Author : ちょゆき
Chapter : 1/?
Genre : Friendship
| Tragedy | Hurt | Family | Angst |Drama
Fandom : (My) Original Character (Hime, Yuri,
Mirai, Aya, Cho, Ve)
Rated : NC - 13
Summary : Karena kamu adalah temanku . . .
Warning : Author masih pemula diksinya dari dulu
sampai sekarang masih membosankan + makin Alay karena kelamaan hiatus, tapi Fic
ini penuh emosi *menurutku*.
Note : Yappa >o<’’, saya
kembali ke dalam dunia asliku, menyenangkan sekali. Sepertinya ini FF terakhir sebelum
puasa. Sebenarnya aku mau nulis lagi juga gara – gara dibujuk sama tuh.. Dita,
Ar, sama si Kiki dan yang lainnya *kayak ada yang baca :P* yang dari dulu udah
nyuruh – nyuruh, tapi baru kubuatin sekarang, Maaf sekali, Maaf jika tidak
memuaskan. Karena saya udah terlanjur janji, jadinya belajar gak tenang, makan
gak tenang, mandipun gak tenang, buru – buru akan kulunasi hutang saiia,
hehehe.
- Dedicated
to all of my friends who always read my stories. Thank you so much^^ -
Happy Reading
^^
Persahabatan itu tak ternilai harganya
Tidak ada yang namanya mantan sahabat atau teman
Karena kalianlah pelengkap hidupku
Penyemangatku dan pelindungku
Kenangan bersama kalian adalah yang terindah
Kebersamaan itu akan selalu kuingat
Aku cinta kalian…
***
….Dimana saatnya kita merasa kehilangan atas seseorang atau
beberapa orang, terpaksa meninggalkan mereka karena tuntutan dan
kewajiban demi cita – cita dan mimpi. Meninggalkan masa – masa indah itu
tanpa bisa kembali, tapi masa itulah yang takkan pernah hilang, selalu
menjadi kenangan terindah dan paling indah, cintailah sahabatmu
sayangilah mereka ketika engkau masih bersama, peluk erat bersama mimpi –
mimpi itu^^…
“Plok, Plok, Plok.”
Tepuk tangan
terdengar riuh mengisi ruangan kelas ketika Ve selesai membaca salah satu
ceritanya. Dia membungkukkan badan sejenak kemudian mengangkatnya kembali
sebagai rasa terima kasih. Kemudian ia berjalan perlahan menuju bangkunya, kemudian
kembali mendengarkan gurunya.
“Baiklah itu salah
satu contoh cerita yang bisa disebut cerita pendek, dan sepertinya jam
pelajaran sudah akan berakhir. Kita lanjutkan besok lagi, Sayounara!”
“Sayounaraaa….”
Jawab semua murid
ketika Ruki-sensei menutup pertemuan itu dengan semangat, diikuti semua
siswa yang terlihat sibuk dengan segala
aktivitas mereka akhir sekolah. Begitupun
dengan wanita yang duduk satu meja
di belakang Ve. Wanita manis itu sibuk merapikan segala peralatan sekolahnya
yang tergeletak di atas meja kemudian memasukkannya ke dalam tas pink nya itu.
Siapa sangka, wanita yang terlihat sangat anggun itu mempunyai watak yang tak
disukai oleh beberapa orang temannya. Begitu juga dengan teman sebangkunya,
walaupun mereka kelihatan akrab, tapi teman sebangku wanita itu yang tak lain
bernama Yuri itu menyimpan luka yang tak terlihat tapi sangat bisa dirasakan.
Namun ia hanya diam, ia tak ingin menyakiti temannya itu.
“Sampai jumpa besok Hime.” Ucap Yuri sembari melukiskan
sedikit senyuman kecil di wajahnya.
“Yup.”
Seperti biasanya Hime hanya menjawab singkat tanpa ekspresi
kemudian berlalu tanpa meninggalkan pesan. Apa dia selalu seperti itu? Yuri
hanya terdiam dan seolah sudah terbiasa dengan sikap temannya tersebut. Sudah 1
tahun mereka bersama duduk di bangku SMA ini. Namun sikapnya yang tidak menyenangkan
itu membuatnya tidak memiliki banyak teman, tapi tidak untuk Yuri. Beruntung
sekali Hime memiliki teman yang menerimanya apa adanya.
Teman yang baik itu selalu mengerti keadaan temannya,
menerima segala kekurangan dan kelebihan tanpa keluhan sedikitpun, walau
terkadang menyakitkan.
Hime berjalan perlahan, sendirian. Dia selalu begitu, tak
asing bagi semua warga sekolah melihatnya sendirian, namun menjadi sangat
mengherankan jika ia dikelilingi banyak orang. Ia mempercepat langkahnya untuk
keluar dari gerbang. Jemputan ternyata sudah menunggu di depannya, Hmmm… Dia
memang anak orang kaya, setiap hari selalu di antar kemudian dijemput oleh
sopirnya, bahkan kemanapun ia pergi.
Setelah beberapa menit perjalanan, mereka sampai di sebuah
rumah megah bercatkan putih yang terlihat mendominasi. Taman yang luas penuh
dengan pepohonan bahkan terlihat seperti perkebunan jika terlihat dari luar.
Hime turun dari mobilnya kemudian memasuki rumah megah itu yang merupakan
rumahnya sendiri.
Sepi. Sungguh aneh jika orang yang belum terlalu mengenalnya
beserta seisi rumahnya yang terkesan serba mewah itu namun terasa mempunyai
nuansa seperti rumah kosong. Tidak bagi Hime, ia sudah terbiasa dengan kondisi
rumah yang didiaminya sejak ia kecil itu. Dia menaruh tasnya di atas sofa dan
merebahkan badannya di sana. Kemudian mengambil remote disampingnya dan menekan
tombol power untuk menyalakan TV
layar datar di depannya itu. Ia memejamkan matanya seperti tertidur.
~/\~/\~/\~/\~/\~/\~/\~/\~/\~/\~
“Ahh, Hime, Maaf.”
Salah satu siswa di kantin itu sibuk membersihkan baju
seragam Hime yang terkena noda kecap menggunakan sapu tangannya. Ekspresinya
terlihat sangat panik bersamaan dengan tangannya yang sedikit bergemetar saat
menyentuh baju seragam Hime.
‘Prakkk’
Seisi kantin terlonjak mendengar suara keras yang timbul dari
gebrakan Hime di meja tempatnya menikmati makanan, sebelum kejadian yang
sungguh tak menyenangkan itu terjadi. Semua orang memusatkan pandangan kepada
mereka. Begitupun dengan Aya yang paling terkejut atas perlakuan Hime kepadanya
itu. Sebelumnya Aya, teman sekelas Hime tak sengaja menumpahkan kuah bakso
tepat di seragam Hime saat ia terburu – buru membawa makanannya itu. Namun tak
disangka, kakinya malah menyandung kaki meja dan membuatnya kehilangan
keseimbangan kemudian menjatuhkan baksonya itu ke tempat Hime duduk.
“KAMU APA – APAAN SIH? NGGAK TAU KALAU AKU LAGI MAKAN DI
SINI? KAMU JALAN PAKAI APA? PAKAI DENGKUL? MATAMU ITU KEMANA?” Gertak Hime
sambil mendorong tubuh Aya yang sudah sangat ketakutan itu.
“Maaf, aku tidak sengaja.” Ucap Aya gemetaran saking
takutnya.
“Maaf? Gampang banget. Kamu mau bertanggung jawab dengan
seragamku ini?” Bentak Hime tanpa rasa kasihan sedikitpun. Siswa lainnya hanya
terdiam melihat tindakan sadis Hime tersebut.
“Hime, Aya kan tidak sengaja, sudahlah jangan dibesar –
besarkan seperti ini?” Akhirnya Yuri mau buka mulut untuk menenangkan Hime yang
sedang terbakar emosi tersebut.
Tapi sepertinya ucapan Yuri tidak digubris, “Ha? KAU MAU APA?
MAU MEMBELIKANKU SERAGAM BARU? Hahaha enggak mungkin, kamu gak bakal mampu! ”
Hime tertawa terbahak – bahak meremehkan teman didepannya itu.
Aya meneteskan air mata yang sudah ia tahan sejak tadi.
“Hime-san, Gomen, aku akan mencucinya.” Aya kembali berucap dengan nada yang
terputus – putus.
“Alahhh, sudah buang – buang waktu saja!” Hime berjalan
meninggalkan Aya di sana, mengacuhkannya tanpa ada rasa iba sedikitpun. Aya
menjatuhkan badannya hingga terduduk di lantai. Air matanya sudah tak
terbendung lagi, ia menangis terisak – isak.
Yuri segera menghampirinya “Aya-san maafkan Hime, ya. Dia,
kamu tau sendiri kan? Aku akan mengingatkannya nanti, kamu tidak usah
khawatir.” Yuri menepuk - nepuk pundak Aya dan menenangkannya perlahan.
“Hiks, Dia kejam!”
~/\~/\~/\~/\~/\~/\~/\~/\~/\~/\~
“Hime-san,” Yuri berteriak sambil berlari mengejar Hime saat
ia sudah akan meninggalkan sekolah. Hime menghentikan langkahnya kemudian
menoleh ke belakang.
“Nani?”.
“Ahh, Anoo, soal yang tadi di kantin, aku harap kamu mau
memaafkan Aya,” Yuri menarik napas perlahan karena sedikit kelelahan saat
mengejar Hime.
“Ahhh, baik, aku hanya memberi pelajaran kepadanya.” Ucap
Hime tenang.
“Ahh, kau harusnya tidak seperti itu….” Hime menghentikan
kalimatnya tiba – tiba ketika melihat ekspresi datar Hime yang sudah biasa ia
lihat.
“Lalu…?”
Mengira bahwa sarannya tidak akan didengarkan lagi, Yuri
mengganti ke topik lain.
“Ahh, ngomong – ngomong, boleh tidak hari ini aku ke
rumahmu?”
“Eh? Memang ada apa?” Hime sedikit heran dengan perkataan
Yuri yang menurutnya sangat aneh. Tak biasanya dia berucap semacam itu.
“Iya. Pengen aja. Aku juga pengen lihat rumahmu, Boleh?” Yuri
mengedip – edipkan matanya berniat membujuk Hime. Hime yang sama sekali tidak
tersenyum itu akhirnya menjawab.
“Baik.”
“Ahh…. Arigatou Hime-chan.” Yuri bertepuk tangan kesenangan.
“Itu dia jemputanku, Ayo!” Ajak Hime yang terlihat berjalan
duluan di depan. Kemudian diikuti Yuri yang mempercepat langkahnya mengejar
Hime.
“Kau beruntung, ya.”
Ucap Aya saat mereka sedang berada di mobil Hime.
“Maksudmu?”
“Iya. Kamu punya fasilitas yang serba ada. Pasti enak?”
“Ahh, tidak juga. Aku tidak merasakan kenikmatan yang berarti
di kehidupanku.”
Tiba – tiba Hime melamun, membayangkan kehidupannya selama
ini.
“Eh? Kamu tidak apa – apa?” ucap Yuri yang sedikit terkejut
dengan ekspresi Hime yang berubah tiba – tiba.
“Ahh, tidak apa – apa kok. Nah, sudah hampir sampai.” Hime
menolehkan wajahnya ke depan.
“Iyakah?”
Mobil itu masuk ke area tanah yang cukup luas seperti
biasanya. Kemudian mereka turun dari mobil dan berjalan memasuki rumah Hime
yang sangat indah itu.
“Hime, ini rumahmu? Bagus sekali.” Yuri terkagum – kagum
ketika melihat rumah seperti istana itu.
“Ahh, sudahlah. Ayo masuk!” Hime mengajak temannya itu untuk
melihat lebih dalam seisi rumahnya itu.
“Waw, memang indah. Ngomong – ngomong orang tuamu?”
“Ahh, itu. Mereka sedang ke luar kota.” Hime menjawabnya
dengan nada rendah.
“Oh, pasti ada bisnis
ya?”
Hime kembali melamun. Ia tidak menjawab perkataan Yuri tadi.
“Ahh, kau mau di sini apa ke kamarku?”
“Aku ikut kamu dong. Daripada aku tersesat di rumah seluas
ini hehehe.” Ucap Yuri terkekek.
“Kau ini.”
Mereka naik ke tangga kedua. Rumah ini memiliki tiga lantai
semuanya terlihat sangat mewah dan mahal. Hingga akhirnya mereka memasuki salah satu
ruangan yang terletak diujung tangga. Ruangan yang tak lain adalah kamar Hime
ini bercat hijau muda, sehingga terlihat segar dan sejuk untuk ditinggali.
“Kamu punya saudara kandung?” Tanya Yuri kesekian kalinya.
“Tidak, aku anak tunggal.”
“Oh, Maaf ya, aku banyak tanya, hehehe.” Ujar Yuri tertawa
sembari menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
Yuri meneliti setiap sudut kamar Hime yang tak kalah luas
dengan ruangan lain di rumahnya itu.
Hingga pandangannya tak sengaja melihat secarik kertas tebal yang
tergeletak di lantai. Yuri pun mengambilnya. Dan mengamatinya lekat – lekat,
ternyata di baliknya terlukis foto Hime beserta seorang perempuan berambut
panjang hitam sedang merangkulnya, mereka terlihat sangat akrab.
“Ini siapa?” Yuri menanyakan perempuan di foto itu dengan
menunjukkannya kepada Hime.
“Siapa? Ahh, kau, dimana kau mendapatkannya?” Hime segera
mengambil kertas tersebut kemudian menaruhnya ke dalam laci.
Yuri kaget dengan ekspresi Hime itu dan sedikit bersalah saat
mengetahui sepertinya dia tidak menyukai perbuatannya menunjukkan perempuan di
foto itu, seperti memutar kembali memori lama.
“Maaf. Hime memang ada apa?” Tanya Yuri pelan
“Tidak, kau tidak perlu mengetahui seluk beluk kehidupanku
kan?” Nada suara Yuri meninggi.
“Tapi, bukankah kau sahabatku?”
“Hah? Sahabat? Aku tidak percaya adanya sahabat di
kehidupanku.”
Yuri terkaget dengan ucapan Hime barusan. Dia tidak percaya,
jadi selama ini, Dia benar – benar tidak mengakui keberadaan Yuri sebagai
seorang sahabat?
“Kau bicara apa?” Yuri masih sedikit tak percaya dengan
perkataan Hime tadi.
“Kau tidak dengar? Aku tidak butuh sahabat! Teman atau
apalah, mereka itu tidak berguna.”
Jantung Yuri serasa berhenti. Ia seperti dihujani beribu
pedang berbentuk perkataan yang benar –
benar menyakitkan untuk diterima bahkan lebih sakit daripada luka fisik itu
sendiri.
“Hime-san, jadi bagimu aku ini apa?” Kali ini Yuri yang
membentak Hime.
“Kau? Memang aku mengkhususkan dirimu? Kau ini hanya orang
yang ku kenal tidak lebih.”
‘PLAKKKK’
Satu tamparan sukses mendarat ke pipi Hime, membuat Hime
sangat kaget dengan perlakuan Yuri saat itu.
“APA – APAAN KAU INI?” Bentak Hime kepada Yuri.
“Bertanyalah pada dirimu sendiri, kau itu siapa? Kau itu
hanya anak sombong di sekolah, tidak punya rasa iba, kasihan bahkan belas
kasih. Apa kamu tidak punya hati? Seenaknya membentak orang? Seperti Iblis,
bahkan kau ini lebih kejam.”
Hime menarik kerah baju Yuri.
“BERANINYA KAU!!!” Hime hendak menamparnya namun berhasil
ditangkis oleh Yuri.
“Hei, kau tidak lihat dirimu? Masih berani – beraninya
membela? Apa aku tidak sakit hati bersamamu selama ini? Sakit sekali, apa kau
tau rasa sakit ini? Hah, orang sepertimu pasti tidak menggubrisnya. ORANG MACAM
APA KAU? Aku bertahan bersamamu karena aku menghargai kau sebagai temanku,
sahabatku, aku tak ingin menyakitimu ketika aku mengungkapkan rasa sakit atas
perlakuanmu selama ini, kau acuhkan begitu saja. Aku tidak mau membuat orang
lain merasakan sakit yang sama seperti yang aku rasakan. Aku menerima keadaanmu
yang egois itu, yang sombong, mudah marah. Kapan kau puas Hime?”
Hime melepaskan tangannya dari kerah baju Yuri, dia terduduk
di kasurnya. Bola matanya memandang tanpa arah di setiap sudut ruangan kamarnya
tanpa berhenti berputar. Sementara itu Yuri mulai menitikkan air mata,
menyadari dirinya yang awalnya merupakan pribadi yang lembut dan sekarang marah
dengan penuh emosi berkumpul di otaknya.
“Kau bicara apa, Yuri?” Hime menutup kedua mukanya dengan
telapak tangannya.
Dia menangis?
Sungguh tidak bisa disangka Hime yang luarnya adalah pribadi
yang sangat emosional dan temperamental itu bisa menangis.
“Hime, aku…” Yuri mulai mereda, dia masih belum percaya
dengan apa yang ia ungkapkan baru saja.
“Ahhh, kau sama saja dengan mereka!” Gertak Hime kepada Yuri
lagi
“Mereka siapa?”
“Diam. Sekarang yang harus kau lakukan adalah pergi dari
rumahku. Aku akan meyuruh sopirku untuk mengantarmu pulang. PERGIII!”
“Hime tadi itu, aku menasihatimu, aku masih peduli padamu….
Aku minta maaf, Hime.”
Hime tidak menjawab perkataannya, Dia mendorong tubuh Yuri
keluar dari kamarnya. Kemudian menutup pintu rapat – rapat.
“Hime, buka.” Yuri masih berusaha menenangkan Hime, ia masih
mengetuk pintu kamarnya berulang kali.
“Arrggghhh…”
Yuri menjadi semakin panik saat mendengar suara pecahan
barang yang terdengar cukup keras dari kamar Hime dan teriakannya. Dia benar –
benar marah.
“Hime, Kau itu sahabatku.”
to be continued . . . .
comment please >3
Tidak ada komentar:
Posting Komentar