Dreaming in حلالا way. . .

Halaman

Cari Blog Ini

Apa sih artinya?

Selasa, 17 Juli 2012

[FF] You are My Friend -Part 1-

Title                 : You are my friend
Author             : ちょゆき
Chapter           : 1/?
Genre              : Friendship | Tragedy | Hurt | Family | Angst |Drama
Fandom           : (My) Original Character (Hime, Yuri, Mirai, Aya, Cho, Ve)
Rated              : NC - 13
Summary        : Karena kamu adalah temanku . . .
Warning          : Author masih pemula diksinya dari dulu sampai sekarang masih membosankan + makin Alay karena kelamaan hiatus, tapi Fic ini penuh emosi *menurutku*.
Note                : Yappa >o<’’, saya kembali ke dalam dunia asliku, menyenangkan sekali. Sepertinya ini FF terakhir sebelum puasa. Sebenarnya aku mau nulis lagi juga gara – gara dibujuk sama tuh.. Dita, Ar, sama si Kiki dan yang lainnya *kayak ada yang baca :P* yang dari dulu udah nyuruh – nyuruh, tapi baru kubuatin sekarang, Maaf sekali, Maaf jika tidak memuaskan. Karena saya udah terlanjur janji, jadinya belajar gak tenang, makan gak tenang, mandipun gak tenang, buru – buru akan kulunasi hutang saiia, hehehe.


- Dedicated to all of my friends who always read my stories. Thank you so much^^ -



Happy Reading ^^



Persahabatan itu tak ternilai harganya
Tidak ada yang namanya mantan sahabat atau teman
Karena kalianlah pelengkap hidupku
Penyemangatku dan pelindungku
Kenangan bersama kalian adalah yang terindah
Kebersamaan itu akan selalu kuingat
Aku cinta kalian…



***

.Dimana saatnya kita merasa kehilangan atas seseorang atau beberapa orang, terpaksa meninggalkan mereka karena tuntutan dan kewajiban demi cita – cita dan mimpi. Meninggalkan masa – masa indah itu tanpa bisa kembali, tapi masa itulah yang takkan pernah hilang, selalu menjadi kenangan terindah dan paling indah, cintailah sahabatmu sayangilah mereka ketika engkau masih bersama, peluk erat bersama mimpi – mimpi itu^^…




“Plok, Plok, Plok.”



Tepuk tangan terdengar riuh mengisi ruangan kelas ketika Ve selesai membaca salah satu ceritanya. Dia membungkukkan badan sejenak kemudian mengangkatnya kembali sebagai rasa terima kasih. Kemudian ia berjalan perlahan menuju bangkunya, kemudian kembali mendengarkan gurunya.



“Baiklah itu salah satu contoh cerita yang bisa disebut cerita pendek, dan sepertinya jam pelajaran sudah akan berakhir. Kita lanjutkan besok lagi, Sayounara!”



“Sayounaraaa….”



Jawab semua murid ketika Ruki-sensei menutup pertemuan itu dengan semangat, diikuti semua siswa  yang terlihat sibuk dengan segala aktivitas mereka akhir sekolah.  Begitupun dengan wanita yang duduk satu meja di belakang Ve. Wanita manis itu sibuk merapikan segala peralatan sekolahnya yang tergeletak di atas meja kemudian memasukkannya ke dalam tas pink nya itu. Siapa sangka, wanita yang terlihat sangat anggun itu mempunyai watak yang tak disukai oleh beberapa orang temannya. Begitu juga dengan teman sebangkunya, walaupun mereka kelihatan akrab, tapi teman sebangku wanita itu yang tak lain bernama Yuri itu menyimpan luka yang tak terlihat tapi sangat bisa dirasakan. Namun ia hanya diam, ia tak ingin menyakiti temannya itu.

“Sampai jumpa besok Hime.” Ucap Yuri sembari melukiskan sedikit senyuman kecil di wajahnya.

“Yup.”

Seperti biasanya Hime hanya menjawab singkat tanpa ekspresi kemudian berlalu tanpa meninggalkan pesan. Apa dia selalu seperti itu? Yuri hanya terdiam dan seolah sudah terbiasa dengan sikap temannya tersebut. Sudah 1 tahun mereka bersama duduk di bangku SMA ini. Namun sikapnya yang tidak menyenangkan itu membuatnya tidak memiliki banyak teman, tapi tidak untuk Yuri. Beruntung sekali Hime memiliki teman yang menerimanya apa adanya.

Teman yang baik itu selalu mengerti keadaan temannya, menerima segala kekurangan dan kelebihan tanpa keluhan sedikitpun, walau terkadang menyakitkan.

Hime berjalan perlahan, sendirian. Dia selalu begitu, tak asing bagi semua warga sekolah melihatnya sendirian, namun menjadi sangat mengherankan jika ia dikelilingi banyak orang. Ia mempercepat langkahnya untuk keluar dari gerbang. Jemputan ternyata sudah menunggu di depannya, Hmmm… Dia memang anak orang kaya, setiap hari selalu di antar kemudian dijemput oleh sopirnya, bahkan kemanapun ia pergi.

Setelah beberapa menit perjalanan, mereka sampai di sebuah rumah megah bercatkan putih yang terlihat mendominasi. Taman yang luas penuh dengan pepohonan bahkan terlihat seperti perkebunan jika terlihat dari luar. Hime turun dari mobilnya kemudian memasuki rumah megah itu yang merupakan rumahnya sendiri.

Sepi. Sungguh aneh jika orang yang belum terlalu mengenalnya beserta seisi rumahnya yang terkesan serba mewah itu namun terasa mempunyai nuansa seperti rumah kosong. Tidak bagi Hime, ia sudah terbiasa dengan kondisi rumah yang didiaminya sejak ia kecil itu. Dia menaruh tasnya di atas sofa dan merebahkan badannya di sana. Kemudian mengambil remote disampingnya dan menekan tombol power untuk menyalakan TV layar datar di depannya itu. Ia memejamkan matanya seperti tertidur.


~/\~/\~/\~/\~/\~/\~/\~/\~/\~/\~


“Ahh, Hime, Maaf.”

Salah satu siswa di kantin itu sibuk membersihkan baju seragam Hime yang terkena noda kecap menggunakan sapu tangannya. Ekspresinya terlihat sangat panik bersamaan dengan tangannya yang sedikit bergemetar saat menyentuh baju seragam Hime.

‘Prakkk’


Seisi kantin terlonjak mendengar suara keras yang timbul dari gebrakan Hime di meja tempatnya menikmati makanan, sebelum kejadian yang sungguh tak menyenangkan itu terjadi. Semua orang memusatkan pandangan kepada mereka. Begitupun dengan Aya yang paling terkejut atas perlakuan Hime kepadanya itu. Sebelumnya Aya, teman sekelas Hime tak sengaja menumpahkan kuah bakso tepat di seragam Hime saat ia terburu – buru membawa makanannya itu. Namun tak disangka, kakinya malah menyandung kaki meja dan membuatnya kehilangan keseimbangan kemudian menjatuhkan baksonya itu ke tempat Hime duduk.

“KAMU APA – APAAN SIH? NGGAK TAU KALAU AKU LAGI MAKAN DI SINI? KAMU JALAN PAKAI APA? PAKAI DENGKUL? MATAMU ITU KEMANA?” Gertak Hime sambil mendorong tubuh Aya yang sudah sangat ketakutan itu.

“Maaf, aku tidak sengaja.” Ucap Aya gemetaran saking takutnya.

“Maaf? Gampang banget. Kamu mau bertanggung jawab dengan seragamku ini?” Bentak Hime tanpa rasa kasihan sedikitpun. Siswa lainnya hanya terdiam melihat tindakan sadis Hime tersebut.

“Hime, Aya kan tidak sengaja, sudahlah jangan dibesar – besarkan seperti ini?” Akhirnya Yuri mau buka mulut untuk menenangkan Hime yang sedang terbakar emosi tersebut.


Tapi sepertinya ucapan Yuri tidak digubris, “Ha? KAU MAU APA? MAU MEMBELIKANKU SERAGAM BARU? Hahaha enggak mungkin, kamu gak bakal mampu! ” Hime tertawa terbahak – bahak meremehkan teman didepannya itu.

Aya meneteskan air mata yang sudah ia tahan sejak tadi. “Hime-san, Gomen, aku akan mencucinya.” Aya kembali berucap dengan nada yang terputus – putus.

“Alahhh, sudah buang – buang waktu saja!” Hime berjalan meninggalkan Aya di sana, mengacuhkannya tanpa ada rasa iba sedikitpun. Aya menjatuhkan badannya hingga terduduk di lantai. Air matanya sudah tak terbendung lagi, ia menangis terisak – isak.

Yuri segera menghampirinya “Aya-san maafkan Hime, ya. Dia, kamu tau sendiri kan? Aku akan mengingatkannya nanti, kamu tidak usah khawatir.” Yuri menepuk - nepuk pundak Aya dan menenangkannya perlahan.

“Hiks, Dia kejam!”


~/\~/\~/\~/\~/\~/\~/\~/\~/\~/\~


“Hime-san,” Yuri berteriak sambil berlari mengejar Hime saat ia sudah akan meninggalkan sekolah. Hime menghentikan langkahnya kemudian menoleh ke belakang.

“Nani?”.

“Ahh, Anoo, soal yang tadi di kantin, aku harap kamu mau memaafkan Aya,” Yuri menarik napas perlahan karena sedikit kelelahan saat mengejar Hime.

“Ahhh, baik, aku hanya memberi pelajaran kepadanya.” Ucap Hime tenang. 

“Ahh, kau harusnya tidak seperti itu….” Hime menghentikan kalimatnya tiba – tiba ketika melihat ekspresi datar Hime yang sudah biasa ia lihat.

“Lalu…?”

Mengira bahwa sarannya tidak akan didengarkan lagi, Yuri mengganti ke topik lain.

“Ahh, ngomong – ngomong, boleh tidak hari ini aku ke rumahmu?”

“Eh? Memang ada apa?” Hime sedikit heran dengan perkataan Yuri yang menurutnya sangat aneh. Tak biasanya dia berucap semacam itu.

“Iya. Pengen aja. Aku juga pengen lihat rumahmu, Boleh?” Yuri mengedip – edipkan matanya berniat membujuk Hime. Hime yang sama sekali tidak tersenyum itu akhirnya menjawab.

“Baik.”

“Ahh…. Arigatou Hime-chan.” Yuri bertepuk tangan kesenangan.

“Itu dia jemputanku, Ayo!” Ajak Hime yang terlihat berjalan duluan di depan. Kemudian diikuti Yuri yang mempercepat langkahnya mengejar Hime.

“Kau beruntung,  ya.” Ucap Aya saat mereka sedang berada di mobil Hime.

“Maksudmu?”

“Iya. Kamu punya fasilitas yang serba ada. Pasti enak?”

“Ahh, tidak juga. Aku tidak merasakan kenikmatan yang berarti di kehidupanku.”

Tiba – tiba Hime melamun, membayangkan kehidupannya selama ini.

“Eh? Kamu tidak apa – apa?” ucap Yuri yang sedikit terkejut dengan ekspresi Hime yang berubah tiba – tiba.

“Ahh, tidak apa – apa kok. Nah, sudah hampir sampai.” Hime menolehkan wajahnya ke depan.

“Iyakah?”

Mobil itu masuk ke area tanah yang cukup luas seperti biasanya. Kemudian mereka turun dari mobil dan berjalan memasuki rumah Hime yang sangat indah itu.

“Hime, ini rumahmu? Bagus sekali.” Yuri terkagum – kagum ketika melihat rumah seperti istana itu.

“Ahh, sudahlah. Ayo masuk!” Hime mengajak temannya itu untuk melihat lebih dalam seisi rumahnya itu.

“Waw, memang indah. Ngomong – ngomong orang tuamu?”

“Ahh, itu. Mereka sedang ke luar kota.” Hime menjawabnya dengan nada rendah.

“Oh, pasti ada  bisnis ya?” 

Hime kembali melamun. Ia tidak menjawab perkataan Yuri tadi.

“Ahh, kau mau di sini apa ke kamarku?”

“Aku ikut kamu dong. Daripada aku tersesat di rumah seluas ini hehehe.” Ucap Yuri terkekek.

“Kau ini.”

Mereka naik ke tangga kedua. Rumah ini memiliki tiga lantai semuanya terlihat sangat mewah dan mahal.  Hingga akhirnya mereka memasuki salah satu ruangan yang terletak diujung tangga. Ruangan yang tak lain adalah kamar Hime ini bercat hijau muda, sehingga terlihat segar dan sejuk untuk ditinggali.

“Kamu punya saudara kandung?” Tanya Yuri kesekian kalinya.

“Tidak, aku anak tunggal.”

“Oh, Maaf ya, aku banyak tanya, hehehe.” Ujar Yuri tertawa sembari menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

Yuri meneliti setiap sudut kamar Hime yang tak kalah luas dengan ruangan lain di rumahnya itu.  Hingga pandangannya tak sengaja melihat secarik kertas tebal yang tergeletak di lantai. Yuri pun mengambilnya. Dan mengamatinya lekat – lekat, ternyata di baliknya terlukis foto Hime beserta seorang perempuan berambut panjang hitam sedang merangkulnya, mereka terlihat  sangat akrab.

“Ini siapa?” Yuri menanyakan perempuan di foto itu dengan menunjukkannya kepada Hime.

“Siapa? Ahh, kau, dimana kau mendapatkannya?” Hime segera mengambil kertas tersebut kemudian menaruhnya ke dalam laci.

Yuri kaget dengan ekspresi Hime itu dan sedikit bersalah saat mengetahui sepertinya dia tidak menyukai perbuatannya menunjukkan perempuan di foto itu, seperti memutar kembali memori lama.

“Maaf. Hime memang ada apa?” Tanya Yuri pelan

“Tidak, kau tidak perlu mengetahui seluk beluk kehidupanku kan?” Nada suara Yuri meninggi.

“Tapi, bukankah kau sahabatku?”

“Hah? Sahabat? Aku tidak percaya adanya sahabat di kehidupanku.”

Yuri terkaget dengan ucapan Hime barusan. Dia tidak percaya, jadi selama ini, Dia benar – benar tidak mengakui keberadaan Yuri sebagai seorang sahabat?

“Kau bicara apa?” Yuri masih sedikit tak percaya dengan perkataan Hime tadi.

“Kau tidak dengar? Aku tidak butuh sahabat! Teman atau apalah, mereka itu tidak berguna.”

Jantung Yuri serasa berhenti. Ia seperti dihujani beribu pedang berbentuk perkataan yang  benar – benar menyakitkan untuk diterima bahkan lebih sakit daripada luka fisik itu sendiri.

“Hime-san, jadi bagimu aku ini apa?” Kali ini Yuri yang membentak Hime.

“Kau? Memang aku mengkhususkan dirimu? Kau ini hanya orang yang ku kenal tidak lebih.”

‘PLAKKKK’

Satu tamparan sukses mendarat ke pipi Hime, membuat Hime sangat kaget dengan perlakuan Yuri saat itu.

“APA – APAAN KAU INI?” Bentak Hime kepada Yuri.

“Bertanyalah pada dirimu sendiri, kau itu siapa? Kau itu hanya anak sombong di sekolah, tidak punya rasa iba, kasihan bahkan belas kasih. Apa kamu tidak punya hati? Seenaknya membentak orang? Seperti Iblis, bahkan kau ini lebih kejam.”

Hime menarik kerah baju Yuri.

“BERANINYA KAU!!!” Hime hendak menamparnya namun berhasil ditangkis oleh Yuri.

“Hei, kau tidak lihat dirimu? Masih berani – beraninya membela? Apa aku tidak sakit hati bersamamu selama ini? Sakit sekali, apa kau tau rasa sakit ini? Hah, orang sepertimu pasti tidak menggubrisnya. ORANG MACAM APA KAU? Aku bertahan bersamamu karena aku menghargai kau sebagai temanku, sahabatku, aku tak ingin menyakitimu ketika aku mengungkapkan rasa sakit atas perlakuanmu selama ini, kau acuhkan begitu saja. Aku tidak mau membuat orang lain merasakan sakit yang sama seperti yang aku rasakan. Aku menerima keadaanmu yang egois itu, yang sombong, mudah marah. Kapan kau puas Hime?”

Hime melepaskan tangannya dari kerah baju Yuri, dia terduduk di kasurnya. Bola matanya memandang tanpa arah di setiap sudut ruangan kamarnya tanpa berhenti berputar. Sementara itu Yuri mulai menitikkan air mata, menyadari dirinya yang awalnya merupakan pribadi yang lembut dan sekarang marah dengan penuh emosi berkumpul di otaknya.

“Kau bicara apa, Yuri?” Hime menutup kedua mukanya dengan telapak tangannya.

Dia menangis?

Sungguh tidak bisa disangka Hime yang luarnya adalah pribadi yang sangat emosional dan temperamental itu bisa menangis.

“Hime, aku…” Yuri mulai mereda, dia masih belum percaya dengan apa yang ia ungkapkan baru saja.

“Ahhh, kau sama saja dengan mereka!” Gertak Hime kepada Yuri lagi

“Mereka siapa?”

“Diam. Sekarang yang harus kau lakukan adalah pergi dari rumahku. Aku akan meyuruh sopirku untuk mengantarmu pulang. PERGIII!”

“Hime tadi itu, aku menasihatimu, aku masih peduli padamu…. Aku minta maaf, Hime.”

Hime tidak menjawab perkataannya, Dia mendorong tubuh Yuri keluar dari kamarnya. Kemudian menutup pintu rapat – rapat.

“Hime, buka.” Yuri masih berusaha menenangkan Hime, ia masih mengetuk pintu kamarnya berulang kali.

“Arrggghhh…”

Yuri menjadi semakin panik saat mendengar suara pecahan barang yang terdengar cukup keras dari kamar Hime dan teriakannya. Dia benar – benar marah.

“Hime, Kau itu sahabatku.”

to be continued . . . .

comment please >3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar