Title : You are my
friend
Author : ちょゆき
Chapter : 3/?
Genre : Friendship
| Tragedy | Hurt | Family | Angst |Drama
Fandom : (My) Original Character (Hime, Yuri,
Mirai, Aya, Cho, Ve)
Rated : NC - 13
Summary : Karena kamu adalah temanku . . .
Warning : Author masih pemula diksinya dari dulu
sampai sekarang masih membosankan + makin Alay karena kelamaan hiatus, tapi Fic
ini penuh emosi *menurutku*.
Note : Yappa >o<’’, saya
kembali ke dalam dunia asliku, menyenangkan sekali. Sepertinya ini FF terakhir
sebelum puasa. Sebenarnya aku mau nulis lagi juga gara – gara dibujuk sama
tuh.. Dita, Ar, sama si Kiki dan yang lainnya *kayak ada yang baca :P* yang
dari dulu udah nyuruh – nyuruh, tapi baru kubuatin sekarang, Maaf sekali, Maaf
jika tidak memuaskan. Karena saya udah terlanjur janji, jadinya belajar gak
tenang, makan gak tenang, mandipun gak tenang, buru – buru akan kulunasi hutang
saiia, hehehe.
- Dedicated
to all of my friends who always read my stories. Thank you so much^^ -
Happy Reading
^^
~~~~Hime . . . 10 years old~~~
Ahhh, kepalaku sakit
sekali. Kelopak mataku masih sangat sulit untuk dibuka, sekujur tubuhku mulai
terasa nyeri saat aku mencoba menggerakkannya. Namun walaupun terasa berat, akhirnya
aku dapat melihat seluruh keadaan di sekitarku, walaupun dengan pandangan yang sedikit
kabur.
Aku dimana?
Tanda Tanya besar
muncul di otakku, Tepatnya rasa penasaranku yang menyeruak saat ingin
mengetahui keberadaanku sekarang. Hanya ada pohon – pohon besar yang
mengelilingiku, seperti sebuah hutan? Tapi kenapa aku bisa sampai di sini? Saat
ku lihat seluruh tubuhku, banyak sekali luka yang terlihat. Saat aku mencoba
menelaah lebih jauh, aku menemukan diriku di sebuah hutan, kali ini aku benar –
benar yakin, dan sekarang, di sebuah jurang?
“Apa yang terjadi?”
“ Hime , Hime, Hime.
Disana!!!”
Tiba – tiba terdengar panggilan dari banyak orang yang
menyebut satu nama secara berulang – ulang bernada sangat panik.
“Hime!!!!! Kami akan menolongmu.”
Kini salah satu wanita muda di antara mereka melihat ke bawah
tepatnya ke dalam sebuah jurang yang cukup dalam sambil berteriak seolah member
peringatan tepatnya pertolongan kepada sosok di bawah sana, sosok yang bernama
‘Hime’.
“Hime, kau tidak apa – apa?”
Kini wanita muda dengan postur tubuh yang hampir sama dengan
Hime menghampirinya dan langsung sibuk mengecek keseluruhan tubuh Hime,
memastikan bahwa keadaannya baik – baik saja.
“Ahh, kau terluka. Sebaiknya harus segera diobatkan.”
“Cho, tidak apa – apa.”
“Tolong bawa Hime ke desa. Dia harus segera mendapat
perawatan.”
Lagi – lagi wanita muda yang diketahui bernama Cho ini
terlihat lebih panik daripada orang – orang di sekitar tempat kejadian.
“Ahh, Cho,kau terlalu berlebihan . . .”
“Ssst… Tidak, kau ini temanku. Aku tak ingin melihatmu
sakit.” Ucap Cho memotong pembicaraan
“Terima kasih.”
Flashback end
“Dokter, bagaimana keadaannya?”
Yuri buru – buru bertanya kepada seorang pria berjas putih
yang baru saja keluar dari ruangan ICU Rumah sakit itu.
“Oh, temanmu, cukup kehilangan banyak darah. Untung saja
belum sampai memutus urat nadinya. Kami sudah berhasil menolongnya, untuk
beberapa hari ini dia harus dirawat di Rumah sakit terlebih dahulu sampai
kesehatannya pulih kembali.”
“Ah, begitu. Terima kasih dokter.” Yuri membungkukkan
badannya, sebagai tanda berterima kasih
“Baiklah. Permisi.”
Pria itu segera meninggalkan Yuri dan tante Mirai. Saat itu
Yuri dapat menarik napas lega karena Hime masih bisa diselamatkan. Mereka
berdua masuk ke dalam ruangan dimana Hime sedang dirawat. Hime masih pingsan,
sepertinya kondisi tubuhnya itu belum terlalu pulih.
Yuri berjalan perlahan mendekati sosok lemah yang terbaring
di tempat tidur tersebut. Yuri memegang tangan kiri Hime yang dibalut kain putih
tebal bersamaan warna merah yang masih terlihat akibat darah dari goresan itu.
“Hime, kenapa kau lakukan ini?” Yuri meneteskan air matanya,
tak kuat melihat temannya menderita terlalu lama.
“Tante, boleh aku bertanya?” Yuri menolehkan wajahnya ke arah
tante Mirai yang berada disampingnya saat itu.
“Iya.”
“Dimana Cho sekarang?”
“Cho, kabar terakhir yang aku terima semenjak ayahnya di
penjara, Ibu Cho bercerai dan memilih untuk pergi, aku juga tidak tahu dimana
sekarang. Tapi, ada yang bilang bahwa dia ikut ibunya pindah ke luar pulau
setelah menjual rumahnya di desa.”
“Sayang sekali, coba saja mereka bisa bertemu lagi.”
“Aku tak yakin kalau Hime mau memaafkannya. Dia sudah
terlanjur benci kepada Cho.”
“Dia hanya butuh membuka hatinya perlahan.”
~~~~Hime . . . 13 years old~~~
“Hime-san, Ayo main.”
“Hai. Ayah, Ibu aku pergi dulu.”
Hime berlari keluar pintu setelah berpamitan kepada kedua
orang tuanya. Hari itu, dia dan Cho berniat pergi ke padang ilalang yang
terletak tidak jauh dari desa mereka. Hime ingin menemani sahabat kecilnya itu
untuk mengambil beberapa gambar pemandangan di sana.
“Hime-san, aku boncengkan ya.”
“Oh, ya? Baiklah.”
Mereka tertawa lepas sepanjang perjalanan, benar – benar
terlihat seperti kebahagiaan sepasang sahabat yang tulus waktu itu. Angin sore
berhembus menerpa rambut mereka yang terurai. Ketika melewati turunan yang
lumayan panjang, kayuhan sepeda Cho semakin dipercepat sehingga membuat Hime
harus berpegangan erat pada pinggang Cho.
“Cho, hati – hati.”
Melihat Hime yang semakin panik, Cho tidak menggubrisnya, ia
malah semakin bersemangat mengayuh sepeda.
“Hahaha…”
Tawa riuh terdengar semarak saat mereka saling bercanda akrab
di padang ilalang.
“Hime-san, bagaimana hasil jepretanku yang satu ini?” Cho
menunjukkan kameranya kepada Hime.
“Bagus, kau benar
benar jago fotografi ya?” Hime menunjukkan kekagumannya kepada hasil
foto Cho yang memang terlihat sangat indah.
“Terima kasih. Eh, ngomong – ngomong, aku belum punya foto
kita berdua, lho? Masak sepasang teman tidak memiliki kenangan yang diabadikan,
hehe.”
“Oh iya, sini. Ayo berfoto!”
Cho mengedepankan kameranya dan memposisikannya terbalik dari
arah semestinya. Saat mereka sudah menempelkan pipinya masing – masing, Cho
merangkul pundak Hime, kemudian mereka tersenyum manis.
‘’Ckrekk”
“Yaappa ^o^. Kawaii^^, aku cantik juga ya? Hehehe.” Cho
memuji dirinya sendiri saat melihat hasil foto mereka berdua.
“Mana sih? Sini aku lihat, ahh yang cantik itu kan aku,
hahaha.”
Hime malah menggoda Cho, mereka lalu melontarkan candaan dan
ejekan satu sama lain dan membuat suasana menjadi benar – benar ceria.
“Huuuuhh, Cho-san, Arigatou.” Hime menarik napas panjang.
“Eh? untuk apa?”
Hime tersenyum menatap wajah Cho yang masih bingung dengan
perkataannya tadi. Kemudian kembali memandang ke arah padang ialalang yang
indah di depan mereka.
“Terima kasih, kau sudah mau menjadi temanku.” Ucap Hime
lirih
“Ahh, aku juga senang bersamamu, terima kasih juga. Selalu
ingat persahabatan kecil kita ini ya, jika kita berpisah nanti?”
“Pasti, karena kau adalah temanku, teman terbaikku. Cho, apa
kau mau tetap menjadi temanku selamanya apapun yang terjadi nanti?”
Kali ini Hime menatap kedua mata cho tulus. Ia ingin mendengar
jawaban seorang teman yang paling berharga di hidupnya.
“Iya. Aku janji, kita tak akan terpisah. Walau ada masalah
kecil maupun besar selalu ingat kebahagiaan kita saat bersama. Kebersamaan
itulah yang mampu mengalahkan semua halangan yang melintang. Karena kau adalah
temanku, Kita itu saling membutuhkan walau jarak akan memisahkan kita berdua.”
Hime mengusap air matanya yang tak sengaja membasahi pipi
halusnya itu. Dia merangkul Cho erat dengan segenap ketulusan hatinya sebagai
seorang teman.
“Aku akan selalu mengingatmu, janji kita.”
to be continued . . .
Wkwkwkwk, yang ini singkat, padat, dan tidak jelas. Aku
kerjainnya pas pulang sekolah, niat mau tidur, eh? dapet inspirasi lanjutin
cerita entah dari mana, hehehe.
Kripik dan sumbangannya, jangan lupa^^
Tidak ada komentar:
Posting Komentar