kami
mengakhiri rutinitas dan bersantai-santai ria. Kebetulan sekali, di dekat
rumahku sudah berdiri sekolah terbuka yang dipelopori oleh mahasiswa di salah
satu universitas di kotaku pula. Aku pun memanfaatkan kesempatan ini untuk
menuntut ilmu seperti anak-anak sekolah lainnya. Bekerja bukan berarti
menyurutkan niat untuk belajar, bukan?
Aku dan Dodi berangkat bersama ke sekolah tersebut. Sekolah tersebut
baru berdiri 1 bulan, tetapi peminatnya sudah cukup banyak. Keseluruhan
muridnya adalah anak-anak putus sekolah, dan kebanyakan adalah pengamen seperti
kami.
“Jadi, hari ini waktunya memasuki kelas motivasi.”
Salah satu pengajar di sekolah ini memulai kelas seperti biasa. Namun,
aku belum terlalu paham tentang kelas motivasi yang diutarakannya baru saja.
Hingga akhirnya semua murid bertanya-tanya tentang kelas motivasi tersebut.
“Jadi, pada kelas motivasi ini, kita tidak belajar apapun. Kita hanya
memberikan semangat satu sama lain dan saling berbagi tentang pengalaman
ataupun peristiwa yang dapat membuat kita bersemangat. Ada yang ingin memulai
untuk berbagi cerita?”
Mendengar pertanyaan itu, pikiranku langsung memutar kilas balik tentang
peristiwa siang tadi, tentang anak sekolah yang bolos pada saat jam sekolah.
Aku pun memberanikan diri mengacungkan jari.
“Kak, tadi saya melihat anak-anak SMP bolos sekolah. Mengapa sih mereka
berbuat seperti itu? Padahal, banyak anak seperti kami ingin mengenyam bangku
sekolah.”
Mendengar pertanyaan dariku, kakak pengajar itu terdiam sejenak. Dia
terlihat berpikir keras sembari menatapku.
“Jadi, itulah potret kehidupan pendidikan di Indonesia. Kalian tidak
perlu merasa iri dan menyalahkan mereka. Setiap orang itu memiliki takdir
sendiri-sendiri. Ketika kalian bekerja dan tidak bersekolah seperti mereka,
bukan berarti kalian berhenti belajar, bukan? Nah, rutinitas kalian dalam
mengikuti pembelajaran di sekolah terbuka ini menjadi salah satu komitemen
kalian untuk meraih kesuksesan di masa depan juga.”
“Namun, banyak orang-orang di luar sana yang menganggap bahwa anak yang
tidak memiliki pendidikan di sekolah formal itu buruk. Mereka sering menganggap
rendah kami, kak.” Salah satu temanku pun mengutarakan keluh kesahnya.
“Jadi begini, dengarkan kakak baik-baik ya! Banyak sekali rintangan yang
harus kita hadapi di dunia ini. Sebenarnya, tidak salah jika kalian dilahirkan
dalam keadaan miskin, namun akan menjadi kesalahan jika kalian mati dalam
keadaan miskin pula. Jadi berhentilah mengeluhkan keadaan, dan mulailah hadapi
kenyataan. Optimalkan kesempatan dan keadaan yang ada. InsyaAllah, Tuhan
bersama orang-orang yang sabar dan bekerja keras. Setiap orang itu berhak
suskes, entah dia berasal dari keluarga kaya atau miskin. Yang jelas, selama
kalian memiliki niat yang besar untuk bekerja dan belajar, kalian akan
selangkah lebih maju dari anak yang bermalas-malasan itu. Mari kita lihat siapa
yang lebih sukses di masa depan!”
Paparan dan motivasi dari kakak pengajar tadi meyadarkanku seketika, menyadarkan
bahwa semua orang memiliki kesempatan yang sama untuk sukses, begitu pun
denganku. Ya, aku harus berjuang. Aku harus membuktikan, walaupun kami tidak
mengenyam pendidikan di sekolah formal, tapi bukan berarti kami berhenti
belajar. Bukan berarti kami tidak memiliki masa depan yang cerah seperti
mereka. Kita adalah sama, usaha dan doalah yang akan memutuskan akhir cerita
kehidupan ini. Sejak saat itu, harapan-harapan besar itupun mulai subur bersemi
di hatiku, sebuah harapan yang ingin sekali kupetik di masa depan.
10 tahun kemudian….
Aku membuka lembar demi lembar buku yang sudah menemaniku sepuluh tahun
ini. Sebuah buku tentang kisah kehidupan yang sangat berliku. Kehidupan tentang
anak jalanan yang sebagian besar dari mereka menganggapnya rendah. Namun sekarang,
aku berhasil mengubah paradigma tersebut berkat keyakinan yang kuat.
Kututup buku itu perlahan dan kupandangi dunia luar lewat kaca jendela
di hadapanku. Sunggingan senyum terukir lebar saat kutemui anak-anak yang belajar
dengan penuh semangat di luar sana. Anak-anak yang mengingatkanku pada
kehidupan masa laluku, yang sejatinya tidak berbeda jauh dengan mereka.
Namun, semua lika-liku itu sudah kulalui. Memang benar, semua orang
memiliki kesempatan yang sama untuk sukses, hanya saja bagaimana ia memanfaatkan
kesempatan itu semaksimal mungkin. Kini aku sudah menjadi pengusaha yang
terbilang sukses, itu yang mereka katakana. Walaupun sebenarnya, aku tak lebih
dari manusia penuh kekurangan dan keburukan.
Namun, aku bukanlah kacang yang lupa akan kulitnya. Sekolah terbuka itu
berjasa sekali untukku. Sekolah yang menginspirasiku dan mengajarkanku banyak
hal tentang ilmu pengetahuan hingga kehidupan yang sebenarnya. Beberapa sekolah
gratis pun berhasil kubangun untuk anak-anak putus sekolah. Mereka bisa belajar
sekaligus bekerja, sama sepertiku dulu. Senang sekali jika bisa memberikan
manfaat bagi orang lain.
Tiba-tiba, sekelebat memori tentang anak-anak SMP itu singgah di pikiranku.
Bagaimana nasib mereka sekarang ya? Semoga mereka semua diberi kesuksesan
berkat bekal ilmu yang mereka timbun. Namun, aku melihat salah satu dari mereka
bekerja di perusahaanku. Entahlah, apakah aku salah orang atau tidak? Tetapi
kala itu wajah mereka benar-benar terbekas di kepalaku hingga sekarang. Bukankah
Tuhan Maha Adil? Tuhan pasti berpihak kepada orang-orang yang selalu sabar dan
bekerja keras.
-TAMAT-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar